cover landing

Dayung Preman Pasar Manik

By Violet A

Gerimis menusuk matanya yang nanar memandang lantai tiga bangunan rumah itu. Ia tidak bisa merasakan lagi jari-jarinya yang kebas dan gemetar, atau kerongkongannya yang kerontang setelah begitu jauh berlari. Tetapi jikapun harus menampar tembok untuk bisa merasakan tangannya lagi, ia akan melakukannya tanpa ragu; agar jari-jarinya yang kecil bisa memanjat tembok tinggi itu, agar ia bisa menemukan Obas.

Jalan termudah merayapi dinding menuju lantai tiga adalah dengan memanjat tanaman rambat di dekat teras samping di sebelah utaranya. Ia tahu itu. Namun, lampu di teras itu menyala, dan gorden dalam rumah masih membuka dan terang. Kalau ada yang melihatnya .

Tapi, ah … peduli amat! Toh dia memang ke sini untuk menjajal kematian. Pilihannya hanya dua: menemukan Obas dan membawanya pergi dari sini, atau mati ditembak oleh orang-orang Tamiri.

Jadi dalam sedetik ia berlari, dan detik berikutnya kakinya menapak di kotak-kotak anyaman rotan yang menjadi tempat merambat tanaman hias penutup dinding teras.

Beberapa saat berikutnya ia sudah sampai di lantai dua, menapaki birai pembatas balkon seperti seorang pemain akrobat. Tak memedulikan basahan hujan pada selasar yang membuat sol sepatu tipisnya tergelincir beberapa kali. Jendela buram di lantai bawah atap itu semakin jelas. Ia meraih, menapak, memanjat, secepat tokek mengejar mangsa. Berharap bahwa orang-orang Tamiri tidak akan keluar dalam beberapa saat ini, atau orang-orang dalam rumah tidak akan melihat mengapa tanaman teras mereka bergoyang aneh. Sampai kemudian kakinya berjinjit menapaki celah sempit kelokan dinding. Tangannya pun merayapi kelokan serupa agak jauh di atas kepalanya. Air hujan turun semakin deras, debu-debu kian basah, membuat pegangannya semakin licin.

Ia bergeser sedikit-sedikit. Tak memedulikan lengan dan betisnya yang gemetar menahan berat tubuh. Hujan masuk ke dalam mata tanpa bisa diseka, membuat pandangannya pada jendela itu semakin kabur. Tetapi jaraknya semakin dekat.

Matanya mengerjap. Napasnya terengah dengan kaki dan lengan yang gemetar semakin hebat. Buku-buku jarinya sakit, otot punggungnya berteriak meminta lepas dari ketegangan. Darahnya sudah berhenti mengalir ke lengan-lengannya yang terulur ke atas. Tapi tidak. Obas adalah hidupnya. Ia harus sampai ke sana.

Hoh .… Ayolah .…

Anak itu memandang lengannya yang terulur ke atas dengan penuh permohonan. Buku ujung jari yang menahan beban tubuhnya terasa sangat kaku dan memanas. Jam tangan besar yang dipakainya menambah beban yang harus ditanggung oleh jari-jarinya yang kecil. Benda itu melorot sampai ke dekat sikunya. Sekarang setelah terkena air begitu rupa, benda itu mungkin sudah rusak.

Namun pikiran untuk membuangnya segera menghilang begitu ia merasakan cahaya kuning samar di sudut mata. Bingkai jendela itu .…

Tangan kirinya meraih celah sempit pada susunan kaca nako yang sedikit terbuka. Pegangannya lebih kuat kini, dan ia bisa melepaskan tangan kanannya dari lekukan  dinding.  Seketika rasa hangat yang hebat menyusuri lengan-lengannya, ketika darah kembali mengalir. Ia bisa menarik napas panjang beberapa saat.

Ruangan di balik kaca nako itu gelap. Sebisa mungkin matanya yang cekung mencoba menemukan sesuatu di dalam. Pandangannya mulai mengenali bentuk lantai di kamar gelap itu. Tingginya hanya sebatas dadanya, dan ada sesuatu yang tergolek di sana.

“Bas …?” Ia berbisik.

Tidak ada jawaban dari sosok yang tergolek itu. Apakah itu bukan Obas?

“Obas …?!” panggilnya lebih keras.

Ada gerakan. Benda itu mengerang. “Yung ....”

Hatinya melompat ke tenggorokan saat mendengar namanya dipanggil. Itu memang Obas! Ia memasukkan seluruh lengan kanannya ke dalam lengan jaket jinsnya yang basah, dan sekuat tenaga menggunakan perlindungan jaket itu untuk memecah kaca nako. Satu, dua pecah. Cahaya samar dari lampu jalan menerobos masuk, memberikan pemandangan yang lebih jelas tentang siapa yang tergolek di lantai kamar itu.

“Obas …?” Suaranya serak memanggil temannya sekali lagi. Sebelah tangannya yang tak berpegangan mencari cara agar bisa melepaskan kerangka kaca nako itu dan masuk ke dalam. Tetapi tangannya terlalu kecil untuk membengkokkan baja.

“Ngapain kamu ke sini?”

Obas berusaha begitu keras menggulingkan tubuhnya di atas lantai, agar bisa melihatnya dengan lebih jelas.

Saat cahaya suram itu mengenai wajah Obas, tampaklah betapa tua sahabatnya kini. Bibirnya kering seperti tak pernah terkena air. Matanya cekung. Ia pucat seperti mayat.

“Aku nyari kamu. Kita bakal keluar dari sini!” Tangannya masih berusaha melepaskan rangka baja itu dari bingkai.

“Jangan bicara yang tidak-tidak ….” Suara Obas serak dan sangat lemah. “Pergi dari sini .…”

“Aku ndak bakal pergi kalau ndak sama kamu.”

“Aku bakal mati … di luar sana … atau di sini ….” Obas terengah sangat payah. “Kamu … harus hidup, Dayung .…”

“Kamu jangan bicara ngedan. Ayo pulang!” Dayung mendengar suaranya sendiri gemetar, seolah tak yakin juga melihat keadaan Obas yang demikan parah. Apa yang telah dilakukan orang-orang itu kepadanya?

“Yung … ingat … apa pun yang terjadi … jangan pernah berurusan sama Tamiri …. Jadi anak buahnya … atau jadi musuhnya …. Jangan pernah ….” Kalimat Obas terhenti ketika tiba-tiba tubuhnya menegang dan berkelojot. Lalu suara tenggorokannya menggerung seolah ia sedang digorok. Dan seperti disembelih, darah muncrat dari mulutnya.

“Obaaasss …!!!” Dayung berteriak.

Perlahan-lahan tubuh Obas melemas, dan wajahnya terkulai menghadap ke arah jendela. Matanya yang nanar menatapnya untuk terakhir kali, seperti mengulangi apa yang baru saja dikatakannya. Kemudian kehidupan menghilang dari raga itu.

Tangan-tangannya yang kecil mencengkeram kerangka nako berharap bisa melepaskan batangan baja itu dan menancapkannya di jantung Tamiri. Dadanya sedemikian sesak. Lalu tangisnya pecah dan membeku dalam derai hujan, seiring kerongkongannya yang perih terbakar, mengingat bahwa satu lagi orang yang paling dekat dengannya direnggut dari sisinya.

Ini semua karena bajingan Tamiri! Kalau saja setan itu tidak hidup, dunia ini tentu jauh lebih baik. Kalau saja setan itu dipanggang di neraka, semua orang bisa hidup damai tanpa merasa takut berkeliaran di jalanan. Tidak akan ada orang yang mati seperti Obas, tidak akan ada orang yang membunuh dirinya sendiri.

Setan itu harus mati! Ia yang akan menusuknya dengan baja-baja ini sehingga para malaikat tidak akan susah menyatenya di neraka. Ia akan mencincang Tamiri. Menjadikannya makanan anjing di jalan-jalan.

“Bajingan kau, Tamiri …. Makanan anjing …!!!”

Ia mencengkeram rangka nako itu lebih keras, mengalirkan gelegak bara di dalam dadanya dan meneriaki udara. “MAKANAN ANJING KAU, TAMIRI!”

Di atas tanah, dua belas pasang mata mendongak mendengar teriakan itu. Payung-payung hitam yang menghalangi pandangan disingkirkan. Sepasang mata Grisang Tamiri yang terlindung kacamata cokelat menatap arah asal suara yang memakinya.

“Penyusup!” Suara di belakangnya berbisik. “Di lantai tiga, kamar anak itu.”

Sebuah senjata laras pendek teracung ke atas, dan letusannya terdengar seperti dentuman geledek di antara hujan.

Sebutir peluru menembus dinding hanya setengah meter dari lengan kanan Dayung. Ia berpaling, melihat sisa kepulan asap dan cat yang rontok dari dinding. Pemandangan di bawahnya membuatnya ternganga.

Tamiri!

Ditembak dari bawah, ia mati. Jatuh ke bawah juga ia mati. Apakah sekarang waktunya menyusul Obas? Tidak adakah kesempatan baginya untuk membalas dendam?

Tiba-tiba lampu kamar di hadapannya menyala. Mayat Obas yang berlumuran darah tampak kurus dan kaku di lantai. Seseorang berdiri di ambang pintu.

Terlambat sekarang, Bas .… Aku sudah jadi urusan Tamiri.

Orang yang berdiri di pintu itu menghampiri jendela lebih cepat daripada usahanya kembali ke lekukan kecil dinding yang bisa dirayapinya.

“Ngapain kamu, Tikus Kecil? Mampus kau!”

Orang itu membalik senapannya yang panjang dan menghantamkan popornya ke rangka baja tempat jari-jarinya berpegang.

“Aarrgggh!” Ia mendengar tulang jarinya retak. Satu hantaman lagi, dan satu lagi pada tangannya yang lain. Pegangannya terlepas dari bingkai jendela. Dayung melayang di udara.

Benturan keras mengempaskan udara keluar dari paru-parunya. Sesaat ia merasa pening, lalu tulang-tulangnya meremuk di dalam tubuh. Asam lumpur terasa tajam di dalam mulutnya. Anak itu mencoba menggeliat, dan keremukan dalam tubuhnya meruak, membuat matanya berkunang-kunang saat ia berhasil tengkurap dan mengangkat kepala.

Kaki-kaki bersepatu basah mendekat ke arahnya. Dalam kunang-kunang itu, dia masih bisa melihat ujung sepatu cokelat yang mengilat milik Tamiri, setelan jas abu-abunya yang terkena lumpur, dan cambuknya yang melingkar-lingkar dalam genggamannya dengan ujung mengecil yang menjuntai.

Matilah dia kini!

“Siapa dia?”

“Cuma anak kecil, Juragan.”

“Berani sekali memaki Tamiri.” Suara Tamiri berat di antara derai hujan.

“Heh! Siapa kamu?!” Seruan serak yang lebih garang dari anak buah sang Juragan mengiringi sebuah tedangan keras di sisi punggungnya, membuat Dayung berbalik lagi menelentang. Ia merasakan lumpur berkecipak di bawah punggungnya, dan hujan mengiris-iris wajah, hingga matanya tidak berani membuka kecuali sedikit. Sedikit namun cukup untuk melihat wajah busuk Tamiri.

“Jawab!” Pemilik suara serak tadi membungkuk di atas kepalanya, menyemburkan ludah saat ia berteriak. Tato bintang empat sudut di sisi wajahnya berkilat terkena cahaya lampu.

Sepakan lain menghantam lengannya hingga terlempar ke atas kepala. Ia bisa merasakan jamnya meluncur kembali ke pergelangan. Dadanya sesak. Napasnya tersengal. Mudah-mudahan kematiannya tidak begitu menyakitkan.

“Kalau nggak bisa jawab bunuh saja!”

“Tunggu!”

Kata terakhir .… Kata terakhir Tamiri sebelum sebuah benturan keras mengenai kepalanya. Tendangankah? Atau sebuah palu godam? Ia pusing, kepalanya berdenyut, dan semuanya gelap.

***

Itu dulu, saat ia mengira dirinya bakalan mati di bawah kaki Tamiri sepuluh tahun yang lalu. Tapi entah keberuntungan apa yang dimilikinya, hingga dia masih bisa bertahan sampai empat tahun kemudian, menunggu dan menunggu kesempatan untuk bisa membalaskan kematian Obas. Dayung tidak menyangka pintu pembalasan dendam itu justru akan dibuka oleh orang yang menangkapnya.

Lantai putih kantor polisi itu kian dingin di kakinya yang telanjang. Ia mendesah, kira-kira berapa lama lagi ia di sini? Hari ini jauh lebih lama daripada biasanya. Dan lagi, polisi tua itu belum kelihatan juga, belum juga terdengar suaranya. Apa maunya dia sekarang?

Ia menggerakkan pergelangan tangannya yang nyaris terjepit lingkar borgol. Tadi ia sudah berusaha menegangkan lengan-lengannya saat polisi memasangkan borgol itu. Kata teman satu selnya hal itu akan membuat borgol terpasang lebih longgar, dan jika beruntung bisa meloloskan ibu jari dari sendinya, dia akan bisa melepaskan diri. Tapi ternyata sama saja. Tangannya masih terjepit lingkar borgol dan bagian sisi pergelangannya mulai lecet karena ia terus berusaha melepaskannya sejak tadi.

Pintu terbuka. Tanpa harus mengangkat wajahnya dari meja, ia bisa melihat polisi berperut gendut itu berdiri di ambang pintu. Dengan satu cangkir kopi di satu tangan dan gulungan koran di tangannya yang lain, memandanginya. Batinnya menebak-nebak apakah polisi itu akan menanyakan pertanyaan yang sama seperti dalam empat belas hari terakhir ini.

“Dayung … kau sudah makan?” Polisi itu bertanya tanpa bergerak dari tempatnya berdiri. “Heh …! Aku tanya!”

“Peduli apa sampeyan, saya makan atau endak?” ia menjawab datar.

“Martoyo bilang kau sudah di sini sejak pagi. Tentu saja aku peduli kau makan atau tidak, karena kau di sini sebagai tahananku. Tanggung jawabku. Kalau kau mati kelaparan, aku bisa dipecat oleh negara.” Sambil nerocos bicara, sosok itu berjalan masuk dan mengambil tempat duduk tepat di depannya. Polisi itu menatapnya dengan tajam dan ia membalas dengan lirikan angkuh yang tak sekuat harapannya.

“Mengherankan sekali Tamiri belum berusaha mengeluarkanmu dari sini.”

“Sudah saya bilang saya ndak ada hubungan apa-apa sama Tamiri.”

“Jadi Tamiri tentu saja tidak tahu kalau kau di sini?”

“Tamiri juga ndak tahu siapa saya.”

Laki-laki itu menggumam sambil menghirup kopinya, tanpa melepaskan pandangan dari tangkapannya empat belas hari yang lalu.

“Aku sudah mencari tahu. Kau memang bukan anak buah Tamiri.”

“Jadi sekarang saya disel karena saya nyopet sampeyan?”

“Masa tahanan peringatanmu sudah habis. Kau boleh pergi. Tapi kalau kau tertangkap mencopet lagi, kau mungkin akan bertemu denganku. Itu kalau kau belum mati dibakar massa.”

Polisi itu berhenti lama, membuat dia bertanya-tanya kapan borgolnya akan dilepaskan kalau memang dia sudah boleh pergi. Tetapi setelah menghirup kopinya beberapa kali polisi itu membuka mulutnya lagi.

“Aku bisa menawarkanmu perlindungan dan kekebalan hukum dari tindakan kriminalmu mencopet kalau kau mau membantu polisi.”

Dayung berhenti menggerakkan tangannya yang berusaha melepaskan diri dari borgol itu.

“Tetaplah di jalan, awasi gerak-gerik Tamiri dan orang-orangnya. Kalau kau bisa membantu polisi mengungkap kejahatannya, kau akan dapat penghargaan yang layak dari negara.”

Dayung mengangkat pandangannya dari borgol itu, memandang orang di hadapannya dengan sudut mata. Menangkapnya? Ia akan membunuhnya dengan senang hati.





<