cover landing

An Ice Cream Dreamer

By Niken Latifa

Bonjour! Selamat datang di Le Café d’Rennes.” Itulah kalimat yang pertama kali kuucapkan ketika seseorang datang dan menghampiri meja kasir. Lelaki yang ada di hadapanku sekarang, kuberikan opsi makanan yang tersedia di kafe bergaya Prancis ini. Lelaki itu memiliki tatapan yang memikat dengan mata hazelnya, bulu matanya nan lentik, juga alisnya yang tebal, membuat siapa saja yang melihatnya luluh oleh parasnya yang rupawan.

Americano sama croissant satu, ya. Makasih.” Di akhir kata, ia memberikan senyum simpulnya yang membuatku mematung sejenak.

“I-iya, baik. Sama-sama, Kak.” Aku mengucapkan kalimat dengan sedikit terbata tanpa mengedipkan mataku. Batinku bergejolak karena sesuatu telah merasukiku. Oh gosh! I need help!

Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Bisa-bisanya aku pertama kali melihat orang seperti melihat malaikat. Lelaki barusan telah duduk di pojokan dan menghadap ke arahku. Kalau begini, aku tidak bisa fokus bekerja. Hiks. Aku harus tenang dan jangan gusar. Salah-salah, aku bisa dipecat bila aku teledor.

Barista memberikan pesanan lelaki itu padaku. Aku menyuruh rekan kerjaku untuk mengantarkannya, tetapi ia tidak mau karena alasan mengurus yang lain. Alhasil aku yang mengantarkannya sendiri. Aku berjalan dengan jantung berdegup kencang. Mataku hanya meliriknya sekilas dan perasaanku tak tenang. Aku menaruh pesanannya dengan tangan gemetar. Geez, aku ketahuan sekali. Ugh!

Aku berbalik mengarah ke kasir dengan berjalan cepat. Tepat berada di belakang meja kasir, aku hanya bisa menunduk karena tak ingin bertatapan secara langsung. Aku kembali mengurus pelanggan baru dengan perasaan tak keruan. Aku berlindung di balik tubuh pelanggan yang menghampiriku. Ketika tak ada lagi seorang pun yang menutupi, dengan terpaksa aku dan dia berhadapan lagi tanpa sekat, tanpa halangan apa-apa.

Akhirnya aku terlihat kikuk dan salah tingkah saat bekerja selama lelaki itu masih di tempatnya. Aku tidak bisa kalau terus begini. Rasanya aku ingin pingsan. Tidak-tidak, itu terlihat berlebihan. Aku hanya tidak sanggup menghadapi ini semua. Aku tak suka dia menghadapku. Bayangkan saja dia di sana sambil sesekali melihat ke arahku, ketika aku membuat suara kekacauan di balik meja kasir. Matilah aku! Dia melihatku, juga kekacauan yang kubuat selama aku bekerja.

Aku ingin pulang sekarang. Hal itu yang terus-menerus melekat di pikiranku. Kapan ini berakhir? Aku ingin menghilang dan menyudahi semua keteledoranku ini. Tanganku terlihat sangat gemetar seperti nenek-nenek yang sering tremor. Sampai-sampai, rekan kerjaku pun menegurku karena aku terlihat sangat amatir sekarang.

“Sttt … kerja yang benar!” titah rekan kerjaku sambil sedikit berbisik.

“Ish, aku ingin ke toilet sebentar!” tukasku kemudian.

Ketika tidak ada lagi pelanggan yang datang, akhirnya aku ke toilet. Aku ingin semedi dulu sebelum melanjutkan pekerjaan ini. Di sana aku merenung sambil membasuh muka. Aku berbicara sendiri dengan suara pelan sehingga tak seorang pun yang dapat mendengarku. Aku menangis sekarang. Ya ampun, lemah sekali diriku ini. Cuma hal sepele seperti ini aku menangis? Aku memang tidak sedang dimarahi bos, tapi rasanya sama. Aku ketakutan sendiri.

Sekitar sepuluh hingga lima belas menit aku di sana, akhirnya aku merasa tenang. Kutarik napas dalam-dalam, kemudian kuembuskan perlahan. Aku berjalan keluar menuju tempat kasir dan aku tak menemui lelaki itu lagi. Huftsyukurlah, pikirku. Aku bisa bekerja dengan tenang lagi untuk seterusnya.

Ketika aku hendak membereskan sisa makanannya, sekonyong-konyong dia muncul di sampingku. Aku sedikit terperanjat. Ugh! Aku ingin mengumpat rasanya. Bisa-bisanya dia mengagetkanku seperti ini. Aku hanya bisa berteriak dalam hati. Mukaku terlihat kesal sekaligus meringis. Aku tidak tahan lagi!

“Ish, bisa tidak, tidak usah mengagetkanku seperti ini?!” Dia terlihat heran dengan perkataanku. “Kukira kau sudah pergi. Kalau begini, aku serba salah ‘kan jadinya?!” Aku merautkan muka sebal. Kukerucutkan bibir dan kukerutkan alis menunjukkan kalau aku sedang marah.

Aku tak peduli jika aku harus dipecat hanya karena orang asing ini. Aku ingin menangis sekarang. Dia tak mengerti apa yang kurasakan. Sesak sekali di dada.

Aku berjalan cepat menuju ke balik meja kasir. Aku bersandar di dinding kemudian terduduk di lantai. Aku menelungkupkan wajahku. Rekan kerjaku mendekat dan menanyaiku. Aku hanya menggeleng tak ingin menjawab.

“Aku tak ingin diganggu, tolong,” melasku pada rekan kerjaku.

Akhirnya ia menjauh dan menggantikan posisiku di kasir ketika ada orang yang datang. Aku menunduk dan merubah posisi dengan menghadap ke dindingsehingga tidak ada yang dapat melihatku. Aku mengeluarkan ponselku dan kulihat pantulan wajah di layar. Aku terheran karena itu bukan pantulan wajahku, melainkan pantulan wajah lelaki itu.

Aku terperanjat karena kemunculannya di sini. Sampai-sampai, ponselku terjatuh dari genggamanku. Aku refleks memekik. Kuambil ponselku dan kudekap dengan erat. Aku gugup tak karuan. Tak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana cara menyikapi ini semua. Aku hanya bisa memejamkan mataku dan berharap ini semua hanya mimpi.

Samar-samar aku mendengar seseorang berteriak memanggil namaku. Semakin lama, semakin kencang kudengar. Secara perlahan aku membuka mata dan kutemui ibuku yang memanggil. Baru kusadari aku memang telah bermimpi. Huftsyukurlah..., batinku berterima kasih. Namun, itu semua masih teringat jelas di mimpiku barusan. Aku berharap semua akan baik-baik saja, setidaknya untuk hari ini.

***

Telah kurapikan kasur dan kubersihkan segala hal yang ada di kamarku. Ibuku sedari tadi memanggilku karena aku harus sarapan pagi ini sebelum aku pergi bekerja. Ya, tepat di kafe yang sama seperti di mimpiku tempat aku bekerja. Bayangkan saja, bisa-bisanya kafe tempatku bekerja masuk ke dalam mimpiku, apa tidak salah? Seharusnya aku bermimpi yang tidak sesuai kenyataan. Namanya saja mimpi, pikirku, tapi bagian lelaki idaman masuk ke mimpi itu kurasa yang tidak akan pernah terjadi alias hanya dalam mimpi saja.

Selama dua puluh satu tahun aku hidup, tidak pernah seorang lelaki pun yang menghampiriku dan menjadikanku sebagai pacar. Entahlah, mungkin karena sifatku yang dingin ke semua lelaki membuat siapa saja enggan mendekatiku. Aku sebenarnya tidak benar-benar peduli akan hal itu karena prioritasku sekarang hanya ingin menjadi orang sukses dan membanggakan kedua orang tuaku terlebih dahulu.

Apa pun yang dikatakan orang tentang faktaku ini, aku tidak peduli. Sungguh aku tidak peduli. Mungkin sempat dulu aku merasa iri terhadap orang-orang yang mempunyai pasangan dan ke mana saja selalu bersama, tetapi setelahnya, aku berpikir hidupku tidak didedikasikan untuk itu. Aku tidak sedih ataupun galau menjalani hidupku seorang diri karena kita mati pun akan sendirian bukan? Pikirku lagi.

Aku tak percaya dengan cerita dongeng romantis bak Cinderella dan yang lainnya. Karena itu hanya ada di cerita fiksi, bukan di kehidupan nyata. Dalam hidupku pun aku tak pernah menemui kisah semacam itu, yang ada malah masalah bertubi-tubi tentang kehidupan. Hidup itu penuh dengan masalah. Ya, menurutku begitu.

Bahkan dalam hal percintaan pun aku merasa itu sebuah masalah, bukan sebuah anugerah. Mungkin menurut orang aku ini aneh, aneh sekali. Ya, aku bisa beranggapan cinta itu buruk karena aku pernah merasakannya. Aku pernah seperti orang-orang pada umumnya yang sangat menyukai orang yang tak bisa kuraih selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, nihil juga, aku tak jua mendapatkannya.

Mungkin karena pengalamanku inilah yang membentukku seperti sekarang. Sedikit traumatik yang kurasakan membuatku denial terhadap cinta. Ah, cukup sudah pikiranku yang tak keruan ini. Aku harus fokus sarapan sekarang.

***     

Pukul sembilan pagi aku sudah siap menuju ke kafe tempatku bekerja. Aku menyalakan motor matikku dan memakai helm sebagai pelindung kepala. Tak lupa membawa tas yang berisikan keperluan harianku yang selalu kubawa menuju kafe.

Aku menikmati sekali pagi yang cerah ini. Jalanan terbilang plong dan udaranya masih berangin segar. Aku sangat suka menyusuri jalan saat seperti ini. Kalau sudah siang hawanya terasa panas dan terik, jadi waktu inilah yang sangat kusukai ketika berada di jalanan.

Sekitar lima belas menit, akhirnya aku sampai ke kafe yang kutuju. Tak perlu berlama-lama, aku langsung memasuki kafe dan disambut rekan kerjaku di sana.

Bonjour!!” sapaku bersemangat.

Bonjour, Belle!!” sahut rekan kerjaku. Belle itu bahasa Prancis yang artinya cantik.

Aku segera menyiapkan keperluan kafe dan membantu rekanku membuka gerai. Aslinya kafe ini buka jam sepuluh, namun semua bahan makanan harus disiapkan terlebih dahulu yang mana itu memakan waktu sebelum kafe ini buka.

Kusapu dan kulap lantai yang berbahan dasar sebagian vinyl dan sebagian keramik ini. Kuturunkan semua kursi dari atas meja dan kususun dengan rapi. Kubuka tirai-tirai gorden jendela dan kulap kaca-kacanya agar terlihat bersih nan kinclong. Dan terakhir, tak lupa kubalikkan papan ‘buka’ di pintu masuk. Aku siap untuk bekerja hari ini.

Kring! Bunyi tanda ada orang yang masuk. Itulah pelanggan pertama pada hari ini. Seorang perempuan dengan rekan-rekannya memasuki kafe. Ya, saat inilah waktu bersantai untuk coffee-break.

Mereka semua berjumlah dua orang perempuan dan satu lelaki. Kuduga mereka adalah karyawan atau editor di perusahaan percetakan buku di sebelah kafe ini. Mereka memang sering ke sini karena di sinilah tempat terdekat yang paling nyaman di sela-sela bekerja.

Kadang mereka juga mengerjakan tugas mereka di kafe ini. Mungkin karena mereka selalu di kantor jadi terlalu bosan, pikirku. Selain bisa mengerjakan proyek juga, mereka dengan santai mengobrol dan membahas apa pun, terlebih tentang pekerjaan mereka. Bukannya aku menguping, tetapi mereka mengobrol dengan suara keras yang terdengar sampai ke dapur.

Tidak semua yang mereka bicarakan selalu kudengar, tapi kali ini aku jadi penasaran karena mereka membicarakan tentang pemilik kafe ini. Walaupun mereka memelankan suara, tetap saja aku bisa mendengarnya dengan jelas. Huft.

Yup, pemilik kafe ini kudengar dari mereka ialah pengusaha muda yang berketurunan Cina, Prancis, dan Jawa. Dia adalah penerus bisnis keluarganya. Kafe ini merupakan salah satu cabang di antara cabang-cadang lainnya di banyak kota besar di Indonesia, juga kafe ini merambah sampai ke luar negeri. Woah, aku baru tahu dari mereka ini. Keren sekali, yabisnis kafe ini, pikirku.

Karena mendengarkan obrolan itu, aku jadi berkhayal suatu saat nanti aku juga bisa sesukses pemilik kafe ini. Bahkan, aku memulainya dari nol, yaitu sebagai pelayan kafe. Dari sini, aku harus banyak belajar agar ilmunya bisa kuterapkan nanti suatu saat, pikirku. Aku pun tersenyum-senyum sendiri hingga rekanku membuyarkan lamunanku.

“Hei, kenapa kamu senyum-senyum begitu? Lagi suka sama cowok, ya?” tanyanya sambil terkekeh.

“Hah, apaan sih! Jangan mikir yang enggak-enggak, deh. Aku itu lagi berharap kalau suatu saat nanti, aku bisa jadi patissier sekaligus pengusaha, kayak pemilik kafe ini!” Aku menyanggah dengan jawaban yang di luar dugaannya. “Hmm, emang enak. Udah salah tebak, lantang lagi, ahahaha,” tambahku sambil tertawa puas.

“Ih, jangan gitu, dong. Puas banget ngetawain aku,” ujarnya dengan raut muka cemberut. Aku tertawa melihat dia begitu, hingga akhirnya, seorang lelaki tampan memasuki ruang kafe ini. Seketika aku menutup mulutku rapat-rapat.

***

 





<