cover landing

Loving Killer

By Yulia Moirei

PROLOG

Detak jantung berpacu dengan waktu, saat langkah kaki berlari dengan nafas tersengal-sengal, menuju lahan kosong yang luas di pulau pribadi Lambertus. Pulau yang dijuluki “Execution Place.”

Jarak semakin terkikis di lima meter tempatku berpijak, aku melihat sepuluh orang pria dengan jaket kulit hitam mengguyur cairan yang beraroma bensin ke sekeliling mobil merah tua.

Di dalam mobil itu, aku dapat melihat sosok pria kuat yang selalu berjuang mencari nafkah demi keluarga, walaupun dengan tangan yang kotor. Matanya terpejam, kedua tangan terikat rantai, kakinya berlumuran darah.

Aku, dapat melihat semuanya dengan jelas. Karena kaca mobil itu pecah dan beberapa bagian hancur. Semakin dekat aku melangkah, korek api itu dilempar ke arah mobil.

Seketika, ledakan terjadi begitu dahsyat. Tubuh bergetar hebat, kaki lemas tidak berdaya menopang diri. Air mata pecah, saat kobaran api semakin membesar melahap mobil tua. Bibirku tidak sanggup membuka mulut dan berkata-kata.

Tangan kekar mengikatkan kain putih di mataku. Lalu suaranya berbisik bagai mantra yang membuatku bertekuk lutut.

“Lupakan yang kamu lihat,” ucapnya dengan suara bariton yang penuh tekanan di setiap katanya.

Badanku diangkat olehnya, seolah hanya sehelai bulu ayam yang lembut. Ia membawaku pergi menjauh dari ledakan.

***

Pria dengan kemeja putih menatap mataku dengan intens, “Apa kamu berusaha membunuhku?”

“Ti-tidak ... .”

“Ayo bercinta,” pria itu berbicara lalu melumat bibirku dengan rakus, menghisapnya bagai candu narkoba.

BAB 1: BERLUTUT

Kedua tanganku dicengkeram oleh dua pengawal berseragam hitam. Mereka menyeretku ke sebuah ruangan dilantai seratus gedung Lambertus. Di dalam ruangan, seorang pria dengan jas hitam duduk dengan santai sembari menghisap puntung rokok Treasurer Luxury Black.

“Lepaskan dia.” Tubuhku dihempaskan dengan kasar hingga membentur lantai keramik emas.

Aku berlutut di hadapannya dengan lemah, marah dan benci yang menyatu bersama ketakutan. Perpaduan perasaan yang salah, tetapi itulah gambaran yang terlihat jelas dari raut wajahku saat mendeskripsikan Robert Lambertus. Siapa yang tidak mengenal pria ramah senyum dan selalu mengikuti program bakti sosial?

Robert, pria kaya nomor dua di dunia. Tampan, kaya, ramah, dan sopan santun. Begitulah kira-kira yang dilihat dunia saat mendengar nama pria itu. Wartawan majalah ternama selalu memasukkan aktivitas Robert dan membuat judul, “Robert Lambertus—CEO Telekomunikasi global terkaya kedua mengadakan program penggalangan dana untuk kemanusiaan.”

Itu semua hanya pencitraan semata, di hadapanku Robert seperti monster yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Wartawan, tidak akan tahu seberapa banyak musuh yang sudah ia bunuh secara sadis. Mereka hanya bisa mengabarkan hal baik. Tanpa, mengetahui fakta yang sebenarnya.

“Sudah aku bilang, berhenti menolak. Rachel!” Dia menarik daguku dengan kasar.

“Berhentilah Tuan, jangan melakukan tindakan kriminal!” Teriakku dengan amarah.

Dia terkekeh, “Selalu saja membangkang.”

“Aku tidak akan membangkang, jika perintahmu baik!” Aku menatap mata kelamnya dengan tajam.

Pria berambut pirang itu menyeringai, “Perintahku selalu baik dan sederhana.”

“Tidak, Tuan kejam!” Aku membantah ucapannya dengan lantang.

“Aku kejam demi satu miliar manusia yang bergantung hidup dari Perusahaan Lambertus,” ucap Robert dengan tangan kanan mengelus rambut cokelatku yang terurai.

Plak

Suara tamparan mendarat di pipi kiriku. Rasanya nyeri dan panas. Persetan sekali bajingan itu. Dia berani menamparku dengan kasar. Tidak berhenti sampai di situ, pria dengan tinggi seratus sembilan puluh meter itu menjambak rambutku.

“Auuw, cukup Robert!” Air mataku tumpah membasahi pipi, ini sangat menyakitkan.

Robert, menatap bola mataku yang dipenuhi air mata. Secara tiba-tiba, ia memeluk tubuh lemah yang tidak berdaya akan kekuasaan. Aku meringis menahan rasa sakit yang selalu timbul saat bersama Robert.

Dulu, Robert hanya pria payah yang tidak bisa bela diri. Berkali-kali mendapatkan bully di sekolah, hanya karena Robert anak orang kaya yang terlihat manja.

“Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu, Rachel Holland.”

Holland?

Yap, aku keturunan Markus Holland—pembunuh bayaran terkejam dan termisterius nomor satu di dunia. Identitas asli Markus Holland tidak diketahui. Hanya sebatas nama yang dikenal para mafia.

“Berhenti menolak keinginanku,” ujar Robert sembari mengelus rambut bergelombang yang sebelumnya ia jambak.

Aku terisak, “Aku tidak ingin jadi pembunuh.”

“Kamu dibesarkan dan didik untuk menjadi pembunuh. Itu takdirmu, Rachel,” Robert berbisik di telingaku.

Aku tersenyum tipis, faktanya benar. Ayahku dikontrak oleh keluarga Lambertus dan menjadikan aku sebagai penerusnya. Sedari kecil, aku dan Robert disekolahkan dan dilatih di tempat yang sama. Namun, derajat yang memisahkan persahabatan kita.

“Aku tidak bisa membunuh,” gumamku pelan.

Robert melepaskan pelukan, “Kamu harus membunuh.”

Robert begitu kejam, karena ia sering ditindas oleh anak-anak mafia.

“Lihatlah Daxton, si Robert pecundang memakai kaca mata bulat!” Teriak anak laki-laki dengan pakaian Brand Cartier, saat melihat Robert kecil berjalan membawa buku piano.

Anak laki-laki lain yang terlihat dingin, menatap sinis ke arah Robert. Pakaiannya serba hitam dari Brand Gucci. Terlihat keren dengan seringai pembunuhnya.

“Serang dia, sampai pincang!” Suara anak laki-laki yang cukup tinggi memerintahkan empat kawannya.

Mereka menganiaya Robert yang hendak kabur. Robert dipukuli hingga babak belur. Saat itu, aku takut dan kasihan. Namun, aku tidak akan bisa diam melihat anak bos ayah terluka. Usiaku yang baru tujuh tahun berlari ke arah Robert dan menendang empat anak-anak lain. Aku menarik tangan Robert untuk lari. Mulai dari situ, Robert menerimaku sebagai teman. Berbeda dengan kakak dan adik Robert—Steven dan Tevani, mereka sudah menganggapku keluarga. Hanya Robert yang menjunjung tinggi kasta sosial.

Robert bangkit dan merapikan jas hitamnya, “Jangan manja. Bagaimana pun, kamu adalah bawahanku.”

Aku mendongakkan kepala, “Itu ayahku, bukan aku.”

Robert Lambertus menatapku bengis, “Sudah aku duga, kamu tidak tahu diri. Namun, kali ini aku memiliki pilihan.”

Aku berusaha berdiri dengan lutut yang berdenyut nyeri, “Pilihan?”

“Membunuh target yang sama seperti mendiang ayahmu atau membiarkan kedua adik tirimu— Ryan dan Libby dibunuh olehku.”

Bagai disambar petir disiang bolong, aku terkejut melihat dua nama itu disebut. Robert tidak pernah main-main dengan ucapannya. Bahkan, dua bulan lalu ayahku hangus terbakar hidup-hidup karena gagal menghabisi nyawa targetnya.

“Pikirkan baik-baik, Nona Rachel,” Robert berjalan membuka pintu untukku.

Aku masih berdiri, mematung dengan wajah pucat, “Kenapa Tuan tidak membunuhku saja?”

“Karena kamu adalah peluru sekaligus perisaiku.”

Tidak ada reaksi yang aku tunjukkan, pikiran terbang membayangkan Ryan dan Libby yang terseret permainan keluarga Lambertus.

“SERET RACHEL KELUAR DARI RUANGANKU!”

Tidak lama kemudian, kedua tanganku diseret oleh dua pengawal setia Robert. Aku bingung harus berbuat apa? menjadi pembunuh bayaran dan mengikuti jejak ayah adalah mimpi burukku. Namun, aku sudah berjanji pada ayah untuk menjaga Ryan dan Libby sehari sebelum ia bertugas.

“Rachel, ayah minta jaga kedua adik tirimu dengan baik. Jangan biarkan satu tangan pun menyakiti mereka,” ucapan ayah selalu terngiang di kepalaku.

“Kenapa ayah bilang seperti itu?” tanyaku dengan debaran jantung ketakutan.

“Ayah tidak yakin, akan berhasil membunuh target terakhir ini. Ia terlalu kuat dan sulit ditaklukkan.”

Sialnya, target terakhir ayah adalah target pertamaku. Apakah aku akan menjadi pembunuh bayaran atau merelakan Ryan dan Libby mati?

*****

Di sebuah ruangan bernuansa hitam dan beraroma maskulin khas pria. Aku terdiam di kursi hitam dan berhadapan dengan seorang pria dingin, sedingin es. Aku menunduk takut, sembari menutupi paha putih mulusku dengan menurunkan rok mini.

“Beraninya kau mempermalukan harga diriku di depan umum!” suara bariton menyeringai lebar.

Lututku bergetar hebat, aku tidak berani menatap mata elangnya yang tajam, dengan gugup aku berbicara, “Maaf, Tuan.”

“Apa kau sengaja memakai pakaian ketat dan seksi itu untuk menggodaku?” tanya pria berambut hitam itu.

“Ti—tidak.” Auranya sangat dingin dan suasana terasa mencekam.

Ia berdiri dari sofa hitam kebesarannya dan melangkah ke arahku. Jantungku semakin berpacu, bulu kuduk berdiri seperti merasakan kehadiran hantu. Namun, ia lebih dari hantu.

Dia semakin dekat dan berbisik, “Santailah, asisten pribadiku.”








<