cover landing

Still With You

By adhwaaeesha

Prolog

cw // seks, kekerasan

Freya Ayu Maharani.

Nama yang tersemat di name tag yang dikenakan oleh gadis itu. Menyandang gelar mahasiswa tingkat akhir. Seharusnya dia berada di auditorium mengikuti seminar proposal temannya dan bukan duduk di bangku yang disediakan di gedung parlemen ini.

 

Skandal besar yang menghebohkan tanah air. Arnando Seno Candrakanta, politikus muda. Karier politiknya terancam hancur. Video syur yang diduga dirinya tersebar di sosial media. Sampai sekarang pihak kuasa hukum dan keluarga tetap bungkam. Pemerintah mengambil langkah tegas ....

 

Freya sudah tidak lagi mendengarkan berita itu karena seorang lelaki muda memanggil namanya.

"Silahkan masuk ...."

Tubuh Freya bergerak bangkit. Tiba-tiba tangannya basah. Tubuhnya dingin. Ketakutan dan kegelisahan menyerbunya.

"Pak Arnan sudah menunggu Anda."

Mendengar nama lelaki itu malah memberikan efek buruk pada tubuhnya. Dadanya sesak dan jantungnya berdetak kencang.

Tidak, Freya. Jika kamu menuruti tubuhmu untuk kabur, masalah ini tidak akan berakhir.

Freya mengambil napas panjang. Menghembuskannya pelan. Dengan penuh tekad, Freya akhirnya masuk ke dalam.

Tubuhnya seketika terjingkat terkejut karena pintu di belakangnya sudah tertutup. Freya menelan saliva. Kedua tangannya saling meremas, ketakutan.

"Kamu punya nyali besar ternyata."

Suasana tegang menyelimuti ruang yang didominasi warna cokelat muda. Sang pemilik ruangan bergerak mendekati Freya yang berdiri di tengah ruangan.

"Apa yang kamu inginkan? Belum cukupkah kamu dan Ayahmu menghancurkan karirku?!"

Mata Freya memejam sesaat. Dirasanya kedutan berkali–kali pada kelopak matanya menimbulkan rasa tidak nyaman.

"Selain berani, kamu ternyata juga tuli!"

"Aku ... maksudnya saya." Sekali lagi Freya menelan salivanya. Gugup dan bingung merangkai kata. "Saya kemari untuk meminta maaf."

"Meminta maaf tidak akan mengembalikan apapun. Nasi sudah menjadi bubur!"

"Bukan begitu! Saya—"

"Apa lagi!?"

Kepalanya sontak mendongak mendengar nada tinggi dari lelaki di hadapannya. Mata cokelat bening milik Arnan membawanya pada kenangan di mana dia begitu mengagumi lelaki di hadapannya ini.

Arnando Seno Candrakanta.

Politisi muda yang memiliki bakat dan prestasi. Program kerjanya benar-benar membantu banyak masyarakat. Sikapnya tegas, berwibawa dan juga tampan.

Freya tidak mungkin melupakan satu kata terakhir dalam pikirannya. Jika sekarang lelaki ini marah, itu sudah patutnya. Pelan tubuh Freya berlutut. Dia kesini bukan untuk mengagumi Arnan, melainkan melakukan hal ini.

"Kamu gila, ya?"

"Saya ke sini untuk meminta belas kasihan."

"Belas kasih? Tidak!" Tubuh Arnan berbalik. Lelaki itu melangkah menjauh mendekati mejanya. Tangannya terkepal menahan amarah. "Apa dengan belas kasihku, semuanya akan kembali?" geram Arnan kembali berbalik. Berjalan cepat berdiri menjulang di hadapan Freya.

"Di mataku dulu," tekan Arnan, "kamu gadis baik dan cerdas, Fre. Tapi sayang sekali, sekarang kamu hanya gadis licik dan saya membenci kamu!"

Kalimat itu menohok dirinya. Freya menahan tangis menatap manik Arnan. Masih dalam posisi berlutut di hadapan lelaki itu, Freya membuka suara.

"Benci saya. Tapi tolong, lepaskan Ayah saya ...."

Seringai jahat muncul di wajah tampan Arnan. Lelaki itu berlutut. Mencengkram rahang Freya kuat tanpa memperdulikan gadis itu meringis kesakitan.

"Melepaskan?! Tidak. Ayah kamu sudah menerima hukuman dari perbuatannya. Dan kamu, seperti rencana Ayahmu, kita akan menikah ..." Ujung bibir Arnan tertarik. "Saya akan buat hidup kamu sengsara. Itu balasan karena kamu dan Ayahmu sudah menghancurkan kehormatan dan karir saya!"

Benar. Ayahnya seorang wartawan yang terobsesi dengan seorang Arnando Seno Candrakanta yang pada akhirnya nekad menjebak lelaki itu demi mendapatkan uang.

***

Bab 1

Panti Asuhan Kasih Bunda.

Taman bermain di sisi kanan bangunan panti asuhan dipenuhi anak-anak. Matahari yang terik tidak menyurutkan kesenangan untuk bermain. Perosotan, ayunan, mainan pasir. Semua permainan dipenuhi oleh anak-anak. Ada yang berlari sambil tertawa menggapai tiang ayunan bermain petak umpet. Ada yang duduk di pinggir taman bermain yang teduh bermain masak-masakan.

Freya tersenyum dari tempatnya berdiri. Senang melihat anak-anak itu bermain dan melupakan kesedihannya.

"Kamu malaikat mereka, Fre."

Senyum Freya semakin mengembang mendengar pujian dari Bu Aminah, pemilik Yayasan Panti Asuhan Kasih Bunda.

"Lihatlah mereka. Tiga tahun lalu panti ini tidak memiliki apapun. Dan sekarang, berkat dirimu," Bu Aminah menoleh menatap Freya dengan binar mata bahagia, "anak-anak itu merasakan kebahagiaan."

"Ya."

Bu Aminah kembali menatap lurus. Mengikuti arah pandangan Freya. "Kamu juga harus bahagia ...."

Senyum Freya perlahan pudar. Kepalanya menoleh. "Bu Aminah ....”

“Tiga tahun bertahan dalam rumah tangga yang sakit." Bu Aminah menggantung kalimatnya kemudian menoleh. Mata mereka bertemu. Kesedihan dan kecemasan terlihat jelas di mata Bu Aminah yang ditujukan untuk Freya. "Kamu berhak bahagia."

Freya menghela napas. Senyumnya kembali terbit, walau itu senyum yang dipaksakan.

"Melihat semua anak-anak bahagia. Freya ikut bahagia." Jujur, melihat anak-anak itu tersenyum membuat hati Freya nyaman.

Tiga tahun sudah berlalu sejak saat itu. Freya sudah memutuskan untuk menjalani semua ini dengan lapang dada dan terus memupuk harapan bahagia penuh cinta untuk pernikahannya.

"Arnan … Dia masih saja bersikap buruk padamu?”

Ya. Sikap suaminya masih sama saja sejak tiga tahun lalu. Namun, itu bukan tanpa alasan. Arnan berubah sejak skandal video mereka—Freya yang kala itu masih menjadi mahasiswa tingkat akhir sedangkan Arnan masihlah seorang politisi—tersebar luas dan menghancurkan karier politik Arnan.

Alasan itu juga yang membuat Arnan dan Freya menikah, lelaki itu memenuhi janjinya pada Ayah Freya di penjara dan itu pun bukan tanpa alasan. Arnan ingin mengikat Freya selamanya—mengingatkan perempuan itu bahwa alasan karier dan nama baik keluarganya hancur adalah ulah Ayah Freya yang menjebak mereka dalam skandal.

Hanya duka yang diberikan Arnan kepadanya selama tiga tahun pernikahan mereka. Freya dengan kesabaran penuh terus melewati semuanya. Jelas, istri mana yang mau diperlakukan buruk terus menerus oleh suaminya? Hidupnya tercukupi, tetapi seakan dia dikurung dalam sangkar emas. Dia menguatkan hati dan tekadnya untuk tetap di sisi Arnan. Bukan hanya karena skandal itu, tapi juga karena dia mencintai Arnan. Sejujurnya Arnan adalah lelaki yang baik. Berpegang pada pemikiran itu, Freya bertekad mengembalikan diri Arnan seperti dahulu.

Bu Aminah melihat gejolak di mata Freya. “Dengar, kamu berhak bahagia, Fre.”

Bahagia?

Selama ini Freya sudah mulai terbiasa. Dan bahagia? Mungkin Freya sudah lupa bagaimana caranya bahagia, karena dia sudah terlalu lama tidak merasakan kebahagiaan.

***

Mobil yang membawanya perlahan memasuki halaman rumah. Sejak sebelum menikah, Arnan langsung memboyongnya menjauh dari semua orang. Dia baru saja keluar dan langsung disambut oleh Bi Atun—asisten rumah tangganya.

"Ada apa, Bi?"

"Bapak, Bu ... Bapak marah-marah ...."

Pandangan Freya menatap ke arah rumah dan tepat saat itu, mata mereka bertemu. Arnan yang berdiri di balkon menatapnya tajam. Bahkan dari jarak yang cukup jauh itu. Freya tahu, lelaki itu marah padanya.

"Bibi siapin makan siang saja. Aku yang akan urus Bapak."

"Ya, Bu ...."

Dengan cepat Freya memasuki rumah menuju kamarnya di lantai dua. Dia masuk ke kamar tertegun melihat barang-barang di sana sudah berserakan di lantai. Kebiasaan baru Arnan. Lelaki itu akan menghancurkan barang-barang dan membuat repot dirinya.

"Mas?”

"Dari mana kamu?!" Arnan mendekat.

"Aku dari panti. Ada apa?"

"Di mana map biru yang kuletakkan di meja nakas semalam?!"

"Map?" tanya Freya bingung. Seingatnya, tidak ada map Biru di meja nakas. Arnan menarik rambutnya. "Arghh!"

"Jawab!" geram Arnan. "Itu map penting. Bagaimana kamu bisa teledor, ha! Tidak ada yang boleh masuk ke kamar ini selain kita berdua. Di mana?!"

"Aku tidak tahu ...."

"Sialan!" Arnan melepas rambut Freya. Berkecak pinggang menatap sekeliling kamar. "Kamu harus mencarinya!" perintah Arnan berbalik menatap Freya. "Jika tidak. Kamu akan tahu hukumannya."

Arnan pergi setelah mengatakan itu. Bibir Freya bergetar menahan air mata. Sudah tiga tahun lamanya dia diperlakukan seperti ini, kenapa dia masih saja merasakan sakit hati pada Arnan?

Freya mengerjap beberapa kali. Membasahi bibirnya kemudian mulai membersihkan kamar. Memunguti barang-barang yang masih utuh. Saat pernikahan mereka memasuki tahun kedua, pernah sekali Freya hendak kabur. Namun, Arnan dengan cepat mengancamnya.

“Seumur hidup kamu akan bersamaku! Jangan pernah berpikir untuk kabur. Karena ke mana pun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu!”

"Bu ...."

Lamunan Freya buyar. Tubuhnya berbalik pelan menatap Bi Atun. "Ada apa, Bi?" Freya mendekat, melihat wajah ketakutan dari asisten rumah tangganya.

"Maaf ya, Bu ... Tadi, anak dan cucu bi Atun ke sini. Mungkin, cucu bi Atun sembarangan masuk ke kamar. Ini ...." Bi Atun menyerahkan map biru yang bagian atasnya sudah dicoret-coret tinta merah. "Bi Atun menemukannya di dekat halaman belakang. Maaf, ya Bu ...." Bi Atun menunduk. Kedua tangan perempuan paruh baya itu meremas cemas.

Freya tersenyum. "Tidak apa, Bi. Boleh saya minta tolong?"

"Iya. Apa, Bu?"

"Bibi bisa bersihkan kamarnya? Saya akan ke kantor Bapak menyerahkan berkas ini."

"Bisa Bu …."

"Hati-hati. Ada pecahan vas."

"Iya, Bu."

Freya mengusap pelan lengan atas perempuan paruh baya itu kemudian keluar dari kamar. Dia harus pergi menyusul Arnan dan menyerahkan berkas ini. Sebenarnya bisa saja dia menghubungi Arnan terlebih dahulu. Namun, dia ingat jika dulu Arnan memarahinya hanya gara-gara Freya menelpon saat lelaki itu sedang rapat. Freya menghela napas. Pandangannya menunjuk menatap map biru yang sudah dicoret-coret itu. Dia berharap Arnan tidak akan marah pada Bi Atun.

"Kamu tunggu di sini saja. Saya tidak akan lama." Freya segera keluar dari mobil.

Setelah karier Arnan hancur, lelaki itu merintis perusahaan—yang bergerak dalam bidang infrastruktur dan teknologi dari nol. Selama itu pun, Freya menjadi saksi bagaimana Arnan berusaha keras untuk bangkit setelah skandal itu.

Freya memiliki akses khusus ke ruang Arnan. Bukan, bukan karena dia istimewa. Namun, lebih pada Arnan tidak mau orang-orang tahu siapa dirinya. Semua tentang dirinya dirahasiakan.

Denting lift terdengar, buru-buru Freya keluar. Dia tidak menemukan Galih—sekretaris Arnan, jadi, tidak masalah jika dia mengetuk pintu, kan? Freya mendekat. Pintu ruangan yang tidak tertutup sepenuhnya itu menunjukkan sesuatu yang terjadi di dalam ruangan. Freya memeluk map itu dengan kuat.

"Ah! Arnan!"

Freya mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

"Astaga! Ya! Kamu hebat Arnan! Ya! Seperti itu ...."

Gigi bawah dan atas Freya tiba-tiba ngilu. Rahangnya mengeras. Freya berusaha menulikan kedua telinganya. Satu tahun lalu terang-terangan Arnan mengatakan kalau dirinya juga akan menikmati kesenangan di luar sana.

Freya bisa apa? Namanya dikenal bukan lagi seorang politikus—yang harus menjaga nama baik, melainkan seorang pengusaha terkemuka. Dengan sederet proyek berpengaruh yang membawa lelaki itu bangkit setelah terpuruk.

Freya menguatkan diri mendorong pintu ruang kerja Arnan dengan keberanian sampai umpatan terdengar dari pasangan yang sedang asyik di sofa.

"Aku membawa map birumu ...."

Arnan berdiri menjulang menutupi perempuan di belakangnya. Kemeja putihnya masih melekat, tetapi acak-acakan. Kancingnya mungkin sudah terlepas dan hilang entah dimana. Mata Freya menunduk melihat sabuk Arnan masih terpakai. Entah kenapa, dia merasa lega.

"Kamu tidak bisa mengetuk pintu, ya?!" teriakan itu datang dari perempuan yang mendesah tadi.

Rambutnya acak-acakan dan disisir dengan tangan, lipstiknya juga belepotan. Perempuan itu dengan berani bergelayut manja di lengan Arnan, membuat Freya geram.

"Arnan. Siapa perempuan ini? Sekretarismu? Ah, bukan. Kamu hanya memiliki satu sekretaris. Pakaiannya biasa-biasa saja. Pembantumu, mungkin?"

"Keluar!"

Freya tertegun menatap manik Arnan. Dia maju dua langkah meletakkan map itu di atas meja kemudian berbalik bersiap keluar karena sudah diusir.

"Bukan kamu!"

Langkah Freya terhenti. Tubuhnya refleks berputar menatap Arnan begitupun dengan perempuan yang bergelayut manja di lengan Arnan.

"Kamu di sini!" tegas Arnan menatap Freya kemudian menoleh pada perempuan di sampingnya. "Pergilah ...."

"Apa? Kamu mengusirku?"

"Cecil. Cukup untuk hari ini. Aku akan mentransfer uangnya."

Wajah perempuan itu berubah bahagia mendengar kata uang. "Baiklah. Besok jangan lupa menghubungiku, ya?" Perempuan itu menutup kalimatnya dengan meninggalkan bekas lipstik di pipi Arnan kemudian melenggang keluar.

Keheningan bertahan selama beberapa menit. Freya masih berdiri di tempatnya sedangkan Arnan tidak ada tanda-tanda hendak mengusirnya.

"Tutup pintunya!" Freya tersentak selama beberapa detik kemudian melakukan perintah Arnan Dia menutup pintu."Kunci pintunya!"

Mata Freya membelalak. Sebenarnya apa yang diinginkan Arnan?

"Aku bilang kunci pintunya!"

Klek ... Klek ....

Freya masih menunggu perintah selanjutnya dari Arnan. Namun, saat tidak mendengar apapun. Tubuhnya berbalik bersamaan Arnan mendorongnya ada pintu, bahkan tanpa aba-aba lelaki itu melumat bibirnya dengan kasar dan menuntut.

"Uhm ...," erang Freya di sela-sela ciuman Arnan.

"Ini hukumanmu!" Arnan berbisik diatas bibir Freya yang bengkak. "Seharusnya kamu menunggu di luar. Kamu memadamkan gairahku pada Cecil. Dan sekarang kamu harus bertanggung jawab."

Tidak!

Ingin Freya berteriak saat ini. Kepalanya menggeleng. Kedua tangannya di depan dada berusaha melindungi diri membuat benteng. Namun, Arnan tetaplah Arnan. Lelaki itu menciumnya dengan ganas. Mengecap. Melumat. Berusaha masuk kedalam bibirnya.

Freya tidak mau diperlakukan seperti ini. Dia terus mendesak. Berusaha mendorong dada Arnan. Menghindari ciuman lelaki itu namun Arnan meninggalkan jejak panas di leher dan bahunya. Kedua tangan lelaki itu menyusup masuk ke dalam blouse-nya, menggenggam milik Freya.

"Arnan …," lenguh Freya menahan diri. Matanya terpejam. Dadanya membusung meminta lebih mengkhianati dirinya.

"Kamu memang berbeda, Fre. Aku menyukai bau dan rasa tubuhmu."

Tanpa sadar Freya menitikkan air mata. Jika memang Arnan menyukai bau dan rasa tubuhnya, kenapa lelaki itu masih mencari kesenangan lain?

***

Arnan menghujam lebih dalam. Menarik diri dengan cepat menghujam lagi. Pikirannya sudah tidak bisa dikendalikan melihat bagaimana Freya datang dan merusak hasratnya, membuat Arnan geram. Wajah polos Freya jadi mengingatkannya kenapa dia bisa menikah dengan perempuan ini. Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Arnan belum bisa melupakan kejadian terburuk dalam sejarah kehidupannya.

Perempuan yang kini sedang melenguh nikmat di bawahnya adalah penyebab dari kehancurannya. Memang benar Arnan bisa bangkit dari keterpurukan, tapi nama baik keluarganya sudah tercemar. Masyarakat memang segera melupakan. Dua tiga bulan hilang. Namun, luka dari kejadian itu masih menganga lebar.

"Arnan!"

"Fre!"

Bersama mereka mencapai puncak. Arnan menahan tubuhnya dengan kedua tangan mencengkeram punggung sofa. Sedangkan Freya terkulai lemas di bawahnya. Mata Arnan menggelap. Sensasi melayang selalu dia dapatkan jika bersama dengan Freya.

Aneh. Benar-benar aneh.

Arnan membelalak menyadari sesuatu dan segera menarik diri, mengambil kemeja putihnya yang teronggok di bawah meja, melemparnya pada Freya.

Rasanya ini tidak benar. Rencana Arnan, dia akan menghabiskan waktu dengan Cecil setelah rapat. Namun, karena berkasnya tertinggal dia menyuruh perempuan itu datang dan melayaninya.

Arnan bergerak mendekati dinding di sisi rak buku, setelah mengenakan celana khakinya. Menarik satu buku berbeda yang ternyata ada sebuah tuas. Lemari otomatisnya terbuka. Arnan menarik satu kemeja biru tua. Dipakainya sambil melangkah mendekati map biru itu membawa ke meja kerja.

"Aku tidak sudi kamu menyentuhku setelah kamu berhubungan dengan perempuan itu!"

Arnan yang sedang memasukkan sisa kemeja ke dalam celana khakinya berbalik. Kedua alisnya terangkat. "Kamu tidak berhak menyuarakan pendapatmu." Mata Arnan mengunci mata Freya. "Tugasmu hanya melayaniku!"

"Kalau begitu berhenti ...," lirih Freya. Lirihan pelan Freya masih bisa didengarnya. Arnan membelalak mata beberapa detik kemudian kembali memasang wajah beringas.

"Kenapa?" Sebelah alis Arnan terangkat. "Jangan pernah berpikir tubuhku sudah jadi milikmu hanya karena kita sudah menikah selama tiga tahun!"

Tertegun sejenak. Freya tampak menyadari arti kalimat Arnan. “Kamu sudah memilikiku, Mas! Apa tidak cukup aku saja?!”

“Jangan bermimpi, Fre. Aku menikahimu hanya untuk membuat hidupmu menderita!"

Mata Freya memanas. Benar. Apa yang dilakukan Arnan adalah membalas dendam kepadanya. Membuat hidupnya menderita. Lelaki itu sengaja melakukan semua ini untuk membuatnya menjadi perempuan bodoh yang tidak bisa melakukan apapun padahal tahu suaminya menyeleweng di luar sana.

"Pak Arnan!"

"Tetap di sana!" seru Arnan pada Galih yang menunggu di luar pintu. Mata Arnan beralih pada Freya, mendelik menatap perempuan itu. "Cepat berpakaian!"

Freya mengerti. Dia mencengkeram erat kemeja Arnan dan mulai mencari pakaiannya. Mulai dari pakaian dalam, blouse dan terakhir rok selutut. Sedangkan Arnan melirik sekilas Freya yang tampak kebingungan.

"Ada apa, Lih?" Arnan memilih berseru pada Galih yang berada di luar, menghiraukan kebingungan Freya.

"Rapat sudah akan dimulai, Pak."

"Ya. Lima menit lagi aku ke sana!"

"Baik, Pak."

Arnan terdiam sejenak fokus pada meja kerjanya. Keningnya berkerut dalam saat melihat banyak coretan tinta merah pada map birunya.

"Kenapa banyak coretan, ha?" Berbalik, Arnan sekali lagi mendapati Freya kebingungan. "Apa yang kau lakukan?!"

"Itu ...." Freya menjawab masih sambil berjongkok, mencari sesuatu.

"Fre!"

"Kau buang kemana celana dalamku?" tanya Freya malu-malu sambil menarik roknya, seakan rok itu berada jauh di atas lututnya.

"Pulang!"

"Tapi—"

"Kubilang pulang!"

***

Arnan memijat pangkal hidungnya yang mancung. Merasakan sengatan nyeri di sana. Membayangkan Freya pulang tanpa memakai celana dalam membuat inti tubuhnya berdenyut-denyut.

Fokus Arnan. Fokus!

Beberapa kali Arnan membuang napas pelan. Mengumpulkan jiwanya yang baru saja melayang setelah pelepasan barusan. Dilihatnya lagi map birunya yang penuh coretan tinta merah itu. 

Dia sampai lupa meminta jawaban tentang map ini.

Masa bodoh! Arnan mengambil map itu dan melesat keluar dari ruangannya setelah memastikan ruangannya bersih dan dia sudah rapi lengkap dengan jas hitam juga dasi.

Arnan harus fokus. Karena rapat ini sangat penting. Proyek besar tentang pembangunan museum negara. Perusahaannya menang tender karena memang Arnan mempekerjakan orang-orang profesional. Kegagalannya dulu tidak akan terulang kembali.

Senyumnya merekah menyambut para koleganya. Arnan menyalami mereka satu persatu dan memulai membicarakan rancangan dan kontrak kerjasama untuk kedepannya.

Arnan bergerak bangkit. Menyambut uluran tangan salah satu koleganya. "Senang bekerja sama dengan Anda. Saya puas dengan hasil perusahaan Anda."

"Terima kasih. Saya belajar dari pengalaman yang dulu." Kedua sudut bibir Arnan mengembang.

Koleganya tersenyum lantas pamit undur diri. Arnan memandang semua koleganya melewati pintu ruang conference kemudian terduduk sambil menghela napas, melonggarkan dasinya yang sedari tadi terasa mencekik.

"Saya akan membuat salinan kontraknya, Pak." Galih mengambil alih berkas di meja kemudian pamit undur diri. Namun belum sampai dia keluar ruang conference. Galih berbalik. "Maaf. Saya lupa memberitahu, beberapa menit setelah Anda masuk, pak Arsen datang. Beliau bilang akan menunggu Anda di ruangan."

"Ya." Arnan menggerakkan tangannya mengisyaratkan agar Galih segera meninggalkannya. Kepala Arnan sedikit pusing.

Arnan berniat membuat perusahaannya semakin besar. Dua bulan lalu dia kalang kabut karena Reza—teman lama Arsen berulah, ingin membalas dendam pada Arsen melalui dirinya dengan menghancurkan perusahaan. Hal semacam itu tidak boleh terulang lagi.

Arnan melangkah menuju ruangannya dan langsung disambut oleh Arsen yang duduk nyaman di sofa. Bayangan percintaannya dengan Freya tadi membuatnya berdeham.

"Hehem." Dehaman Arnan membuat Arsen mengalihkan kesibukannya dari layar ponsel lelaki itu.

"Kak …," Arsen bangkit, tersenyum melihat Arnan. "Kamu tampak bersemangat.”

"Apa yang membawamu ke sini?" Arnan sudah duduk di balik mejanya mulai sibuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan Arsen kembali duduk di sofa sambil menatap Arnan.

"Besok ulang tahun papa. Mama ingin perayaan pesta kecil-kecilan."

"Ya. Terserah."

"Bisa tidak Kakak pulang? Sejak masalah itu Kakak dan Freya jarang pulang."

"Jangan seenaknya memanggil Freya, dia kakak iparmu."

Arsen memutar bola matanya. Kenapa malah membahas Freya? Helaan napas keluar dari bibir Arsen. Dia berpikir, Kakaknya ini sebenarnya sudah memiliki perasaan terhadap Freya. Buktinya dulu, Kakaknya terlihat cemburu saat dia dan Freya dekat.

"Memang kenapa?" Arsen bukannya mengalihkan pembicaraan, dia malah ingin memancing emosi Kakaknya. Mata Arnan langsung fokus terhadapnya. Membuat Arsen tersenyum. Benar, kan? Kakaknya ini tidak suka jika dia dekat dengan Freya.

"Kenapa? Umur Freya dan Kaila sama. Jadi, tidak masalah jika aku memanggil nama saja, kan?" tangan Arsen mengudara.

"Kaila istrimu. Freya kakak iparmu. Mengerti?" jelas Arnan.

"Ya ... Ya ... Ya ...." Arsen menyerah mengangkat tangan kemudian tangannya menyusup pada lipatan sofa, tiba-tiba keningnya berkerut karena tangannya menggenggam sesuatu. Perlahan Arsen menarik tangannya dan dia mendelik melihat benda apa yang ada di genggaman tangannya. "Kak?"

"Hem!"

"Apa ini?"

"Apa?"

"Apa sofa ini habis kau pakai melakukan hal yang tidak seharusnya kau lakukan di kantor?"

Arnan menggeram kesal karena dari tadi Arsen bicara, membuatnya sulit berkonsentrasi. Pandangannya beralih menatap Arsen. "Kau—"

Arnan tidak melanjutkan kalimatnya dan buru-buru melangkah cepat menuju Arsen. Menyambar sesuatu yang sedang di bawa Arsen kemudian menyimpannya.

"Pergi dari sini. Besok Aku dan Freya akan menginap di rumah!"

Arsen menahan tawa sambil bangkit. Dia merasa geli dan tidak menyangka Kakaknya bisa bersemu malu seperti itu. Sebuah ide terlintas dalam pikirannya. Arsen mendekati Arnan memeluk leher Kakaknya dari samping kemudian berbisik.

"Kakak sedang kejar setoran, kah? Hahaha, aw!" Arsen memekik menjauh dari Arnan. "Sakit!" serunya sambil mengusap kepalanya.

Wajah Arnan memerah."Pergi!"

"Hahaha ...." tawa Arsen menggema mengiringi langkahnya keluar dari ruangan Arnan.

Sambil memejamkan mata, Arnan berkecak pinggang. Kenapa juga Arsen yang menemukannya?

Sial!





<