cover landing

Steal The Looks

By ayasayuningtias

Setiap orang memiliki cobaan hidup. Ada yang diuji dengan ekonomi atau hal lain. Namun, bagaimana dengan orang yang diuji melalui orangtuanya? Sampai-sampai hidup terasa berat dan perasaan ingin menghilang itu begitu kuat.

Seperti aku yang tidak tahu mana yang lebih mengenaskan, ketidakhadiran Ayah pada ulang tahunku beberapa hari yang lalu, atau mengetahui rahasia terdalam laki-laki yang pernah menjadi matahari dalam hidupku itu?

Beberapa hari lalu saat ulang tahunku, Ayah memang sedang dalam perjalanan bisnis ke kantor cabang bank tempatnya bekerja. Semalam beliau baru pulang dan aku ingin memberikan kejutan dengan datang ke kantornya.

Sopir taksi yang membawaku menuju rumah melirik heran dari kaca spion tengah. Mungkin karena air mata tidak berhenti mengalir di pipiku meski tanpa isakan terdengar. Hatiku rasanya sangat sakit.

Demi Tuhan! Usiaku baru 15 tahun dan harus melihat pemandangan seperti itu! Rasanya aku ingin membenturkan kepala untuk menghilangkan ingatan. Jemariku meremas kertas penghargaan yang tadinya ingin kupamerkan pada Ayah.

Aku mendapatkan penghargaan sebagai peringkat pertama dalam acara Spelling Bee sekolah-sekolah menengah pertama di Jakarta. Ayah bilang akan memberikan hadiah jika aku menang pada acara tersebut. Janji yang membawaku langsung menuju kantor Ayah diantarkan sopir keluarga. Aku menyuruh sopir tersebut langsung pulang karena yakin akan pulang bersama Ayah.

Saat tiba di kantornya tadi, aku tidak menemukan sekretaris manis dan biasanya siaga di meja depan ruangan Ayah. Otakku tidak berpikir jauh dan langsung saja membuka pintu ruangan, hanya untuk menemukannya Ayah sedang bercumbu dengan sekretaris manisnya itu.

Aku hanya ternganga, syok luar biasa melihat pemandangan itu. Terlebih, bukannya meminta maaf, Ayah malah menyuruhku merahasiakan ini dari Ibu. Katanya demi kebaikan keluarga kami. Kepala kecilku pening, sakit sekali rasanya.

Ayah adalah panutan dalam hidupku. Matahari yang menyinari seluruh jiwaku. Bahkan, wajahku saja merupakan cetakan dari wajahnya. Sekali lagi aku terisak. Bayangan jika Ibu tahu, terasa sangat mengganggu. Jika aku saja sesakit ini, bagaimana dengan hati Ibu?

Ibuku adalah wanita cantik yang pandai menyesuaikan diri. Senyum tidak pernah lepas darinya. Mendampingi sejak awal, Ibu turut merasakan jatuh-bangunnya kondisi keuangan Ayah. Kuhela napas untuk mengurangi tekanan ingin terisak dan menatap langit cerah di luar sana.

Benarlah kata orang, bahwa laki-laki diuji dalam tahta, harta dan wanita. Tidak pernah sekalipun terpikir olehku bahwa Ayah akan jatuh ke lubang itu. Sekali lagi kuhela napas lalu menyandarkan punggung.

“Dik, kamu nggak apa-apa?” Sopir taksi itu berbaik hati bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, pertahananku kembali runtuh. Seseorang yang tidak dikenal saja bersedia bertanya bagaimana perasaanku. Bagaimana mungkin orang yang dari benihnya tumbuh manusia sepertiku, malah mengancam dan menyuruhku merahasiakan peristiwa tadi?

Aku menangis tersedu-sedu. Tidak mampu menjawab sampai sopir taksi baik itu memberhentikan mobil dan membelikanku minum. Mungkin penampilanku sungguh mengenaskan dan payah. Kuputuskan untuk mengubah rute.

Hari itu, aku tidak pulang ke rumah dan memilih tinggal di rumah Chloe, sahabatku. Hanya padanya aku mampu bercerita meskipun terbata dan air mata bercucuran. Untunglah keluarga Chloe menerima saja alasan aku menginap untuk belajar bersama. Ibu tidak keberatan sama sekali dengan alasanku.

Selama berada di rumah Chloe, aku memutuskan untuk merahasiakan perbuatan Ayah. Bukan karena ancaman, melainkan dengan harapan agar tumbuh kesadaran dalam diri Ayah bahwa perbuatannya itu salah. Cukuplah aku yang merasakan sakit hati ini.

***

Dua tahun pun berlalu. Tidak ada yang berubah dalam keluarga kami. Ibu tetap mengurus keluarga dengan baik seperti biasa. Ayah memang sesekali memandangku tajam seolah menimbang sesuatu yang ingin diucapkan, tetapi akhirnya itu pun terlupakan.

Kupikir semua peristiwa itu hanyalah sekelebat saja. Karier Ayah dalam dua tahun terakhir sebagai bankir memang melesat dengan cepat. Beberapa kali Ayah diwawancara oleh majalah ekonomi. Wajahnya mulai dikenal oleh publik sebagai seorang bankir yang rendah hati dan brilian. Kariernya yang melesat naik, membuat kami sekeluarga itu terangkat martabatnya.

Perlahan namun pasti, keluarga kami mulai memiliki barang-barang mewah. Ibu pun sering membelikanku pakaian-pakaian branded yang sebelumnya hanya bisa kulihat di majalah. Aku merasa bahwa keluarga kami yang kini makmur, adalah potret sebuah keluarga yang bahagia. Aku bahkan nyaris melupakan kejadian saat Ayah berkhianat. Apalagi sejak peristiwa yang kulihat itu, Ayah mengganti sekretarisnya dengan sekretaris laki-laki. Sejenak aku merasa tenang.

Seiring karier Ayah yang memelesat, rumah kami hampir selalu dipenuhi kolega atau teman Ayah dan Ibu. Aku jadi terbiasa melihat para orang dewasa membicarakan bisnis. Terkadang, bahkan mereka dengan senang hati menceritakan ini dan itu yang membuatku senang sekaligus penasaran.

Teman-teman Ayah senang melihatku antusias dengan pembicaraan bisnis. Kupikir ini seperti simbiosis mutualisme. Mereka bisa menjilat Ayah, tetapi aku mendapatkan ilmu bisnis. Sesuatu hal yang mungkin jarang diterima oleh anak biasa sepertiku.

Seperti tenang sebelum badai, aku terlambat menyadari bahwa Ayah mulai jarang pulang tepat waktu. Kupikir itu karena kesibukannya dalam bekerja. Kemudian keterlambatan itu menjadi jarang pulang dengan alasan dinas keluar kota.

Aku benar-benar tidak memiliki pemikiran bahwa peristiwa yang kulihat dan tindak tanduk Ayah saat itu adalah awal mula dari bom waktu. Pada hari yang cerah di akhir pekan, Ibu memberitahu bahwa ada sebuah jadwal wawancara oleh majalah bisnis. Mereka ingin memotret kami sekeluarga. Sesuatu hal yang jarang terjadi. Biasanya orang-orang itu hanya fokus pada Ayah saja.

Ibu membelikanku jaket Versace, senada dengan gaun cantik yang dikenakannya. Kemudian kami menuju hotel yang menjadi tempat wawancara. Sebenarnya, kami lebih cepat satu jam dari jadwal. Ibu bilang, kami harus touch-up make-up dulu. Kakakku hanya memutar bola mata, malas untuk mengikuti pembicaraan yang menurutnya hanya dapat dipahami oleh para wanita.

Aku masih mengingat bunyi heels Ibu yang menginjak lantai marmer lobi hotel. Kami berjalan menuju ruang meeting yang akan menjadi tempat wawancara, diantar oleh seorang karyawan hotel. Seorang wartawan majalah bisnis yang sedang memegang kamera, mengangkat wajahnya ketika kami masuk. Wajahnya terlihat kebingungan meskipun tetap sigap bangkit dan mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya.

“Boleh saya tahu siapa Anda?” tanya orang itu.

“Saya istri dari Pranadipa Pouran,” sahut Ibu dengan nada angkuh dan bangga.

Mendadak aku merasakan hal buruk yang akan terjadi ketika melihat laki-laki di depan Ibu terkesiap. Dalam kebingungannya, laki-laki itu tidak menyadari gerakan tangan karyawan hotel yang memberi isyarat. Ibu memicingkan mata melihat kejadian itu.

“Kenapa kamu terlihat bingung?” tanya Ibu dengan curiga.

“Maafkan saya, Nyonya. Hanya saja, saya bertemu dengan Bapak Pouran beberapa saat lalu dengan wanita yang dia sebut sebagai ‘sayangku’. Bapak juga menginformasikan akan turun tepat waktu satu jam lagi.” Wartawan  itu tersenyum.

Selama mendengarkan rekan-rekan Ayah mengobrol, aku bisa mempelajari jenis-jenis senyuman. Ada senyum bisnis yang seadanya dan ada juga senyum yang seolah mengatakan bahwa dia mengetahui segalanya. Wartawan itu tersenyum dengan tipe kedua. Mendadak jantungku bertalu-talu seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Rahasia Ayah yang tertutup rapat, terbuka lebar bersama dengan kedatangan wartawan. Ibu memaksa hotel untuk memberikan kunci cadangan dengan sederet ancaman. Setelah itu, Ibu bergegas naik ke lantai atas sesuai dengan langkah cepat.

Hari itu, adalah puncak drama keluarga Pouran. Saat di mana keruntuhan wibawa seorang Ayah terjadi dalam sekejap. Aku melihat Ayahnya terlonjak bangun, terburu-buru mencari pakaian yang terlempar entah ke mana dan dengan gugup menghadapi Ibu yang menjerit-jerit marah. Di samping Ayah, seorang model cantik tersenyum manis dengan sikap menang.

Semua bergerak dalam gerakan lambat. Jika pada kali pertama aku merasa syok, saat ini hanya kecewa yang menggelegak. Ayah mungkin merasa bahwa akulah yang membocorkan rahasianya karena beliau menatapku dengan sengit sampai Ibu berteriak kalau dia tahu dari wartawan, yang sayangnya masih mengikuti kami.

Kakak menarikku menjauh. Aku menyadari genggaman tangan kakakku yang sangat keras sampai telapak tangannya sakit. Kupandangi wajah tampan Kakak yang terlihat mengeras dan menahan tangis. Itu adalah momen terakhir saat aku benar-benar menatap wajahnya.

Aku merasa semua yang terjadi pada hari itu adalah kesalahanku. Saat melihat Ibu meratap dalam keheningan dan bekunya hati, sering kali aku menyesal. Seandainya aku memberitahu Ibu sejak awal, mungkin kejadian memalukan itu tidak akan terjadi. Setidaknya Ibu bisa berpisah dengan Ayah tanpa harus diberitakan dengan heboh.

Waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali. Aku hanya bisa menyesali kondisi keluarga kami. Sementara Ayah dan Ibu tidak berusaha memperbaiki keadaan. Berada di rumah bagaikan neraka bagiku. Tidak ada lagi senyum atau canda tawa. Rumah kami hanya berisi empat manusia yang berduka dalam hati yang sakit dan patah.

Ibu mulai menghindariku. Mungkin Ibu merasa bahwa menatap wajahku yang sering kali dibilang sangat mirip dengan Ayah, membuat hatinya terluka. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan mengalihkan pikiran dengan berbelanja.

Ada kepuasan tersendiri saat menggesekkan kartu kredit yang diberikan Ayah sejak dua tahun terakhir. Aku tahu, kartu kredit itu mungkin adalah uang tutup mulut. Berbelanja barang-barang mewah mungkin tidak bisa menghilangkan kejadian bagaimana Ayah mengkhianati keluarga kami. Namun, tetap saja hal tersebut merupakan suaka paling indah yang bisa kulakukan sebagai remaja berusia belasan tahun.

Di sisi lain, media memberitakan kejadian itu secara terus-menerus selama beberapa bulan. Ayah, yang tadinya menjadi panutan, mulai dibicarakan orang-orang. Satu per satu, orang-orang yang sering datang ke rumah kami mulai berhenti berkunjung.

Meskipun Ayah dan Ibu mempertahankan pernikahan dalam suasana dingin yang mengerikan, tetapi akhirnya mereka berpisah tiga tahun lalu. Bersama dengan kepergian kakakku dari rumah.

Ibu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun padaku. Pada hari hakim mengetukkan palu dan mengumumkan perpisahan kedua orangtuaku, hari itu pula aku sendirian.

Tidak ada kerabat maupun teman yang bersedia ada di sampingku akibat skandal memalukan tersebut. Orang-orang yang sebelumnya ada saat nama baik dan kekayaan keluarga kami bersinar, mulai hilang satu per satu. Aku sendirian.

***





<