cover landing

Close To You

By risingthought14

Siang yang cukup terik. Cocok untuk ngaso sambil minum soda dengan es batu yang menggunung. Ditambah kipas-kipas dengan mini fan unyu bergambar Pikachu.

Nikmat.

Sayangnya itu hanya bayangan.

Nyatanya posisi mereka ada di meja pojok, teras, menghadap jalan. Tersambar sinar matahari yang mengejek tanpa ampun. Mereka tetap saja memilih tempat ini karena di sini paling cepat pelayanannya, rasa makanannya mantap, ditambah harga oke. Meskipun tempat makan ini tergolong sumpek, gelap, riweuh, tapi tetap eksotis. Kantin Gelap Nyawang.

Cuy, ayam Cola urang geus beres encan? (Cuy, ayam Cola gue udah beres belum?) Itu tagih akangnya ke situ gih!” ujar Haha. Pemuda yang sekilas tampak oriental, padahal sih Sunda asli.

Nya maneh weh lah. Punya kaki, pan? (Lo aja. Punya kaki, kan?)” Si muka tembok menjawab cuek.

Oh, deuk mayar sorangan caritana? (Oh, mau bayar sendiri nih, ceritanya?),” ancam Haha.

Iya, memang ceritanya makan siang hari itu ditraktir oleh si Hanggara Dirgantara, atau sebut saja Haha—jangan Mawar, nanti dikira tersangka bakso boraks. Saat ini dia sedang menilik ulang PowerPoint bahan presentasi mereka untuk siang itu di notebook.

“Ah, elah .... Dah, iya, bawel.”

Sebenarnya dia juga memesan ayam Cola, jadi seharusnya tidak perlu terlalu berat hati untuk menanyakan menu yang sama. Perhitungan sekali pada teman sendiri. Masalahnya prospek menembus hiruk pikuk dan riweuh-nya kantin yang sedang dalam puncak kesibukan bukanlah hal menyenangkan. Namun daripada mereka tidak kunjung makan, sedangkan jam istirahat mereka juga terbatas, tidak ada salahnya sedikit berusaha.

Fuyunghai urang mah geus beres titadi ... hohoho! (Fuyunghai gue sih udah beres dari tadi),” timpal kawan yang berhidung luar biasa mancung, dengan gigi kelinci. Terkadang ada ilusi bahwa hidungnya balapan dengan giginya. Panggil si mancung ini Jujun.

Jujun dengan cengiran puas, menyendok fuyunghai di piringnya. Memang terlihat acak-acakan, bentuknya lebih cocok dibilang nasi gila daripada fuyunghai. Apa akangnya lupa googling bentuk fuyunghai itu macam apa? Tapi Jujun suka, katanya rasanya enak. Jujun tidak peduli tampilan luar makanan, yang penting rasanya.

Si lelaki bertampang datar akhirnya beranjak ke kios yang berjualan ayam Cola. Ya jangan heran, ayamnya memang dimasak bersama Cola. Rasanya enak, kok. Coba saja kapan-kapan.

“Kang, ayam Cola dua, udah beres belum?”

“Oooh, punya si Aa nyak?? Kela nya sakedap deui, Cola na seep Aa keur meuli heula di Alpa! (Oooh, punya Aa, ya? Sabar ya, sebentar lagi, Cola-nya habis, lagi beli dulu di Alpa!)”

Cola-nya habis, Sobat. Ayamnya sendirian tanpa Cola. Mau beli dulu Cola-nya di minimarket katanya. Ribet betul si Akang ini. Padahal warung-warung sebelah juga jual Cola, Fanta, dan saudara-saudara setanah airnya. Kenapa harus ke Alfa?

Dia ingin menjeritkan isi hatinya pada si Akang Ayam, tapi khawatir jadi drama kumbara nanti. Lelaki kurus tinggi langsing itu pun hanya bisa menghela napas pelan.

Atuh lila, Kang? Gentian weh lah, ayam asem manis, aya teu? (Wah, lama dong, Kang? Ganti saja deh, ayam asam manis, ada?)” Dia pun meminta menu yang lain. Kalau tak ada juga, apa lagi alasannya? Sausnya habis? Mau beli di mana lagi? Pasar Baru?

Sejujurnya dia ingin mengeluarkan Kamehameha.

Genti wae kitu? Da Cola-na sakedap deui, Aa! Tapi mun deuk gentian teu nanaon sih. Jadi asem manis dua, nyak? (Ganti saja? Cola-nya sebentar lagi kok, Aa! Tapi kalau pengin diganti ya nggak pa-pa sih, jadi asam manis aja dua, ya?)” Si Akang Ayam tersenyum tak enak karena sudah membuat pelanggannya mengganti menu.

Teu nanaon, Kang. Sok abdi tungguan di dieu, teu kudu dianterkeun .... (Nggak pa-pa, Kang. Saya tunggu di sini ya, nggak perlu dianterin ....)” Dia memutuskan untuk diam di bibir pintu, agar ketika pesanan selesai, ia bisa langsung bawa ke mejanya. Tak perlu diantar oleh si Akang.

Sebenarnya itu trik supaya si Akang lebih cepat menyiapkan pesanannya. Di mana-mana kalau diawasi, pasti dikerjakan lebih cepat, bukan? Semua manusia kalau disidak pasti jadi rajin.

"Okeh, Bos, siap!" Si Akang langsung meneriakkan pesanan ke koki di dapur yang sempit mengimpit itu.

Lelaki itu pun dengan kalem bergeser sedikit ke arah jalan keluar, agar tidak menghalangi pintu seutuhnya. Sesungguhnya dosa menghalangi jalan orang. Pamali.

Baru juga ia berniat baik dan mulia, tiba-tiba tubuhnya terdorong ke depan, dan ia merasakan punggungnya basah.

Ia telah diserang, dari belakang. Tumpahan cairan asing nan dingin itu tersebar bahkan sampai ke lengannya. Ia mendelik melihat tetesan likuid kuning mengalir tipis di sikunya. Sekelebat wangi jeruk menguar.

Sedetik kemudian lelaki itu membalik badan. Mendapati seseorang sedang membelalakkan matanya, mulutnya pun menganga. Rambut panjangnya menempel tak beraturan di pipi dan lehernya.

“Maaa ... maaap, Om! Maap saya nggak sengaja, Om!” cicitnya terbata-bata.

Om? Dia bilang apa? Om???

Tadinya ia ingin santai saja sama si slebor yang menabraknya dari belakang ini. Namun mendengar dirinya dipanggil “Om”, darahnya malah jadi lumayan mendidih.

“Tanggung jawab!” desisnya.

Gadis berambut hitam kecokelatan itu menatapnya nanar. Tangannya bergetar menahan emosi dan malu. “Tanggung jawab gimana? Saya kan nggak sengaja?” Ia pun meletakkan gelas yang sekarang isinya hanya tersisa beberapa es batu itu—di meja tempat si Akang biasa menaruh pesanan baru.

“Nggak lihat baju saya jadi kotor ini, Dek? Apa yang kamu tumpahin tadi, coba?" Lelaki itu mencoba menahan suaranya agar tidak meninggi. Sengaja ia gunakan kata “Dek” untuk menyindir gadis sok tahu itu. Sok tahu berapa umurnya.

Si Akang Ayam pun memandang ngeri ke arah dua orang yang siap perang di depan warungnya itu.

“Cuma jus jeruk, kok!” ujar gadis itu tak mau kalah.

Pemuda itu menghela napas panjang. Mencoba meredam emosinya sendiri. Ia ingat, tak akan ada jalan keluar kalau marah. “Gini ya, Dek. Saya ini males ribut sebenarnya. Tapi masalahnya saya ada presentasi habis ini. Kalo saya presentasi pake baju kayak kain celupan gini, mana pede coba?”

Gadis itu pun menelan ludahnya, terlihat jelas dari sorot matanya ia benar-benar bingung. Lelaki itu jadi tidak tega mau mengeluarkan penghuni kebun binatang dari mulutnya. Apalagi ditatap oleh mata bulat cokelat terangnya, yang macam mata boneka itu. Agak melemahkan iman. Belum lagi ia gatal ingin merapikan rambut gadis itu yang terselip di bibirnya. Tapi ia mengingatkan dirinya kalau saat ini ia sedang kesal pada gadis itu.

"Nggg, yaa, ya udah. Sebentar saya cuciin, ya?" Gadis itu pun akhirnya bersuara, setelah lima abad ditunggu.

Padahal ia berharap dibelikan kemeja baru, lumayan gratisan.

"Mau cuci di mana? Lalu kalo kamu cuci baju saya, saya telanjang, dong?"

"Nggak telanjang, kan masih pake celana? Laki-laki mah, kan auratnya cuma dari situ ke situ." Gadis itu dengan cueknya menunjuk-nunjuk sarang burung dan lutut cowok di depannya.

Kok sialan sih, asal tunjuk?

"Emang bisa kering?" Ia mulai merasa agak kedinginan karena air es yang menempel di punggungnya.

"Udah, ayo ikut saya cepetan! Daripada nggak diapa-apain!" Gadis itu pun menarik lengan baju si cowok keluar kantin.

"Eeeh, Aa! Ayam asem manisna kumaha? (Ayam asam manisnya bagaimana?)” Si Akang Ayam berteriak melihat pelanggannya digiring macam kambing kurban.

Punten anterin ke pojok, Kang! Yang sipit sama yang mancung!”

Si Akang Ayam pun garuk-garuk kepala, bingung.





<