cover landing

Candramawa

By Christalina Remy

PROLOG

Kota 141, X, 2068.

Tahun 2068 adalah tahunnya reformasi. Kebebasan berdemokrasi sudah lama direnggut, hilang sedasawarsa lalu. Rezim telah mendudukkan kekuatannya sampai akar.

Sejak sedasawarsa lalu, Partai Democrite menjadi satu-satunya partai politik yang sah di negara X. Geihgstan (parlemen X) hanyalah boneka dan “tukang stempel” untuk kediktaktoran Kim—penguasa negeri X. Keinginan Kim selalu dijadikan landasan kebijakan pemerintah.

Negara X sendiri tumbuh menjadi negara super power, tergabung dalam aliansi lima negara super power di dunia bersama negara A, I, J, dan IL. Tetapi, akhir-akhir ini dunia bergejolak. Beberapa aliansi muncul dan memicu perang dunia ketiga di muka bumi. Bumi dibagi menjadi beberapa daerah di sebelah barat bumi, tenggara, dan timur. Paham-paham dan doktrinisasi mulai tumbuh—sehingga Kim merasa bahwa agama sudah tak lagi relevan dengan zaman.

Di sudut terkecil kota 141, lahirlah seorang Kim baru—seorang yang baru saja menjalani sakramen presbiterat (imam). Kim yang satu ini tentu bukan Kim sang diktaktor. Ia adalah Kim yang mencintai agamanya, mendedikasikan rohnya dalam pendakwahan, dan bernasionalis untuk selalu mencintai tanah ia dilahirkan.

Dalam kesempatan tak terduga, kedua Kim ini akan saling duduk di depan meja. Meramalkan masa depan; di mana negara X harus tetap bertahan atas nyawa jutaan umat manusia yang mendiami tanah itu.

“Kim Seok Jin, bukankah doktrinisasi adalah jalan terakhir?”

 

BAB 1

 

Kota 141, X, 2068.

Dia adalah satu di antara tiga lelaki yang berada dalam cahaya yang masuk dari tiga jendela di atas altar.

Terang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang berjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyalakan koster (petugas persiapan ibadah) sebelum misa penahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra keemasannya memanggil nama mereka satu per satu.

Sakramen presbiterat. Tiga lelaki lalu telungkup mencium ubin katedral yang dingin. Mereka telah mengucapkan kaulnya. Pada mereka telah dikenakan stola (syal panjang) dan kasula (jubah pendek yang dipakai saat misa). Sejak hari itu orang-orang memanggil mereka “pater”. Namanya pun menjadi Pater atau Romo (dikutip dari novel “Saman” milik Ayu Utami).

Seulas senyum tak bisa enyah barang sedetik. Padanya telah ia raih tujuan hidupnya; melayani Tuhan dan umat seumur hidup. Semenjak belajar di seminari, Seok Jin merasakan panggilan Tuhan dan percaya bahwa hidup selibat (tidak menikah) serta berdevosi kepada Tuhan memang sesuai untuk dirinya. Maka dari itu, tak ada hari tanpa berdoa agar ia bisa lulus S1 hukum, pun menjalani panggilan imamat.

Hari ini, Tuhan mengabulkan semua keinginan hidupnya.

“Selamat.”

Seok Jin mengangguk, menyalami salah frater (calon pastor) yang mana adalah adik tingkatnya di seminari—juga satu universitas yang sama.

“Kuharap kau cepat menyusul, Jeon.”

“Pasti.” Frater Jeon itu menjawab antusias, penuh dengan emosi membara; optimisme, semangat, keinginan kuat. Jeon Jung Kook menunjukan dua gigi kelincinya. “Aku tunggu kau di depan, ya. Ada hal yang perlu kubicarakan padamu.”

Seok Jin tak menjawab; ia hanya senyum seraya mengangguk. Sebab masih banyak anggota koor dan misdinar yang harus ia salami. Akan lebih banyak lagi pujian dan harapan yang akan ia dengar, sebab setiap kali frater menetas menjadi pater, mereka menganggap bahwasannya hal tersebut adalah sebuah kelahiran; yang penuh harapan, suka cita, dan kekhawatiran.

***

“Kau benar-benar tak ingin pindah?”

Keheningan meramu dalam senyap di ruangan kecil berukuran 3×4. Tak ada tanda-tanda salah satunya menjawab. Yang satu menunggu, dan satunya lagi memilih melipat tudung putih penutup tubuh yang ia gunakan beberapa menit lalu untuk beribadah.

“Kamu menungguku selesai salat hanya untuk membahas hal ini?”

Si penanya pertama mengangguk cepat, seolah memang tak ada setitik keraguan di dalam ucapannya. Meski begitu, dua binar di sudut matanya tampak skeptis. Menimbang, menuggu, berharap lebih banyak pada lawan bicaranya.

“Aku tidak bisa, Yoon.”

“Argh!” Pekikan penuh keputusasaan itu terdengar. Si Yoon—Im Yoona namanya—menutup matanya sejenak. Ia hirup udara sebanyak mungkin, melepaskannya dalam kesesakan. Lalu, ia tatap lagi lawan bicaranya itu. “Christa, ayolah. Kamu tahu, ini tawaran bagus untukmu. Daripada kamu bertaruh nasib di negara MR. Kondisi di timur sedang tidak bagus. Perang sudah pecah. Beberapa situs pun hanya tinggal nama.”

Dalam satu hentakan terakhir, ia masukan peralatannya ke dalam tas kecil jinjing. Christa pun duduk bersila, bertatapan dengan Yoona—sahabat karibnya sejak kuliah dulu.

“InsyaAllah ini keputusan tepat.”

“Christa ...” Yoona mencicit, kedua bola matanya masih menaruh ekspektasi pada iris pekat di depannya. “Kamu tahu, kantorku sudah mau menerimamu. Kamu bisa jadi staf ahli bersamaku.”

Embusan berat terdengar. Dalam detik-detik pengambilan napasnya, ada secuil kekhawatiran. “Teknokrat bukan pilihanku. Rumahku bukan hukum dan politik. Aku tidak punya keahlian sepiawai dirimu, Yoon. Kamu paham maksudku, kan?”

Yoona mengangguk. “Sangat paham, Christa.” Impresif, kedua tangan Yoona menggenggam punggung tangan Christa penuh harap. “Kamu ini masih muda. Jalan kariermu masih sangat panjang. Pikirkanlah. Kalau kamu masih bekerja bersama Profesor Lee, kamu tidak akan berkembang. Budaya telah dilupakan di zaman milenial ini, Sayang.”

“Aku tahu, Yoon. Karena itu aku perlu menghidupkan semangat untuk mengenali diri mereka. Kita hidup dari kebudayaan, berkembang bersama sejarah.”

“Siapa yang peduli tentang itu sekarang, Christa? Semua hanya peduli tentang hidup dan mati. Persoalannya, perang dunia ketiga akan meletus, tidak lama lagi.”

“Dan kamu memintaku untuk jadi bagian dari pemerintah?”

Yoona mengangguk kembali. “Kamu punya semangat revolusioner. Aku yakin kamu pasti bisa menjadi staf ahli kepresidenan bersamaku dengan kecakapan dan kepiawaianmu.”

“Aku tidak tahu, Yoon.” Christa menunduk, menatap bulu-bulu permadani berwarna marun yang tengah ia duduki. Pikirannya berkabut, ada banyak beban di pundak yang masih belum selesai ia lepaskan semenjak selesai kuliah.

“Aku begini karena kau temanku, Ta. Aku hanya mau kau baik-baik saja. Tidakkah kamu ingin tahu bagaimana keadaan Hellen?”

***

“Jadi, maksudmu dia kerasukan iblis?”

Poni hitam itu bergerak naik dan turun. Anggukannya cepat dan keras; penuh penekanan dan kekuatan. “Dia benar-benar kerasukan iblis!”

Seok Jin menghela napas sejenak. “Sudah dibawa ke psikiater? Ditangani ahlinya, Jeon?”

Jung Kook mengangguk. “Sudah. Tak ada yang mempan. Dia sangat membahayakan. Dua dari tiga psikiater yang menanganinya pernah nyaris terbunuh.”

“Bagaimana dengan psikolog?”

“Sama saja,” balas Jung Kook pelan. “Kupikir mereka semua menyerah. Bahkan di salah satu universitas, kasus ini malah diangkat dalam seminar. Beberapa psikolog menjadikannya bahan penelitian.”

Seok Jin terhenyak. Untuk beberapa alasan, jiwa kemanusiaannya terpanggil—tetapi di sisi lain jiwanya, akalnya memanggil. Ketidaklogisan ini membuat banyak ceruk-ceruk renungan di dalam kepala.

“Bukankah kau bilang dia temanmu. Siapa nama perempuan itu?” tanya Seok Jin, membuka pintu mobil seraya mempersilakan Jung Kook untuk ikut di sebelahnya.

“Hellen. Namanya Hellen Dafzren. Dia beda prodi denganku, tetapi kami sama-sama pernah satu kelas pada mata pelajaran filsafat kontemporer dan fenomenologi.”

“Hellen itu bukan anak filsafat sepertimu?”

Jung Kook mengangguk, “Dia beda prodi denganku.”

Kerutan di dahi Seok Jin tampak bersama konsentrasinya yang pecah; terbagi antara analogi dan fokusnya menyetir.

“Secara psikologis, harusnya kasus Hellen dapat dipecahkan. Paling tidak dapat ditangani. Memang ini abad berapa? Masa peradaban harus mundur lagi sih, sehingga kasus seperti ini dianggap kerasukan iblis?”

Kurva di sudut bibir Jung Kook tertarik. “Kupikir ini adalah gerbang menuju akhir dunia. Tetapi, siapa yang tahu. Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa kemaksiatan dan pengaruh iblis akan menguasai bumi nantinya. Siapa yang tahu juga, mungkin apa yang dialami oleh Hellen ini adalah bagian dari praktik-praktik magis.”

Hening.

Sesuatu terasa kering, terasa janggal dan menghauskan. Di detik berikutnya, rasa penasaran itu membesar.

“Jeon, apa maksudmu? Kau ... mempelajari Al-Qur-an?”

***

Padanya dijangkiti ketakutan yang bersarang dari jiwa; penuh rasa cemas, khawatir, dan skeptis.  Ia—mereka—membisu, stagnan di depan pintu bersama kedua atensi yang membelo. Praduga-praduga di dalam kepala kian menumpuk, seiring dengan seringaian di depan yang makin lebar.

“Siapa kamu?”

Hening.

Kedua obsidian itu bertumbukan secara langsung; tanpa penghalang, dalam diam, dalam kegigihan hati yang bercampur rasa gamang. Sepersekian detik kemudian sebuah tawa pecah—benar-benar pecah dan menyayat pendengaran.

“Ta.” Mendengar namanya disebut, Christa mendesah. Lagi, tangan itu menekan pundaknya, membuat ia mau tak mau mengatensikan diri sedikit ke belakang. “Sudah kubilang, Hellen tak pernah baik-baik saja sejak hari itu.”

Pandangan gadis itu kembali; menelisik dengan lebih saksama. Sesosok perempuan berambut pirang sebahu, dengan tubuh kurus dan ringkih dibalut daster berwarna putih. Siapa pun yang melihatnya akan percaya kalau ia—wanita bernama Hellen itu tengah dirasuki iblis. Hellen benar-benar tak tertolong.

“Ayo, Ta.”

Christa tak banyak bicara manakala Yoona menarik punggung tangannya yang dingin, mengajak gadis itu keluar dari kamar berukuran 3×4 yang bahkan lebih persis disebut sebagai loteng pesakitan. Ruangan yang dikhususkan untuk merantai tubuh Hellen dengan borgol dan rantai-rantai berat berkarat.

Kriet!

“Yoon ...” Christa mendesah panjang, dibarengi oleh tumbangnya kedua kaki gadis itu di depan pintu. “Harusnya hari itu aku menemani dia.”

Yoona mengulas senyum tipis, turut berjongkok di depan Christa. Ia betulkan coat merah darah yang dikenakan Christa, sekaligus merapikan anak rambut di atas dahinya yang mencuat. “Tidak. Sudah benar kamu tidak ikut. Karena hari ini Hellen membutuhkanmu.”

“Aku tidak mengerti. Harusnya ia pergi ke konferensi itu, menghadiri rapat, bukan malah pulang dan kerasukan iblis begini!”

Yoona mengelus bahu Christa. “Sudah kukatakan padamu, Ta. Siapa pun yang menghalangi keputusan world for victory tidak akan benar-benar baik.”

“Tetapi keputusan aliansi lima negara itu benar-benar berdampak buruk, Yoon. Perang semakin meletus. Lagi pula kami hanya ingin merundingkan bersama perserikatan dunia; bahwa tempat suci dan tempat bersejarah harus steril dari zona perang.”

“Aku mengerti.” Yoona bangkit, merapikan diri, lantas mengulurkan sebelah tangannya. “Ayo kita ke bawah. Kita bicarakan ini lain kali. Kamu sedang emosi. Hal ini tidak baik.”

Christa mengangguk. Ia terima uluran tangan itu, lalu bangkit. Sungguh banyak hal yang bercokol di dalam kepala. Sebagai orang yang calak, otaknya tak bisa diam begitu saja. Ia kerap kali memikirkan hal-hal kotor di balik pemerintahan negerinya sendiri—termasuk isu freemason yang sudah berkembang sejak lama.

Tetapi, iman di dalam dirinya menepis dengan kuat. Menumbangkan pikiran jahat yang selama ini jadi banyak buah bibir. Toh, pada dasarnya hal tersebut tak pernah terbukti secara konkrit.

Berjalan menuruni tangga, sekonyong-konyong ia terfokus pada seorang pemuda yang baru saja datang dari lantai bawah—bersama sosok asing lainnya tengah bercengkerama dengan Hezkiel, adik laki-laki Hellen yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Membuang pandanglah ia dengan rikuh, tatkala sosok pemuda itu secara tak sengaja balas menatap dirinya; merasa seperti seorang pencuri kecil. Bersama jantung yang berdebar dengan rasa takut dan segan, ia mengekori Yoona menyambut dua sosok laki-laki asing tersebut.

“Hai, Jeon.” Yoona menyapa salah satu di antara mereka—sosok yang tidak Christa perhatikan. “Ini Christa, temanku yang waktu itu kuceritakan. Dan Christa, dia Jeon Jung Kook. Teman gerejaku.”

“Christa.” Dara itu memperkenalkan diri sekenanya, tak lupa ia ulas senyum tipis.

Si Jeon bergigi kelinci itu tersenyum antusias. “Halo, Christa. Aku banyak mendengarmu dari Yoona. Oh iya, di sebelahku ini adalah Kak Seok Jin—a, maksudku hari ini ia baru saja menetas menjadi pater,” ralatnya dengan nada khas yang membanyol.

Christa tergugu; tak merespons selain mengerutkan kening. Mahfum, Seok Jin mengambil alih. “Panggil saja ‘Pastur Kim’.”

“Dia ini seorang pastur. Yang sering kuceritakan padamu.” Yoona menambahkan dengan cepat. “Ketua paroki yang pernah kuceritakan itu,” bisiknya kemudian.

Christa lantas mengangguk, mengenyahkan kebingungannya. “Maaf ya, aku tidak mengerti habisnya.”

Seok Jin diam. Ia hanya menatap Christa; anting-anting besar di telinganya, merah bibirnya, dan ia segera buang lalu setelah menyadari kesalahannya.

“Kebetulan ada kalian di sini, aku membawa Pastur Kim untuk melihat keadaan Hellen,” ujar Jung Kook menjelaskan seraya menepuk-nepuk pundak Seok Jin.

“Saya harap saya bisa membantunya.”

***

“Demi nama Bapa, terkutuklah kau di neraka sana!”

Seisi ruangan diisi oleh tawa besar yang mencekam; menyayat telinga, membuat siapa saja yang mendengarnya merasa ngilu.

Seok Jin tak gentar sedikit pun. Berhadapan dengan sesosok iblis jahat yang berada di dalam tubuh gadis perawan tak berdosa sama sekali tak membuat ia takut. Justru jiwa kemanusiaannya terpanggil; semakin ingin segera membebaskan Hellen dari jerat iblis.

Pemuda ia mengeluarkan kalung salib yang ia kenakan di balik coat, melepaskannya, lantas melemparkannya di atas ranjang Hellen.

Gadis yang kerasukan itu terdiam. Tak lama seringaiannya yang menyeramkan muncul.

Sret!

Bergerak cepat, ia mengambil kalung salib tersebut, tubuhnya terbalik menghadap kasur.

Jesus? Hahaha, fuck you! Fuck me ouh—arg!”

Semua mata yang ada di ruangan itu membuang pandang; diikuti oleh darah yang merembas dari kewanitaan Hellen. Kalung salib yang dipegangnya itu kini ia tusukan berulang kali ke dalam kewanitaannya; mengimplementasikan persetubuhan yang cepat dan brutal.

“Berhentilah iblis!” Seok Jin berteriak dengan lantang. Tubuhnya bertindak maju, menahan tangan Hellen yang kerasukan agar tak semakin membahayakan dirinya.

Jung Kook tak tinggal diam. Ia turut mengambil tempat di sisi kanan Seok Jin, menahan tangan Hellen yang masih menghentak-hentakan kalung salib itu ke dalam kewanitaannya yang berdarah.

Di sudut ruangan, Christa terisak. Tak tahan akan siksaan iblis terhadap tubuh tak berdosa Hellen. Bukannya berhenti, iblis itu menjadi-jadi. Meradanglah Christa dibuatnya.

“Allahu Akbar!” pekik Christa histeris, tak tahan melihat semakin banyak darah yang mengucur. Yoona pun makin erat memeluk tubuh Christa.

Hening.

Sesaat keadaan jadi senyap. Tubuh Hellen yang dikuasai oleh iblis seakan lumpuh, tak bergerak. Kepalanya lantas memutar sembilan puluh derajat, ia menyeringai lebar.

BRUK!

Seok Jin dan Jung Kook terhempas seketika; raganya terbang menjauh. Selama beberapa detik Christa menahan napas. Kali kedua iris mereka bertumbukkan.

“Kau gadis selanjutnya itu. Aku menemukanmu.” Iblis di dalam tubuh Hellen berbisik dengan pelan dan tenang. Seringaian terpampang nyata dan lebar.

“ARGH!”

“AWAS!”

Seok Jin yang terjerembap di bawah kaki Christa dengan sigap bangkit, menyikut Christa dan Yoona ke samping. Kedua gadis itu terjatuh, dan Seok Jin menghantam pintu yang secara tiba-tiba tertutup dengan dobrakan keras.

TAK!

Kalung salib itu berubah menjadi sebuah belati, menancap dengan kuat pada daun pintu. Mencuat sudah jantung Christa, berdetak tak keruan. Manakala ia belum tertarik dari kesadaran, ia sempat melirik Seok Jin yang juga tengah melirik dirinya.

Namun, kesadarannya terhisap tak lama. Ia lenyap. Matanya menutup bersama irama detak jantungnya yang kembali normal.

“CHRISTA!”

***

 





<