cover landing

Ante Meridiem

By Daniel Ahmad

PAPUK KALIS

Kerlip itu bukanlah permata. Yang dilihat para nelayan hanyalah pantulan sinar matahari pukul 10 siang bertaburan di riak ombak. Seperti taburan bintang. Serupa kristal yang diseret angin ke pantai lalu terempas hilang bersama hancurnya buih.

Siang ini perahu berjajar rapi memagari tepi pantai. Tak tersentuh sejak dini hari. Para nelayan terpaksa berhenti berlayar karena sebuah alasan, dan alasan itulah yang membawa mereka berkumpul di pantai, di sekitar batu karang hitam, menunggu kedatangan seseorang. Dengan gelisah mereka pandangi sebuah pulau di seberang. Dari tempat mereka berdiri, di sana hanya terlihat barisan nyiur, dan sebuah bukit menjulang di tengah. Mereka menyebut pulau itu dengan nama Gili Selak.

“Beliau datang,” seru seorang nelayan.

Sebuah perahu motor kecil berlayar dari Gili Selak menuju ke pantai. Semakin dekat, semakin tampak tiga orang penumpang. Salah satunya sedang duduk bersila dengan wajah tertunduk.

Tiga orang nelayan bersiap-siap. Telapak kaki yang berbalur pasir pantai kini kembali basah oleh sapuan ombak halus. Tumit yang berkerak adalah saksi tapak kerja keras. Tiga orang nelayan bertelanjang dada itu berjalan dengan langkah tinggi. Lebih tinggi dari permukaan air. Dengan sigap dan tetap sopan menyambut perahu yang mulai berlabuh. Mereka membantu seorang penumpang turun. Seorang perempuan tua nan ringkih yang untuk berdiri saja butuh dipapah, apalagi harus berjalan melewati gelombang ombak tipis yang menyeret-nyeret kaki. Belum lagi dasar berpasirnya mampu menghisap hingga betis.

“Mari Papuk (Bahasa Sasak : Kakek atau nenek), saya bantu,” ucap salah seorang nelayan.

Nenek itu digendong dari perahu menuju ke darat. Salah seorang nelayan membawakan tongkat dan barang-barangnya. Sebuah tas kulit dan sebuah keranjang yang terbuat dari rotan. Sementara nelayan lainnya mengurus perahu lalu menambatkan jangkar.

Kedatangan nenek itu disambut dengan antusias. Warga membentuk lingkaran mengerumuni perempuan yang sudah mereka tunggu sejak matahari masih berupa garis merah tipis.

“Sida sehat, Papuk?” tanya Toriq, si kepala kampung.

“Aku baik-baik saja,” jawab si nenek.

Nenek itu bernama Kalis. Usianya sudah 60 tahun. Kakinya yang lemah membuat Papuk Kalis tidak bisa berjalan normal tanpa bantuan tongkat bambu kuningnya. Setelah mampu berdiri tegak, Papuk Kalis memandangi kerumunan nelayan Kampung Kelang dari ujung ke ujung. Mereka tampak sedang menunggu sebuah jawaban. Sebuah hasil dari perjalanan Papuk Kalis ke Gili Selak.

“Sudah aku lakukan,” kata Papuk Kalis. Suaranya serak. Setiap kali selesai mengucapkan satu kalimat, Papuk Kalis selalu mengecap-ngecapkan bibirnya yang keriput. “Roah Segare akan dimulai nanti malam. Aku harap Sida semua sudah bersiap-siap.”

Anggukan warga terlihat mantap. Hanya beberapa yang tampak terpaksa, tapi apalah daya. Mereka sudah menyangka ini akan terjadi. Mereka hanya berharap pada 5% kemungkinan Papuk Kalis tidak akan berkata demikian, dan sekarang harapan mereka tergerus 95% kepastian.

“Kalian dengar? Kita harus siap-siap dari sekarang. Upacara pembukaan Roah akan dilakukan sebelum sore!” seru Toriq.

Nelayan bubar. Berlari kecil meninggalkan pantai menuju ke rumah masing-masing. Mereka membentuk kubu-kubu kecil, dan setiap kubu larut dalam pembahasannya masing-masing. Walau demikian, semua pembahasan itu tetaplah bermuara pada satu titik, yakni sebuah upacara adat yang mereka sebut dengan Roah Segare.

***

ZIA

Kampung Kelang tidak harus menunggu pukul 12 siang untuk mencapai panas maksimal. Pukul 10 saja sudah cukup membuat keringat mengalir deras. Kendati tak menyusutkan semangat warga dalam bekerja, terik seperti itu tetap saja menyiksa. Punggung mereka terasa dibakar. Air yang mereka minum hanya numpang lewat sesaat lalu keluar bersama keringat. Bocor. Dahaga menyapa setiap lima belas menit sekali.

Zia adalah salah satu dari warga tangguh itu. Gadis 17 tahun yang cekatan dengan wajah yang rupawan. Kampung Kelang memang punya banyak wajah-wajah ayu, tapi Zia memenangkan  kompetisi untuk generasi saat ini. Ia bersinar di antara teman-temannya yang lain. Saat sebagian besar gadis yang hidup di daerah pesisir berkulit sawo matang, Zia tampil beda dengan kulit kuning langsat yang membuatnya mencolok, dan kerap kali jadi sasaran siul nakal para pemuda kampung.

Namun, cukup rupa saja yang membedakannya dengan gadis lain. Semangat bekerjanya masih sama. Ia betah berada di bawah terik matahari seharian demi membantu Tuak (Bahasa Sasak : Paman) dan Saik (Bibi). Ia tak gengsi menggotong keranjang dari pantai ke gudang, dari gudang ke rumah juragan, dan dari rumah juragan ke pos penimbangan. Bahkan saat teman-temannya hanya membawa satu, Zia punya tenaga lebih untuk membawa dua. Benar-benar sebuah kombinasi keelokan rupa dan  kekuatan raga.

Tugas Zia hari ini adalah menjemur ikan. Jenis ikan tenggiri yang musim ini kurang digemari dagingnya. Tak banyak peminatnya di pasar maupun pelelangan, karena itu diolah dengan proses penggaraman, lalu dikeringkan, kemudian dijual ke rumah makan yang ada di kota.

“Ini yang terakhir, Kak?” tanya Zia saat selesai menata ikan keringnya di pengayak beras yang terbuat dari anyaman bambu.

“Ya, tidak ada lagi,” jawab Rida.

Zia mengangkat ayakan beras yang berdiameter nyaris selebar mulut sumur. Ia menjunjungnya menuju ke tempat penjemuran ikan yang ada di pinggir pantai, di sebelah barat karang hitam.

“Kak Risma,” sapa Zia.

Risma melambaikan tangan. Ia tak membalas sapaan Zia dengan kata-kata, karena mulutnya sedang sibuk mengembuskan napas. Risma tampak sangat kelelahan.

“Masih ada lagi?” tanya Risma.

“Kata Kak Rida ini yang terakhir.”

“Sini!” pinta Risma.

“Nggak usah, Kak. Biar aku saja.”

“Sudahlah, sini!” Risma memaksa.

Ia mengambil alih tugas Zia, kemudian Risma menata ikan-ikan kering itu di atas penjemuran.

“Kamu istirahat aja sana!” kata Risma.

Zia tersenyum. Ia meninggalkan Risma untuk berteduh di bawah naungan pohon nyiur. Zia memasang posisi santai. Lelahnya luntur di atas pasir lembut. Ia meluruskan kakinya yang pegal, dan memejamkan mata yang lelah digempur silaunya pukul 10 siang. Saat Zia kembali membuka mata, warna biru menyambutnya kembali. Tarian ombak dan buih meneduhkan, suara air membentur daratan membuat damai. Di bawah nyiur angin terasa tenang. Membuat gadis berbibir merah itu ingin merebah. Namun, orang macam apa yang tidur saat salah seorang sahabatnya justru masih bekerja keras menggantikan tugasnya.

Usia Risma tiga tahun lebih tua dari Zia. Baginya, Risma adalah sosok kakak yang tak pernah Zia miliki. Tak terhitung berapa kali Risma membantunya keluar dari masalah, atau meringankan perkerjaannya yang berat.  Seperti hari ini. Risma punya tubuh yang kurus dan jenjang. Sekilas terlihat lemah, tapi Zia tahu, soal stamina, Risma bisa diadu.

Sembari menunggu Risma, Zia membaca buku. Sebuah novel berjudul ‘Angsa di antara Ombak’ yang Zia dapatkan dari pamannya sepulang dari pasar kemarin. Zia sangat gemar membaca. Ia sudah menghabiskan separuh halaman novelnya, dan berniat melahap separuh sisanya sebelum malam. Ia tak mau menunggu lama. Novel kali ini adalah yang terbaik yang pernah Zia baca. Novel tentang kebebasan. Tentang sayap indah yang pemiliknya tak tahu cara menerbangkannya. Zia merasa punya sayap yang sama. Ia juga merasa tidak tahu cara menggunakannya.

Lima menit perhatiannya tertuju pada halaman demi halaman novel, pada menit keenam semua buyar begitu saja saat seseorang lewat di depan Zia. Seorang pria. Badannya tinggi, dadanya bidang dengan perut rata yang sedikit menonjolkan bulatan otot. Rambutnya gondrong diikat ke kebelakang. Ia hanya mengenakan celana kain hitam, dan bertelanjang dada di panasnya pesisir. Di punggungnya ia pikul tiang kapal yang panjang dan pastinya berat. Seolah ingin memamerkan kekuatan.

“Hai,” sapa pria itu pada Zia.

Normalnya Zia akan menjawab sapa itu segera, tapi ia melewatkan beberapa detik untuk sekadar bengong, dan baru menjawab setelah pemuda itu delapan langkah lebih jauh dari tempat Zia duduk.

“Eh, i-iya,” gumamnya tersipu. Masih melekatkan pandangannya pada pemuda itu. Terus melekat hingga si pemuda semakin tak terlihat.

“Kalian makin dekat aja,” goda Risma tiba-tiba.

“Eh, Kak Risma. A-apanya yang dekat?” Zia berkilah.

Ane, Dendek kelile (Alah, tidak usah malu-malu). Semua orang juga sudah tahu,” goda Risma sambil mengusap kepala Zia.

Risma duduk di samping gadis berambut lurus sebahu itu.

“Jarang-jarang ada tukang perbaiki mesin kapal yang gagah ganteng seperti Zaka.”

“Oh, ya? Berarti Tuak Abar tidak gagah ganteng, dong?” tanya Zia.

Risma terkekeh.

“Ya, Tuak Abar kan sudah tua. Sudah tidak ada tenaga juga buat ngangkut benda-benda berat. Tapi kata Inak-ku (ibuku), dulunya Tuak Abar itu lumayan ganteng.”

“Tidak punya anak kandung, ya?”

“Ada, perempuan semua. Sudah menikah dan tinggal di Mataram.”

Zia menandai halaman di novelnya. Ia tak mungkin membaca dan mengobrol bersamaan.

“Mungkin anak-anaknya gengsi mau nerusin usaha keluarga,” tebak Zia seadanya. Sesinisnya.

“Ya, semua orang tua ingin anaknya hidup lebih baik dari dia.” Risma duduk bersandar di batang pohon kelapa. “Urusan kerja melarat, mereka bisa cari anak-anak orang yang juga melarat,” sambung Risma lebih sinis dari Zia.

Mereka pun tertawa bersama.

Angin tak pernah berhenti berembus di Kampung Kelang. Kadang lembut membelai pipi, kadang menampar keras seperti kenyataan pahit. Kadang tak beraroma, kadang bawa bau bangkai ikan di tepi pantai. Namun, kini yang datang bersama angin bukanlah tamparan atau serangan bebauan, melainkan seseorang. Seorang perempuan berusia 25 tahun bernama Rida. Ia menghampiri Zia dan Risma sambil melambaikan tangan.

“Kak Rida ngapain ke sini, ya?” Zia penasaran.

“Mungkin ada kiriman ikan baru,” tebak Risma.

Gadis bernama Rida itu sudah cukup dekat dengan Risma dan Zia. Ia memilih berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan teriakan, agar tak buang tenaga melewati pasir pantai tebal yang membuat kakinya pegal.

“ZIA! RISMA! CEPAT PULANG!”

“Kenapa, Kak?” tanya Risma.

“Roah Segare dimulai nanti malam!”

Angin membawa kabar Rida dengan cepat dan lantang. Zia masih merasa asing dengan berita tersebut, tapi tidak bagi Risma. Tangannya mulai bergetar membayangkan apa yang harus ia lalui nanti malam.

“Sepertinya kita harus cepat-cepat pulang,” ucap Risma, berat.

***

Tidak seperti gambaran pedesaan di buku-buku pelajaran sekolah dasar. Kampung Kelang bisa dibilang hanya terdiri dari tanah dan lautan. Tidak ada sawah, tidak ada gunung dan hutan. Sawah terdekat berada 1 km di wilayah kota, dan satu-satunya gunung yang terlihat dari pesisir adalah Gunung Trawang yang berdiri kokoh di kejauhan, membentengi sisi barat, menjadi tempat matahari bersembunyi setiap sore.

Zia dan Risma sudah berpisah sejak di karang hitam. Sebuah batu karang besar yang berada di pinggir pantai. Rumah Zia berada di sisi timur karang hitam, sedangkan Risma tinggal di sisi barat. Dalam perjalanan pulang, Zia menyaksikan pola kegiatan warga yang tidak biasa. Masih ribut, tapi ribut yang gelisah. Zia berpapasan dengan dua orang tetangga yang sedang menggiring kerbau hitam ke pantai. Kemudian, ada seorang ibu-ibu yang sedang mencuci wajan besar dengan air sumur di depan rumahnya. Semua serba sibuk dan sedikit gawat.

“Eh, Zia, Lina mencarimu ke sini barusan!” sapa ibu itu.

Zia menoleh lalu mengangguk sambil tersenyum. Ia nyaris menabrak warga yang sedang menggotong seikat bambu besar panjang, yang datang dari arah berlawanan.

“Kalau jalan hadap ke depan, Ruan!” (Bahasa Sasak : Keponakan) tegur salah seorang warga.

“Ma-maaf, Tuak,” ucap Zia rikuh. Ya ampun, itu bambu banyak sekali, sambungnya dalam hati.

Zia kembali memfokuskan pandangan ke depan. Tidak mau menabrak rombongan bapak-bapak yang sedang menggiring kambing ke arah pantai. Namun, kali ini pendengaran Zia teralihkan pada suara jeritan keras dari dalam rumah yang sedang Zia lewati.

Jeritan itu berasal dari seorang gadis yang tiba-tiba keluar dari rumah sambil membanting pintu.

“Aku tidak mau ikut! Pokoknya tidak mau!” rengek gadis itu pada ibu dan bapaknya yang sedang berang di ambang pintu.

“Kembali ke sini, Puan!” seru si bapak.

Gadis bernama Puan itu tidak mengindahkan perintah bapaknya. Ia berlari meninggalkan rumah sambil terisak. Begitu berpapasan dengan Zia, Puan tersentak. Ia lari ke arah yang berlawanan seolah menghindari Zia.

Tinggallah Zia termenung menyaksikan wajah putus asa kedua orang tua si Puan. Zia berpaling pergi sebelum kedua orang itu menyadari Zia sedang menonton adegan barusan. Kini langkah Zia berat. Adegan itu telah mempengaruhinya. Membuatnya enggan pulang ke rumah.

Rumah Zia jauh dari pantai. Berada dekat dengan jalan ke luar kampung. Terletak di belakang gudang penyimpanan es balok. Zia harus melewati gang di antara gudang dan rumah tetangga untuk sampai ke sana. Rumah Zia kecil dengan desain sederhana. Dipayungi rindangnya pohon mangga. Dari depan hanya tampak dua jendela kecil dan satu pintu di tengah. Mudah digambar oleh seorang murid taman kanak-kanak.

Belum juga Zia naik ke teras rumahnya, pintu rumah lebih dulu terbuka. Ema keluar dengan tergesa-gesa sambil membawa keranjang kosong. Di belakangnya, bibi Zia menyusul dengan tergesa-gesa juga.

“Bilang sama Tuak Mimi, sisanya Inak bayar pakai daun pepaya!” seru si bibi.

“Baik, Inak!—Eh, Kak Zia sudah pulang. Aku mau jemput kain Kakak ke Tuak Mimi dulu,” kata Ema, adik sepupu Zia yang berusia 16 tahun. Ia berlari cepat sekali, seperti tidak ada hari esok.

Zia dan bibinya saling pandang. Tatapan sendu sang bibi semakin membuat Zia gundah. Itu bukan wajah yang biasa menyambutnya saat pulang kerja. Zia mendekap erat novelnya di dada, melepas alas kaki lalu masuk ke rumah.

“Mandi, makan, terus tidur!” kata bibinya.

“Tidur?” tanya Zia heran. Ia bisa mengerti mandi dan makan, tapi tidur adalah saran yang sangat tidak biasa.

Bibi Zia menutup pintu, lalu menggiring Zia ke dalam. Namanya Lina. Usianya sudah 46, tapi belum terlalu menua. Tipikal warga pesisir yang merupakan pekerja keras, tubuhnya seolah menua dengan lambat karena terbiasa ditempa sejak masih muda. Sejak kecil Zia tinggal bersama bibi dan pamannya. Orang tua Zia sudah meninggal saat Zia masih bayi.

“Malam ini ada perayaan Roah, dan karena ini Roah pertamamu, jadi kamu butuh persiapan lebih. Nanti malam akan terasa sangat panjang,” tutur Lina.

***

PAPUK KALIS

Pukul empat sore, tiga perahu motor sudah siap berlayar. Bukan untuk mencari ikan, tapi untuk mengantarkan sesuatu. Perahu tersebut terisi penuh dengan buah-buahan, daging, beberapa barang berharga seperti perhiasan, serta uang logam yang sudah direndam dalam minyak. Di ujung perahu digantung kepala kerbau hitam utuh. Kepala yang sudah dibersihkan dan dihiasi dengan bunga melati. Setiap perahu hanya memuat dua orang, karena sudah penuh dengan saji-sajian.

Papuk Kalis berdiri di pinggir pantai. Memantau dan memerhatikan tiga perahu berkepala kerbau itu berbaris menantang ombak. Di belakang Papuk Kalis, para nelayan berdiri dengan kepala tertunduk. Khidmat. Kemudian, terdengarlah kor bernada rendah dari para nelayan yang dipimpin oleh Papuk Kalis. Sebuah puji-pujian berbahasa Sasak. Nyanyian kuno yang tak lagi ditulis dan didendangkan di luar Kelang, atau di desa-desa tertentu di Pulau Lombok yang masih menjunjung tinggi ajaran lama.

Papuk Kalis mengentakkan tongkat bambunya ke pasir pantai. Setelah itu, tiga perahu motor tadi mulai berangkat. Berlayar ke arah pulau kecil di seberang. Ke Gili Selak. Mengarungi ombak di bawah langit yang mulai memerah. Diiringi nanyian lama pengantar para leluhurnya saat dulu menjinakkan lautan.

***

LINA

Pukul enam sore kurang tiga menit. Ada alasan kenapa yang berkumpul di pantai hanya para pria. Para perempuan di Kampung Kelang punya tugas tersendiri. Mereka menunggu di rumah. Acara mereka sedikit berbeda dengan para suami dan anak-anak lelakinya, dan walaupun mereka di rumah, persiapan mereka tak kalah merepotkan. Sama seperti yang terjadi di rumah Zia.

“Kamu sudah siap?” tanya Lina.

Zia sudah mandi, sudah rapi dan wangi. Ia hanya mengenakan pakaian terusan berwarna biru polos. Rambutnya dibiarkan terurai, dan wajahnya dibersihkan dari polesan bedak dan wangi-wangian kimia.

Saik,” suara Zia bergetar. Ia takut. “Apa kita wajib melakukan ini?” tanyanya.

Lina memeluk Zia yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

“Ya, wajib. Kita sudah melakukannya turun temurun. Saik dan inak-mu dulu juga begini, jadi jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Kamu cuma perlu melakukan apa yang Saik kasih tahu tadi, setelah itu semuanya selesai,” tutur Lina.

Lina melongok ke luar jendela. Kebetulan jendela di samping kamar Zia mengarah langsung ke arah pantai. Walau jauh, tapi pemandangan Gili Selak terbingkai cukup jelas.

Telihat nyala api besar di puncak bukit Gili Selak. Nyala api yang menjadi pertanda bahwa Roah Segare telah dimulai.

“Sudah jam enam. Api sudah menyala. Cepat masuk ke kamar!”

Saik ....” rengek Zia.

“Cepatlah!” Lina mendorong Zia masuk ke kamarnya, lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Sejenak Lina tertegun di depan pintu kamar Zia. Ia berdoa, lalu dengan pasrah meninggalkan Zia sendiri di dalam kamar.

Lina bergegas ke luar rumah untuk memasang bendera putih sebagai tanda bahwa di rumahnya ada gadis yang sedang menjalankan Roah. Bendera serupa juga dapat dilihat di rumah-rumah warga yang anak gadisnya sedang menjalankan Roah.

Malam berlanjut dengan sangat sepi. Tak ada bunyi-bunyian mendominasi selain suara angin dan ombak. Di tiap-tiap rumah di mana perawan bersemayam, ada kamar yang tak sekadar sepi tapi juga pilu. Salah satunya adalah kamar Zia.

Kini Zia berbaring di ranjang kamar berselimut kain kafan. Kain yang tadi sore Ema jemput ke rumah Tuak Mimi. Pikiran Zia menerawang di kosongnya langit-langit kamar. Menyelami kesendirian. Tugasnya sederhana bila diucapkan, yani tidak boleh makan, minum, tidak boleh meninggalkan kamar sampai api di Gili Selak padam, dan yang paling penting adalah, Zia tidak boleh tidur sampai pukul 6 pagi, karena jika ia tidur dalam pelaksanaan Roah, sesuatu akan datang menjemputnya, dan Zia tidak akan pernah bangun lagi.

***





<