cover landing

Rion dan Raya

By amysastrakencana

Welcome to my life. Let me introduce myself. Namaku Soraya Abigail. Kalau ditanya nama di akta, KTP, dan paspor, akan ada nama ‘Jati’ di belakang namaku. Tapi sungguh aku malas menggunakan nama itu karena Jati akan terasosiasi dengan sesuatu dan aku memilih untuk tidak mengungkitnya.

Now I’m 36 years old. Soon to be 37 in months. Okay, tapi saat aku bercerita ini, aku MASIH 36 tahun. I’m a succesful career woman. Aku general manager di salah satu perusahan lokal milik keluarga sahabatku. Hanya aku satu-satunya GM wanita di perusahaan ini.

Seperti kata Pak Jokowi, kehidupanku seputar kerja, kerja, kerja. Selain bekerja, aku merawat diri. Rutin ke dokter kulit, perawatan di salon, merawat wajah, berbagai bulu di seluruh tubuh, kulit, dan dalam periode tertentu suntik botoks, filler, dan vitamin C. Admit it. Meskipun dengan seluruh perawatan yang kulakukan seperti artis Korea, botoks dan filler juga ampuh menghilangkan kerutan. Hasilnya, salah satu anak buahku yang baru sempat memanggilku ‘Kak Soraya’ alih-alih ‘Bu Soraya’. Padahal usiaku setengah kali lebih banyak dari usianya

Statusku mungkin membuat sebagian dari kalian meringis, menyindir, atau mungkin mengasihani. I’m single. A divorcee. I have no child. Sungguh aku mau punya anak. Aku mau mengandung, melahirkan, merawat, dan membesarkan buah hatiku. Sayangnya Tuhan belum mempercayakan itu padaku. Adopsi tidak jadi pilihan dalam hidup. Alih-alih adopsi, aku memilih memanjakan keponakan-keponakanku. Anak dari kakak dan adikku. Ada yang sudah kuliah (mungkin sebentar lagi dia menikah mendahului tantenya), ada yang masih SMA, ada yang masih SMP, dan paling kecil masih di bangku SD. Aku tante favorit mereka. Kalau sedang senggang, tanpa kerja, perawatan, sosialisasi, aku akan memenuhi keinginan mereka. Menemani ke mal, menonton konser, membelikan mainan dan aksesori, mendengarkan curhat mereka, dan memenuhi lain sebagainya yang sebenarnya dilarang oleh orang tua mereka.

Sekarang aku memandangi lagi wajahku di cermin. Tetap sempurna seperti biasa. Hari ini aku akan menghadiri pernikahan sahabatku. Dia yang sudah cukup lama menduda, akhirnya menemukan belahan hati yang juga mencintainya. Selama belasan tahun mengenalnya, baru sekarang aku melihat Abhi begitu dimabuk cinta. Jauh berbeda dibanding saat dengan Mei, istrinya yang pertama. Aku turut bahagia untuk Abhi dan Davi. Mereka serasi dan aku berharap mereka langgeng.

Kalau tidak ingat bahwa Abhi, salah satu sahabat dan orang yang paling sabar menghadapiku, aku mungkin berpikir sejuta kali untuk datang ke pernikahan dia. Pasalnya, di sana pasti ada sahabat-sahabat Abhi yang lain. Salah satunya bukan sekadar sahabat, melainkan mantan suamiku.

Sejak Abhi melamar Davi dan mereka mulai mempersiapkan pernikahan, tidak mungkin aku hanya diam begitu saja. Aku turun tangan membantu mereka dan niatan ini bukan hanya muncul dariku. Sahabat laki-laki Abhi pun bersedia membantu. Maka dari itu, sejak tiga bulan terakhir aku kembali sering bertemu dengan si mantan suami.

Kami cukup dewasa untuk tidak bertengkar atau mengobrol. Hanya membahas persiapan ‘#ADAWedding’ dan setelah itu pulang. Walaupun tanpa aku pungkiri, beberapa kali aku diam-diam memperhatikan dia. Aku tahu dia juga diam-diam memperhatikanku. Pandangan kami sempat bertemu sebelum kami mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku berangkat ke hotel tempat akad dan resepsi dilaksanakan, sudah mengenakan make-up dan pakaian bridesmaid. Dulu Davi sempat mencurigai aku ada apa-apa dengan Abhi. Oh, Davi tidak tahu saja bahwa Abhi terlalu luruuuuuussss dan aku cenderung berbelok-belok. Setelah mengetahui bahwa aku dan Abhi tidak ada hubungan apa-apa, kami jadi lebih akrab. Alhasil, aku didaulat jadi salah satu bridesmaid Davi.

Sudah pasti mantan suamiku menjadi groomsmen. Jangan ditanya.

Aku dan Tim memang mempersiapkan pernikahan ADA. Tapi saat Hari H, semua kontrol dipegang wedding organizer supaya kami dapat menikmati acara. Hanya jika ada masalah tertentu, WO akan menghubungi PIC dari masing-masing sektor. Aku bertanggung jawab di dekorasi dan katering. Jadi jika ada masalah dengan itu semua, WO akan mencariku.

Aku sampai di lokasi setengah jam sebelum acara dimulai dan langsung menuju ruang tunggu Davi. Davi sudah siap mengenakan kebaya putih. Davi memang cantik dan manis, jadi saat didandani begini, dia membuat semua orang pangling. Kami menghabiskan sekitar lima belas menit untuk pemotretan. Setelahnya, para bridesmaid menuju lokasi lebih dulu. Nanti Davi akan diantar keluar oleh kakak-kakak iparnya.

Saat aku sampai di lokasi akad, Abhi sudah siap di tempatnya. Dia tampak sangat gugup. Meskipun ini pernikahan keduanya, aku tahu yang pertama tidak seperti ini. Bisa dibilang semua proses ini adalah yang pertama baginya. Tapi aku tidak khawatir, Abhi sudah hafal persis apa yang harus dia katakan sebagai bukti dia meminang Davi.

“Saya terima nikah dan kawinnya Davina Kana Wowor binti Abhiyasa Wowor dengan maskawin 100 gram emas dibayar tunai.”

Abhi berulang kali melatih kalimat itu selama persiapan pernikahan sampai kami semua ikut hafal.

Acara akad berlangsung khidmat, Abhi dan Davi sah menjadi suami istri, dan aku perlu mengusap sedikit air mata yang berkumpul di ujung mata. Ada jeda sekitar satu jam antara akad dan acara resepsi. Waktu kosong ini akan diisi pemotretan sebentar dengan bridesmaid dan groomsmen lalu Davi dan Abhi akan mengganti baju sebelum melanjutkan ke acara adat selaku pembukaan acara resepsi.

Selama jeda waktu tersebut, setelah menunaikan kewajiban pemotretan, aku melesat ke area aula tempat resepsi dilaksanakan. Sejauh mungkin dari rombongan bridesmaid dan groomsmen lain. Alasanku tidak lain karena di sana ada mantan suamiku dan beberapa kali kami sempat bertatapan. Aku gerah.

Aku pikir melesat ke aula lebih dulu akan membuatku lebih baik. Kenyataannya? No way. Di antara beberapa tamu yang sudah tiba, aku melihatnya. Nikita datang dengan gaun berwarna pink, make-up bold dan rambut yang diikat ala artis Hollywood. Tanpa disadari, kami bertatapan. Saat sedetik bertatapan itu, kami saling melempar tatapan benci.

Aku membenci pacar baru mantan suamiku dan Nikita membenci aku selaku mantan istri dari pacarnya. Aku membenci Nikita karena dia punya anak dari pernikahan sebelumnya dan membuat mantan suamiku tertarik padanya. Nikita membenciku karena tahu aku lebih segalanya dari dia. Yang Nikita tidak tahu, selama mereka berpacaran, aku sempat dekat dengan mantan suamiku lagi, namun dia memilih kembali pada Nikita dan itu membuat kebencianku pada Nikita berlipat ganda.

Tatapan penuh kebencian kami akhirnya usai ketika salah satu tamu mendekatiku.

“Sor!”

Sapaannya begitu ceria, mampu menyiram api emosi yang sempat terbakar. Yang memanggilku ternyata Mei, salah satu sahabatku juga sekaligus mantan istri Abhi. Abhi dan Mei sudah selesai. Hubungan mereka baik-baik saja. Jadi Abhi mengundang Mei untuk hadir ke pernikahannya, sudah diketahui Davi juga. Bagus. Mei bisa jadi pengalih perhatian dari dorongan untuk menjahati Nikita.

“Baru datang, Mei?”

Aku memeluknya dan kami bercipika-cipiki. Supaya lebih nyaman, aku mengajak Mei ke meja depan. Para tamu sudah memiliki tempat duduk masing-masing yang ada dalam undangan mereka. Mei akan duduk di meja yang sama bersamaku, Sachi dan suaminya, Ari, juga Candra dan istrinya.

“Baru banget. Kiriman bunganya udah bener semua kan, Sor?” Mei memandang berkeliling.

Penyedia bunga yang menjadi dekorasi pernikahan Abhi dan Davi adalah dari florist Meilany.

“Bener dan cocok. Nggak salah milih kamu jadi vendor,” ujarku. Kami duduk di kursi. Yang lainnya belum duduk tapi Aku tahu kelima orang yang lain sudah tiba juga.

I did my best for Abhi and Davi.” Mei tersenyum.

Aku salut pada Mei dan Abhi. Mereka berpacaran cukup lama sejak kuliah, menikah, bercerai karena larangan orang tua Mei, juga alasan perbedaan agama. Sekarang mereka berteman baik. Mei dan Davi juga baik-baik saja. Kalau aku disuruh akrab dengan Nikita, lebih baik aku lempar pot kaktus milikku ke arahnya.

Tamu-tamu mulai berdatangan dan menempati meja masing-masing. Berarti sudah waktunya aku berdekatan dengan mantan suamiku dan Nikita. Meja kami bersebelahan. Sempat aku ingin menolak pengaturan meja ini tapi lebih baik aku bungkam daripada menimbulkan masalah. And there they are.

Rion merangkul pinggang Nikita saat mereka berjalan menuju meja. Dia menarik kursi untuk Nikita dan mendorongnya kembali saat Nikita sudah siap duduk. Sebelum dia sendiri siap duduk, Rion melirik ke arahku dan mengedipkan sebelah matanya. Aku mendengus, memalingkan wajah. Memilih memandang ke depan tempat acara adat akan segera dimulai.

***

Acara resepsi usai pukul dua siang. Tamu-tamu berangsur pulang dan aula kembali sepi. Panitia sempat mengusulkan untuk mengadakan resepsi di malam Hari, mungkin supaya bisa melaksanakan after party. Tapi Abhi menolak mentah-mentah. Katanya malam waktu untuk beristirahat. Padahal aku dan beberapa orang tahu bahwa Abhi ingin ‘belah duren’ malam itu juga. Dia tidak mau melepaskan kesempatan itu dengan mengadakan resepsi di malam Hari. Davi masih perawan ting-ting dan teguh pendirian untuk tidak bercinta dengan Abhi sebelum mereka sah. Jadi tentu Saja, Abhi tidak mau menunggu lebih lama lagi.

Aku mau memastikan semuanya selesai dengan baik. Jadi, aku bertahan di aula sampai semua tamu pulang dan pihak WO membereskan semua barang, makanan, dekorasi. Panitia lain aku biarkan pulang lebih dulu. Lagi pula, tanggung jawab mereka sudah selesai. Ini hanya tambahan tugas yang sukarela aku ambil. Biar kalau pihak WO masih ada yang harus dilakukan, mereka bisa menghubungiku, tidak perlu menghubungi Abhi atau pun Davi.

Ketika aku sedang berdiri melipat tangan di depan pelaminan dan memandang sekeliling aula, seseorang menghampiriku. Rupanya Abhi sudah berganti baju. Dia sekarang mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Wajah Abhi bersinar sekali. Aku tidak heran Kalau dia bilang ada ring light yang dia bawa.

“Sor. Thank you so much for your help,” ujar Abhi begitu berdiri di sampingku.

“Ah, kayak sama siapa aja, Bhi. Yang jelas aku senang semuanya lancar.” Aku tersenyum. Ikut senang karena Abhi tampak puas dengan semua hal yang terjadi di pernikahannya.

“Alhamdulillah. Nanti kita atur ya, kapan makan-makan buat para panitia.”

Aku memiringkan kepala. Ya, itu artinya aku masih akan bertemu dengan Rion.

“Davi mana by the way?”

“Masih ganti baju. Baju dia agak ribet. Kamu pulang sama siapa?”

Aku mengernyitkan kening. “Kok aneh ya denger pertanyaannya. Bukannya aku biasa pulang sendiri?”

Abhi tertawa lalu mengangkat bahu. Kepalanya bergedik ke sebelah kanan. Kepalaku menoleh ke arah yang dimaksud Abhi. Rion berjalan menghampiri kami. Jasnya sudah dibuka, dasinya sudah hilang entah ke mana, kancing kemejanya dibuka dua.

“Hai,” sapanya seperti tidak ada urusan apa-apa.

“Yon. Thanks for your help.” Abhi menyalami dan memeluk Rion.

No problem, Man. Gue seneng bantu. So, gue balik karena mau pamitan dulu sama lo. Tapi Davi Masih di dalem, ya?”

Abhi mengangguk. “Nanti gue salamin.”

Lalu Rion berpaling ke arahku. “Duluan, Ray.”

Ray. Kependekan dari Raya. Hanya Rion satu-satunya yang memanggilku ‘Raya’ ketika orang lain memanggilku ‘Sor, Sora, atau Soraya’. Sejak kami pacaran sampai kami bercerai, panggilannya tidak berubah. Menyebalkan.

“Hmm,” gumamku pelan.

See you,” bisik Rion lalu berpaling.

Tidak, aku tidak mau berurusan lagi dengan Rion. Sayangnya, keinginanku tidak terkabul.

***





<