Aroma poğaça dan börek berisi beyaz peynir beradu setelah Kayla membuka bungkus makanannya. Kayla tersenyum mencium aroma rotinya yang mulai pudar karena angin berhembus nakal, sudah lama ia tak sarapan ala Turki seperti ini.
Hari yang cemerlang. Langit tampak biru dari ujung ke ujung. Tembok Konstantinopel berdiri gagah tepat di samping Kayla. Lebih tepatnya di gate Topkapi. Taman di samping tembok bersejarah itu memang tempatnya setiap kali ke Turki. Ia bisa sedikit menikmati hidupnya dengan mengenang masa emas sejarah Islam. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat patung prajurit Ottoman di depan gerbang tembok.
Kayla merasa begitu dekat dengan idola sejuta muslimin saat ini, siapa lagi kalau bukan Sultan Mehmed II. Tembok ini menyimpan banyak darah dan tangis. Meskipun dirinya campuran Jepang-Indo, tapi dirinya lebih suka Turki. Seekor kucing datang dan berputar di kaki Kayla dengan manja, Kayla melempar secuil roti pada kucing itu.
Ponsel Kayla bergetar.
“Assalamualaikum, Mbak. Maaf ya ganggu. Tapi ini penting banget.” Kayla menarik napas, bersiap memdengar keluhan. Sehari saja hidupnya tanpa gangguan sepertinya tak bisa, tapi mau gimana lagi?
“Waalaikumsalam, apa?” balas Kayla singkat.
“Istanbul kena fitnah, penulis hitam terus buat isu tentang kit-” Kayla sontak menyahut ucapan lawan bicaranya. “To the point, Naya. Itu 'kan emang pekerjaan yang biasa kamu atasi.”
Istanbul adalah nama pasar yang sedang ramai dibicarakan di Kota Barat. Yang menjadi poin utamanya adalah kejujuran yang tinggi. Kejujuran begitu dijaga ketat di sana. Tak ada yang tahu kenapa diberi nama Istanbul. Kayla sendiri pun tak berani menanyakan hal ini pada pemiliknya. Pasar kelas menengah itu hanya menampung 200 toko, memang terbatas.
“Maaf, Mbak. Isunya tentang pemilik Istanbul adalah seorang muslim sekuler. Uang dari Istanbul dikirim untuk Israel. Membeli di Istanbul sama dengan membunuh orang Palestina. Penulis hitam membuat data palsu untuk meyakinkan mereka. Orang awam yang melihat itu langsung percaya begitu saja. Artikel tentang isu ini yang pertama diterbitkan pukul sembilan malam kemarin.” Kayla mengerutkan keningnya mendengar hal itu.
“Lima puluh pedagang mogok kerja termakan isu. Ada informasi, mereka berencana demo merasa dikhianati dan akan berhenti bekerja di sini. Mereka juga membujuk pedagang setia ikut mereka. Hari ini pun jumlah pengunjung turun 30% dari biasanya. Belum sehari, penulis hitam itu mengacaukan segalanya. Berita ini bahkan jadi berita utama di tabloid Kota Utara,” jelas Naya panjang disusul membuang napas besar tak habis pikir.
Hampir saja Kayla membuka suara, tapi Naya mendahuluinya, “Poci lagi di rumah sakit. Saya pun tahu beritanya dari Paman. Banyak reporter dari tadi tahajjud udah di Istanbul cari informasi. Maaf Mbak, kita gak bisa maksimal. Dari kemarin malam, saya udah cari pelakunya. Saya dan Pak Dinar baru selesai periksa dan tingkatin penjagaan. Ini masalahnya besar, harusnya dari kemarin mau telpon Mbak, tapi ada aja kerjaan.” Mendengar hal itu, selera makan Kayla seketika anjlok. Kayla meletakkan poğaça di kursi sebelahnya, kucing yang menemaninya dari tadi seketika loncat ke kursi dan memakannya.
“Masalah besar, tapi Allah lebih besar, Naya. Si pelaku pasti lidahnya memang bercabang. Siapa pelakunya?” tanya Kayla menahan kekesalannya.
“Dari informasi yang saya dapat, pelakunya mengerucut ke keluarga korban yang kita usir. Pedagang 67, saya yakin mbak Kayla ingat betul siapa itu. Pembuat isu pertama adalah anak si Ibu itu, lalu berita disebar dengan begitu cepat. Keluarga tersebut juga terkenal mengirim santet. Saya takut nanti kalo kita disantet, Mbak.” Ujung suara Naya terdengar begitu khawatir dan tiba-tiba saja ucapannya berpindah ke santet. Naya memang gadis penakut.
“Jangan takut pada sesuatu yang tidak sejati, Naya."
Tugas paling berat bagi Kayla adalah selalu menenangkan orang lain saat dirinya butuh ditenangkan juga.
Lapisan masyarakat memang bermacam-macam dan yang paling merepotkan adalah masyarakat pengguna ilmu hitam. Kayla mengambil jalan pintas untuk masalah itu, ia mengenal ahlinya.
Pedagang 67 yang dimaksud Naya adalah pedagang curang yang mengurangi timbangannya dan ia menempati toko nomor 67. Tapi pedagang menyangkal hal itu dan mengancam Kayla. Dengan tegas, Kayla tetap mengeluarkan pedagang itu dari Istanbul.
Ancaman hanya untuk penakut, sedangkan Kayla tak takut kecuali pada Yang Maha Sejati. Tidak lucu juga tiba-tiba ada azab seperti yang dirasakan kaum Madyan pada masa Nabi Syuaib as. Kayla penyuka sejarah berusaha tak mengulangi masa-masa bodoh di zaman dahulu.
"Dia asli penulis hitam atau pernah jadi penulis merah?" heran Kayla. "Dari awal dia memang penulis hitam, dan informasi yang dibawanya kebanyakan benar. Mungkin karena itu juga para korban percaya padanya. Tapi, akhir-akhir ini dia menulis hal yang salah."
Kayla membuang napasnya sebal. "Semua orang mulai menyerahkan diri pada kebohongan. Kejujuran menipis. Oke, kamu harus hati-hati di sana. Hubungi polisi untuk membantu kita juga, terus tenangkan pedagang yang lain."
Kayla terdiam, sebenarnya ia sudah menebak dari dulu kalau hal ini akan terjadi. Ia dan pemilik Istanbul sudah menyiapkan dua rencana untuk berjaga-jaga. Dua keputusan itu bukan hal yang kecil.
“Oke, sekarang, kamu temui para reporter. Kita akan buat pengumuman siapa pemilik sebenarnya dalam 48 jam ke depan. Kita buat pers sekalian. Undang juga penulis putih untuk meyakinkan. Aku mulai berangkat ke Indonesia hari ini,” ujar Kayla dengan jawaban padat. Otak Kayla seketika menghubungkan jadwalnya hingga ia sampai Indonesia.
“Baiklah, Mbak. Habis ini Naya bilang sama mereka. Ada satu lagi mbak!” ujar Naya heboh takut sambungan teleponnya diputuskan. “Apalagi?” ujar Kayla dengan suara datar. Tangannya yang dari tadi mengelus kucing, tiba-tiba ingin menarik rambut si kucing karena sebal. Urusan bagian ini belum selesai, ada lagi, dan selalu begitu hingga seterusnya.
Tapi akhir-akhir ini, kawanan masalahnya berwarna merah dan mencari solusinya perlu waktu dan otak tenang. Bagaimana bisa ia mendapat ketenangan jika keadaannya selalu seperti ini?
“Mbak Kayla diundang Nyonya Pahlevi ke perusahaannya,” Kayla seketika melebarkan mata terkejut. Ada apa lagi ini?! Kayla seperti menelan balok besar mendengarnya. Keju putih dalam börek-nya sudah tak menggiurkan lagi, padahal itu adalah kesukaannya. Kucing di sampingnya akan kenyang pagi ini.
“Ngapain?” ujar Kayla berusaha membuat suaranya biasa saja dan tetap ingin tahu untuk apa. "Katanya minta tolong buat ubah sudut pandang ke anaknya tentang Islam.”
Kayla tersenyum miring mendengarnya, apa ia tak salah dengar? "Kenapa harus aku? Mengubah batu menjadi pasir itu susah," ujar Kayla tak habis pikir. Mengubah sudut pandang Putra Pahlevi? Mendengar beritanya saja, Kayla sudah muak.
"Beliau cuma percaya sama Mbak, katanya gitu," Kayla bisa membayangkan saat Naya berkata begitu, polos sekali.
“Oke. Makasih informasinya. Itu dipikir nanti. Assalamualaikum,” ujar Kayla malas melanjutkan pembicaraannya dan mematikan ponsel.
Kayla terus membaca istighfar dalam hati, takut tak terima dengan takdir dari Tuhan hanya karena lelah. Tugasnya saat ini bukan mengeluh, tapi berpikir dan melakukannya. Seperti yang Kayla katakan pada Naya.
‘Masalah besar, tapi Allah lebih besar, Kayla!’ batin Kayla menyemangati dirinya sendiri.
"Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku." Q.S. Yusuf : 86