cover landing

Before (I Love You)

By Tuteyoo

Prolog

Tiana berada di bandara sejak setengah jam yang lalu, hanya untuk menunggu seseorang yang seharusnya sudah tiba sejak lima belas menit lalu—setidaknya begitu yang ia perkirakan pesawatnya akan landing. Berkali-kali ia berdiri dari duduknya saat sekumpulan penumpang baru saja melewati pintu kedatangan. Kemudian ia akan berdecak dan mengempaskan kembali tubuhnya ke kursi jika yang ditunggu tidak ada di sana.

Menunggu memang tidak enak, tetapi Tiana bukan gelisah karena tidak sabar ingin segera bertemu, melainkan tidak sanggup menahan gugup yang ia rasakan sejak sang manajer memintanya untuk menjemput orang itu. Sepanjang perjalanan tadi, Tiana tidak berhenti merutuki sang manajer yang seenaknya menyuruh untuk menjemput ke bandara. Pekerjaannya banyak, apalagi sebagai koordinator dari tim khusus yang menangani masalah data teknisi lapangan.

Tiana menggigit bibir bawah. Selain untuk mengalihkan rasa gugup, ia juga tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bertemu dengan orang itu nanti. Sejak kejadian itu, tak ada lagi yang sama di antara mereka. Terlebih lagi, mereka sudah tidak saling kontak satu sama lain selama setahun penuh. Bisakah hubungan mereka tetap sebaik dulu—seperti ketika Tiana belum tahu apa pun soal itu dan hanya dibuat menebak-nebak? Atau justru dengan kecanggungan mencekam yang menyelimuti mereka?

Lima belas menit menunggu lebih lama lagi, akhirnya sosok yang dinanti-nantikan terlihat di tengah-tengah kerumunan. Sosoknya yang lumayan tinggi sangat membantu Tiana menemukannya dengan mudah. Ia berdiri, merasakan jantungnya berpacu lebih cepat, sampai kemudian berucap pelan, “Selamat datang, Bos.”

Seulas senyum manis pun terpatri di wajahnya—mencoba untuk bersikap ramah agar sosok itu tidak mengira kalau ia membencinya. Namun, saat tahu ia tidak datang sendirian, senyum Tiana seketika luntur.

Memang, penyesalan selalu datang di akhir.

 

***

1

 

Tiana mengacaukan semuanya pagi ini. Bangun terlambat, kemudian tidak sengaja menjatuhkan sikat gigi ibunya ke toilet. Well, siapa pun tidak akan sudi memakai lagi sikat gigi itu meski sudah dicuci berkali-kali. Kamarnya juga berantakan; sprai, bantal, dan guling berada di beberapa sudut lantai. Saat bangun tidur dan menemukan jarum jam melewati waktu seharusnya ia bangun, panik menguasai dan ia segera melompat dari kasur.

“Bu, aku nggak sarapan. Udah terlambat,” ujar Tiana di depan ibunya yang sedang memakan panekuk dengan tenang di meja makan.

“Sebentar, biar Ibu siapkan bekal.” Wanita itu kemudian beranjak dan mengisi kotak bekal yang diambilnya dari lemari pantri dengan beberapa lembar panekuk.

Sementara menunggu Leah, Tiana membenahi penampilannya di depan pintu kaca lemari rak TV yang bisa memantulkan bayangan dirinya.

“Terima kasih, Bu. Ini hari pertama trial. Kepastian aku bakal jadi karyawan tetap di sana atau nggak, adalah enam bulan dari sekarang. Yang pasti, aku akan berusaha sebaik mungkin dan akan membeli sikat gigi baru buat Ibu sepulang kerja nanti.” Tiana mengatakannya dengan bersungguh-sungguh setelah menerima kotak bekal yang Leah sodorkan padanya dan disimpan ke tas.

“Sikat gigi? Kenapa mau dibelikan? Ibu baru beli kemarin.”

Mampus, pikir Tiana. Ia tidak bermaksud memberi tahu soal sikat gigi yang mendarat di lubang kloset, tetapi mulutnya tidak terkendali.

“Nggak papa. Aku berangkat, Bu. Udah telat.” Tiana mengecup pipi kiri dan kanan Leah secepat kilat sebelum melesat keluar rumah. Ibunya orang yang sangat bersih dan cerewet, bukan tidak mungkin waktunya akan terbuang banyak untuk mendengar omelan wanita itu.

Tiana berjalan ke depan kompleks sambil memesan taksi online. Sayangnya, ia tidak cukup beruntung karena tidak banyak sopir yang standby di dekat kompleksnya. Ojek online? Tidak. Tiana punya kenangan buruk tentang sepeda motor. Dan setelah sepuluh menit menunggu, taksi yang dinantikannya tiba. Begitu duduk di bangku penumpang, Tiana memberi tahu tujuannya dan si sopir segera melaju.

Taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah gedung elite yang didominasi oleh kaca jendela. Tiana memberikan beberapa lembar uang pada si sopir dan segera keluar dari sana. Tatapannya tidak sedikit pun beralih dari betapa menjulangnya gedung tersebut. Mungkin ada sekitar empat belas atau lima belas lantai. Decakan kagum tidak henti-hentinya ia keluarkan. Ia merasa sangat beruntung diterima sebagai karyawan di perusahaan besar itu, tetapi tidak punya waktu untuk menikmati euforia karena baru di hari pertama, ia sudah terlambat.

Tiana berlari kecil menuju sebuah elevator yang terbuka setelah beberapa orang keluar dari sana. Saat ia akan menekan tombol lantai, seorang pria yang kira-kira seumurannya menerobos masuk. Pria itu cukup tampan hingga Tiana kesulitan untuk mengalihkan pandangan. Peluh yang mengalir di pelipis dan napas yang ngos-ngosan menjelaskan bahwa pria itu habis berlari.

“Ke lantai berapa?” Tiana memberanikan diri untuk bertanya, mengingat ia berdiri lebih dekat dengan tombol di elevator tersebut.

“Sepuluh.” Pria itu membalas sekenanya.

Tiana mengangguk ringan dan menekan tombol angka sepuluh setelah tombol tujuh; tujuannya.

Selama elevator bergerak naik, Tiana melirik dinding elevator di sisi kanannya. Dinding yang berbahan aluminium itu memperlihatkan pantulan dirinya. Gaya berbusana tidak pernah jadi masalah bagi Tiana. Namun, itu tidak berlaku untuk saat ini. Apalagi setelah sadar bahwa pria di sampingnya mencuri-curi pandang dengan tatapan yang intens dan lumayan lama. Bisa saja ia tampak aneh karena penampilannya sekarang, 'kan?

Tiana sudah menelan ludah dua kali, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman yang menyelimuti. Terlebih lagi, ia bukan tipe wanita yang suka diperhatikan, meski orang-orang sering menganggap porsi tubuhnya adalah representasi tubuh ideal yang dimimpikan banyak wanita; tinggi semampai dengan kaki jenjang. Untuk wajah, Tiana cukup manis berkat lesung pipinya yang muncul samar-samar saat tersenyum dan bicara. Rambutnya lurus sepunggung berwarna hitam tanpa poni, dan itu sudah membingkai wajah segitiganya dengan sempurna.

Helaan napas beratnya mengungkapkan betapa kacau ia pagi ini.

"Hei," tegur pria itu. Suara yang dikeluarkan Tiana berhasil menarik atensinya.

"Iya?"

"Karyawan baru?"

Tiana mengangguk ringan. Dalam hati ia merutuk karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Harusnya ia sadar, keberadaannya yang asing di gedung ini jelas akan menarik perhatian.

"Divisi apa?"

"Quality Control," sahut Tiana sekenanya, tanpa basa-basi dan tidak ada pertanyaan balik.

Bertepatan dengan itu, pintu elevator terbuka. Layar kecil di samping pintu menunjukkan bahwa mereka tiba di lantai tujuh. Tiana melihat pria itu sekali lagi sebelum melangkah keluar dari sana. Namun, ia urungkan saat mendapati pria-pria berusia kisaran tiga puluh sampai empat puluh tahun, dengan seragam kerja yang sangat rapi, bersiap untuk masuk ke elevator yang sama dengannya sekarang.

Sebelum Tiana sempat menebak siapa mereka, pintu elevator kembali tertutup, tidak memberi kesempatan pria-pria berjas tadi untuk masuk. Tangan pria yang sejak tadi bersamanya terulur di depan Tiana untuk menekan tombol agar pintu elevator tertutup lagi.

“Quality Control bukan di lantai tujuh," ujar pria itu sembari menahan senyumnya.

Sekarang Tiana tidak bisa lebih malu dari ini.

 

***

 

"Jadi, namaku Adrian Ravid. Meski aku adalah manajer divisi ini, aku tidak ingin kalian terlalu segan padaku dengan memanggil Pak, atau sejenisnya. Cukup panggil Adrian saja. Kita mungkin seumuran."

Tiana mendengarkan penuturan manajernya dengan saksama. Meski begitu ia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Setelah insiden salah lantai tadi, Tiana menemukan fakta bahwa pria yang bersamanya di elevator tadi adalah manajer divisinya. Itu bahkan berada jauh dari ekspektasinya.

Tiana menyesal telah memberi kesan pertama yang memalukan pada sang manajer.

"Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, sebagai manajer di divisi ini, tentu aku ingin mengenal karyawanku dengan baik, maka sebaiknya kalian—" Adrian menunjuk kubikal-kubikal yang diisi oleh karyawan yang sibuk di depan layar komputer mereka masing-masing. "—alihkan perhatian ke sini, kalian harus mengenal mereka yang akan menjadi rekan kalian."

Adrian beralih memandang keempat karyawan baru—yang akan menjalani masa percobaan—dan menatap Tiana sedikit lebih lama. Tiana sadar akan hal itu dan mengalihkan pandang, ke mana pun asal tidak membalas tatapan manajernya.

"Kamu. Si blazer merah, perkenalkan diri dan apa motivasimu bekerja di sini," suruh Adrian. Suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya, seolah-olah menekankan bahwa itu adalah perintah dan siapa pun itu harus melakukannya.

Tiana melirik ke sampingnya, berharap ia bukan yang dimaksud Adrian. Namun, hanya dirinya yang memakai blazer merah. Saat ini ia dan tiga karyawan baru yang lain berdiri tidak jauh dari pintu elevator dan menghadap ke karyawan yang sudah bekerja lama di sana. Seluruh lantai sepuluh memang untuk Divisi Quality Control. Deretan kubikal-kubikal dengan masing-masing satu karyawan yang menempatinya menyambut siapa pun yang baru saja keluar dari elevator yang berhenti di lantai sepuluh.

Tatapan seisi ruangan tertuju padanya. Itu membuat Tiana makin gugup hingga tanpa sadar mengembuskan napas dengan suara nyaring. Telunjuknya tak berhenti menusuk-nusuk  telapak tangan hingga terasa sakit. Mungkin orang-orang akan berpikir ia berlebihan, tetapi itu adalah kebiasaannya ketika sedang gugup.

Tiana nyaris terlonjak ketika Adrian berdeham keras. Ia sadar sudah terlalu lama diam.

"Selamat pagi. Nama saya Tatiana. Lulusan S1 Sistem Informasi. Usia … dua puluh tiga tahun. Motivasi … ." Tiana memberi jeda sebentar, tidak tahu ingin mengatakan apa. Ia bahkan tidak mempersiapkan apa pun untuk hal seperti ini. "Belum ada, tapi saya akan mempelajari semua yang diperlukan dan berusaha menyelesaikan tugas dengan baik. Saya tahu itu sesuatu yang sangat umum dikatakan oleh karyawan baru, tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan," tutur Tiana dan mengakhirinya dengan tersenyum canggung.

"Oh?" Alis pria itu terangkat sebelah, yang kemudian Tiana artikan bahwa pria itu tidak cukup puas dengan perkenalannya. "Baik, lanjutkan."

Tiana hanya bisa tersenyum masam di sisa sesi perkenalan. Ketiga karyawan lainnya memperkenalkan diri dengan sangat bagus. Mereka selalu mendapat tepuk tangan dari sang manajer di akhir perkenalan. Namun, Tiana merasa motivasi mereka terlalu muluk-muluk, seperti sebuah janji yang tidak pasti akan mereka tepati. Persis calon pejabat pemerintahan yang memberikan janji-janji di kampanye mereka. Dan Tiana senang menempatkan manajernya seperti rakyat yang berteriak heboh karena diberi angan-angan oleh calon pemerintah yang belum pasti akan terpilih.

Lantas untuk apa berjanji hanya untuk diakui baik? Janji ada untuk ditepati; utang untuk dibayar. Bukan hanya sebagai pemanis di awal agar mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitar. Bukan pula untuk sekadar harapan kosong. Tiana sering menemui orang-orang salah kaprah tentang definisi dari janji itu sendiri.

Namun, Tiana akan berusaha untuk tidak menjadi salah satu dari orang-orang yang seperti itu. Salah satunya dengan menempelkan sticky note kecil di tepian layar monitor kerjanya.

Pulang kerja mampir ke minimarket dan belikan sikat gigi baru untuk Ibu.

Ada simbol hati yang ia gambarkan di sana.

"Sikat gigi? Itu hadiah buat ibumu setelah mendapat pekerjaan di perusahaan terbesar di negeri ini?"

Tiana menoleh dan mengulum senyum untuk wanita di sebelahnya. Mereka berada di kubikal yang sama dengan meja yang berbeda. Tiana ingat namanya, Lilian. Ingatannya cukup kuat bahkan sampai ke motivasi yang wanita itu katakan.

"Ini baru permulaan," sahut Tiana dengan tenang.

"Celana cokelat dan blazer merah marun. Maaf, tapi itu sama konyolnya dengan hadiah sikat gigi," gurau Lilian disertai kekehan.

Tiana tersenyum kecil. Ia cukup sadar kalau terlambat membuatnya tampak konyol. Blazer miliknya tadi sudah dilepas dan disampirkan di sandaran kursi. Tiana merasa lebih baik dengan kemeja putih dan celana cokelat mudanya saja.

Ia sempat membandingkan penampilannya dengan Lilian. Wanita itu mengenakan rok peplum selutut dan kemeja renda dengan warna senada. Lilian tampak feminin dengan riasan tipis di wajah dan rambut yang digelung rapi. Elegan dan profesional di saat yang bersamaan.

“Aku terlambat dan nggak sempat memikirkan betapa konyolnya penampilanku sekarang.”

"Ini hari pertama dan kamu udah terlambat. Kesan pertama yang bagus, Tiana."

"Masih ada yang lebih buruk dari itu," bisik Tiana, tidak ingin orang lain mendengarnya juga.

"Aku punya banyak waktu buat mendengarkan." Lilian melepas mouse komputer, sementara dagunya bergidik ke layar monitor, menunjukkan bahwa tugas pertamanya sudah selesai.

"Berada di elevator berdua sama pria yang ternyata adalah manajermu sendiri dan menahan malu karena berhenti di lantai yang salah." Setelah itu Tiana kembali menyentuh kibor komputer kerjanya, sekadar berjaga-jaga kalau-kalau manajernya tiba-tiba lewat. Ia tidak mau mendapat teguran karena dikira terlalu banyak mengobrol.

"Gila!" Lilian menahan diri agar tidak memekik dengan menutup mulutnya.

"Ya, aku tahu, semua kejadian itu membuatku gila."

"Bukan itu," sanggah Lilian. Sorot matanya mendadak serius.

"Lalu?"

"Berduaan sama manajer tampan kayak Adrian itu anugerah, tahu!" Mata Lilian berbinar, di kepalanya sudah terbayang momen-momen manis antara atasan dan bawahan. “Kuharap aku juga seberuntung dirimu.”

Tiana mengernyit, jelas sekali menunjukkan bahwa ia tidak terima pada apa yang wanita itu ucapkan. "Anugerah, kamu bilang? Kamu nggak tahu gimana seramnya dia ngeliat aku. Kayak om-om!"

"Tatapan yang tajam?"

"Semacam itu."

Lilian meraih ponselnya di atas meja. Jarinya bergerak lincah di atas layar. Tiana tidak tahu apa yang wanita itu lakukan dan ia mencoba untuk tidak ikut campur urusannya. Sesuatu yang ada di ponsel perempuan sering kali berisi privasi yang tidak ingin orang lain ketahui, misalnya ribuan hasil swafoto.

"Lihat." Lilian menunjukkan layar ponselnya pada Tiana.

Itu adalah foto Adrian, sedang bersandar di pembatas jembatan yang Tiana duga adalah suatu tempat di luar negeri, karena di belakangnya terdapat pepohonan yang daunnya berwarna jingga kecokelatan—khas musim gugur. Pria itu juga mengenakan mantel berwarna abu-abu gelap. Namun, bukan pose pria itu yang menarik perhatian Tiana, melainkan tatapan tajam dan ekspresi yang pria itu tunjukkan. Entah hanya untuk pose di foto atau memang Adrian memiliki sorot yang tajam.

Ia baru sadar, bahwa manajer divisinya itu sangatlah tampan.

Muda, tampan, dan memiliki karier yang bagus, benar-benar tipe idaman semua wanita. Memuji seorang laki-laki bukan kebiasaan Tiana. Jadi, sebelum mengagumi sosok manajernya itu lebih jauh, ia segera mengembalikan ponsel milik Lilian. Oh, ia bahkan tidak sadar sejak kapan ponsel wanita itu berpindah ke tangannya.

"Skala sembilan sampai sepuluh. Berapa?" tanya Lilian segera setelah ia menerima ponselnya dari Tiana. Ia tampak sangat antusias sekali untuk mendengar jawaban Tiana.

"Boleh aku memilih angka lain?"

"Nggak. Sembilan adalah tidak, dan sepuluh adalah ya."

Tiana mengernyit. "Kalau ya itu untuk tampan, baiklah aku pilih sepuluh."

"Good. Sekarang aku tahu seperti apa kriteria tampan bagimu."

"Hah?"

 

***

 





<