cover landing

Catatan Kuliah Si Udin

By DeeR

Byuuuuur...

“Gila lu Mus! Kira-kira dong kalo bangunin orang,” celetuk Udin yang masih megap-megap terkena serangan satu ember air penuh di wajahnya.

“Bangunin manusia setengah kebo kayak lu sebenarnya satu ember belum cukup, Din,” jawab Mustofa.

Slee, lu kira gue manusia jadi-jadian, Mus? Orang ganteng kayak gini dibilang kebo. Mata lu udah rabun tuh.”

Mustofa mendekati Udin. Meletakkan tangannya di kening Udin.

“Din, elu sehat kan? Apa gara-gara gue siram, elu jadi stres gini, Din? Otak lu udah konslet. Udah nggak bener nih.”

“Gue sehat wal afiat, Nak. Sehat bugar gini dibilang stres.”

“Sadar, Din. Orang yang bilang elu ganteng cuma elu doang. Bahkan emakmu aja ogah bilang elu ganteng. Tekanan batin Din kalau bilang elu ganteng. Rumput yang bergoyang pun jika ditanya apa elu ganteng, pasti langsung kering tuh rumput.”

“Aseeem lu Mus, temen tipis kayak tisu!” balas Udin nggak mau kalah.

“Setidaknya tisu bisa menghapus air mata seseorang yang bersedih Din. Eh, elu mau kuliah nggak? Kita hampir telat nih. Ada hikmahnya kan, tadi gue siram? Elu nggak usah mandi, sama sekalian ngepel lantai kontrakan.” Kata Mustofa mencoba membuat solusi biar Udin nggak makin kesel.

“Bener juga, lu. Oke, gas lah. Mau bareng atau motoran sendiri?” tawar Udin.

“Gue mah ogah boncengin makhluk astral kayak elu, Din,” timpal Mustofa.

Sueee lu, Jhon*.” (*Jhon adalah panggilan khusus Udin untuk para sahabat-sahabatnya. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu arti panggilan itu. Masih misteri. Kayak misteri kenapa doi belum juga menerima cintanya dan enggak penting juga mencari arti panggilan itu. Tidak berfaedah dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia.)

Mereka pun berangkat dengan motor sendiri-sendiri. Udin dan Mustofa kuliah di salah satu universitas negeri terkenal di Solo. Saat ini, mereka mengambil program studi Agribisnis di Fakultas Pertanian. Kalau Mustofa sih wajar-wajar saja jika dia dapat masuk di perguruan tinggi negeri. Dia lulusan terbaik di SMA dengan nilai ujian nasional terbaik ke-tiga se-kabupaten. Kalau Udin beda cerita. Lulus udah Alhamdulillah.

Hari pertama ujian dia telat 45 menit. Ujian Matematika dikerjakan hanya menggunakan kocokan seperti arisan. Apalagi saat seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ilmu kira-kira dia terapkan. Dia mengerjakan menurut instingnya. Atau mungkin panitia seleksi terpana saat melihat wajahnya dan langsung meloloskan dia. Hanya rumput yang bergoyang yang tahu jawabannya. Saat ini mereka sudah semester 4. Mahasiswa semester tengah yang masih setengah matang.

Dengan motor jadul Honda Astrea Udin melaju dengan kencang layaknya Valentino Rossi. Sepatu Converse, celana jeans, kaos oblong dibalut kemeja yang tidak dikancingkan, dan tas slempang menjadi fashion favorit Udin. Sebenarnya bukan favorit, hanya saja Udin cuma punya satu baju itu buat kuliah. Itu saja tiap hari dicuci setelah selesai dipakai, lalu besoknya lagi dipakai untuk kuliah.

Udin sebenarnya anak orang kaya. Bapaknya pengusaha properti terkenal di daerahnya. Hanya saja, Udin memang berpenampilan seperti itu. Dia paling tidak suka menunjukkan kekayaan dia. Hal itu menurutnya malah menjauhkannya dari teman dan sahabatnya. Tampil apa adanya dan cenderung urakan adalah ciri khas Udin.

Keduanya sampai di kampus hampir bersamaan. Udin melepas helm batoknya. Dia mengibas-kibaskan rambutnya bagai bintang iklan sampo. Kacamata hitam masih terpasang di depan matanya. Masker masih melekat di bibir. Sarung tangan Udin lepas satu per satu. Dia turun dari motor layaknya orang yang lagi touring. Padahal, jarak kampus dan kontrakannya tidak sampai sekilo meter. Udin berjalan bak artis terkenal yang akan menjumpai fans-nya.

Namun satu kesalahan fatal dia pagi ini, dia tidak melepas kacamata hitamnya. Bayangkan saja, tubuh hitam legam, gigi kuning, ditambah kacamata hitam semakin memantapkan dirinya kalau dia adalah makhluk astral. Padahal matanya adalah satu-satunya harapan dia terlihat oleh orang lain karena ada warna putih.

Udin masih berjalan dengan keren menuju ruang kuliah. Sedangkan Mustofa masih berdiri di parkiran.

“Heeeiiiiii Mas! Awaaaaas! Semennya belum kering!” teriak Pak Satpam kepada Udin.

Udin yang terkaget-kaget langsung panik. Kepanikan Udin malah merusak jalan yang semennya masih belum kering.

“Kalau jalan lihat-lihat, Mas. Nih, kamu harus perbaiki jalannya,” kata Pak Satpam yang geram sambil memberikan semen pada Udin.

“Tuh, pasirnya ada di situ,” tambah Pak Satpam sambil menunjuk sudut parkiran.

“Ini gimana urusannya? Masa iya calon sarjana tersukses sepanjang masa ini harus nyemen jalan? Nggak berkelas banget, Pak. Nanti ketampanan saya berkurang dong,” protes Udin.

“Udah, kamu jangan protes atau ban motor kamu kami kempesin lalu kami buang bannya, mau ?”

“Jahat banget lu, Pak. Kayak ibu tiri,” jawab Udin memelas.

Mustofa yang masih cekikikan di parkiran merasa kasihan melihat sahabatnya dan langsung menghampiri Udin.

“Kasihan banget kamu, Nak. Sini gue bantu,” kata Mustofa.

“Makasih banget, Mus. Elu emang sahabat terbaik lah,” kata Udin terharu.

“Nggak usah baper, Din. Gue males aja masuk cepet-cepet di kuliahnya Pak Joni. Apalagi mata kuliahnya Ekonomi Makro yang susah. Mata kuliah susah, ditambah dosen yang killer. Lengkaplah sudah, untung beliau sering terlambat. Jadi nggak papa kita dateng terlambat juga.”

Nyemen sebenarnya bukan masalah buat Udin. Dia sering bekerja sebagai kuli bangunan saat liburan semester. Mustofa hanya membantu membawakan adukannya. Sedangkan yang mengaduk dan menyemen Udin semua. Apa yang mereka lakukan ternyata menyita banyak perhatian mahasiswa di gedung dekat parkiran.

“Mustofaaaa, Mustofaaa....” teriak para mahasiswi dari lantai atas.

Sebenarnya Udin dan Mustofa hampir sama. Sama-sama mempunyai kulit gelap. Bedanya kalau Mustofa itu hitam manis, stylish, dan keren seperti kecap. Sedangkan Udin hitam pekat seperti arang.

“Kok nggak ada yang neriakin aku ya, Mus? Padahal aku jauh lebih ganteng dari elu.”

Mustofa menepuk bahu Udin berkali-kali. “Tenang Din, para pengagummu itu pengagum rahasia. Jadi dia tidak mungkin blak-blakan teriakin nama elu. Tapi di hati mereka selalu terpatri nama elu.”

“Elu puitis banget Mus, kayak Chairul Tanjung,” puji Udin kepada Mustofa.

“Chairil Anwar, Nak. Elu kurang baca buku Biologi, Din.”

“Emang apa hubungannya, Mus ?”

“Hubungan tanpa status, Din. Kayak elu yang sering di PHP-in sama dek’e*.” (*Dia dalam bahasa Jawa.)

Sleeee,” gerutu Udin.

Selesai nyemen jalan, mereka pun berlalu meninggalkan parkiran dan menuju ke kelas. Mustofa melirik jam tangannya. Sudah setengah jam mereka nyemen jalan. Mereka juga terlambat 45 menit untuk kuliah pagi ini. Keduanya berjalan beriringan menuju kelas yang ada di lantai 3.

“Ya ampun, Mus, Pak Joni udah di kelas tuh. Gimana nih?” tanya Udin cemas. Asli mukanya tambah jelek aja.

“Yaudah masuk aja. Bilang sejujurnya,” balas Mustofa.

Akhirnya Mustofa memberanikan diri masuk kelas. Salam, lalu meminta izin masuk kelas serta menjelaskan semuanya.

“Saya sudah tahu semuanya. Saya tadi juga melihat apa yang kalian perbuat. Yasudah, langsung duduk sana,” jawab Pak Joni.

Jawaban dari sang dosen killer tersebut melegakan hati Udin dan Mustofa. Tidak terbayang oleh mereka jika Pak Joni sampai menghukum mereka. Pasti bikin geger satu fakultas. Dulu pernah ada mahasiswa yang dihukum Pak Joni untuk menyatakan cinta ke 30 mahasiswi di tiga fakultas yang berbeda. Kalau Mustofa, hal tersebut bukan masalah. Masalahnya di Udin. Bukannya dapat simpati, malah digampar.

Kuliah Pak Joni begitu membosankan. Selain dosen senior, beliau selalu mengajar menggunakan buku tanpa slide atau media apapun. Kalau ada yang tidur, tegurannya pasti membuat gempar. Mustofa yang semalaman ikut Udin bermain game ngantuk berat. Ngantuk yang tak tertahankan. Dia memutuskan untuk pergi cuci muka ke kamar kecil. Dia menoleh ke arah Udin yang duduk di sampingnya. Mustofa kaget bukan main. Udin malah molor dengan pulas. Hal ini akan bahaya jika Pak Joni mengetahuinya.

“Pak Joni, saya mau izin ke kamar kecil dulu, Pak,” kata Mustofa.

“Yaudah sana,” jawab Pak Joni tanpa melihat ke arah Mustofa karena asyik menulis rumus di papan tulis.

Mustofa yang melihat Udin tertidur pulas dengan sekuat tenaga menginjak kaki Udin agar terbangun.

“Aduuuuuh! Laknat lu, Jhon!” teriak Udin kesakitan.

Semua orang di kelas seketika terdiam membisu. Kejadian lucu itu bukannya membuat mereka tertawa terbahak-bahak, tetapi justru membuat semua bulu kuduk mahasiswa di kelas itu berdiri. Satu kesalahan fatal yang diucapkan Udin. Dia memanggil Mustofa dengan panggilan “Jhon” dengan embel-embel laknat. Semua mahasiswa tertunduk lesu. Seketika wajah Pak Joni merah padam. Dia sudah tidak kuat menahan amarahnya.

“Apa Din? Kamu menyebut saya laknat?”

“Mm..maaf, Pak. Yang saya maksud bukan Bapak,” jawab Udin gemetaran.

“Nggak usah banyak alasan, kamu keluar sekarang juga! Kamu diperbolehkan mengikuti perkuliahan saya setelah membuat surat permintaan maaf yang ditandatangani oleh dekan dan rektor,” kata Pak Joni penuh amarah.

Udin hanya bisa tertunduk sambil berjalan keluar kelas. Mustofa yang awalnya izin ke kamar kecil akhirnya menunggu Udin di luar kelas.

Sueee lu, Mus,” kata Udin lemas.

“Bhahahahaha, baru kali ini gue denger Pak Joni marah besar. Horor juga ternyata. Galaknya sama kayak cewek lagi PMS,” canda Mustofa.

“Seraaaaaah lu.”

***

 





<