cover landing

Finding You!

By Akhtarara

Aku dikutuk.

Ken kembali meledekku dengan bibir menyeringai tanpa dosa. Sudah berkali-kali kukatakan padanya kalau yang terjadi saat itu bukanlah sebuah kutukan, melainkan hanya ramalan. Ramalan! Harus dengan cara apa lagi agar dia bisa mengerti, sih? Kulempar dua butir kacang atom ke arahnya tapi tubuhnya berhasil menghindari serangan. Kedua butir kacang atom itu jatuh ke lantai, menggelinding dan akhirnya menghilang di kolong meja. Yah… memang sudah nasibku karena memiliki sahabat seperti Ken. Dia tipe manusia yang paling menyebalkan sedunia. Padahal dulu hanyalah bocah penakut yang selalu berlindung di balik punggungku.

Suara petir terdengar menyambar di luar kafe. Mataku menatap jauh ke kegelapan malam yang dihiasi rinai hujan, menembus bingkai jendela yang bergetar. Hujan dan petir yang menyambar-nyambar, membuat ingatanku terbang ke saat semuanya bermula. Ketika ramalan itu kuterima. Lalu aku menoleh pada Ken yang sekarang mulai sibuk lagi dengan laptopnya. Maria yang tak sabar mendengarkan ceritaku, duduk di samping Ken dengan mata berbinar-binar.

Kemudian pandanganku kembali ke luar jendela.

Dua puluh tahun yang lalu, harusnya kami tak pernah datang ke sana. Mungkin dengan begitu, aku tak perlu diramal oleh si Nenek dan Ken tak akan pernah meledekku terkena kutukan jomlo. Tidak, seharusnya Ken tidak perlu diajak sewaktu merengek ingin ikut ke kampung halamanku. Salahkan ayahku yang terlalu menyayanginya sampai membawa serta Ken dalam rencana perjalanan kami.

Saat itu, musim hujan baru saja dimulai pada awal Desember. Tidak seperti biasanya yang datang dua bulan lebih awal, bahkan tak jarang sudah terjadi di pertengahan bulan Agustus. Aku masih mengingat dengan jelas aroma tanah menguar kuat di udara yang lembap dengan angin yang terdengar menyambar-nyambar di telinga. Suaranya begitu menakutkan dan seakan menggaruk-garuk kulit kami yang basah. Di sepanjang perjalanan, awan kelabu selalu memayungi kami dan membuat segala pikiran yang menyeramkan mendadak bermunculan.

Ken yang ada di sebelahku menciut ketakukan. Dia temanku tetapi sudah seperti saudara—kami lahir dengan selang waktu hanya berbeda hari dan tumbuh bersama. Kedua ayah kami berteman dekat sejak—katanya—masa remaja yang hebat. Tidak diragukan lagi, orang tua kami memang setia satu sama lain. Dan keduanya sangat menyukai hal-hal berbau Jepang sampai-sampai membuat perjanjian yang tak masuk akal.

Itulah alasan di balik pemberian nama depan kami. Janji yang harus mereka tepati. Ayahnya memberi nama anaknya Ken dan aku diberkahi nama Yuki. Beruntunglah Ken, karena setidaknya dia memiliki garis keturunan Jepang dari pihak nenek buyutnya. Wajahnya yang oriental dengan mata sipit dan berkulit putih agak pucat pun sangat mendukung. Sementara aku? Astaga! Wajahku sangat lokal seperti ini. Kulit sawo matang, kelopak mata besar dan bentuk wajah bulat yang khas Indonesia sekali.

Guntur yang kembali menggelegar membuat Ken semakin mendekat ke arahku. Aku tak pernah menyesal memaksa dia menemaniku ke tempat itu. Sejak awal, aku sudah tahu kalau bocah ingusan itu sangat penakut. Jujur saja, sebenarnya aku pun tak kalah takut. Namun, aku berusaha sebisa mungkin agar jangan sampai Ken tahu. Karena baginya, aku seperti wonder woman atau cat woman atau superhero apalah yang tak pernah kenal dengan rasa takut. Kalau saja dia tahu kalau sewaktu guntur menyambar keras tadi, nyaliku juga ikut menciut. Mungkin sama menciutnya dengan nyali bocah itu.

“Yuki….” Ken mencicit lagi. Tangannya menarik-narik ujung jas hujan warna kuning yang kupakai. “Bisakah kita pulang saja? Aku takut.” Sebuah kilatan cahaya tergambar di langit yang membuat Ken terperanjat sekaligus menjerit.

Aku segera membekap bibir Ken dengan tangan. Kalau begini terus, rencanaku bisa gagal. “Bisakah kau tenang sedikit? Kau itu anak lelaki, Bodoh!” kataku setengah mengumpat. Hanya setengah saja suaraku yang bisa keluar. Setengahnya lagi kurasa tenggelam bersama rasa takutku sendiri. Kulihat Ken samar-samar mengangguk. Wajahnya yang pucat sudah mulai berwarna sedikit demi sedikit. Melihat itu, aku sedikit lega.

Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang, suara guntur menggelegar lebih kencang hingga membuat Ken hampir menangis. Mau tak mau aku jadi kasihan melihatnya. “Tak apa-apa, Ken. Ada aku di sini. Jangan takut.” Kupeluk Ken dengan erat dan menepuk-nepuk punggungnya agar dia bisa lebih tenang.

Gerimis mulai menderas saat kami melihat sebuah gubuk di tengah-tengah lapangan sepak bola. Menurut cerita, tanah di sekeliling gubuk itu pada mulanya bukanlah sebuah lapangan. Kemarau panjang yang telah melanda desa bertahun-tahun lalu, membuat tanah di sana begitu tandus sampai tak ada apa pun yang bisa tumbuh di atasnya kembali. Lahan itu lengang dan sangat cocok untuk tempat bermain bola. Jadilah beberapa anak lelaki seusia kami akhirnya memanfaatkan lahan gersang itu sebagai tempat bermain.

Kami sampai di depan gubuk yang sepi itu. Ken masih berdiri takut-takut di belakangku. Tugasku hanyalah mengambil bola yang ada di dalam gubuk. Bola itu hasil tendangan kencang kaki Ridwan—anak tetangga yang tampan—yang masuk ke dalam gubuk dengan cara melubangi atap rumbia. Karena hal itulah, si pemilik gubuk sangat murka dan memaki-maki mereka, termasuk menyandera semua bola yang mereka miliki.

Tidak ada yang berani mengambilnya, sampai seorang gadis bernama Yuki dan dengan bodohnya—atau sebut saja dungu—mengatakan bisa mengambil bola itu dengan mudah. Dan sejam berikutnya aku memaki diriku sendiri di dalam kamar. Benar-benar deh, bibirku ini sepertinya perlu dijahit suatu hari nanti agar tidak berkata sembarangan lagi. Aku hanya akan tinggal beberapa hari untuk liburan, kenapa pula harus membuat janji yang tak masuk akal segala?

Terlebih lagi, semua orang mengatakan kalau pemilik gubuk adalah seorang dukun tua. Banyak hal mengerikan yang diceritakan orang-orang. Termasuk tentang sebelah matanya yang berlubang serta ditutupi kain seperti Jack Sparrow versi wanita. Coba kalian bayangkan! Seorang dukun tua dengan wajah seperti perompak. Dan aku si Bodoh Yuki, malahan mau mencuri bola dari rumahnya. Bukankah itu sama saja dengan mencari mati?

Kami mengendap-endap mendekati pintu kayu yang reyot. Kupingku menempel ke daun pintu dan mendengarkan apakah ada suara di dalam gubuk tersebut. Menurut cerita yang kudengar, si dukun selalu meninggalkan gubuknya di hari Jumat. Dan sekarang adalah hari Jumat. Seharusnya kami aman. Kutatap pintu itu dengan isi kepala yang berpikir keras. Kalau melihat keadaannya, sedikit dorongan saja akan bisa membuka pintu itu dengan mudah. Namun sialnya, ternyata pikiranku salah besar. Si nenek tua alias dukun alias wanita perompak itu menggembok pintunya di bagian sisi atas.

Kowe iki lagi nglakoni opo, bocah nakal?”* suara ringkih di belakang kami terdengar pelan namun menuntut jawaban.

(*Kalian sedang melakukan apa, bocah nakal?)

Aku dan Ken refleks membalikkan tubuh lalu mendapati si Nenek pemilik gubuk berdiri tepat di hadapan kami. Dan seketika kami menjerit histeris. Aku tidak tahu suara siapa yang terdengar paling keras saat itu. Suaraku ataukah Ken? Tapi aku yakin pasti Ken-lah yang berteriak paling kencang.  Dan lupakan juga ungkapan ladies first! Karena Ken jatuh pingsan terlebih dahulu di sebelahku. Lalu pandanganku ikut menghitam kemudian aku jatuh menimpa tubuh Ken yang gempal.

***





<