cover landing

Faerie City

By Keefe R.D

Hari pertama mereka pindah ke kota itu, segalanya akan berubah. Namun, ada satu gadis remaja yang sedari tadi terus terlihat cemberut. Ia tak peduli sama sekali ke mana arah perjalanan mobil ini akan membawanya pergi.

“Tiana, lihatlah jalanan di sini …,” ujar ibunya sambil menunjuk pemandangan pepohonan hijau dari balik jendela mobil. “Oh, sungguh indah!”

Apa pun obrolan dalam perjalanan yang dikatakan ibunya, gadis itu tetap saja tak peduli. Ia malah memasang earphone dan terus sibuk mendengarkan musik-musik alternatif yang mengganggu gendang telinganya sendiri.

Saat ibunya mulai berceloteh lincah lagi sambil mengenang masa-masa saat mereka semua masih tinggal di kota besar, Tiana memutar kedua bola matanya dengan kesal. Pada akhirnya ia hanya bisa menggerutu, “Terserah saja.”

Ayahnya yang sedang mengemudi mulai menyadari sikap diam anaknya. Lalu ia melirik ke kaca spion untuk melihatnya sejenak.

Seketika itu juga ia terkekeh, mendapati sesuatu yang lucu pada ekspresi anaknya. Lalu ia berceletuk iseng, “Oh, lihatlah dia, terus cemberut di belakang.”

Lalu ibunya segera menengok ke belakang kursi penumpang untuk melihatnya sendiri.

“Tiana, kau ini kenapa dari tadi?” Ibunya bertanya heran. “Kita akan sangat bergembira pindah ke kota itu. Lihat saja nanti ….”

Tiana pun terkekeh ketus mendengarnya. “Ya, terserah saja, Nyonya Fairchild.”

Kedua orang tuanya malah tertawa kompak saat ia menyebut nama marga ayahnya itu.

Mobil SUV hitam ini terus melaju kencang di jalanan satu arah yang diapit pepohonan cedar tinggi dan juga rerumputan hijau liar.

Sampai pada akhirnya mobil tiba di ujung pagar perbatasan. Di sana mereka disambut dengan penampakan papan kayu besar bertuliskan:

Faerie City

Since 1880s

Home for the Capital Nature Wanderers

 

Sepasang mata Tiana langsung saja seakan tersihir oleh tulisan bercetak tebal di papan kayu tersebut. Segera setelah ia melepas earphone, ia berceletuk geli sendiri, “Apakah mereka sedang mengarang cerita di kota ini atau bagaimana?”

Sedangkan ibunya bertepuk tangan senang saat akhirnya mereka sudah tiba di kota yang dituju. Gumamnya, “Aku sudah tidak sabar ingin melihat pemandangan di sana .…”

Namun Tiana sendiri masih saja tidak puas ingin menyelak, lantas ia menyahut sinis lagi, “Faerie City? Yang benar saja …. Apa kita akan diajak bermain dalam babak dongeng baru di kota mereka?”

“Ah, shush, Tiana,” sahut ibunya, kesal. “Jangan sinis begitu. Mood burukmu itu malah membuat suasana jadi tidak nyaman.”

Tiana lalu kembali bersandar di kursi penumpang. Wajahnya cemberut, kedua tangannya disilangkan di dada. Sejenak ia merenung aneh sendiri: Mengapa tempat ini dinamai Kota Peri?

Saat mobil memasuki pertigaan di permukiman rumah, ayahnya lalu bergumam, “Tunggu dulu, aku lupa blok yang mana, ya, rumah kita ….”

Di sebelahnya, istrinya segera membuka kembali brosur kota tersebut, lalu memberitahunya, “Ah, ada di Blok 3 C. Masuk saja dari gang ini.”

Ayahnya berkendara dengan sangat hati-hati sembari membaca arah petunjuk yang ada di papan palang pada setiap putaran gang kompleks. Sampai akhirnya ketemu juga rumah yang mereka tuju itu.

Segera setelah mesin mobil dimatikan, kedua orang tuanya membuka pintu mobil dengan penuh semangat. Sedangkan Tiana tetap saja bersikap malas-malasan sendiri.

Sejenak ia mengintip dari balik jendela mobil. Rumah itu terlihat memiliki arsitektur yang cukup kuno. Sepertinya dari model perumahan zaman era Victoria.

Ayahnya lalu mengetuk kaca mobil di sebelahnya seraya menyuruhnya segera turun. Karena mereka juga sudah tiba di tempat ini, suka tidak suka, akhirnya Tiana keluar dari mobil.

Sejenak ia mencoba mengamati pemandangan kompleks sepi di sekitarnya. Hanya ada beberapa orang yang sedang berlalu-lalang di seberang jalan. Mereka sesekali melirik ke arahnya dengan tatapan penasaran. Tentu mereka pasti penasaran mendapati orang baru datang di kompleks ini.

Sampai seorang ibu-ibu yang lewat menyapa kedua orang tuanya saat mereka sedang membuka bagasi mobil. Sejenak Tiana ikut mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Hei, namaku Felicia Bernado. Aku tinggal di sana …,” ucapnya sambil menunjuk rumah yang berada tepat di depan rumah baru mereka.

Ibu-ibu ini tampak seperti orang Latin yang sudah lama berimigrasi ke Amerika. Tampilan tubuhnya agak gemuk dan rambut keriting cokelat tuanya dikucir.

Dengan gaya energik, ia terus berceloteh riang menyambut kedatangan penduduk baru. Namun kehebohannya berhenti saat ia mendengar bahwa keluarga kecil ini akan menempati rumah di Blok 3 C.

“Oh, benarkah? A-aku pikir rumah ini sudah …,” sejenak ia tampak gugup sendiri, membuat mereka penasaran. “Apa tidak ada rumah lain untuk kalian tempati?”

Seketika itu juga, Mister Ronie Fairchild mengernyit heran. Lalu ia mengatakan, “Maaf, tapi kami sudah telanjur membelinya.”

“Penjual propertinya baik sekali, kok. Dia langsung memberikan harga diskon untuk rumah Victorian ini,” tambah istrinya.

Mister Ronnie Fairchild tidak akan mau membuang uang dengan percuma lagi. Walau diberi harga diskon sekalipun, rumah ini masih termasuk yang cukup mahal di antara blok perumahan lainnya di kota ini.

“Oh, tentu saja akan diberi diskon. Kalau begitu, aku berharap akan baik-baik saja, ya,” ucap Felicia sambil sesekali mencuri pandang dengan tatapan ketakutan ke rumah itu.

Tiana yang berdiri di antara mereka pun tak mengerti sikap antipati si tetangga depan rumah itu.

Setelah Felicia pamit pulang, Tiana langsung saja mengambil tas kopernya sendiri di bagasi mobil. Sedangkan kedua orang tuanya sibuk membereskan beberapa barang bawaan yang harus diturunkan.

Karena malas menunggu lama, akhirnya Tiana melangkah masuk duluan. Ia membuka pagar rumah yang sangat berdebu. Sejenak ia mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya dengan tatapan waspada, terutama pekarangan yang sudah ditumbuhi rerumputan liar yang membuat pemandangan jadi semakin horor.

Kedua kakinya melangkah malas menuju teras bertangga kecil. Saat pertama kali menginjakkan kaki di teras kayu tersebut, sejenak sepasang matanya mengernyit heran ke arah secarik kertas usang yang terpampang di pintu depan.

“Apa-apaan ini?” gumamnya sambil mendekati tulisan pada kertas tersebut.

Tentu saja ia spontan mengernyitkan alis heran setelah membacanya dengan teliti.

Rumah ini dikutuk, jangan dibuka!

Seketika itu juga, ia mendongak ke atap rumah dengan perasaan ngeri. Apa mungkin tulisan itu benar-benar memperingatkannya?

“Hei, kenapa kamu diam saja di situ?” sahut ayahnya sambil membawa koper ke teras.

“Pa, lihat tulisan ini.” Lalu ibu jari Tiana menunjuk kertas yang masih ditempel di pintu.

Sejenak ayahnya ikut mengernyit heran seperti dirinya tadi. Lalu ia menyeringai dengan ekspresi mengejek saat membaca kertas itu.

“Dasar …. Ini hanya ulah usil anak remaja di kompleks ini. Mereka hanya mau menakut-nakuti kita.”

Lalu dengan cepat ayahnya menarik kertas itu dan meremasnya sebelum dibuang ke lantai.

Tiana pun berlagak tak peduli. Mungkin ayahnya benar, itu semua hanya kerjaan usil anak remaja di sekitar sini.

Segera setelah ibunya datang ke teras, ayahnya langsung membuka pintu rumah. Seketika itu juga, bau debu pekat menyambut kedatangan mereka di ruang depan.

“Ya Tuhan! Aku tidak tahan baunya,” gerutu Tiana sambil terbatuk-batuk.

“Oh, ya, beginilah bau rumah jadul. Kau akan terbiasa juga nantinya,” ucap ayahnya dengan nada meledek.

“Hei,” sahut ibunya di belakang mereka sebelum melangkah lebih jauh ke dalam rumah. Dengan kompak mereka berdua menatapnya. “Apa kalian pikir yang dikatakan tetangga kita itu benar?”

Jelas saja suaminya terkekeh dan hampir terbatuk melihat rasa gentarnya itu. “Apa kau percaya klenik yang dibicarakan orang-orang tak bertanggung jawab, huh?”

Istrinya lalu mengangkat kedua bahunya. “Ya, aku pikir juga mereka iseng saja berkata begitu.”

Bagaimana mungkin orang kompleks ingin memengaruhi orang-orang kota modern seperti ayah dan ibunya di sini untuk percaya tentang gosip hantu di rumah kuno? Tiana pun menggelengkan kepalanya karena merasa geli.

Lalu ayahnya berkata, “Baiklah, sekarang saatnya kita memindahkan semua barang bawaan. Nanti aku akan coba cek mobil boks, sudah sampai mana mereka .…”

Tiana berpencar dengan mereka. Ia ingin mulai mencari ruangannya sendiri untuk dijadikan kamar tidur.

Di setiap penjuru ruangan, matanya banyak mendapati partikel debu padat yang beterbangan, apalagi ada sarang laba-laba yang bersemayam di langit-langit. Setelah berkeliling sebentar, ternyata rumah ini terdiri dari dua lantai. Hanya ada empat kamar tidur, dua kamar mandi, dan yang lainnya adalah ruangan besar untuk berkumpul, seperti dapur, ruang tamu, dan ruang keluarga. Mungkin di sisi yang lain juga terdapat gudang bawah tanah, hanya saja Tiana tidak mau pergi ke situ karena pasti ada banyak debu yang lebih mematikan.

Saat sudah berdiri di lantai dua, ia segera berteriak memberi tahu kedua orang tuanya, “Ma! Pa! Aku pilih kamar yang ada di pojok lantai dua, ya!”

Dari lantai bawah, ibunya segera balas menyahut setuju.

Tiana lanjut membuka pintu kamar tersebut dan mendapati ruangan berukuran 3x5 meter yang cocok untuk dirinya bersemayam.

“Hanya butuh sedikit kerja keras untuk memperbaiki kamar usang ini,” celetuknya sendiri saat mengamati ruang kosong berdebu itu.

Hanya ada beberapa furnitur jadul yang ditinggal oleh pemilik sebelumnya, yaitu kasur, lemari, dan meja belajar. Saat ia mengamatinya sejenak, ternyata semua furnitur tersebut terbuat dari kayu mahoni mahal.

Namun yang membuatnya menyukai tempat satu ini bukanlah barang-barang mahoni tersebut, melainkan interior jendela di tengah kamar ini yang punya cekungan untuk duduk bersantai.

Segera saja ia mencoba duduk di atasnya. Dari situ ia bisa melihat secara keseluruhan isi kamar tidur ini. Tidak terlalu buruk untuk ukuran seleranya.

Perhatiannya teralihkan saat ia mendengar suara cuitan burung-burung di luar rumah. Matanya langsung menengok ke jendela. Ia segera membuka tirai usangnya. Dari atas kamarnya, ia bisa melihat pemandangan rumah para tetanga di luar sana.

Kompleks perumahan ini punya banyak rumah yang memang masih terlihat kuno arsitekturnya. Namun memang hanya rumah yang ditempatinya ini saja yang terlihat paling besar dan agak menyeramkan.

“Setidaknya ada interior bagus di rumah jadul ini, mirip dengan kamarku yang sebelumnya,” gumamnya sambil bernostalgia sesaat.

Tentu saja Tiana sebenarnya sangat keberatan untuk pindah ke kota kecil ini. Karena dirinya akan selalu merindukan rasa nyaman hidup di kota besar. Berpindah tempat tinggal mungkin dapat menjadi hal sulit, tapi ayahnya tetap tegas pada pendiriannya, bahwa mereka semua harus pergi.

Selama tinggal di pusat kota Manhattan sebagai keluarga kecil, mereka selalu bisa terlena dengan segala hiruk pikuknya, dan tentu dengan kondisi cuaca yang cukup menyenangkan untuk berjalan-jalan di pinggiran gedung-gedung pencakar langit.

Namun hal seperti itu pasti tidak akan didapatkannya di kota kecil seperti di sini. Oleh karena itu, Tiana tidak terlalu senang pindah rumah. Tapi itu semua adalah keputusan ayahnya.

Jika saja ayahnya tetap bekerja sebagai seorang eksekutif yang setiap hari bolak-balik di gedung pencakar langit, sudah pastilah Tiana dan ibunya tidak akan tinggal di rumah jadul ini.

Tapi sekarang semuanya akan segera berubah. Kehidupan pasti tidak akan terasa sama seperti saat tinggal di kota sebesar Manhattan, New York.

Dan kehidupan baru itu akan dimulai di kota kecil ini, Faerie City.





<