cover landing

Dangerous Affair

By Jokris1510

Naora menurunkan tumit sepatu tingginya dari atas mini cooper biru yang baru saja dia kendarai. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan benar, kakinya berayun pelan di atas lantai basemen sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan. Keduanya menciptakan ketukan lembut dan berirama ketika tumitnya beradu dengan beton yang ada di bawah kakinya, sebelum mereka berhenti di depan sebuah lift. Jemari Naora menekan tombol panggil.

Dari dalam lift yang membawanya ke lantai 30, kedua bola mata Naora menangkap bayangannya sendiri dari dinding cermin yang ada di dalam lift. Mereka memantulkan sosok wanita cantik dalam balutan blus putih dengan a line skirt hijau mint. Rambut hitam sebahunya membingkai sebentuk wajah dengan sorot mata berbinar. Hati Naora memang tengah membengkak dalam kebahagiaan dan perutnya penuh dengan kupu-kupu.

Ujung a line skirt Naora berkibar ringan tatkala kakinya berayun dalam irama teratur di sepanjang koridor apartemen dan terhenti di salah satu pintu kayu yang tertutup. Jemari Naora menekan bel dan beberapa detik kemudian seorang pria berwajah tampan berdiri di belakang pintu kayu itu.

“Hai. Selamat siang,” sapa pria tersebut. Suaranya menggema hangat layaknya secangkir kopi dengan lelehan karamel di dalamnya. Pria itu sengaja membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka hingga memperlihatkan bahunya yang lebar dan liat karena hasil latihan rutin. Sebuah celana training warna kelabu menggantung provokatif pada pinggulnya yang kencang. Penampilan pria tersebut seolah mengundang Naora untuk melemparkan diri ke atas dada bidangnya.

“Hai juga. Aku bawakan makan siang buatmu, Galen.” Naora membawa tangan kanannya naik, di mana sebuah tas kertas berisi makan siang menggantung di sana. Naora mengayunkan kakinya untuk masuk melalui pintu yang sudah terbuka lebih lebar di depannya. “Kamu pasti belum makan siang, kan?”

“Hm. Aku baru sampai di apartemen tadi pagi jam delapan karena sejak kemarin ada masalah sistem dengan klien. Selesai mandi langsung tidur. Belum sempat sarapan.” Jari-jari pria bernama Galen itu berusaha menyugar rambutnya yang acak-acakan dengan sepasang mata menatap intens ke arah Naora.

“Aku mengerti, kalau beg—“ Naora belum selesai dengan kata-katanya, Galen sudah mendesak tubuh Naora hingga menempel pada dinding di atas lantai foyer apartemen. Wajah Galen mendekat, napasnya menderu hangat di depan mulut Naora—siap untuk mendaratkan sebuah ciuman. Kedua tangan Galen memegang wajah Naora dan menguncinya.

“Aku merindukanmu, Naora. Nggak bisakah kita setiap hari bertemu di sini?” Sama seperti kata-kata yang keluar dari mulut Galen, kedua bola matanya bersorot penuh kerinduan pada Naora. Di bawah rangkuman tangan Galen, wanita itu melengkungan sudut-sudut mulutnya dan berbisik lembut.

“Aku sudah di sini, Galen.” Naora menengadah dan bersiap menyambut ketika mulut Galen mulai menerkam.

Pria itu mencium bibir Naora dengan keras, begitu membutuhkan seperti ingin mencurahkan segenap kerinduan yang sudah lama terpendam dalam sebuah ciuman yang kuat.

Naora ingin menyentuh otot-otot milik Galen, tapi tas tangan dan tas makan siang masih menggantung di kedua tangannya. Naora hanya membalas ciuman Galen dengan semangat yang sama. Lidah mereka saling terjalin dan membelai. Hingga pria ini menggeram panjang, sebelum Naora mendorong lembut dada Galen untuk menjauh.

“Mungkin kita bisa awali dengan segelas kopi. Gimana menurutmu?”

Galen membawa dahinya menempel di kening Naora ketika mereka berdua saling mengatur oksigen di dalam paru-paru.

“Oke. Aku akan membuat kopi.” Suara Galen berembus bersama napasnya dengan kedua bola mata bersorot penuh kilau ke arah wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta. Bibir Galen menanamkan sebuah ciuman singkat di kening Naora dan memutar tumit menuju ke dapur.

“Terima kasih.” Naora mengekor langkah Galen dan meletakkan tas tangan miliknya berserta tas makan siang yang dia bawa ke atas meja dapur. Naora melepaskan sepatu, lantas mengayunkan kaki telanjangnya menuju sofa panjang kemudian duduk meringkuk dengan sangat nyaman di sana.

Terik sinar matahari dari balik tirai jendela apartemen Galen membawa cahaya lembut ke seluruh ruangan. Menciptakan atmosfer yang mengundang hati Naora ikut menghangat. Dari atas sofa, Naora menikmati pemandangan yang terjadi di dapur saat ini. Bagaimana seseorang bisa terlihat begitu indah hanya dengan berdiri di dekat sebuah mesin pembuat kopi?

Galen berdiri membelakangi Naora, memperlihatkan otot-otot bahu belakang serta punggungnya yang meregang dan mengendur seiring dengan tubuh pria tersebut bergerak anggun di dapur. Naora berani bertaruh, dia sanggup menatap seharian pemandangan yang ada di depannya itu.

Bagi Naora, Galen adalah air segar di tengah padang gurun di dalam jiwa Naora. Seperti buah terlarang yang dijatuhkan dari Taman Eden ke hadapan Naora, tidak seharusnya Naora memakannya, karena akan membuat Naora jatuh ke dalam dosa. Namun, Naora juga menginginkan Galen. Membutuhkan Galen. Bagi Naora, Galen semacam obat mujarab atau malahan candu yang memabukkan, tapi kehadiran pria tersebut mampu menutup lubang-lubang menganga dalam hati Naora akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya.

“Mau krimer atau gula?” Tiba-tiba dari tempat Galen berdiri di depan mesin kopi, pria itu berpaling ke arah Naora dan memergoki Naora tengah melahap tubuh maskulin milik Galen dengan matanya. Pertanyaan Galen terdengar seperti sebuah tawaran sensual di telinga Naora, mengundang kulit wajah Naora memerah.

“Nggak dua-duanya.” Naora menggeleng dan berusaha menahan senyum. Sedangkan Galen masih berdiri menatap Naora, ketika tiba-tiba sorot kedua matanya berubah gelap dan panas. Naora tak tahu apa yang ada di benak Galen saat ini, tapi sepasang mata Galen sudah memaksa Naora harus menggeliat dari atas kursinya. Mati-matian Naora menahan diri agar tidak menghambur datang dan memeluk tubuh berotot itu.

Selesai berurusan dengan mesin kopi, Galen membawa dua cangkir kopi di tangannya dan menyerahkan salah satunya kepada Naora. Sembari menyesap kopi di tangan, Galen membawa pantatnya ke atas meja sofa demi bisa duduk di depan Naora. Menyangga siku di atas lutut, punggung Galen berkeluk ke depan sehingga dia bisa memberikan tatapan membara yang mampu menembus jiwa Naora yang paling dalam. Hingga Naora bisa merasakan tarikan panas perlahan mengalir ke tengah udara di antara mereka.

“Suka?” Galen bertanya dengan suara lembut dan serak.

“Suka sekali.” Naora membalas sama seraknya, kental oleh keinginan. Bukan pada rasa kopi buatan Galen yang memang selalu nikmat. “Makanlah makan siangmu sekarang, lagipula kamu belum sarapan, kan?”

Galen meletakkan cangkir kopi ke atas meja di sebelahnya, lantas mengambil cangkir dari tangan Naora. Dia mengangkat pantatnya dari atas meja dan membungkuk ke depan Naora. Menekan belakang sofa dengan kedua telapak tangan, Galen memerangkap Naora di bawah rengkuhan lengannya.

“Aku belum lapar, makan siangku bisa menunggu. Ada yang lebih membuatku lapar.” Suara Galen menggema dalam bisikan, tatapan matanya seperti ingin merendam Naora dalam bara. Sesudah mengatakan demikian, Galen menjalankan ujung hidungnya dari bawah telinga Naora hingga berakhir di depan mulut wanita itu. Galen memiringkan kepala dan menempelkan mulutnya ke mulut Naora.

Naora menyukai bagaimana cara Galen menciumnya. Ciuman Galen tegas tapi dalam tekanan lembut yang mampu mengundang kedua lengan Naora terulur untuk mengalungi leher pria itu.

Desahan lolos dari mulut Naora ketika dia membuka mulut dan memberi lidah Galen akses untuk menyelinap masuk ke rongga mulut Naora. Lidah mereka saling mencicipi dalam belaian yang lambat dan panjang. Bibir serta lidah Galen bergerak dengan penuh percaya diri dan dengan kesan memiliki yang membuat Naora seketika terbakar oleh gairah.

Galen memindahkan mulutnya di sepanjang rahang Noara, ketika dia bertanya di sela-sela napasnya yang mulai bergemuruh tak beraturan.

“Sofa atau ranjang?” Suara Galen berbisik parau.

“Ranjang.” Mendengar jawaban Naora, Galen tersenyum senang.

“Pilihan bagus, Sayang.” Galen menjauhkan wajahnya. Meletakkan satu tangannya di punggung Naora dan di lekukan pantat wanita itu dengan tangannya yang lain, Galen langsung mengangkat tubuh Naora dengan mudah. Tanpa melepaskan mulutnya dari mulut Naora, Galen membawa Naora ke kamar tidur.

“Aku belum sempat merapikannya,” ujar Galen meminta maaf ketika dia menurunkan Naora dan mendapati ekor mata Naora melirik ke atas ranjang yang berantakan. Naora tersenyum sembari membelai dada berotot kencang milik Galen yang terasa hangat dan keras di bawah telapak tangannya.

“Aku nggak peduli dengan kasurnya.” Naora menggeleng pelan. Galen ikut tersenyum mendengar balasan Naora.

“Terima kasih, Sayang.” Galen menurunkan wajahnya dan mengepalkan jari-jarinya di kedalaman rambut Naora, sebelum mulutnya kembali menyergap bibir Naora. Galen mendorong lidahnya masuk dan Naora membiarkan Galen menguasai dirinya, seluruhnya.

Saat Naora merasakan telapak tangan Galen menyelinap dari balik blus putih yang dia kenakan dan membuat usapan panas di atas kulit punggung wanita itu, Naora mendesah lirih dan menengadah. Wanita itu memberikan akses yang lebih banyak pada mulut Galen untuk menelusurinya di sepanjang telinga hingga leher. Mulut Galen kembali bergerak naik dan berhenti di depan mulut Naora. Dengan mata sarat akan kabut kebutuhan, Galen berbisik dan memohon dalam suara rendah.  

“Aku ingin melihatmu, Naora.” Suara Galen berembus dalam irama mendesak.

“Ya.” Naora mendesah. Penuh cekatan, Galen mulai membuka kancing blus putih yang Naora kenakan sambil memberikan ciuman di sudut-sudut mulut, rahang juga dagu wanita pujaannya. Setelah jari-jari Galen membuka pengait bra berenda hitam, perlahan-lahan pria itu membawa turun blus putih serta bra di sepanjang lengan Naora dan membiarkan mereka jatuh ke lantai. Melihat pemandangan di depannya sekarang, Galen mengerang penuh pemujaan di dalam mulut Naora.

“Mantra apa yang kamu berikan padaku sampai membuatku gila seperti ini?” Ciuman bibir Galen berubah serakah dan penuh tuntutan.

“Kamu juga membuatku sama gilanya,” bisik Naora di sela-sela gempuran ciuman Galen yang rakus. Naora membalas dengan sama kuat seperti hendak memakan bulat-bulat tubuh maskulin di depannya sekarang.

Tergesa-gesa, Galen menurunkan jari-jarinya untuk mencari ritsleting a line skirt yang Naora kenakan dan menurunkan rok warna mint itu dengan cepat. Mulut Galen kembali menggeram keras saat menemukan Naora berdiri hanya mengenakan lingerie hitam yang menutup bagian intim saja. Galen mengangkat tubuh Naora dari lantai dan membawa wanita itu berbaring di atas ranjang. Galen menindihnya dengan cepat.

“Kamu cantik sekali hari ini. Aku nggak bisa membayangkan bila suatu saat harus kehilangan dirimu, mungkin aku akan memilih untuk mati.” Desah Galen dengan napas memburu. Dahinya berkerut gelisah seraya membelai pipi, bibir dan dagu Naora dengan telunjuknya.

“Kamu nggak akan kehilangan diriku, Galen. Karena, aku nggak akan membiarkannya.” Naora mengulurkan tangan dan membelai wajah serta kerutan gelisah di dahi Galen dengan ujung-ujung jemarinya. Galen menunduk dan menanamkan ciuman-ciuman kecil di sekujur wajah Naora.

“Jangan pergi dariku. Kumohon,” kata Galen dengan suara bergetar dari ceruk di leher Naora.

“Aku nggak akan pergi.” Setelah Naora mengatakan demikian, Galen langsung merangkum wajah Naora dan menerkam bibir wanita itu dalam erangan rendah. Galen memberikan ciuman-ciumannya dengan keras, seperti ingin menuangkan semua kegelisahan, keinginan juga kebutuhannya ke dalam ciuman mereka.

Naora mendesah, wanita itu belum pernah merasakan bagaimana dirinya begitu diinginkan, begitu didambakan oleh seseorang. Hasrat seketika membakar Naora dengan cepat seperti ilalang kering dilalap api.

Mulut Galen yang kelaparan meninggalkan bibir Naora dan membawanya menelusuri rahang dan sepanjang leher jenjang Naora. Bibir Galen bergerak mencium dan mengisap dalam gigitan-gigitan kecil di sana, meninggalkan jejak api di atas kulit Naora.

Sementara mulut Galen berada di atas leher Naora, pria itu membawa tangannya meluncur turun dalam perburuan liar dan berhenti di tujuan pertamanya, payudara Naora. Tangan Galen memberikan belaian di sana, menangkup dan meremas dalam tekanan yang lembut. Naora merasakan darahnya seketika terpompa dengan cepat, degup jantungnya bergemuruh memekakkan telinga. Tak dapat menahan diri lagi, Naora mengerang keras saat mulut Galen membungkus pucuk payudara Naora dan membuat isapan keras di sana.

Siksaan kenikmatan yang Galen berikan tak berhenti. Ketika mulutnya masih membuai di kedua payudara Naora, Galen menyelipkan jari-jarinya ke bawah lingerie dan memiliki Naora seutuhnya, di bawah telapak tangannya. Rintihan lirih dan serak lolos dari bibir Naora, pinggul wanita itu mulai bergerak sendiri dengan liar saat Galen menggoda dengan jari-jarinya. Setiap pori-pori di tubuh Naora seakan berdenyut dan ingin meledak oleh kebutuhan yang terasa ketat dan pedih di bawah sana.

Layaknya terkena mantra, Naora tak bisa berpaling dari sepasang mata yang bersorot kuat di atasnya. Naora menunggu dalam tatapan tak sabar, napasnya berembus kasar dan tak beraturan saat Galen menurunkan celana dalam berenda di sepanjang tungkai kaki Naora sebelum pria itu menyentak turun celana training kelabu yang dia kenakan.

“Naora. Sayang.” Galen menggeram rendah sambil membawa kedua lengan Naora ke atas kepala wanita itu. Dia mencengkeram tangan Naora lalu menahan keduanya tetap di atas, sementara pinggul Galen meliuk dan ereksinya mendesak masuk dalam satu dorongan keras. Naora terkesiap, sekujur tubuhnya bergetar penuh kenikmatan saat Galen mulai bergerak perlahan.

“Kumohon.” Naora berbisik. Wanita itu membiarkan naluri primitif mengambil alih dirinya saat Galen mendorong kian intens di dalam tubuh Naora dan membawa wanita itu mendaki puncak tertinggi keintiman mereka.

Napas Galen dan Naora saling berkelindan dan menderu, menciptakan butir-butir keringat makin terbentuk di sekujur permukaan tubuh mereka. Naora tak tahan ingin menyentuh tubuh di atasnya sekarang, tapi Galen menahan kedua tangan Naora.

Naora melemparkan kepalanya ke samping ketika gairah itu menggulungnya kian kuat. Sekujur tubuh Naora mengejang saat orgasme menghantam dirinya bagai ombak besar. Tak dapat menahan diri, Naora berteriak dengan suara tersiksa penuh kenikmatan, sebelum mulutnya berseru dengan keras.

“Galen!”

Galen mendesak makin dalam dan keras, sesaat kemudian dia mencapai puncaknya sendiri. Menyurukkan wajah ke dalam kerimbunan rambut Naora, Galen memanggil nama kekasihnya dalam lenguhan panjang.

“Naora!”

***





<