cover landing

Double Life

By Ayu Welirang

“Joy! Kanan!” teriak Martha di tengah gudang tak jauh dari Pelabuhan Sri Bayintan, Bintan. Suara Martha menggema dan membuat Joy melompat ke kiri lalu berputar. Di bagian kanan tadi, seorang bawahan mafia telah memegang balok kayu yang bisa membuat wajah mulus Joy membiru.

“Sialan! Sama cewek kok pakai balok, sih!” seru Joy sembari menyiapkan kuda-kuda tendangan. Sekuat tenaga ia berlari dan menendang cecunguk mafia itu di bagian dada. Joy jatuh ke lantai gudang dengan posisi tangan terlebih dahulu. Setelah itu, ia melenting dan kembali berdiri dengan kuda-kuda serta posisi boxing.

Joy menarik napas sebentar. Bukannya takut mati, ia malah tersenyum mengejek tujuh lelaki lainnya yang kini berada di hadapannya. “Ayo maju,” ucapnya sambil memberi isyarat tangan.

Para lelaki yang geram itu mulai maju bersamaan. Joy bergerak cepat, menendang ke pergelangan tangan, serta menunduk dan menendang bagian vital para lelaki yang ingin mengeroyoknya itu. Hanya dalam beberapa menit, lima lelaki tumbang. Joy sendiri hanya terluka di bagian bibir dan pelipis, karena pukulan balok. Kini tersisa tiga orang, satu yang dihadapi Martha dan sisa dua orang yang dihadapi Joy. Kedua lelaki itu bersamaan mengeluarkan senjata. Si pria berkumis tebal, mengeluarkan belati, sementara temannya mengeluarkan senjata api.

“Larry Wong, di mana para sandera?!” seru Martha sambil memanjangkan pentungan besinya. Sementara itu, Joy tetap siaga sambil mendengarkan Martha bernegosiasi.

“Tidak ada di sini, tentu saja. Kalian ini orang-orang bodoh dari mana?!” balas Larry Wong. Tangannya perlahan menyusup ke belakang celana hitam yang dikenakannya. Ujung mata Martha melirik, mulai siaga. Sepertinya, mafia Hong Kong yang fasih berbicara bahasa Indonesia itu hendak mengeluarkan senjata.

Tanpa pikir panjang dan tanpa menunggu jawaban Martha, Larry Wong menarik senjata api dari balik jas, terselip di belakang celana. Bunyi klik untuk kunci senjata itu terdengar. Saat mendengar itu, Martha dan Joy buru-buru bertindak.

Joy menjatuhkan diri, telentang dalam posisi break dance. Gadis berambut panjang terikat itu menahan tubuhnya dengan kedua tangan dan kakinya cekatan menerjang kedua lawan bersenjata hingga mereka jatuh terjungkal. Larry Wong terbelalak melihat kedua temannya terjungkal kesakitan karena menghantam lantai beton.

Martha yang melihat kesempatan itu buru-buru menerjang Larry Wong, hingga senjata api terlepas dari genggaman pria itu. Hanya dalam waktu beberapa detik, ketiga mafia yang tersisa berhasil dilumpuhkan. Martha menduduki perut Larry Wong yang babak belur dan membuat simpul dari tambang. Gadis berambut keriting itu lalu mengikatkannya di pergelangan kaki sambil menginterogasi Larry Wong.

“Di mana anak-anak yang grupmu culik pekan lalu?” tanya Martha sabar.

Larry Wong enggan bicara. Ia hanya tertawa, walau lebih tepat disebut meringis.

“Kalian terlambat datang ke Bintan. Sebentar lagi kapal kargo berangkat,” ujar Larry Wong meremehkan.

Martha garuk-garuk kepala. Ia lalu melemparkan ujung tambang ke arah Joy.

“Ikat ke katrolnya, Joy,” ujar Martha tetap santai.

“Aduh, katrolnya tapi agak tersendat. Kurang oli,” canda Joy sembari menyambung tambang tersebut ke katrol penarik jala ikan.

Larry Wong yang mendengar perkataan Joy, mulai panik. Apakah kedua gadis agen rahasia itu benar-benar akan membunuhnya?

“Percuma kalian melakukan itu. Kapal tetap akan berangkat ke Singapura walau aku mati! Kalian tidak tahu keganasan Da Lei Grup. Seperti namanya, siapa pun yang menghalangi mereka akan mereka datangi seperti ‘petir hebat’ yang menyambar. Mencari kalian bukan perkara sulit!” teriak Larry Wong lagi.

Martha menarik kerah Larry Wong, hingga lelaki itu berada dalam posisi terduduk. Joy membantu kawannya mengikat kencang kedua pergelangan tangan Larry Wong, lalu segera beralih menuju tombol operasional jala ikan.

“Jadi, kalian orang Da Lei Grup rupanya,” cibir Martha. Gadis keriting itu pun berdiri dan berjalan menuju tombol-tombol yang sudah Joy pelajari.

Larry Wong terbengong-bengong. Ia merasa bodoh karena membocorkan nama grup utama tempat ia bekerja.

“Tunggu! Bukan Da Lei. Tunggu sebentar!” teriak Larry Wong panik.

Joy menekan tombol besar berwarna merah dan katrol pun bergerak perlahan.

“Lapor Komandan segera, Joy,” bisik Martha. Sambil menyaksikan katrol terus bergerak naik, seiring dengan Larry Wong yang terseret perlahan, Martha mengeluarkan bungkus rokok dari saku jaket kulit hitamnya. Pelan-pelan ia mengisap tembakau itu dan menikmati petangnya.

Sementara itu, Joy menghubungi komandannya dan memberitahukan kepastian grup yang menculik anak-anak dari kalangan pejabat Indonesia.

“Halo, Pak! Tim yang menjaga persembunyian Da Lei Grup bisa bergerak. Lokasi kargo blok 50A. Kami sudah pastikan anak-anak yang diculik ada di sana,” jelas Joy. Setelah dikonfirmasi kembali, tim yang sudah lama mengintai area kargo dan menemukan beberapa anggota Da Lei Grup di sana, mulai bergerak.

Penyelamatan sore itu cukup cepat dilakukan oleh divisi taktis. Hanya sedikit baku tembak yang terjadi, sebab hanya preman-preman sewaan Da Lei Grup yang harus dilumpuhkan. Joy dan Martha pun kembali ke markas misi mereka dengan kode 44 di lepas pantai Laut Cina Selatan, Pulau Mapur, Bintan. 

***





<