cover landing

Camera Crush

By ArataKim

Behind every screen, there is always another story going on.

Orang-orang mungkin hanya tahu cerita yang terhidang di depan layar, protes karena harus menunggu satu minggu demi menonton satu episode baru berdurasi 20-30 menit. Percaya deh, dengan tontonan sesingkat itu, ada banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan, dan pasti lebih dari setengah jam. Kadang, durasi singkat itu bisa membuat semua orang di balik layar seperti berwisata ke neraka.

Contohnya, yah, episode yang tengah direkam sekarang. Aku memang nggak tahu durasi final edit-nya nanti, tapi aku yakin nggak akan sampai lima hari dan satu setengah jam. Selama itulah waktu yang dibutuhkan selama produksi. Mulai dari pitching, penulisan naskah, sampai recording. Belum lagi ditambah proses editing—yang untungnya bukan bagianku.

Pada episode kali ini aku lebih banyak bekerja ketimbang biasanya, karena ideku yang dipakai. Aku cukup penasaran bagaimana hasilnya. Well, I know it would turn out good. I know he can pull it outstandingly. And he did. Sebenarnya, yang kukhawatirkan bukan soal bagaimana si host membawakannya, melainkan apakah ideku mengenai pertelevisian Indonesia cukup menarik untuk disimak para penonton.

Cut!

Begitu suara sutradara terdengar, semua orang menghela napas lega. Para penonton bertepuk tangan, sementara pria yang berada di atas panggung membungkuk dan tersenyum lebar, berkali-kali mengucapkan terima kasih. Lucas, audio engineer di sampingku ikut melakukan yang sama dan menghela napas.

“Demi apa pegel banget gue,” ujarnya sambil merenggangkan lengan.

“Di loker gue kayaknya nyimpan Counterpain, in case you need some,” tawarku. Dia langsung manggut-manggut. “Nanti gue ambilin deh.”

Thank you.”

“Dia sih nggak perlu krim begituan.” Suara lain ikut masuk ke dalam obrolan kami. Ternyata Reinaldo—Ren—video editor acara ini. “Butuhnya dipijit langsung. Kalau bisa yang plus—”

Nggak kubiarkan Ren bicara lebih jauh. Langsung saja kupukul lengannya. Pelan sih, supaya nggak mengalihkan perhatian penonton. Jangan sampai crew di balik layar seperti kami malah mencuri perhatian dari si bintang utama.

Mungkin aku seharusnya nggak mengkhawatirkan hal tersebut. Apalah artinya cecunguk seperti kami ini kalau orang di depan sana adalah Zackaria Yudistira? I hate to admit it, but he is that attractive.

Aku melemparkan pandangan sekali lagi ke arah panggung, memperhatikan Zack sibuk mengobrol dengan audience, meladeni mereka yang mengajukan beberapa pertanyaan. Tangannya sesekali bergerak menyugar rambut sedagunya yang diikat ke belakang, tiap tertawa matanya berubah jadi tinggal segaris.

“Ngelihatinnya biasa aja dong, Bu. Nanti ilernya tumpah,” goda Ren. Sekali lagi aku memukul lengannya lebih keras dari sebelumnya. Dia langsung mengaduh. “Tolong dong, jangan ada tindakan kekerasan dalam rumah tangga kita, Jo.”

“Ngaco! Lo nih gue timpuk pakai tangga!” balasku gemas, justru dibalas dengan cengiran lebar. Lucas Sampai geleng-geleng.

“Efek baru diputusin pacar jadi gitu tuh,” bisiknya padaku. “Stres kali, makanya banyak tingkah.”

Aslinya dia sudah banyak tingkah sih, tapi aku setuju dengan Lucas. Sewaktu kemarin lembur dan menyelesaikan persiapan untuk hari ini, Ren sempat curhat kalau dia dan pacar tiga minggunya baru saja putus. Aku hanya mengangguk saja, kembali memperhatikan Zack di depan, sudah menempati stool di atas panggung, sementara para penonton mulai dipersilakan keluar oleh Sam, audience coordinator. Satu per satu mulai keluar dari studio, dan Zack melambaikan tangan. Dari sini saja bisa kulihat dia mengedip jenaka, disambut tawa dari beberapa remaja muda—at least dari penampilan kelihatannya mereka lebih muda dariku.

Beberapa menit kemudian, studio tinggal diisi oleh para kru. Mas Danu, sutradara acara, muncul ke atas panggung, berdiri di dekat Zack kemudian berteriak, “Oke, guys. Break 15 menit. Setelahnya langsung ke ruang rapat, ya!”

Aku, Ren, dan Lucas akhirnya keluar dari studio, turun sebentar ke kafetaria di lantai satu, kemudian naik lagi ke lantai lima. Aku mampir sebentar ke ruanganku untuk mengambil Counterpain sebelum menyusul ke ruang rapat. Belum ada siapa-siapa di sana kecuali kami bertiga. Ren menggunakan satu kursi lagi untuk meluruskan kaki, sementara Lucas duduk di sisi lain meja, sibuk makan roti isi.

Aku duduk di samping kiri Ren, mendorong obat krim yang kubawa pada Lucas, kemudian ikut makan. Sebenarnya aku pengin makan bakso di bawah, tapi mau buat apa dengan 15 menit? Mana sempat, keburu telat.

“Eh iya.” Ren bersuara, mengubah posisi duduknya jadi lebih normal. “Sekarang tanggal 25, kan?”

Aku mengernyit karena pertanyaan tiba-tibanya itu, lantas menoleh ke arahnya “Iya. Kenapa emang—eh, 25 Juni, ya?”

“Kenapa emang?” tanya Lucas sambil menenggak teh botolnya.

“Besok ulang tahunnya Zack.” Aku dan Ren menyeletuk bersamaan. Sesaat, aku menyesal baru saja mengatakannya. Ngapain aku ingat, ya? Kesannya seperti aku peduli saja. I don’t and shouldn’t even care about that.

“Tapi besok tanggal merah,” tambah Ren. “Nggak ada makan-makan dong? Kan enak tahun lalu kita ditraktir.”

“Ada kok. Malam ini.”

Suara tadi jelas bukan dari aku maupun Lucas. Kami langsung menoleh ke pintu, mendapati pria yang ada dalam pembicaraan kami muncul dan tersenyum simpul. Berbeda dengan Ren dan telinganya yang memerah—for your information, dia sering begitu kalau malu—Zack santai saja melenggang masuk.

“Udah di sini aja kalian. Gue ikutan, ya.”

“Gue juga.” Dari belakang Zack, muncul Mbak Naila, salah satu jurnalis dari tim senior news. “Lo nggak ada niatan mau traktiran nih? Apa acaranya besok?”

“Habis rapat gimana, Mbak? Makan di mana gitu.”

Mbak Naila bersiul, dan keduanya masuk. Aku baru sadar ada satu kursi kosong di samping kiriku, dan tepat di situlah Zack duduk. Dia sempat menoleh ke arahku, membuatku langsung merogoh saku, mengeluarkan ponsel, dan menyibukkan diri mengirim pesan random untuk tanteku. Padahal sih nggak ada perlu apa-apa. Jam segini pasti Tante Nadya dan anak-anak lagi makan malam.

Beruntungnya, kurang dari sepuluh menit ruangan mulai penuh dengan kru lainnya yang sudah kembali. Rapat pun dimulai setelah Mas Danu masuk dan meminta kami untuk memulai evaluasi. Zack-lah yang bicara duluan selaku executive producer acara.

Thank you for today, kalian semua.” kata Zack, tapi lirikannya terarah padaku. “Episode kali ini pasti bakal pecah setelah tayang. Dari penonton juga responsnya oke banget.”

“Setuju sih gue.” Mbak Naila manggut-manggut, kemudian memperhatikanku yang ada di depannya. “Gue salut sih lo bisa dapat narasumber dari orang televisi langsung.”

Lucky juga gue itu, Mbak. Si orangnya ternyata mau di-interview,” balasku sambil terkekeh.

Sebenarnya masalah televisi ini klasik, dan mungkin nggak begitu memancing perhatian semenjak streaming platform mulai menjamur. Not that I’m complaining, ya. Aku juga dapat uang karena bekerja di sana—kantorku sekarang.  

Kebetulan, ideku saat pitching bertepatan munculnya berita salah satu sinema elektronik yang diprotes karena muatannya. Nggak lama setelahnya, ada thread Twitter muncul dari sebuah identitas anonim mengaku sebagai script writer  di salah satu televisi nasional. Walaupun bukan secara khusus menulis sinetron menggemparkan itu, dia menceritakan beberapa alasan kenapa kontennya sering kali dinilai tidak masuk akal dan kurang persiapan.

“Gue suka hasil kerja lo, Joan,” Mas Danu ikut nimbrung. “Keep up the good work.”

Thank you, Mas.” Kalau sudah begini boleh dong aku berbangga? Setidaknya, yang satu ini pujiannya lebih bisa kuterima daripada Zack tadi.

Kesannya aku nggak tahu diri, ya?

Anyway, malam ini kalian lagi ada plan?” tanya Zack. “Gue mau ngajak makan. Berhubung besok libur, jadi mending sekarang aja.”

Early birthday party ceritanya?” Mas Danu terkekeh. “Boleh sih, baru jam delapan juga. Yang lain bisa nggak nih?”

Zack ikut tertawa. “Ada yang bawa mobil nggak? Biar ramean perginya.”

“Gue bawa,” balas Mbak Naila. “Emang mau ke mana?”

“Sofia. How?”

Yang lain langsung bersorak, dengan cepat menerima tawaran tersebut. Yah, siapa yang nggak mau traktiran gratis? Also, Sofia? It’s definetely a yes.

Jawabanku begitu kalau yang menawarkan orang lain. Percayalah, jiwa gratisanku ini masih punya pertimbangan.

Ren langsung mencolekku. “Mau bareng gue? Hari ini gue bawa mobil.”

Aku baru mau bertanya soal Lucas, lalu teringat hari ini dia bawa mobil kakaknya. Kami sempat bertemu di parkiran tadi pagi. Sesaat kulirik ponselku, memeriksa pesan baru yang masuk sebelum membalas Ren dengan gelengan. “Gue perlu pulang cepat. Tante gue tadi nge-chat, ada urusan.”

Tanteku memang baru saja menghubungiku dan minta tolong. Tepatnya, aku diminta mampir ke supermarket untuk membeli susu formula untuk El, bayi kecil yang baru dititipkan ke panti sejak awal minggu ini. It’s not that urgent actually, susunya buat besok. Tapi, aku nggak punya kewajiban untuk memberitahu detailnya, kan? Yang penting bisa langsung pulang dari sini. Aku punya alasan.

Lucas sepertinya mendengar, sampai-sampai dia mengangkat alis, seolah mempertanyakan keputusanku.

“Seriusan lo?” tanya Ren lagi. “Sofia nih, gratis lagi.”

“Kalau bisa bungkus, mau gue. Nanti lo bawain gitu,” kataku. Tentu saja aku nggak serius. Minta dibungkusin? Apalagi mengingat siapa yang punya acara, aku makin yakin itu mustahil. Aku nggak mau mempermalukan diriku lebih jauh dari yang sudah pernah terjadi.

Kusadari Zack sempat memperhatikanku, tapi dia nggak bilang apa-apa. Yah, mau dia bicara apa pun, keputusanku sudah tetap. Semua acara yang berkaitan dengannya kecuali dalam konteks pekerjaan harus kuhindari. Apa pun.

“Sayang banget padahal,” kata Ren kemudian, tapi dia nggak mendorongku lebih jauh. Namun, baru saja aku merasa lega, Whatsapp baru masuk. Pengirimnya bahkan bisa saja langsung mengobrol denganku. Sebenarnya dia melakukannya, tapi bukan dengan mulut, melainkan sorot mata tajam dan penuh tuduhan.

 

Lucas – CT Crew

Serius lo kaga ikut?

Ada acara sama Budhe Nadya atau acara ngehindarin Zack?

 

Ini sih bukan sindiran lagi namanya. He slaps me right on the face. Berbeda kalau ke Ren, aku sama sekali nggak bisa berbohong pada Lucas. Dia satu-satunya yang tahu alasan di balik sikapku ini. Dia saksi mata dari kejadian itu. Dia tahu aku menghindari Zack.

Karena setiap kali melihat pria itu, yang bergema dalam kepalaku justru suara menyebalkannya yang bilang, “Just so you know, lo bukan tipe gue. So don’t expect too much.”

Dia menolakku, bahkan sebelum aku sempat menyatakan perasaanku. []






<