cover landing

Fiat Justitia

By rinoevans

Taman Kemerdekaan, Kawasan Istana Negara

Pukul 07.00 WIB, 28 Januari 2020, Jakarta Pusat

Peringatan 100 Hari Masa Kerja Presiden

Eddie Sugiantoro tampil gagah dengan baju serbahitam, badannya terlihat lebih berisi dibandingkan biasanya. Mungkin dia telah mempersiapkan tampilan terbaiknya untuk peringatan ini.

Kumpulan orang-orang berbaju formal serta para wartawan pun berkumpul dengan rapi ketika Presiden naik podium. Beberapa undangan khusus diberikan tempat duduk di hadapan podium presiden. Mereka semua menatap serta menunggu sang presiden menyampaikan pidatonya pada peringatan seratus hari masa kerjanya.

“Selamat Pagi, Indonesia!” sapa Eddie dengan lantang, sapaan khasnya ketika akan memulai pidato.

“Pagi!”

Tatapan Eddie begitu nanar, kedua lengannya berada di ujung pembatas podium. Matanya mengedar seperti elang mencari mangsa, lalu ia berhenti pada satu titik, yaitu pada arah Barkah. “Senang sekali, pada pagi yang cerah ini say—”

Dorr…!

“Aaaahhh…”

Tiba-tiba saja, sebuah peluru menghujam dada Eddie hingga pria itu ambruk. Paspampres di dekatnya langsung menghampiri tubuh sang presiden. Suasana berubah mencekam tiba-tiba. Orang-orang histeris sembari melarikan diri.

***

Empat puluh delapan jam sebelum terjadinya penembakan.

Bayu Agatha memalingkan pandangannya ke arah jendela gerbong yang menampilkan kilasan-kilasan pemandangan yang cepat berlalu mengikuti laju kereta. Perjalanannya menuju Jakarta akan memakan waktu cukup lama. Sudah hampir seminggu ia berada di kota Malang untuk peliputan keindahan alam yang tersembunyi di pelosok. Sebuah tugas sebagai seorang jurnalis, mengabarkan apa yang belum pernah dilihat oleh umum.

Namun Bayu selalu merasa bahwa tugas yang diberikannya ini adalah sebuah keterpaksaan dari atasannya untuk menghindarinya meliput situasi politik akhir-akhir ini. Bayu lebih dikenal sebagai seorang jurnalis politik lewat tulisan-tulisan di blog pribadinya. Pasalnya, Nusantara Post tempat Bayu bekerja selalu menolak artikel-artikelnya yang bertema politik. Ketika ada kejadian politik yang sedang marak ia selalu ditugaskan untuk meliput daerah-daerah pelosok di Nusantara.

Ia tak habis pikir, kenapa kantornya selalu melarangnya membuat sebuah artikel politik. Namun Bayu adalah seorang manusia dengan jiwa independen yang tinggi serta memiliki sifat pemberontak sehingga ia menuliskan gagasan-gagasan politiknya di blog pribadi. Masyarakat pun lebih tertarik dengan tulisannya di blog pribadi dibandingkan dengan di Nusantara Post.

Bayu menghela napas setelah beberapa saat bercumbu dengan kesunyian. Kembali terbayang kondisi politik di negeri ini, kebebasan berpendapat, kemakmuran serta kesejahteraan telah diambil oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Sehingga Bayu dapat membayangkan bahwa negeri ini seperti dalam cengkeraman iblis.

Lalu Bayu membuka laptop. Untuk menemani perjalanannya ke Jakarta, ia menulis sebuah artikel di blog pribadinya.

NUSANTARA DALAM CENGKERAMAN IBLIS

“Sebuah pengantar dari peringatan Seratus Hari Masa Kerja Presiden Eddie Sugiantoro”

Mungkin sebagian dari kalian yang membaca judul artikel ini merasa saya terlalu berlebihan. Akan tetapi, saya melihat ini dari sebuah bukti serta kekhawatiran saya terhadap pemimpin-pemimpin di negeri ini.

Saya akan menjelaskan mengapa saya memilih kata ‘Cengkeraman Iblis’ untuk mewakili kondisi politik di negeri kita tercinta. Iblis adalah perwujudan dari sebuah pembangkangan terhadap Tuhan. Iblis juga sangat ditakuti oleh kita—para manusia, karena kesesatannya akan membawa kita ke dalam jurang neraka yang paling dalam.

Negeri kita, sementara ini dipimpin oleh seorang—yang bisa saya katakan—serakah, tak perlu saya jelaskan alasannya, karena kalian pun sudah tahu bahwa pemimpin kita sedang menjalankan dua kewajiban yang seharusnya tidak boleh dijalankan bersamaan. Selain itu, dikeluarkannya Dekrit Presiden 3 Januari 2020 yang memberlakukan pasal anti-penghinaan presiden membuat kita semakin terenggut kebebasan berpendapatnya.

Adanya dekrit ini pula semakin membuktikan dan membuka mata kita bahwa pemimpin kita sekarang ini sedang melindungi diri dari gejolak rakyat yang menolak kepemimpinannya. Juga, membuktikan di mana saja antek-anteknya berada. DPR? MPR? Entahlah! Yang jelas, kita hanya tahu bahwa dekrit itu dipermudah proses pengesahannya. Berbeda ketika dahulu Gus Dur yang mencoba membuat dekrit namun ditolak.

Kita kesampingkan dulu politik .…

Mari tengok sebentar Tim Nasional sepak bola kita, yang pemimpin federasi sepak bolanya adalah orang yang sama seperti pemimpin di negeri ini.

Awal beliau menjabat sebagai ketua umum PSSI, pembinaan sepak bola kita sudah cukup bagus, bahkan banyak yang akan mengira bahwa lima sampai sepuluh tahun ke depan sepak bola kita setara dengan negara-negara kuat di Asia. Beberapa pemain muda saat ini sedang merumput di Eropa. Lihat saja Egy Maulana Vikri yang sekarang bermain di Klub Liga Top Polandia, Lecchia Gdanks.

Namun memasuki tahun 2019, ketika pemimpin kita menyatakan vakum untuk mencalonkan diri sebagai presiden, sepak bola kita jadi terbengkalai. Sepanjang tahun di segala kompetisi, Timnas kita belum sekalipun meraup kemenangan, sangat miris jika melihat potensi-potensi pemain yang sudah selevel dengan pemain top Asia.

Itu adalah beberapa bukti yang saya sampaikan dalam artikel ini dari sekian banyak bukti ketidakbecusan pemimpin kita dalam menangani permasalahan yang ada ketika merangkap jabatan. Ketika sudah seperti ini, bisakah kita bertindak? Ya, tentu saja bisa! Asalkan kita memiliki keberanian. Hanya ada satu kata ketika keadilan diabaikan: Lawan!

Setelah Bayu menyelesaikan tulisannya, sesekali ia mengecek dan mengoreksi tulisannya. Setelah merasa yakin dengan tulisannya, ia menekan tombol “posting”. Sehingga artikel tersebut telah siap untuk dikonsumsi oleh pembaca atau diacak-acak oleh pemerintah.

Lalu Bayu melirik pada buku catatan di samping laptopnya. Di sana terdapat beberapa catatan kecil tentang kejadian politik akhir-akhir ini yang ia rangkum sendiri.

1 JUNI 2019,

PENGUMUMAN NAMA-NAMA CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN.

Setelah Pemilu Legislatif pada 9 April 2019, partai-partai besar membentuk koalisi untuk mengusung calon-calonnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat dua koalisi besar yang akan bersaing di Pilpres pada 9 Juli 2019, yaitu Koalisi Indonesia Merdeka mengusung nama Eddie Sugiantoro-Lutfie Syarif dan Koalisi Gerakan Revolusi Terdepan (Garda) mengusung calon favorit Barkah Cahya Purnama-Joko Anwar.

2 JUNI 2019,

KONTROVERSI MAJUNYA EDDIE SUGIANTORO SEBAGAI CALON PRESIDEN.

Banyak pihak tidak setuju Eddie Sugiantoro maju sebagai calon presiden di Pilpres 2019. Pasalnya, dia saat itu sedang menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Para pendukung Koalisi Garda melakukan aksi demo perihal ketidaksetujuan Eddie Sugiantoro maju sebagai Capres karena ditakutkan akan merangkap jabatan.

4-5 JUNI 2019,

KAMPANYE KEDUA KANDIDAT CAPRES DAN CAWAPRES.

Terjadi bentrokan di beberapa daerah antara kedua pendukung calon presiden. Sementara pada debat resmi capres, Eddie Sugiantoro melakukan aksi provokatif terhadap Barkah Cahya Purnama.

9 JULI 2019,

PEMILU PRESIDEN.

Banyak terjadi kecurangan-kecurangan di TPS-TPS pada saat pemilihan yang mencoba untuk menguntungkan pihak capres Eddie Sugiantoro.

23 JULI 2019,

PENGUMUMAN HASIL PEMILU PRESIDEN.

Secara mengejutkan Eddie-Lutfie berhasil memenangkan pilpres atas pasangan yang difavoritkan Barkah-Joko. Tentu hasil ini mengundang gejolak politik yang luar biasa, sempat terjadi kekacauan di mana-mana, namun masih dapat diredam oleh pihak yang berwenang.

2 OKTOBER 2019,

PRESIDEN TERPILIH MENYATAKAN TIDAK AKAN MUNDUR DARI JABATAN SEBELUMNYA.

Eddie Sugiantoro menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengundurkan diri dari jabatannya terdahulu sebagai Ketua Umum PSSI. Ia berdalih bahwa masih banyak yang harus dibenahi olehnya di PSSI sehingga tidak memungkinkan untuknya meninggalkan amanat tersebut.

15 OKTOBER 2019,

KOALISI GARDA MEMBENTUK PARTAI OPOSISI GARDA.

Koalisi Garda berubah menjadi sebuah Partai Oposisi Garda sebagai bentuk dari pengiring jalannya Pemerintahan Eddie Sugiantoro. Hal ini digagas oleh Barkah yang menjadi Ketua Garda terkait Presiden Terpilih yang merangkap jabatan.

20 OKTOBER 2019,

PELANTIKAN EDDIE SUGIANTORO SEBAGAI PRESIDEN.

Pelantikan diwarnai dengan kisruh di berbagai tempat di pelosok negeri. Namun pelantikan Eddie sebagai presiden tidak dapat terelakkan. Banyak rakyat menangis, para negarawan meringis, serta harapan-harapan mulai terkikis.

DESEMBER 2019,

MEROSOTNYA PRESTASI TIMNAS SEPAK BOLA INDONESIA.

Perbincangan perihal Presiden Eddie Sugiantoro selalu menjadi kontroversial, media sosial selalu ramai dengan #EddieOut yang menyuarakan ketidaksetujuan rakyat terhadap Presiden Eddie. Apalagi ketika melihat prestasi sepak bola Indonesia yang merosot jauh karena terbengkalai oleh federasi nasional. Hal ini membuat rakyat jengah dan mulai tidak respect terhadap Pemerintah dan Federasi Sepak bola Nasional.

3 JANUARI 2020,

DIKELUARKANNYA DEKRIT PRESIDEN 3 JANUARI 2020.

Terkait gejolak rakyat di media sosial, Presiden Eddie Sugiantoro mengeluarkan dekrit pada 3 Januari sebagai tameng untuk dirinya. Dekrit tersebut berisikan pemberlakuan Pasal 263 draf Rancangan KUHP, rancangan pada pasal itu menjelaskan tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden melalui media teknologi dapat dipidana penjara selama lima tahun.  

4 JANUARI 2020,

GARDA MENGGUGAT.

Terkait dekrit tersebut, Barkah sebagai perwakilan Garda tidak menyetujui adanya Dekrit Presiden 3 Januari 2020. Hal itu akan mencederai demokrasi serta membatasi hak rakyat untuk mengemukakan pendapat terhadap kinerja pemerintah. Tindakan Garda didukung sepenuhnya oleh beberapa tokoh politik. Selain itu, Garda juga akan menggelar aksi damai pada peringatan 100 hari masa kerja Presiden Eddie 28 Januari mendatang.

16 JANUARI 2020,

PELARANGAN AKSI DAMAI.

Presiden diwakili Menteri Dalam Negeri menyatakan pelarangan aksi-aksi damai ataupun kegiatan sejenisnya terkait peringatan 100 Hari Masa Kerja Presiden. Alasan pelarangan tersebut adalah mengurangi tindakan-tindakan vandalisme yang ditakutkan terjadi pada aksi tersebut.

Bayu menutup buku catatan itu dan menyandarkan kepalanya pada kursi. Ia menatap langit-langit gerbong kereta sembari menghela napas berat, “Pemilu kali ini terlalu banyak drama.” []





<