cover landing

Cinta di Keranjang Belanja

By Elisabeth Ika

Di depan pintu ini, aku ingin berteriak kepada matahari. Jangan turun ke peraduan. Karena aku benci ketika langit sudah berubah jingga. Aku benci mesti membereskan segala berkas penjualan dan pembelian hari ini. Menaruhnya di odner lalu menyejajarkannya rapi di rak di belakang meja kerjaku. Ketika semua orang begitu menyukai sore hari, yang artinya waktunya pulang dan bersua dengan keluarga, aku justru benci sekali dengan momen itu. Bukan, bukan benci sekali. Aku hanya tidak menyukai situasi di rumah.

Aku memejamkan mata, membiarkan udara memasuki rongga dada sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskannya perlahan. Setidaknya ini bisa jadi penenang sebelum mataku menemukan tatapan sinis dari Ayah dan telingaku harus rela mendengar sindiran khas Ibu.

Dering ponsel membuatku menghentikan aktivitas menenangkan diri. Nama Yuda tampil di layarnya.

“Hai.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak.

“Sudah mau pulang? Aku enggak bisa ke situ. Aku ada janji dengan notaris kenalan sepupuku.”

“Iya. Aku bisa handle semua, kok.” Aku memang bisa melakukan pekerjaan ini seorang diri. Sejak awal pun aku selalu melakukannya sendiri. Mulai mencari barang, mengunggah ke marketplace, melayani tanya jawab konsumen, mengecek stok hingga packing barang.

“Besok—“

“Ya, sudah. Aku lanjut jalan dulu.”

Yuda mematikan sambungan telepon kami. Tanpa memberi aku kesempatan memberitahukan rencana kami besok, dan tanpa menungguku mengiakan ucapannya, dan tanpa mengucapkan sampai jumpa. Aku meletakkan ponsel kembali ke atas meja, di samping komputer pangku, lalu menghela napas lagi. Yuda memang begitu. Selalu begitu.

Aku mengedarkan pandangan ke penjuru toko. Oh, Tuhan ... aku benar-benar benci kala mesti menarik gorden, menutupi semua jendela yang ada di sini. Andai saja aku bisa, aku akan memilih untuk tinggal di sini saja daripada pulang ke rumah orang tuaku. Di sini, di rumah kecil yang aku sewa sebagai toko dan tempat penyimpanan barang-barang dagangan VeeStore.

Aku menata rumah ini sedemikian rupa. Ruang tamu aku pakai sebagai etalase barang-barang dagangan, ruang keluarga yang menjadi kantor dan tempat pengemasan. Salah satu kamar sebagai gudang barang dan kamar yang satu masih berfungsi sebagaimana mestinya, buatku beristirahat kalau-kalau bosan di depan laptop dan barang berserakan. Oh, tentu ada dapur dan satu kamar mandi yang bersih dan berguna sebagaimana mestinya. Memang lazimnya, toko ya menyewa ruko, tapi tabunganku tak cukup buat menyewa bangunan bertingkat itu. Namun, meski rumah ini kecil, setidaknya aku merasa nyaman. Yang utama, aku bisa bekerja dengan maksimal dan bebas karena ini adalah VeeStore. Hidup dan nama baikku.

Menghabiskan uang tabungan yang aku kumpulkan sejak awal aku bekerja di perusahaan lama sama sekali tidak membuatku menyesal karena aku menyukai pekerjaanku sekarang. Meskipun masih harus menahan segala bentuk kesenangan yang biasa aku rasakan seperti berlibur atau sekedar belanja beberapa tas dan sepatu. Makan di tempat fancy dan menghabiskan akhir pekan dengan menonton film-film yang sedang tayang di layar besar. Itu semua harus aku hentikan, setidaknya sampai VeeStore benar-benar bisa memberikan aku gaji berkali lipat lebih besar dibanding saat aku bekerja dulu.

Usai memastikan kalau semua sudah bersih dan bisa ditinggalkan, aku mengambil tas selempangku, lalu bergegas menuju pintu. Aku mengunci pintu hingga dua kali, meyakinkan diri kalau ini benar-benar aman. Layar ponsel aku nyalakan, mengecek driver ojek online yang baru saja kupesan.

Sejak memutuskan untuk keluar dari pabrik kayu lapis dan mendirikan VeeStore, aku memang mengembalikan semua fasilitas yang diberikan Ayah. Aku cukup tahu diri dengan tidak memakai motor atau mobil, bahkan aku mengembalikan kartu kredit dari Ayah, meskipun sejak aku bekerja, aku sendiri yang membayar tagihannya.

***

“Jam segini kok baru pulang?” Ibu yang sedang duduk sambil memegang ponsel bertanya tanpa melihatku. Pandangannya hanya ke benda persegi panjangnya itu.

“Yuda lagi meeting sama orang, Bu. Jadi Vee yang mesti nutup toko.” Aku mencoba merendahkan nada suara, meskipun sikap beliau sama sekali tidak menyenangkan di mataku.

“Minggu depan Sandra pulang. Kita mau makan di luar. Kamu jangan pulang telat seperti ini, kalau Sandra datang nanti.”

Baiklah, anak kesayangan Ayah dan Ibu pulang, artinya aku harus menebalkan telinga dengan segala cerita dan ujaran pembandingan. Sandra, adikku satu-satunya adalah seseorang yang jadi kebanggaan keluarga karena bisa masuk ke Kementerian Keuangan. Anak pandai sejak SD, idola sekolah hingga kampus.

Sejak kami masih di bangku sekolah, keluarga kami kerap membanding-bandingkan aku dengan Sandra. Bukan cuma orangtuaku, tapi keluarga besar kami. Pakde, Bude, Tante, Om, semuanya.

Wajar saja, Sandra cantik, pintar, sopan, ramah, rajin, jadi pegawai negeri dalam sekali ujian CPNS, dan banyak hal positif lain darinya. Sedangkan aku? Hanya seorang mantan pegawai administrasi di perusahaan kayu lapis kecil, yang punya mimpi jadi seorang pengusaha. Kata Ibu, mimpiku muluk sekali. Namun, sampai detik ini aku masih memupuk itu dalam benakku. Setidaknya meski nanti aku tak berhasil pun, aku pernah mencoba menjadi sisi terbaik dalam hidupku, menghidupi mimpiku, memperjuangkannya lebih keras dibanding diriku yang dulu-dulu.

Aku mengunci pintu, melemparkan tas ke atas kasur, lalu ikut rebah di sana. Kurasa langit-langit kamar bisa jadi salah satu saksi betapa aku lelah berada di rumah ini. Ada perasaan ingin menikah saja dengan Yuda, biar aku bisa dibawa pergi. Namun, rasanya tidak adil ketika aku sendiri belum merasa siap untuk menjadi istri. Menikah hanya untuk melarikan diri? Yang benar saja! Emosiku memang yang meminta, tapi logika di kepala menolaknya mentah-mentah. Menikah tentu saja bukan ide yang bagus.

Kali ini, rasanya aku ingin sekali kantuk segera menyerang. Biar tidak sedih-sedih amat. Biar aku bisa memilih melewatkan makan malam untuk ke sekian kalinya.

Aku pikir, satu tahun belum cukup untuk Ayah dan Ibu menerima keputusanku soal VeeStore dan Yuda. Dan untuk itu, memberi jarak rasanya bukan perbuatan dosa. Ini untuk kebaikanku sendiri. Setidaknya itu yang aku yakini.

***

“Selamat pagi.” Suara seorang perempuan membuatku menoleh ke pintu. Aku hampir saja lupa, kalau hari ini aku harus mewawancarai beberapa orang untuk membantuku di toko.

“Selamat pagi. Duduk dulu, ya.” Aku berusaha ramah dengan calon karyawan baru. Segera saja aku mencari file yang aku butuh untuk wawancara hari ini. Yuda belum datang, jadi daripada harus menunggu lama, aku memutuskan untuk melakukannya seorang diri. Toh, sama saja, Yuda akan selalu memasrahkan segalanya kepadaku nantinya.

“Halo, saya Raveena.”

Gadis itu mengulurkan tangan, lengkap dengan senyuman manisnya, membalas salamku. Dia sangat cantik. Kulitnya putih dan bersih, matanya coklat jernih, tubuhnya proporsional. Entah kenapa dia memilih menjadi karyawan toko kecil seperti ini alih-alih menjadi model iklan.

“Kania. Kania Fara,” katanya menjawab sapaan perkenalanku.

“Kania cantik banget hari ini. Terima kasih sudah memenuhi undangan interview dari kami.” Sungguh, aku tidak basa-basi. Gadis ini memang menawan hati.

“Jadi kamu masih kuliah? Bisa diceritakan enggak kegiatan kamu?” Aku menyamankan posisi dudukku. Biar bagaimanapun, aku adalah pemilik toko. Biarpun kecil, tapi aku mesti menampilkan profesionalitas, bukan?

“Betul. Saat ini saya semester akhir, Kak. Skripsi saya sudah hampir selesai, jadi saya memutuskan untuk melamar pekerjaan untuk tambahan biaya hidup sembari menunggu yudisium. Terus terang, ini sudah tahun ke lima saya kuliah, dan saat ini orang tua saya sedang kesulitan untuk membayar kuliah saya.” Kania menunduk, raut wajahnya seperti menahan kesedihan.

“Kegiatan kamu selain kuliah apa?” tanyaku hati-hati.

“Sebenarnya belum ada. Saya juga tidak ikut kegiatan apa pun di kampus. Tapi saya tertarik sekali dengan dunia marketingOnline marketing.”

“Pengalaman part time, sama sekali tidak pernah?”

Dia menggeleng. Kembali menampilkan senyuman manisnya. Dia memakai kemeja warna cokelat, dengan celana jeans biru gelap. Penampilannya bisa dibilang cukup sederhana, tapi dia begitu menarik dipandang.

“Apa kamu terbiasa menggunakan media sosial?”

“Iya, Kak. Saya punya akun Instagram, Twitter dan TikTok. Saya sedikit-banyak tahu tentang memasarkan produk menggunakan media sosial. Saya pernah mempelajarinya sedikit-sedikit. Jadi saya pikir, saya cocok bekerja di VeeStore.”

Aku tidak menampik kalau Kania sangat mencuri perhatian. Aku yang seorang wanita saja bisa tidak bosan memandang wajah ayunya. Di luar ceritanya tentang kesulitan keuangan, aku memang menimbang-nimbang untuk menerima dia di VeeStore, apalagi setelah aku melihat profil di media sosialnya. Ia piawai sekali berpose.

Ketika aku memberikan penawaran untuk ikut terlibat dalam pemasaran, dia sangat bersemangat. Bahkan ketika aku mengajukan gaji yang bisa VeeStore berikan—yang tentu saja—belum sebesar toko baju dan pernak-pernik terkenal lainnya, dia tidak keberatan.

“Hanya enam jam. Karena kami berencana ada dua orang dengan dua shift yang berbeda. Kami sadar kalau kami belum mampu memberikan teman-teman gaji lebih dari UMK, makanya jam kerjanya juga tidak penuh,” terangku kepada Kania sebelum menutup sesi wawancara hari ini.

It’s okay, Kak. Menurutku ini sudah lebih dari yang aku perkirakan.”

“Baiklah, aku harus diskusikan dengan partner-ku dulu. Terima kasih sudah datang. Aku akan memberitahukan hasil wawancara ini sesegera mungkin.” Aku berdiri, mengulurkan tangan ke arah Kania. Gadis itu tersenyum, mengucapkan terima kasih untuk kesempatan yang aku berikan.

Aku pikir Kania adalah orang yang tepat. Dia bisa membantuku memasarkan produk dengan media sosial, juga tidak keberatan kalau sesekali menjadi model foto produk VeeStore. Bagiku, untuk usaha rintisan dan gaji yang bisa ditawarkan, tidak mengapa aku menerima orang yang benar-benar baru, yang belum memiliki riwayat kerja apa-apa. Kami bisa sama-sama belajar, selama mereka ada kemauan dan semangat. Aku menyisihkan data diri Kania, dan melingkari fotonya. Kukira, nama Kania akan aku ajukan sebagai salah satu kandidat utama kepada Yuda.

Ketukan pintu membuatku mendongak lagi. Seorang perempuan berkacamata mengangguk ramah.

“Halo selamat pagi, silakan masuk.” Aku tersenyum ramah kepada kandidat kedua yang aku panggil hari ini.

***





<