Kerlap batu alam Citrine di leher jenjang gadis itu membuat seorang pria terpaku cukup lama. Bahkan gema azan yang biasa didengarnya dengan khusyuk pun jadi buyar.
“Mas Dewa? Ini terus bagaimana ya? Kok melamun?”
“Mas?”
Dewangga mengerjapkan matanya.
“Maaf, ah itu taruh sana dulu. Saya harus salat,” ucap Dewangga sambil mengusap wajahnya berkali-kali.
Gadis itu mengembuskan napas kesal. Dia baru tahu kalau chef yang katanya senior dan diminta mengajarinya itu punya kebiasaan buruk yaitu melamun dan tidak mendengarkan.
“Mbak Stella, biar dilanjutkan bersama saya saja. Kalau menunggu Mas Angga pasti kelamaan,”
Gadis bernama Stella itu menoleh dan melihat Astrid, staff senior lainnya yang kemarin men-training Stella menjadi waiter dengan super galak. Ini itu semua disalahkan, bahkan mulai dari hal-hal remeh, bagaimana harus meletakkan cangkir di depan pelanggan dan sebagainya.
Stella menatap Mbak Astrid dengan jeri.
“Ta-tapi Mbak, katanya suruh nunggu. Selain itu, sekarang kan jam istirahat,” Stella menunjuk jam tangan yang melingkar di samping gelang batu alam di tangannya.
“Mbak Stella, waktu istirahat untuk pegawai baru seperti Mbak hanya setengah jam. Selain itu, Mbak juga tidak seperti Angga, dia ada keperluan ibadah,” ucap Astrid penuh penekanan.
Stella mengembuskan napas beratnya. Dia pun melanjutkan pelajaran memasaknya dengan Astrid. Benar kata Astrid pula tentang Dewangga yang selalu kembali setelah setengah jam kepergiannya.
Lama.
“Eh Astrid? Kamu lanjutin?”
“Iya, nggak apa-apa kan?” tanya Astrid dengan wajah kaku.
Dewangga mengangguk begitu saja dan tersenyum tipis ke arah Stella.
“Ya sudah, aku urus pesanan yang di sana. Sepertinya orang-orang mulai datang untuk makan siang. Kalian lanjutkan saja, kalau Stella sudah selesai istirahatlah dan kamu boleh melihat kami. Tentunya tanpa mengganggu ya,” ucap Dewangga.
Stella mengangguk lemah dan terus mengikuti perintah Astrid untuk melakukan ini-itu. Sesekali Astrid memberikan contoh, tetapi Stella merasa dirinya tidak akan bisa.
Kemarin gagal menjadi seorang pramusaji. Sekarang, dia harus berhadapan dengan kompor? Wajan panas, panci, dan penggorengan? Yang benar saja!
Diam-diam Stella hanya mengeluh di dalam hati dan sesegera mungkin menyelesaikan training hari itu. Satu minggu training di sebuah restoran adalah mimpi buruk bagi Stella yang tidak pernah memasak di rumah.
Stella bernapas lega setelah Astrid memastikan kalau masakan Stella memang di luar ekspektasinya.
Buruk.
“Waktunya istirahat untukmu dan waktunya bekerja untukku,” ucap Astrid pamit.
Stella geleng-geleng kepala. Itu bukan kata-kata pamit, bukan bye, see you, jangan lupa makan siang, atau apa. Kata-kata Astrid lebih terdengar seperti sindiran.
“Up to you!”
Stella pergi ke break room dekat taman belakang restoran itu dan duduk merenungi nasibnya. Stella menyelonjorkan kaki sambil membuka ponsel. Nomor terakhir yang dihubunginya adalah Pak Handoko.
Orang yang merekomendasikan Stella untuk bekerja di restoran ini. Baru kemarin Stella mengeluh tentang senior yang memperlakukannya dengan buruk, tetapi Pak Handoko malah mengatakan kalau hal itu bagus. Stella benci Pak Handoko.
Sebulan setelah Ayah Stella meninggal, Stella hanya di rumah, main dengan pacarnya atau party dengan teman-temannya. Joana, Kesya, dan Clara teman Stella sejak kuliah. Memangnya harus apa?
Stella tahu kalau dirinya sudah tidak memiliki siapa-siapa. Hanya ada Budhe Hana dan Tante Maria. Stella tidak akur dengan mereka, karena keduanya selalu membandingkan Stella dengan anak-anak gadis mereka yang konon katanya baik, taat, dan ber-attitude.
Bagi Stella hal-hal baik seperti itu tidak bisa dia dapatkan, semua itu karena Ayah. Hal sepele seperti kasih sayang saja digantikan dengan uang dan fasilitas. Apalagi Stella yang tidak memiliki Ibu sejak berusia tiga tahun. Perempuan yang menjadi Ibunya itu pergi dengan pria lain yang katanya lebih tajir dari Ayah. Stella tumbuh dalam kesendirian.
Jadi, buat apa? Stella harus apa?
Dengan meninggalnya Ayah, Stella sedih sekaligus senang. Ada dan ketiadaannya sama saja. Stella bisa lebih bebas dan mendapatkan harta yang tidak mungkin habis dalam beberapa dekade ke depan meskipun dirinya hura-hura.
Namun, semua berubah begitu Pak Handoko datang dan mengaku sebagai notaris sekaligus sahabat dari Ayahnya. Dia berbicara tentang hutang yang ditinggalkan Ayah Stella dan wasiat di mana Stella harus bekerja.
Stella lulus sarjana hukum, tetapi dirinya disuruh bekerja di restoran? Yang benar saja.
“Hei, jangan melamun di sini banyak demit! Kau dicari Angga tuh,”
Stella tersentak, suara Astrid yang cempreng melebihi standar bawah kualitas panci itu sangat mengesalkan. Stella bangkit dari duduknya dan masuk tanpa memandang ke arah Astrid. Astrid berdecak karena merasa diacuhkan.
Stella mencari Dewangga di dalam pantri. Pria itu sedang menyiapkan bahan-bahan selanjutnya dengan sibuk.
“Mas Dewa panggil saya?” tanya Stella.
Dewangga mengangguk. Pria berkumis tipis dengan kulit bersih dan hidung tegas itu menyerahkan beberapa bahan kepada Stella.
“Bawa ini dan kamu bantu aku. Ini kesempatan bagus buat kamu belajar langsung, mungkin Astrid terlalu keras padamu bukan?” tanya Dewangga.
Stella hanya nyengir dan mengangguk.
“Nah, bantulah aku. Aku tahu semua orang punya potensi dalam memasak. Kamu hanya perlu memahami rasa dan perasaanmu. Memasak itu…,”
Dewangga meletakkan sayuran dan sekotak daging di dalam wadah.
“Memasak itu harus ikhlas dan tulus. Jangan ada rasa dongkol atau apa. Yang jelas, kalau kamu memasak itu seperti bercerita, mengekspresikan sesuatu, termasuk perasaanmu sendiri,” lanjut Dewangga.
Stella tertegun sejenak. Dia tersinggung sekaligus penasaran. Sebelum ini, Stella pernah mengekspresikan perasaannya dalam kata-kata dan tulisan. Namun, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Tulisannya dihujat dan Stella dianggap arogan serta tidak bersyukur.
Setelah merasa semakin frustasi, Stella pun berhenti menulis dan memilih memendam perasaan itu atau sekadar curhat kepada pacarnya.
“Baik Mas, saya coba,” ucap Stella.
Dewangga tersenyum tipis. Stella sendiri merasa kalau Dewangga bisa didengar dan dicontoh. Orangnya juga terkesan lembut, walau menurut Stella, Dewangga kurang memiliki humor dan kurang ekspresif. Cowok tipikal seperti Dewangga sangat datar dan kurang asyik.
Stella bekerja sampai sore membantu Dewangga dan mulai paham bagaimana trik Dewangga memasak tanpa menguras banyak tenaga. Stella belajar lebih banyak disbanding hari-hari sebelumnya.
“Masakan kamu juga lebih oke dari yang kemarin sama tadi,” ucap Dewangga.
“Tapi tetap masih kurang bagus, customer kita butuh sesuatu yang sempurna dan maksimal,” Astrid menyela.
“Tidak apa-apa, kamu bisa belajar lagi besok,” Ferdi menyemangati.
Stella mengangguk dan tersenyum ke arah Ferdi tanpa menggubris Astrid. Yang lainnya juga mengangguk. Semua staff berkumpul sebelum pulang untuk mengevaluasi pekerjaan hari itu.
“Tapi, mau sampai kapan belajar dan belajar? Sampai kapan? Ini tempat kerja, bukan akademi atau sekolah boga. Kita punya target dan juga punya jam terbang. Ingat, mau kerja di sini itu sulit! Ini Royal Cuisine, bukan resto sembarang!” kali ini Maria, si pramusaji paling cantik di restoran itu.
Maria pergi begitu saja seusai berucap. Semuanya terdiam dan tidak mengatakan apapun. Tidak ada yang membela Stella sampai semuanya bubar. Hati Stella semakin jengkel, ucapan Maria benar-benar tidak dipikir dahulu.
Memangnya dia siapa? Manajer restoran?
“Stella, ayo pulang, kita akan bergantian dengan shift malam,” ucap Dewangga mengingatkan.
Stella mengangguk pelan. Bahkan Dewangga tidak membelanya sama sekali!
Stella melepas apronnya dan segera mengambil barang pribadinya. Lalu keluar dari restoran. Stella menunggu Dio, pacarnya. Namun, setengah jam berlalu pria itu tidak datang.
“Tahu gitu gue bawa mobil sendiri!” Stella ngedumel.
Stella menelepon Dio lagi, namun nomor itu sedang di luar jangkauan. Telepon-telepon berikutnya hanya berdering, bahkan yang terakhir hanya dimatikan. Pukul delapan malam, Stella masih menunggu dengan wajah bersungut-sungut.
“Stella? Belum pulang?” tanya suara seorang pria.