cover landing

Bangku Pojok

By Honey Dee

Aku nggak pernah suka pemakaman. Pemakaman itu tempat orang-orang mati ditanam di dalam tanah dan orang-orang hidup menangis habis-habisan. Nggak ada yang bagus dari pemakaman. Nggak ada hal baik dari pemakaman. Entah sejak kapan aku mengalami fobia pada pemakaman. Setiap melewati pemakaman, kepalaku terasa pusing dan ada semacam kesedihan mendalam di dalam dadaku.

Berkali-kali kukatakan pada ibu kalau aku nggak bisa menginjakkan kaki di pemakaman kakek. Ibu bilang, aku cuma membuat-buat perasaan itu.

“Itu cuma sugesti kamu saja. Bagaimana juga, itu Kakek kamu. Kakek itu sayang sekali sama kamu, Kalila.”

Sumpah, aku nggak membuat-buat perasaan ini. Nggak ada yang ngerti apa yang kurasakan. Andai bisa memilih, jelas aku nggak akan memilih punya perasaan seperti ini. Aku pengin bisa seperti orang lain yang datang ke pemakaman untuk menangis dan menabur bunga serta mengirim beberapa lembar doa, lalu pulang dan melupakan semua. Aku ingin seperti anak-anak kecil yang nggak tahu aturan memanjat dan memetik bunga atau tanaman apa pun di pemakaman tanpa ada rasa takut. Aku ingin seperti pencuri makam yang mengambil bagian tubuh mayat untuk sesaji—yah, paling nggak ini yang kulihat di film, kan?

Nggak bisa. Aku nggak bisa melakukan semua itu. Aku merasa... pemakaman akan memangsaku hidup-hidup.

Kuharap aku dan kedua orang tuaku punya waktu yang sangat panjang untuk hidup. Kuharap aku bisa mati terlebih dulu agar nggak harus mengantarkan orang tuaku ke pemakaman. Sayangnya, takdir berkata lain.

“Kalila, Ayah kecelakaan. Ayah jatuh dari Mall yang sedang dibangun itu,” kata ibu setelah menerima telepon. Nggak bisa kulupakan bagaimana pucatnya wajah ibu sampai kupikir sebenarnya yang akan mati itu ibu. Tangan ibu gemetar sampai menjatuhkan HP yang dipegangnya.

Nggak lama, ibu berjalan lunglai ke kamar dan mengambil tas tangannya.

“Kalila, kita ke rumah sakit. Semoga Ayah nggak apa-apa,” kata ibu lagi dengan suara kosong.

Ayah nggak mungkin nggak apa-apa. Ayah jatuh dari ketinggian tujuh puluh meter. Cuma Captain America atau Spongebob yang nggak akan mati kalau jatuh setinggi itu. Kepala Ayah hancur dan tulang punggungnya retak. Petugas medis di rumah sakit hanya bisa menjahiti kepala Ayah agar nggak terburai saat dimakamkan.

Sial!

Ya, kamu nggak salah dengar. Ayahku meninggal. Dia akan dimakamkan. Mayat Ayah akan di bawa pulang untuk diberi perlakuan terakhir sebelum dimakamkan. Aku akan menyentuh dan menciumi mayat Ayah seperti ibu yang sekarang meraung sambil berusaha memeluk ayah.

Malam itu yang bisa kulakukan cuma bergelung di dalam selimut, menutupi tubuh sampai kepalaku. Semua orang yang datang berusaha mengajakku ke luar kamar untuk melihat ayah terakhir kali.

Buat apa? Aku sudah melihatnya tadi. Aku sudah tahu kalau ayah nggak akan kembali. Lebih nyaman membayangkan ayah sedang tidur panjang karena kelelahan daripada mengetahui ayah akan dipendam ke dalam tanah basah dan bercacing. Lebih menyenangkan membayangkan suatu saat ayah akan bangun dan marah-marah karena kesiangan ke kantor daripada mengetahui kalau ayah akan dilupakan selamanya.

“Kalila, paling nggak, doakan Ayahmu, Nak,” rengek ibu dari pintu kamar.

Aku malah menutup selimut lebih rapat.

Doakan? Buat apa? Toh ayah nggak akan kembali. Toh ayah nggak butuh apa pun untuk pergi. Ayah cuma nggak bernapas lagi.

“Kalila, tolong lakukan ini demi Ibu, Nak.” Ibu sudah mulai menangis. Aku nggak tahan. Aku paling nggak tahan lihat ibu menangis. Ibu orangnya cengeng sekali. Nonton sinetron saja ibu bisa menangis lama sekali.

“Kalila,” panggil ibu lagi sambil menarik selimutku dengan lembut.

Aku mendesah malas. “Bu, aku nggak mau ke pemakaman.”

“Iya, Nak. Ibu tahu. Kamu nggak usah ke pemakaman. Ayah masih ada di luar. Kasih salam ke Ayahmu dulu untuk yang terakhir. Nanti, kalau Ayahmu sudah dimakamkan, kamu bisa menyesal nggak melihatnya. Ayah kan sayang sekali sama kamu, Lila.”

Aku menelan ludah dengan susah payah. Iya, Ayah memang sangat sayang padaku. Ayah pernah berlari menggendongku ke rumah sakit saat aku demam tinggi dan mobil kami terjebak macet. Alih-alih menunggu sampai arus jadi lancar, ayah memilih untuk menyuruh ibu menyetir dan menggendongku lari di antara mobil dan motor yang berjejalan. Ayah melakukan apa pun agar aku mendapat pertolongan medis dengan cepat. Ayah takut aku kejang lagi seperti saat bayi dulu.

“Kalila,” panggil ibu lagi.

Kali ini aku menurut. Kutarik selimut sampai bisa melihat wajah ibu. “Cuma sebentar ya, Bu?”

Ibu mengangguk sambil tersenyum. Matanya sudah bengkak dan merah. Astaga, dalam beberapa jam saja wajah cantik ibu sudah jadi segini lusuh.

Saat itulah kulihat dia.

Sosok hitam itu berdiri di sudut kamarku. Tangannya yang kurus hitam mengacung kepadaku. Perlahan sosok itu membesar. Wajahnya seperti tengkorak dan rongga mulut besarnya membuka. “TUNG ... GUUUUU ...”

Yang kuingat malam itu hanya jeritan melengking dari mulutku sendiri.

***

Tiga bulan kemudian.

“Yakin nggak ada yang ketinggalan?” tanya ibu sambil menyiapkan perlengkapannya sendiri di meja makan. Aku mendesah pelan.

Asal tahu saja, ini pertanyaan yang ketiga kalinya dalam waktu satu jam ini. Padahal, aku cuma masuk sekolah baru, bukan asrama militer. Ibu heboh bukan main soal persiapan? Memangnya aku nggak pernah sekolah sebelumnya gitu? Cuma bawa buku doang, kan? Semua keperluan pendaftaran juga sudah ibu serahkan ke sekolah kemarin.

“Sudah semua, Bu. Bereslah pokoknya.”

Kupasang earphone di telinga dan menekan gambar album Chainsmoker di ponselku. Aku menunduk memasang tali sepatu hitam yang menjadi sepatu wajib di sekolah baruku.

Earphone di telingaku ditarik paksa.

“Kalila, bukan begitu caranya sekolah,” kata ibu dengan wajah kesal.

“Apa? Memangnya aku kenapa?”

“Ibu ingin kamu seperti dulu lagi, Kalila. Ibu ingin kamu punya teman dan bergaul seperti anak lain, bukan menyumbat kupingmu dengan benda seperti ini,” kata Ibu lagi.

Kuhela napas panjang. “Bu, ini kan cuma untuk di jalan. Nanti di sekolah, bakal kulepas, kok.”

“Janji?”

“Janjilah, Bu. Mana mungkin aku di sekolah sambil dengerin musik gitu. Aku kan mau ke sekolah jalan kaki, Bu. Lumayan jauh loh. Masa aku bengong aja di pinggir jalan?”

Ibu mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya dengan cepat. Diserahkannya lagi earphone kepadaku. “Ibu cuma pengin kamu seperti dulu, Kalila. Kamu nulis buku lagi, berteman dengan orang banyak lagi, dan ... benar-benar hidup baru, Lil.”

“Iya, Bu. Aku tahu. Jangan sedih gitu, dong. Aku kan masih SMA. Aku bisa berkembang jadi apa aja. Udah ya, Bu. Nanti malah telat lagi kalau kita ngobrol gini terus. Aku bawa satu kuncinya, ya. Nanti kalau aku pulang duluan, langsung masak mie aja, ya. Aku pengin mie yang rasa iga penyet itu, Bu. Kayaknya enak lihat iklannya,” kataku sambil melesat ke luar rumah.

Di depan pintu rumah, kupejamkan mata rapat-rapat. Kupasang lagi earphone di telinga dan kunyalakan musik keras-keras.

Hidup baru?

Yah, hidupku memang benar-benar baru sekarang. Sejak malam mengerikan itu. Hidupku nggak pernah lagi sama dengan yang dulu. Sekarang, aku bisa melihatnya, makhluk mengerikan yang memperlihatkan diri sesukanya. Lalu, suara-suara yang kudengar berisik di telinga... suara-suara tolol itu membuatku sama sekali nggak bisa berpikir. Bagaimana bisa aku menulis lagi seperti dulu? Duduk tenang di sekolah saja rasanya sulit sekali.

Beberapa orang tetangga yang sedang belanja di tukang sayur berpaling melihatku, lalu tersenyum. Seorang di antara mereka melambaikan tangan sambil mengatakan sesuatu. Kubalas lambaiannya sambil menunjuk jam tangan. Semoga dia tahu kalau itu artinya aku sudah sangat terlambat.

Tetangga-tetanggaku nggak buruk. Mereka semua pendatang, sama seperti kami. Karena sadar berada jauh dari tanah asal dan keluarga, mereka semua saling menganggap saudara. Nggak ada perbedaan agama atau pandangan politik di kota ini. Semua orang terasa ramah dan menyenangkan.

Memang sih, baru seminggu kami ada di Ralengkui. Mungkin terlalu cepat bagiku untuk membuat kesimpulan. Tapi, paling nggak tempat ini menyenangkan.

Kalau di Jakarta, Ralengkui lebih mirip kompleks perumahan yang luas. Tapi, tetap saja nggak bisa disebut kota. Ralengkui dimasukkan ke dalam desa modern. Jalanannya sudah beraspal rapi dan rumah-rumahnya bergaya modern. Penduduknya sebagian besar adalah keluarga karyawan perkebunan sawit, tambang batu bara, dan perkebunan karet yang ada di kota sebelah.

Di sini hanya ada satu sekolah untuk masing-masing jenjang pendidikan. Sekolahku yang paling keren. SMA Ralengkui adalah bangunan bekas penjara dan penyiksaan zaman Belanda. Dilihat sepintas saja memang lebih mirip penjara daripada sekolah. Katanya, tahun depan baru akan diadakan renovasi besar-besaran. Di salah satu bangunan sekolah memang kelihatan sudah mulai dihancurkan. Katanya sih, mau dibuat berlantai lima dengan elevator canggih begitu. Penduduk Ralengkui sudah semakin banyak. Anak-anak mereka juga butuh sekolah, kan?

Satu hal yang membuatku sadar alua Ralengkui berada di Kalimantan adalah pohon-pohon rindang yang sudah sangat langka di Jakarta. Ralengkui alua nggak merasakan sinar matahari karena masih lebatnya pohon-pohon di kota ini. Pohon yang sangat tinggi katanya sih asli milik hutan sebelum tempat ini berubah jadi kota. Julukan bagi Ralengkui nggak berlebihan, kota bawah pohon.

 

Setelah jalan kaki setengah jam, sampai juga aku di gerbang sekolah. Anak-anak lain juga jalan kaki sama seperti aku. Peraturan di sini nggak mengizinkan anak sekolah menggunakan kendaraan bermotor karena tingginya angka kecelakaan anak sekolah.

Yang perlu kami waspadai Cuma truk pembawa sawit dan karet—truk karet ini baunya mengerikan—yang lalu-lalang setiap subuh dan sore hari. Pengemudi truk yang dibayar berdasarkan jumlah rate bolak-balik berpikir alua dia mengendarai Bat Mobile. Kencang sekali. Sejauh ini, belum ada kecelakaan yang melibatkan truk-truk besar itu. Penduduk sudah tahu dan maklum. Jadi, alua ada suara klakson truk, mereka lebih memilih untuk mengalah. Supir-supir itu juga butuh bawa uang banyak untuk keluarganya, kan?

***

Beberapa anak menatapku ingin tahu. Beberapa lagi berusaha tersenyum canggung. Jumlah anak di sekolah ini nggak sebanyak sekolahku dulu. Mungkin mereka saling kenal satu sama lain. Jelas mereka sadar kalau ada anak baru di sini.

Aku tertarik pada kebun hidroponik yang ada di samping sekolah. Kebun yang terbuat dari pipa paralon bersusun itu terlihat sangat segar. Guru yang kemarin menerima pendaftaranku mengatakan kalau sekolah ini ada klub berkebun. Ibu mati-matian membujukku untuk ikut klub itu. Seharusnya ibu tahu kalau aku lebih suka melihat tanaman dan makan sayuran daripada bercocok tanam.

Melihat rimbunnya kebun kecil ini, aku jadi ngiler. Ada stroberi yang besar dan merah di bagian tengah kebun. Buahnya muncul ke permukaan tanah seperti mengejekku. Duh, pengin banget kupetik buah itu. Pasti manis sekali.

Saat mendekati kebun, aku melihat mereka. Nggak mungkin aku salah lihat. Dua sosok cewek dan cowok di seberang kebun. Sekali pun sosok mereka nggak jelas karena ada di balik rerimbunan semak, tapi itu sudah jelas cewek dan cowok sekolah ini. Cowok itu memasukkan jari ke mulut ceweknya. Mereka tertawa pelan, lalu, ceweknya merebahkan kepala ke bahu si Cowok. Aku menelan ludah saat cowok itu seperti melihatku.

Astaga!

Aku langsung berpaling dan pergi dari kebun itu. Jantungku berdebar kencang.

Fiuh, di mana-mana pasti ada spesies begitu, pacaran nggak tahu tempat. Orang-orang yang menganggap saling cinta sampai lupa mereka punya masa depan. Makan tuh cinta! Masa depan mereka sudah ias diramalkan; hamil, punya anak, lalu terpaksa menikah karena menjaga aib keluarga. Memalukan!

***

Kelas X-B. Ah, isinya juga ternyata anak-anak yang ramai. Tiga puluh orang anak dalam kelas kecil ini ribut sekali. Cewek-ceweknya jerit-jerit nggak jelas dan cowok-cowoknya tertawa-tawa sambil melihat sesuatu di HP temannya. Dari suaranya sih, sepetrtinya game baru. Padahal, aku berharap masuk ke kelas yang anaknya suka main gadget atau apalah, asal nggak seramai ini pokoknya.

Kutarik lepas earphone dari telinga, lalu menarik napas sebanyak-banyaknya seperti orang yang akan menyelam.

“Anak baru, ya?” kata seorang cowok yang sedang menghapus papan tulis.

Aku mengangguk cepat.

“Tuh di meja dekat jendela sana kosong. Anaknya pindah ke Australia katanya, mau main sama kanguru,” ucapnya lagi, berusaha melucu.

Thanks,” kataku singkat sambil berjalan ke meja yang disebutkan.

Lalu, terjadilah momen sial itu.

Semua anak langsung diam saat aku jalan menuju meja yang ditunjukkan. Sambil menunduk, aku berusaha keras nggak terpengaruh semua mata yang memerhatikanku selama berjalan menuju meja itu. Momen sial yang selama ini cuma kulihat di film remaja bodoh akhirnya kurasakan sekarang. Sumpah, rasanya nggak nyaman sekali diperhatikan begitu.

“Eh, sombong banget tu anak baru,” kata anak cewek yang entah dari mana. Sontak semua anak ikut tertawa.

Aku menatap mereka, lalu tersenyum canggung. Kuharap mereka cukup cerdas untuk mengartikan senyuman itu. Semoga mereka cukup pintar untuk tahu kalau aku ini malu, bukannya sombong.

Memangnya, aku harus gimana? Aku harus dadah-dadah seperti Miss Universe? Aku harus melempar ciuman jauh gitu? Apa aku harus bikin pidato dulu sebelum duduk di kursi ini?

Dari pengalaman pertama yang sial itu, anak lain sudah kehilangan respek sama aku. Pas guru masuk dan menyuruhku memperkenalkan diri, mereka semua pura-pura nggak dengar. Mereka pura-pura nggak lihat aku. Pas aku kembali ke tempat duduk, mereka bersorak ‘HOREE!’ seperti bersyukur aku sudah selesai bicara.

Oke. Ini memang selalu dialami anak baru di semua cerita fiktif remaja mainstream, kan? Aku harus membuat gebrakan besar atau menyelamatkan semua anak di sekolah ini agar mereka kembali respek ke aku. Gitu kan, biasanya?

Sial! Sial sial sial!

Jadilah sepanjang hari itu kusumbat lagi telingaku dengan earphone.

Satu-satunya hiburan yang cukup menyenangkan adalah pojok jurnalistik. Ada majalah dinding (Mading) yang lebih lebar daripada yang biasa kulihat. Ada berbagai macam gambar dan artikel di sana. Karena lebar, artikel yang ditulis juga menggunakan ukuran huruf lebih besar. Ini melegakan mata anak-anak yang minus.

Dari sudut mata, aku melihatnya. Cewek itu kurus dan pucat. Dia memerhatikanku. Bukan memerhatikan dari atas ke bawah seperti cewek lain di sekolah itu. Dia menatap mataku lekat-lekat. Ekspresi datarnya terlihat mengerikan dengan wajah sepucat itu. Rambutnya lurus dan kusam, seperti sudah lama nggak disisir.

Cewek itu terus begitu tanpa peduli anak-anak lain yang melewatinya. Dia bahkan nggak malu atau segan saat kubalas tatapannya.

“Hai,” kataku canggung sambil mengangkat tangan.

Cewek itu mengerjap. Apa dia akhirnya sadar kalau aku memehatikannya juga?

“Aduh!” Punggungku tertabrak sesuatu.

“Maaf, Mbak,” kata janitor sekolah yang membawa kerdus besar. Aku tersenyum dan berjalan ke pinggir koridor.

Saat aku berpaling ke tempat anak tadi, anak cewek itu sudah hilang. Anak itu pergi entah ke mana.

Secepat itu?

***

 





<