cover landing

Bandeng Duri Lunak dan Semangka Tanpa Biji

By William_Most

Remaja itu berjalan dengan tenang dan menatap ke depan.

Remaja laki-laki berperawakan tinggi menyeret koper beroda berwarna hitam, menyusuri tepi jalan beraspal sempit yang ditumbuhi rerumputan di sisi kanan dan kiri. Kedua kakinya dilangkahkan secara bergantian, mengambil jeda yang cukup lama dari satu suku ke suku lain. Jalanan yang menyilaukan saat itu disebabkan oleh teriknya cahaya matahari yang bersinar.

Remaja itu tak menghiraukan dua manusia lain yang berdiri jauh di belakangnya.

Di kejauhan, berdiri seorang gadis dan wanita paruh baya berambut pendek yang saling rangkul. Keduanya memandang siluet laki-laki dengan tatapan sendu, tetapi tetap tersenyum untuk menunjukkan ketegaran hati. Si wanita menghela napas, matanya terpatri pada laki-laki berkaus putih dan bercelana jin yang hendak menghilang di cakrawala.

Remaja itu berkata pada dirinya sendiri bahwa aku pasti bisa melalui semua ini.

Si gadis menahan napasnya kuat-kuat dan memejamkan mata, lalu melambaikan tangan kanan ke arah laki-laki berambut hitam seraya berteriak dengan wajah ceria. Akan tetapi, bisingnya angin saat itu membuat teriakannya tak dapat terdengar. Meski begitu, remaja laki-laki paham akan apa yang terjadi di belakangnya. Karenanyalah, ia tetap melangkah maju. Memandang ke depan dengan tatapan netra yang mantap.

Remaja itu pergi meninggalkan kampung, menuju kota di luar sana dan beradaptasi dengan masyarakat baru.

Angin yang berembus lembut, teriknya cahaya matahari, jalan beraspal yang menyilaukan, rerumputan yang menari-nari, kesemuanya menemani kepergian remaja.

Remaja itu tidak akan kembali dalam waktu yang lama. Ia akan merindukan teman, lingkungan, rumah, dan keluarganya.

***

Langit malam penuh bintang bertaburan. Di dalam sebuah rumah, terdapat kamar tidur dengan dinding kayu dan lantai tegel. Seorang remaja perempuan yang memakai baju santai duduk bersimpuh, menghadap sebuah kotak peti terbuka yang isinya berserakan ke mana-mana. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya ke dalam peti mirip penyimpan harta karun, lalu mendapati sebuah buku komik hitam putih yang sampulnya bertulis huruf kanji. Diangkatnya buku itu, diamati sebentar, kemudian dilempar secara sembarangan ke belakang.

"Dari mana Kakak mendapat benda semacam itu?" tanya perempuan berambut sebahu tersebut dengan ketus. Ia bernama Kam Bodia. Kam pun lanjut mengorek-ngorek benda di dalam peti tadi.

Saat menemukan sesuatu, Kam tercengung. Kedua tangannya menggenggam sisi kiri dan kanan benda tersebut, lalu saat diangkat, yang terlihat adalah sebuah kertas setengah lembar, disobek dari buku tulis. Kertas bertulis tangan dari tinta bolpoin itu dipandang oleh Kam dengan heran.

"Puisi!" seru Kam. Ia melipat kakinya ke posisi bersila, kemudian menarik napas panjang dan membaca puisi itu. Nada suaranya amatlah indah dan menarik, bak si remaja telah terbiasa membacakan puisi-puisi.

Sore yang langka di mana aku dapat melihat dia dari kejauhan

Biasanya aku tak bisa selalu bersamanya, tetapi kini dia berdiri di pinggir tambak

Rambut pendeknya berkibar diterpa angin sejuk, kaus merah yang biasa dia pakai tampak indah sekali

Seperti biasa, dia melakukan kebiasaannya yang dia pernah ceritakan

Dia memandang ke kejauhan dengan bosan, melempar kail kemudian menariknya lagi

Seperti telah menghafalkan segalanya, dia merasa jenuh

Seperti dia mengerti segala sesuatu di dalam dunia ini

Seperti dia menginginkan lebih dari yang biasanya

Dialah kasih pada pandangan pertamaku                              

Kam menyeringai. "Cih. Puisi macam apa ini? Menggelikan. Aku tidak percaya Kakak bisa membuat puisi cinta seperti ini. Setahuku dia tidak punya pacar di sekolah." Setelahnya, ia pun tertawa sambil meletakkan kembali kertas itu.

Tiba-tiba terdengar suara seorang ibu yang menginterupsi, "Kam, ayo makan!" Teriakan tersebut berasal dari luar kamar.

"Iya, Bu!" Kam segera bangkit dan berbalik, lalu melangkah menuju pintu kayu. Tak sengaja ia menginjak mainan karet gelang dan sebuah kertas bergambar, lamun Kam tak acuh dan tetap berlari.

***

Pagi hari di desa yang asri dan menyejukkan. Ikan-ikan ternak menampakkan diri di pinggir maupun tengah tambak, berenang-renang ke sana kemari. Cahaya mentari yang terdifraksi menyorot hutan dan semak-semak. Menembus dedaunan dan menghasilkan efek tyndall. Membangunkan mekarnya kembang pagi dan merekahnya daun lamtoro. Serta menandai dimulainya aktivitas segala macam satwa di lingkungan desa.

Kam telah mengenakan seragam putih abu-abunya, pamit kepada Ibu dan berjalan menyusuri jalan berupa tanah cokelat, dengan sisi kiri dan kanan adalah pepohonan lebat. Sesekali terdapat tambak di antara pepohonan, dan juga terlihat tambak-tambak di kejauhan.

Siswi berambut sebahu itu mencangklong tas sekolahnya, berjalan dengan langkah yang biasa. Tiba-tiba, ia terhenti, menatap ke depan. Di depan suatu rumah, terdapat beberapa kucing dengan berbagai warna, dan ada seorang remaja laki-laki berseragam putih abu-abu, sama seperti Kam, yang memanggul tas. Remaja itu berjongkok, mengelus-elus seekor kucing yang rambutnya tampak putih mulus dan amatlah halus.

"Selamat pagi, Sosi!" sapa Kam. Ia mendekati siswa bernama Sosi itu.

"Pagi, Kam!" Sosi bangkit seraya menggendong kucing putih tadi. Mereka berdua pun berjalan bersama menuju sekolah.

Di sanalah mereka tinggal. Desa yang terpencil dari kota, tersembunyi di dalam hutan. Hanya orang dewasa, pedagang, pekerja, dan mahasiswa yang boleh keluar dari desa. Desa itu dekat dengan pantai, tetapi tambak di sana kebanyakan tambak air tawar. Tambak yang paling dekatlah yang merupakan tambak air payau, itu pun hanya sedikit.

***

Pada tebing yang dibatasi pagar pembatas, berdirilah seorang remaja laki-laki, memakai jaket hitam bertudung yang disungkupkan, menyandarkan tubuhnya ke tepi pagar, membiarkan kedua lengannya menggantung di atas jurang.

Remaja itu menyeringai, dengan sudut depresi menyaksikan pemandangan di bawah. Beberapa nelayan tengah melakukan kegiatan panen ikan tambak. Mereka sedang menguras air dan terjun ke kolam sembari mengarahkan jaring ke ikan-ikan yang berlarian.

"Pemungutan hampir seluruh hasil yang telah mereka usahakan sejak lama, kini sudah saatnya dilakukan demi kelangsungan siklus kehidupan biotik. Tetapi, apakah hasil yang mereka pungut itu bersedia atas perlakuan tersebut? 'Mereka' bisa mengatakannya, tetapi 'mereka yang lain' tidak bisa mendengarnya."

Para nelayan mengangkat jaring, memperlihatkan ikan-ikan bandeng yang menggeliat akibat terjerat.

Remaja dengan postur tubuh proporsional itu menunjukkan tatapan dingin. "Bandeng itu akan membalaskan dendamnya."

Dari dalam air, muncul gelembung-gelembung kecil yang dengan cepat naik ke permukaan. Awalnya hanya terdapat di satu titik, lamun berangsur bertambah di lain tempat, menjadi banyak dan memenuhi tambak. Hal tersebut membuat para nelayan merasa ganjil, kalang kabut menuju ke pematang. Namun, belum komplet seluruh nelayan entas dari kolam, tambak itu meledak, air terangkat ke atas membentuk kubah yang mumbul, ikan-ikan terlempar ke sana kemari, para nelayan yang berada di pematang jatuh tersungkur, sedangkan nelayan yang tertinggal pun terpelanting. Beberapa jatuh ke atas batu, tubuh mereka remuk dan darah serta daging berceceran. Nelayan lain ada yang tubuhnya terpotong-potong di udara dan terjatuh begitu saja.

Suara seorang anak laki-laki kecil tiba-tiba muncul, membuyarkan lamunan si remaja dingin, "Sudahilah, cukupkan perkataanmu yang aneh itu." Remaja berambut hitam itu terkesiap, para nelayan di bawah masih melakukan kegiatan memanen mereka. Si remaja segera berbalik untuk memeriksa asal suara. Angin kencang tiba-tiba menyerang dan menyibak tudung jaketnya.

Di depan batang pohon besar, berdirilah seorang anak laki-laki kecil berambut perak yang memakai kemeja putih dengan dasi kupu-kupu diikatkan di kerah, dan celana hitam yang pas dengan atasan putihnya. Anak itu tersenyum lebar dan matanya menyipit.

Remaja yang terinterupsi tersebut memicing tanda tak senang. Ia kemudian menyeringai dan menatap sinis lawan bicaranya.

Anak laki-laki berkata, "Memanen bandeng adalah hal yang lumrah bagi para nelayan. Hasil yang diperoleh akan dijual dan digunakan sebagai nafkah untuk keluarga mereka."

"Lalu apa? Apa yang dapat dilakukan bagi mereka yang ingin melakukan balas dendam?" tanya si remaja, seringaiannya telah memudar.

"Bandeng tak bisa menyampaikan kesengsaraan mereka. Dan nelayan tak bisa mendengar perkataan bandeng. Kalau begitu, biarlah hal itu terjadi. Tak ada yang dapat kita lakukan." Baru si remaja hendak berkata, anak laki-laki sudah berucap duluan, "Apa kau sanggup membayangkan mereka dapat melakukannya? Jika tidak bisa, maka hentikanlah. Sebab, itu tidak akan pernah terjadi. Pembalasan dendam yang kau maksud hanyalah ketakutan terbesar dari orang-orang."

Si remaja kembali menyeringai. "Hebat juga perkataanmu. Kali ini aku mengaku kalah, huh."

Anak laki-laki masih pada senyuman lebarnya, "Biarlah seperti itu. Orang dewasa selalu mengalah dengan anak-anak, 'kan? Lakukanlah seperti itu."

 

***





<