cover landing

Enmeshed

By Marrygoldie

Pertemuan kita bukanlah kebetulan, melainkan sebuah takdir yang tidak bisa kita tolak. Bahkan sekeras apa pun mematahkannya, takdir akan tetap menyatukan kita.

***

Ruangan kelas TK kecil didominasi warna biru dan merah muda. Di dinding dihiasi karya tangan anak-anak di kelas tersebut. Suara riuh terdengar dari dalam kelas. Hal itu disebabkan karena Ellaine meminta anak-anak mengikuti doa pulang yang diucapkannya. Bukannya mengucapkan dengan nada biasa, tapi beberapa anak mengucapkannya dengan berteriak sehingga anak-anak lain pun mengikuti cara itu.

Seorang wanita berdiri di depan kelas sembari melipat tangan di dada dan memejamkan matanya. Rambutnya berwarna cokelat gelap digelung di belakang kepala dengan rapi sehingga menegaskan tulang pipinya. Blouse cream dengan flare skirt hitam melekat pas di tubuh ramping Ellaine Saunders.

“Amin.” Ellaine menyelesaikan doanya.

“Amin.” Serentak anak-anak yang menggemaskan itu menirukan ucapan Ellaine.

“Pintar sekali anak-anak. Sekarang apa yang harus kalian ucapkan?”

Thank you, Miss Saunders.” Anak-anak mengucapkan kata-kata itu perlahan dan jelas.

“Youre welcome. Sampai jumpa besok semuanya.” Ellaine melambaikan tangan sebelum akhirnya berjalan menuju pintu dan membukanya.

Anak-anak meraih tas dan bergegas berbaris menghampiri Ellaine. Mereka memberikan tos yang keras kepada Ellaine, lalu wanita itu akan menyebut nama mereka satu per satu untuk membuat anak-anak tahu jika Ellaine begitu memperhatikan mereka.

Miss Saunders.”

Seorang bocah perempuan yang berbaris paling akhir berlari ke arah Ellaine. Kuciran rambut yang berada di atas telinganya bergoyang seiring dengan gerakannya. Gadis kecil bernama Chloe Leicester itu melompat dengan kedua tangan terbentang lebar memeluk leher Ellaine. Beruntung Ellaine berhasil menahan kakinya sehingga mereka tidak terjatuh.

“Kau hampir membuat kita terjatuh Chloe.” Ellaine tertawa atas sikap Chloe yang penuh semangat.

Tangan Ellaine berusaha melepaskan tangan mungil Chloe tapi, gadis kecil itu justru semakin memeluknya erat. Tak ingin melepaskan guru kesayangannya.

“Aku tidak ingin pulang Miss Saunders. Aku ingin tetap bersamamu.” Chloe menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Ellaine.

“Besok kita akan bertemu lagi Chloe. Aku yakin saat ini grandma sedang menunggumu. Apa kau akan membiarkan grandma menunggu?”

Chloe melepaskan pelukannya dan menampilkan bibir yang cemberut. Tangan Ellaine terulur untuk membenarkan salah satu kuciran Chloe yang melorot serta hendak memberikan kata-kata yang mampu menyingkirkan kekecewaan di wajah gadis kecil itu. Namun, niatnya terurung karena mendengar suara berat di belakangnya.

“Jadi, My Little Fairy tidak mau ketemu daddy?”

Chloe mendongak dan seketika wajahnya berubah menjadi cerah layaknya sinar matahari. Gadis kecil itu berlari melewati Ellaine dengan penuh semangat.

Daddy!”

Ellaine bisa mendengar seruan Chloe. Wanita itu menegakkan tubuhnya dan berbalik. Manik mata berwarna biru laut itu tertuju lurus pada sosok pria yang meraih Chloe dalam gendongannya. Pria itu memiliki tinggi sekitar 190 cm dengan rambut berwarna cokelat gelap. Memiliki wajah tampan disertai kumis dan jenggot tipis yang tumbuh mengitari mulutnya. Yang lebih menarik perhatian Ellaine adalah sepasang bulatan cinnamon terlihat berbinar saat tersenyum ke arah Chloe.

Jelas pria itu akan menjadi incaran para kaum hawa. Bahkan tubuh atletis yang tertutupi oleh kemeja putih yang dikenakannya. Otot tangannya mengintip dari lengan kemeja yang digulung. Rasa penasaran merasuki pikiran Ellaine.

Bagaimana rasanya menyentuh lengan itu? Keras atau lembut?

Dengan segera Ellaine membuang jauh-jauh pertanyaan itu. Dia bukanlah wanita mesum yang hanya memikirkan tentang penyatuan dua manusia yang berbeda jenis. Entah apa yang telah merusak kerja otak wanita itu. Jelas itu adalah kesalahan.

“Daddy juga merindukanmu My Little Fairy.” Suara pria itu menyadarkan Ellaine untuk kembali ke dunia nyata.

Ini pertama kalinya Elaine bertemu dengan ayah Chloe. Pria itu tak pernah menampakkan batang hidungnya di sekolah. Namun Ellaine tahu siapa ayah Chloe. Ethan Leicester. Pemilik Leicester Group. Perusahaan yang bergerak dalam bidang perhotelan yang berdiri di beberapa kota-kota besar di Amerika, sehingga membuat nama pria itu berlalu-lalang di media.

“Jadi inikah Miss Saunders yang selalu dibicarakan Chloe? Saya Ethan Leicester.” Ethan mengulurkan tangannya.

Netra Ellaine memandang sejenak tangan Ethan yang terulur sebelum akhirnya membalasnya. Tatapan Ellaine bertemu dengan manik mata Ethan. Mengantarkan getaran aneh dalam dirinya. Bahkan Ellaine bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya karena sentuhan sederhana di tangannya.

“Saya...,” suara Ellaine berubah parau sehingga wanita itu perlu batuk sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, “s-saya Ellaine Saunders. Senang berkenalan dengan anda Mister Leicester.” Ellaine melepaskan genggaman tangan pria itu.

“Senang juga berkenalan dengan anda Miss Saunders. Melihat Chloe, sepertinya sepertinya dia tidak mau berpisah dari anda. Bagaimana jika ikut dengan kami makan siang, Miss Saunders?” ajak Ethan.

“Ayo ikut, Miss Saunders!” Pinta Chloe dengan tatapan memohon.

Ellaine terdiam karena tidak menyangka Ethan akan mengajaknya makan siang. Mendapatkan tawaran makan siang dengan miliuner seperti Ethan pasti membuat wanita lain menjerit dan langsung melompat ke arah pria itu. Sayangnya, Ellaine adalah wanita yang setia dan berpegang teguh prinsipnya.

“Maafkan saya harus menolaknya, Mister Leicester. Karena sudah memiliki janji dengan tunangan saya. Mungkin lain kali.”

Entah mengapa Ellaine harus menyebutkan statusnya saat ini. Untuk memberitahu jika sudah ada pria lain yang memilikinya. Atau, untuk mengingatkan dirinya sendiri karena reaksi yang ditimbulkan Ethan pada dirinya.

Ethan menatap putrinya, bibir mungil Chloe tampak cemberut melayangkan protes.

“Kita tidak bisa memaksa Miss Saunders, Chloe.” Nasihat Ethan kepada sang anak sebelum kembali memandang ke arah Ellaine. “Jika anda sempat, maukah anda makan malam di rumah kami, Miss Saunders? Tenang saja akan ada ibuku juga. Belum pernah Chloe bersemangat seperti ini.”

Ethan menatap putrinya penuh sayang. Jelas sekali Ethan akan memberikan apa pun untuk memenuhi keinginan putri tercintanya. Termasuk memaksa Ellaine untuk makan bersama keluarganya.

“Maafkan aku, Chloe. Aku berjanji akan makan malam bersamamu jika tidak terlalu sibuk. Jadi sekarang maukah kau pulang bersama daddy?”

Kata-kata Ellaine bagaikan sihir untuk Chloe. Gadis berusia empat tahun itu mengangguk dan kembali tersenyum.

“Anda bisa menghubungi jika sempat makan malam dengan kami, Miss Saunders.” Ethan menyerahkan kartu namanya.

“Baik, Mister Leicester.”

"Ethan. Panggil saja Ethan."

"Baiklah Ethan. Aku akan menghubungimu jika ada waktu luang."

Ethan dan Chloe berpamitan sebelum akhirnya meninggalkan Ellaine. Wanita itu kembali masuk ke dalam kelas dan membereskannya. Tidak mudah mengendalikan anak-anak berusia 4-5 tahun. Namun untuk itulah kesabaran diperlukan bagi guru yang mengajar mereka.

Tangan Ellaine yang tengah merapikan kertas terhenti. Ingatannya tertumbuk pada reaksinya saat bertemu Ethan. Bahkan wanita itu masih bisa merasakan sensasi tangan Ethan saat menggenggamnya. Ellaine tak pernah merasakan sensasi itu bahkan saat bersama Edward, tunangannya.

“Sepertinya kepalamu terbentur karena menolak tawaran makan bersama duda tampan yang paling diminati, Ellaine.” Suara itu mematahkan pikirannya mengenai Ethan.

 Helen. Sahabat sekaligus rekan kerja Ellaine memasuki ruang kelasnya. Wanita berambut pirang itu memandang Ellaine menuntut jawaban.

“Menerima tawaran makan bersama ayah murid itu tidaklah profesional Helen. Aku tidak ingin merusak hubungan guru dan wali murid. Lagi pula, aku memiliki janji dengan Edward.”

“Kau terlalu kolot Ellaine. Itu hanya undangan makan bukan undangan naik ke ranjang Ethan. Meskipun tawaran terakhir itu menggoda.”

“Helen.” Ellaine melotot ke arah Helen. “Seharusnya kau saja yang mengajar Chloe, Helen. Karena sepertinya kau yang paling menggila mengenai Ethan Leicester.”

“Jika saja kita bisa bertukar tempat.”

Ellaine menggelengkan kepalanya melihat tingkah Helen yang tidak bisa menyaring ucapan yang keluar dari pikirannya.

“Sudahlah aku harus pergi. Edward pulang dari Chicago hari ini. Dan aku tidak sabar menemuinya. Bye, Helen.” Ellaine membawa barang-barangnya lalu melambaikan tangan.

“Yaa.... Yaa.... Nikmatilah waktu bersenang-senangmu.” Ucap Helen menatap kepergian Ellaine.

***





<