cover landing

Eden

By Kevin Emmanuel Samnofanto

ARC 1 : Dunia Yang Tak Terlihat

ANIMA ALLEFREN

Jika saja keajaiban dan mukjizat itu masih ada, aku pasti akan berhenti mencari cara untuk mati.

Di saat murid-murid lain sudah sampai di rumah dan tengah berkumpul juga bersantai bersama keluarga mereka, lain halnya dengan Anima yang masih termenung di pinggir danau sekolah sambil menikmati pemandangan langit yang amat biru dan cerah. Ayahnya sedang rapat dengan beberapa guru dan Anima ditinggal seorang diri. Namun dia mensyukuri hal itu.

Rasanya dunia ini sangat damai.

Kota Kendari memang tidak terlalu besar. Belum banyak bangunan yang menjulang tinggi mengotori langit. Sehingga tidak sulit untuk menikmati bumantara sembari menunggu pekerjaan sang ayah. Untuk sekian kalinya, Anima merasa sangat bersyukur.

Matanya yang sewarna emas murni tengah menerawang kosong pada angkasa. Warna matanya memang cukup langka, khususnya untuk anak berdarah Indonesia.

Angin berhembus lembut menyelubungi tubuhnya. Seakan menjaga anak itu agar tetap merasa nyaman. Meski begitu, dia berbaring di atas rerumputan teki yang gatal, tapi, entah kenapa dia merasa bahwa gatal itu adalah hal yang baik.

Anima tersenyum kecil.

Tidak ada yang buruk hari ini, pikirnya.

Yup, memang tidak ada, hingga tiba-tiba sebuah titik kecil yang aneh terlihat di langit.

Dia bangkit sambil menatap pemandangan ganjil itu lekat-lekat. “Apa itu... dia lagi?” gumamnya bersamaan dengan matanya yang melebar. Titik kecil itu rupanya adalah seorang murid SMA seperti dirinya. Dan parahnya lagi, Anima tahu betul, siapa murid itu. “Entah sudah berapa kali aku melihat dia jatuh dari langit, tapi tetap saja ini nyata.”

Pada mulanya, Anima berniat untuk menangkap sosok itu dengan kedua tangannya. Namun, akal sehatnya tahu bahwa idenya terdengar konyol. Jadi, dia hanya mampu berdiri sambil terus memandangi sosok ganjil itu hingga tercebur ke danau tepat di depannya.

Air menghambur ke segala arah, sampai-sampai membasahi baju Anima.

Sialan!” keluhnya.

Seketika, suasana kembali senyap. Sosok yang baru jatuh itu terbaring di atas permukaan air sambil memandang angkasa luas. Goresan dan luka bakar melekat pada tubuhnya.

Namun, hal paling aneh dari semua itu adalah sosoknya yang menyerupai Anima. Baik lekuk wajah, postur tubuh, warna kulit—semua sama persis dari ujung kaki sampai ujung kepala. Hanya satu hal yang membedakan mereka, yaitu mata anak itu berwarna perak.

Ruvan Babylonia.

Ada kisah apa di balik sosoknya itu? Adalah hal yang selalu dipikirkan Anima saat melihat keanehan seperti ini. Entah kenapa Anima selalu yakin, bahwa setiap orang yang ada di dunia ini adalah orang-orang terpilih yang pernah melalui petualangan-petualangan hebat.

Entah orang itu jahat atau baik. Setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.

Ya, dia memang yakin semua orang memiliki pengalaman semacam itu. Tetapi, karena pemikiran seperti itulah, dia jadi merasa bahwa hanya dirinya yang tidak mendapat kesempatan untuk merasakan keajaiban—kesempatan di mana seseorang mendapati pengalaman yang penuh dengan hal-hal gaib dan penuh petualangan.

Anima menelan ludah, memaksa lidahnya yang kelu agar dapat melontarkan beberapa pertanyaan hari ini. Mengingat sejak awal sekolah, Anima dan Ruvan bertemu dalam keadaan yang sama, di tempat ini.

“Ruvan, aku mau tanya,” ucap Anima tiba-tiba.

Sosok itu melirik Anima hingga membuat Anima bergidik ngeri.

“Eh, siapa kau?” tanyanya. Suaranya persis dengan Anima.

“Hah? Aku Anima Allefren. Kita satu kelas, lho,” jelas Anima jengkel.

“Oh, iya-iya, aku ingat. Kamu yang mirip denganku, kan?” Ruvan mengambil posisi duduk. Dia benar-benar duduk di atas air. “Omong-omong, kamu mau tanya apa tadi?”

 “Kamu ini … manusia apa bukan?” Entah kenapa pertanyaan itulah yang pertama terlintas di kepalanya. Perasaan yang sangat tidak mengenakkan langsung menggumpal dalam benaknya, seolah dia baru saja mengajak Ruvan berkelahi.

“Tentu saja aku manusia!” jawabnya sambil berjalan mendekat. Dia berdiri di atas air. “Hmm... Aku tidak tahu sudah berapa kali aku terjatuh di sini, tapi aku yakin, baru kali ini kau terkena cipratan air saat aku jatuh. Dan, baru kali ini juga kau berani tanya.” jelas Ruvan dengan nada mengejek.

Anima tentu mendengar apa yang dikatakan Ruvan. Itu membuatnya merasa sedikit kesal. Namun, Anima menghiraukan perkataan Ruvan barusan dan terus memasang wajah kosongnya, kemudian menarik napas. “Aku tidak buta. Kau selalu jatuh dari... entah di mana, dan anehnya, kau tidak mati.”

Ruvan tersenyum seringai dan memasang wajah itu lagi—wajah yang selalu bisa membuat Anima kesal.

“Jika aku berkata di atas sana, di balik awan-awan itu, ada sebuah daratan yang mengambang, apa kau akan percaya?”

“Hah?” Anima sempat terbelalak, tapi dia berdeham dan kembali memasang wajah kosongnya. “Eh—Entahlah,” jawab Anima singkat. Ragu-ragu. Dia merasa bahwa itulah jawaban yang paling tepat.

“Hmm... baiklah, kalau begitu akan kuberi tahu. Sebenarnya ada sebuah pulau di atas sana. Tapi, aku barusan jatuh dari sana karena kalah melawan malaikat.”

MALAIKAT!?

Mendengar jawaban Ruvan, Anima terperangah. Dia hampir tidak mempercayai apa yang didengarnya. Tapi tidak ia tunjukan dengan raut wajah. Air mukanya masih memasang mimik serius dan sorot mata dingin. “Bagaimana dengan luka-luka itu? Tidak mungkin kau diiris oleh angin, atau terbakar oleh awan, kan?”

Apa tadi dia memang benar-benar menyebut malaikat? Atau aku salah dengar?

Ruvan terkejut. Dia memandang tubuhnya sendiri yang dipenuhi luka. Bajunya sudah hampir berubah jadi abu. “Eh? Oh, iya. Aku lupa mengenakan zirahku.” Mendadak tawa Ruvan pecah, seakan luka-luka itu tidak terasa perih sama sekali.

“Zirah?” gumam Anima seraya menggeleng. “Kau belum menjawabku. Bagaimana kau bisa terluka seperti itu? Apa itu karena malaikat yang kau maksud, atau apa?”

Ruvan kembali tersenyum.

“Ya, nggak bisa dibilang begitu juga, sih. Tapi ... Jika aku berkata, di atas sana, di balik awan-awan itu, ada banyak orang berusaha menggapai pulau di langit itu, dan akhirnya, terjadilah konflik, juga peperangan yang sangat dahsyat. Apa kau akan percaya?”

Seragam Ruvan perlahan kembali utuh seperti semula.

“Entahlah.” Anima mencoba menghiraukan fenomena aneh lainnya yang terjadi tepat di hadapannya. “Apa yang kau katakan itu tidak masuk akal.”

Ruvan menggertakkan gigi. “Pulau itu dapat mengabulkan keinginan bagi orang yang pertama kali menapakkan kaki di atasnya.”

Ruvan kembali menengadah menatap langit. Entah apa yang coba dia lihat di balik awan-awan menggumpal itu, tapi Anima sendiri tak dapat melihat pulau langit atau apapun yang aneh di atas sana. “Sudah ratusan tahun aku berusaha menggapainya, agar keinginanku tercapai. Ya, aku pernah mencapainya, sih, tapi keinginanku belum juga dikabulkan. Hah… kematian yang aku damba-dambakan sejak dulu.”

“Kau gila, ya?”

Ruvan tertawa sangat keras. “Kau bilang, kau tidak buta. Aku jatuh dari langit, lho. Lihatlah, aku masih hidup, kan?” Ruvan melanjutkan tawanya.

“Eh, iya juga, sih. Tapi ini sungguh aneh.” Anima memelankan suaranya. “Aku juga ingin mati.” Kata-kata itu hampir seperti berbisik. Akan tetapi senyum aneh mendadak tersurat di atas bibir Ruvan.

“Kamu juga ingin mati? Tapikan, seluruh keluargamu mempunyai keinginan besar untuk membuatmu tetap hidup. Bahkan, kakakmu yang sombong itu punya keinginan besar untuk menyembuhkanmu. Mereka rela masuk ke dalam medan perang hanya untukmu. Tapi, kenapa?”                                                

“Hah? Kau bilang apa barusan?” tanya Anima keheranan.

Anima tidak mengerti sama sekali tentang apa yang dikatakan Ruvan. Seakan-akan kemampuannya untuk mengolah kata lenyap. Meski begitu, Anima merasakan aura aneh yang secara lamat, semakin jelas.

“Ah, sudahlah,” ujar Ruvan sambil kembali mendongak─menatap langit.

“Berarti, kamu ini penyihir, ya?” Keringat dingin mengalir makin deras dari pelipis Anima. Air mukanya tetap tenang. Lantas dia menambahkan, “Kekuatan seperti apa yang kau miliki?”

“Penyihir? Jadi begitu kalian menyebut kami.” Ruvan terkekeh. “Soal kekuatanku... entahlah. Tapi, sih, pada dasarnya kemampuan fisikku tentu lebih kuat dibanding manusia biasa. Tentu saja! Intinya, aku tidak terlalu tahu apa. Tapi, kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan Budak Takdir,” jelasnya tampak bangga.

“Eh, begitu... ya?” Berusaha memahami perkataan Ruvan adalah hal utama saat ini. Walau sulit dicerna, Anima tentu merasa bahwa percakapan ini sangatlah mengagumkan. “Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.”

“Tanyakan saja.” Ruvan tersenyum. “Tapi keraskan sedikit suaramu, karena dari tadi, kamu itu kayak lagi berbisik, soalnya.”

Kesempatan seperti ini hanya datang sekali seumur hidup.

Anima sangat-sangat ingin meneriakkan pertanyaan yang satu ini—pertanyaan yang membawa seluruh penderitaan, juga harapannya:

“Bisakah aku menjadi sepertimu? Memiliki kekuatan dan keajaiban.”

Mendengar pertanyaan kali ini, Ruvan tidak tersenyum sama sekali. Dia memandang tajam pada Anima. “Kalau sampai aku berkata bisa, apa kau mau?”

Mata Anima membuka lebar. Jantungnya berdegup kencang. “Benarkah?”

“Tapi, apa yang akan kau perbuat dengan kekuatan ini?” tukas Ruvan tiba-tiba, sambil kembali menatap angkasa.

Anima terkejut. “Aku ingin hidupku─”

“Tidak-tidak. Maafkan aku. Aku tidak berhak menanyakan hal ini.” Ruvan kembali menatap Anima, kali ini diiringi senyum seringai. “Aneh. Aku tidak tahu kenapa selalu terjatuh di sini saat kalah melawannya, tapi aku yakin, pertemuan kita ini adalah takdir.”

“Apa maksudmu?”

Ruvan merogoh kantong belakang celananya, lalu menarik keluar sesuatu. Itu adalah kalung perak yang sangat indah bentuk serta hiasannya. Ada sebuah ukiran sebilah pedang di sana. Tanpa aba-aba, Ruvan melemparkan kalung itu pada Anima.

Anima berhasil menangkap kalung itu dan menatapnya sejenak.

“Apa ini?”

“Hey, apa kau buta? Tentu saja itu kalung.” jawab Ruvan ketus. Dia kini sudah tidak berada di atas air lagi, melainkan tepat di samping Anima.

“Jadi… apa yang bisa dilakukan kalung ini?” tanya Anima tampak tolol.

“Ya, kalung itu sebenarnya wujud dari tetesan kekuatanku. Dengan menggunakannya, maka energiku yang tersimpan di dalamnya akan memanggil kekuatan dari dalam dirimu, lalu menghidupkannya, dan mewujudkannya menjadi sihir yang sebenarnya.” 

“Wah, jadi kalung ini bisa memberiku kekuatan, kan?”

“Tidak. Tidak begitu,” jawab Ruvan sambil memilah-milah dalam benaknya, “Kan, semua makhluk hidup memang memiliki kekuatan, bahkan manusia. Tapi, satu-satunya cara untuk memekarkan kekuatan yang tertanam di dalam diri manusia adalah dengan cara menyiramnya dengan kekuatanku.”

“Oh, begitu,” bisik Anima pelan. Matanya masih berbinar-binar.

“Dan dengan itu pula, kau telah resmi menjadi Crystalian, deh, Anima.”

“Tunggu, apa lagi, itu? Crysta—apa?”

“Itu sebutan untukku, kamu, dan mereka yang punya hubungan dengan keajaiban.” Setelah mengambil jeda sejenak, Ruvan melanjutkan, “Itu adalah sebutan bagi rakyat yang bukan dari dunia ini.” Dia menarik keluar kalung yang tersembunyi di balik bajunya, dan memperlihatkan bentuk hiasannya—sebuah batu permata ungu yang dililit rantai perak. “Omong-omong, aku harus pergi.”

“Tapi apa yang harus kuperbuat dengan kalung ini?” tanya Anima tampak konyol. Dia tahu bahwa dirinya tidak lagi dapat menyembunyikan raut panik dari wajahnya.

“Oh, gampang. Genggam bandul hiasannya erat-erat, sampai itu benar-benar hancur menjadi debu.” Suara Ruvan hampir tidak terdengar. Saat Anima sadar, kembarannya itu sudah raib dari hadapannya.

“Hah? Gampang? Tapi ini perak!” Anima sadar bahwa tidak mungkin dia melakukan seperti apa yang dikatakan Ruvan. Dia memandang sekeliling, tapi tak kunjung menemukan Ruvan. Seolah dia baru saja dibawa lari oleh angin. “Begitu saja?” Anima menatap telapak tangannya lekat-lekat. “Aku tak merasakan apapun.”

Angin lembut kembali berhembus, membuat seluruh tubuh Anima merinding. Dia baru ingat bahwa seluruh pakaiannya basah kuyup.

“Sialan—“

“Sialan apanya!” sahut sebuah suara dari belakang. Anima hampir melompat saat mendengar suara gagah dan berat itu. Dia menoleh dan mendapati seorang pria berseragam dinas dengan postur tubuh tinggi dan kekar sudah berdiri tegap di sana. Sorot matanya penuh kegusaran di balik kacamata yang memancarkan kebencian.

Muka orang itu memang tampan dan rahang perseginya membuat sosok itu tampak muda. Namun, kenyataan mengatakan bahwa umurnya sudah menyentuh angka lima puluh dua. Tidak muda lagi. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah ayah Anima, yaitu Jonathan Allefren.

“Kenapa kamu bisa sampai basah begitu, HAH!?” tanya sang ayah dengan nada mengancam.

“A-aku tadi jatuh di danau,” jawab Anima takut sambil menunduk. Anima menyadari bahwa sang ayah terdiam dan masih melototinya dengan pandangan yang garang. “Rasanya, tadi ada yang mendorongku, Yah. Tapi saat aku mencarinya, orang itu sudah tak terlihat lagi.”

“Kamu ini pura-pura bodoh atau memang bodoh?” tanggap sang ayah seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Seakan, dia siap melayangkan tinju kapan saja pada anaknya.

“Tapi―”

“Sudahlah! Kalau kau mau pulang, naik angkot sendiri sana!”

Anima memalingkan wajah agar tidak memandang raut kesal ayahnya. Tak lama berselang, dia dapat mendengar suara sang ayah menarik napas berat. “Apa yang baru saja kukatakan.” Ayahnyamencoba menenangkan diri. Dia berdeham pelan untuk memperlunak suaranya.

“Ya sudah, ayo pulang!” katanya sambil berjalan pergi.

Anima masih terdiam. Dia menatap kalung barunya, kemudian menyimpan benda itu di dalam kantong celananya seraya berjalan, mengekor sang ayah di belakang.

Kekuatan... aku hanya butuh kekuatan dan keajaiban agar aku bisa melakukan sesuatu yang baik dengan sisa hidupku ini.

Tiba-tiba saja, Anima terbatuk. Lekas-lekas tangannya menutup mulut untuk menahan dahak yang memaksa keluar dari sana. Akan tetapi batuknya terlalu keras, dan membuat tenggorokannya sakit. Untung sang Ayah sudah berjalan jauh.

Ketika Anima melihat telapak tangannya, bukan dahak yang keluar, melainkan bercak merah dan kental darah. Seketika kepalanya kacau. Tubuhnya bergetar hebat.

Sialan...





<