cover landing

Fire Her Up

By Belladonna Tossici

Ibunya terlihat rapuh. Rambut hitam sepundak yang dulu dibanggakannya rontok setiap disisir. Padahal, Rani sudah selembut mungkin mengeringkan dan menyisiri. Tetapi, semua sia-sia. Semakin hari, kulit kepala sang ibu semakin jelas terlihat. Sampo bayi yang ibunya gunakan sebagai pengganti sampo dewasa tak banyak membantu. Botol kaca kosong bekas hair tonic berderet di meja rias. Labelnya mencantumkan khasiat untuk menumbuhkan rambut yang rontok, menguatkan akar, dan segudang janji lain. Namun, semua tak bekerja pada rambut sang ibu.

Rani ikut pedih menyaksikan helai-helai yang berjatuhan di lantai. Setelah mendorong kursi roda sang ibu ke ranjang dan membantunya berbaring, Rani menyapu rambut yang terkulai lemah. Membuang ke tempat sampah. Meski jeri, Rani punya kebiasaan baru yakni menghitung hari.

Betul, memang kehidupan dan kematian adalah rahasia Ilahi. Namun menyaksikan sendiri kondisi ibunya yang sama saja, menyeruakkan pikiran buruk tentang maut ke dalam otak Rani. Hatinya menjerit. Rani sudah kehilangan ayah, tak sanggup lagi kehilangan ibu, satu-satunya orang tua yang tersisa di dunia.

Ketika kembali, sang ibu sudah terlelap. Kamar sang ibu lengang. Foto pernikahannya dengan sang ayah sudah lama diturunkan, diganti sosok laki-laki lain. Rani menggigil menatap matanya. Senyum laki-laki yang bersanding dengan sang ibu bagi sebagian orang tampak tulus. Laki-laki yang masih segar bugar, sehat dan punya uang, mau mendampingi janda sakit yang tak mampu melaksanakan tugas sebagai seorang istri. Sungguh mulia. Rani meneguk ludah. Tahu apa masyarakat mengenai kehidupan mereka?

Dion dan Rani menyetujui pernikahan sang ibu dengan laki-laki itu demi kebahagiaan wanita yang sudah melahirkan mereka. Memang ibunya lebih hidup setelah bersuami lagi. Tersenyum setiap hari. Ghaitsa, nama suami barunya paham benar cara memuja sang ibu sehingga dia serasa hidup dalam surga.

Telapak kaki sang ibu sejuk ketika Rani menyentuhnya. Dia membungkus dengan kaus kaki lalu menyelimuti tubuh yang telah banyak kehilangan bobot itu. Rani keluar menuju kamarnya sendiri.

Azan magrib berkumandang. Rani meregangkan otot setelah mengerjakan PR. Ketika menengok ibunya di kamar, wanita itu tengah duduk bersandar di bantal.

Rani mendekat lalu berkata, “Rani siapkan makan malam dulu buat Mama.”

Senyum sang ibu terukir. Dia mengangguk. Maka Rani beranjak ke dapur, menyiapkan menu khusus untuk penderita kanker. Nasi lembek, sayur dan telur organik yang semuanya lebih mahal. Ghaitsa menopang ekonomi keluarga, membayar biaya sekolah Rani dan kuliah Dion.

“Asalamualaikum!”

Rani tersekat mendengar suara itu. Tangannya yang menyendok nasi ke piring seketika berhenti bergerak. Kupingnya menajam secara otomatis. Mendesah lega saat mendengar langkahnya masuk ke kamar sang ibu. Bergegas Rani menyendokkan tumis wortel, buncis dan telur dadar ke piring.

Kursi roda ibunya didorong masuk oleh Ghaitsa ke ruang makan. Kelopak mata sang ibu terbuka lebar dengan sorot berbinar. Mama kelewat bahagia berdekatan dengan Ghaitsa.

“Rani, piring Mama mana?” Ghaitsa bertanya.

“I-ini, Paman,” ucap Rani terbata.

“Rani, kapan mau panggil ‘Papa’, masa ‘Paman’ terus?” protes sang ibu.

“Tidak apa, Ma. Jangan memaksa kalau Rani dan Dion belum siap.” Ghaitsa menyendok nasi beserta lauk-pauk, menyuapkannya pada sang istri penuh kelembutan. Sesekali menyeka ujung bibirnya menggunakan tisu.

Rani yang duduk di seberang sang ibu makan malam sembari menonton kemesraan sepasang sejoli. Bukan, dia bukan dengki pada kebahagiaan wanita yang telah mengandung, melahirkan dan menyusuinya. Namun, ibunya yang tengah berbunga-bunga begitu mudah ditipu.

Usai makan malam, Ghaitsa mendorong sang istri kembali ke kamar. Cukup lama mereka berada di sana. Rani gelisah. Mengunci kamar. Mengganti celana selutut dan kaus longgar dengan piyama lengan panjang berwarna hitam. Memaksakan tidur.

Entah pukul berapa, Rani merasa sesuatu yang asing menyelinap ke sela pahanya. Memberikan rangsangan ke area sensitif. Rani berbalik, tetapi mulutnya dibekap. Ghaitsa yang halus pada sang ibu menatapnya nyalang.

“Tenang, Sayang. Kalau kamu tegang akan terasa sakit.”

“Jangan, Paman,” rintih Rani.

“Kamu mau pakai alasan haid lagi? Jangan bohong, Paman sudah mencatat haidmu selesai seminggu lalu.” Geram Ghaitsa sembari menindih tubuh Rani, memiting tangannya ke belakang.

“Tapi, Paman—“ Ucapan Rani terpotong pagutan Ghaitsa. Laki-laki itu bahkan tak memberinya kesempatan bernapas. Tangannya sudah berhasil menyusup ke balik piyama Rani, menggerayangi bagian dadanya yang membukit.

Rani menangis. Tidak, dia tidak merasakan hal ini menyenangkan. Sebaliknya, Rani merasa terhina melakukan hal ini bersama orang yang tak disukainya dan bukan atas kehendak hatinya.

“Kamu mau paman bangunkan Mama dan memaksanya melayani suaminya? Kamu yakin Mama kamu sanggup?” bisik Ghaitsa ke telinga Rani.

Hanya isakan yang keluar dari bibir Rani. Demi Tuhan, dia baru berusia enam belas tahun tetapi harus menghadapi dilema seperti ini.

Ghaitsa menurunkan sarungnya, memperlihatkan organ itu. Meraih tangan Rani. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Meski menangis, Rani menggenggamnya, memijatnya lembut sehingga Ghaitsa menggeram. Tak lama kemudian, laki-laki itu mengangkat tubuh kurus Rani, menempatkan membelakanginya. Kemudian memaksa menerobos selaput hangatnya. Rani terisak kesakitan.

“Bang Dion, tolong!” rintih Rani.

Ghaitsa menjambak rambut anak tirinya. “Diam, Dion nggak dengar. Mungkin juga lagi bersenang-senang seperti ini sama pacarnya.”

Pipi Rani terasa ditepuk-tepuk. Awalnya dia mengira Ghaitsa menamparnya, tetapi tepukan ini berbeda. Begitu halus.

“Rani, bangun!”

Suara yang membangunkannya juga bukan suara laki-laki, melainkan perempuan. Begitu hangat dan familier.

Kelopak mata Rani menggeletar terbuka. Maria duduk di tepi ranjang, menatapnya khawatir sembari mengelap keringat dingin yang mengalir dari kening adik iparnya itu.

“Kak!” Rani memeluk Maria, bersyukur Ghaitsa hanya rajin mendatanginya dalam mimpi. Bajingan itu telah mati di tangan Dion, terkubur dalam tanah, dimakan cacing dan belatung.

Maria mengelus kepala adik iparnya. “Mimpi buruk lagi?”

Rasanya semua kelewat nyata untuk disebut sebagai mimpi. Rani bahkan seolah dapat merasakan sentuhan Ghaitsa di sekujur kulitnya. Dia kotor, tetapi tak dapat bersih meski telah mandi menggunakan berliter-liter air dan menggosok tubuhnya dengan sabun.

“Kenapa kamu nggak teruskan terapi sama psikolog?” tanya Maria lagi.

Rani terlalu malu menjalaninya. Ditanya-tanya masa lalu yang ingin dia kubur, disuruh menggambar sesuatu yang tidak jelas di kertas. Rani tidak merasa semakin baik setelah sesi terapi.

“Kuliah lagi sibuk, Kak,” bisik Rani serak.

“Kesehatanmu juga penting, Rani. Jangan hanya memikirkan kuliah.”

Justru Rani sengaja mengikuti berbagai macam kegiatan kampus agar pikirannya teralihkan dari kenangan buruk. Raga Ghaitsa tak bernyawa, tetapi perbuatannya tak henti menghantui Rani.

“Iya, Kak,” sahut Rani.

“Ya sudah, cuci muka. Arya di bawah. Bawa banyak oleh-oleh dari Kendari.”

“Arya?” Rani menoleh ke jam dinding. Sekarang hari Minggu, pukul tujuh pagi. Rajin sekali Arya datang sepagi ini.

“Iya, mandi sekalian deh. Arya sepertinya mau mengajak kamu keluar.”

“Mandi? Aduh, kan masih dingin, Kak. Masa mandi jam segini.”

“Nggak baik anak gadis bangun dan mandi siang.”

Rani merasa tertohok. Dia tahu Maria tak bermaksud menyakitinya. Namun, dia bukanlah seorang gadis. Perawan KTP karena belum menikah, meskipun secara realita semua orang terdekatnya tahu keadaan Rani.

Dimar terdengar menangis. Tahun ini bocah itu akan genap berusia dua tahun.

Maria beranjak dari duduk. “Buruan mandi, kasihan Arya nunggu.”

Rani menurut. Dia masuk ke kamar mandi, menyalakan pancuran untuk menggosok tubuhnya. Hanya dalam mimpi, tetapi sentuhan Ghaitsa membekas. Rani ingin hidup tenang. Kenapa arwah Ghaitsa tak puas mengganggu hidupnya?

Seingat Rani, dia tak pernah memakai baju seksi yang sengaja menampilkan tonjolan maupun lekuk tubuh. Kulitnya memang putih sebagaimana banyak perempuan Banjar keturunan Tionghoa. Namun, masih banyak perempuan berparas lebih ayu daripada dia. Kenapa Ghaitsa memutuskan merusak masa depannya? Bukankah akan lebih mudah menggunakan jasa wanita bayaran yang sukarela memberikan tubuhnya untuk dijamah?

Rani sengaja hanya memakai deodoran tanpa parfum setelah mandi. Dia juga tak memulaskan kosmetik sama sekali, membiarkan wajahnya alami. Rani memilih rok terusan di bawah lutut dan mengenakan celana legging lalu turun ke bawah.

Karyawan Marion Bakery tengah sibuk menyiapkan toko. Sebentar lagi rolling door akan dibuka. Harum roti dari oven merangsek memasuki indra penciuman. Sedap butter dan keju asin menerbitkan liur.

‘Wah, asyik nih saya dapat juga.” Ayun menimang-nimang bungkusan kacang mede. Kendari memang populer akan oleh-oleh yang terbuat dari olahan kacang mede.

Arya duduk setengah membungkuk. Membuka travel bag di lantai. Oleh-olehnya menyembul keluar.

“Hai, Kak.” Rani menyeret kursi di sebelah Arya.

“Halo, selamat pagi,” balas Arya.

“Kata Kak Maria, Kak Arya baru pulang dari Kendari?”

“Iya. Ada perkara perkebunan di sana.”

Kemudian Arya mengeluarkan botol kaca. Di dalamnya terdapat miniatur kapal phinisi. Kerajinan dengan tingkat kesulitan tinggi ini memang layak dijadikan buah tangan. Turis mancanegara pun tak ketinggalan membawa pulang ke negaranya.

“Buat kamu. Tadi Maria dan Dion sudah dapat bagian satu-satu. Tinggal kamu yang belum.”

Rani menggumamkan terima kasih. Penuh ketakjuban, Rani memandangi setiap detil layar, tiang dan buritan kapal dalam kaca.

“Ran, temani aku sarapan yuk,” ajak Arya.

“Oh, Kak Arya mau sarapan? Sebentar aku buatkan kopi. Mau roti yang mana? Tinggal pilih. Sebentar lagi akan ada yang matang.”

“Makan yang lain saja, yuk. Soto Banjar di Sungai Martapura,” ajak Arya semringah.

“Iya, Rani mau banget, Arya. Katanya bosan soalnya lama nggak keluar.”

Rani mendelik. Bisa-bisanya Maria mengobral keluhannya yang sudah berbulan-bulan lalu.

“Kebetulan langit cerah. Kita berangkat sekarang saja,” usul Arya.

“Oke. Kak Maria mau dibungkusin?” tanya Rani.

“Boleh, dua bungkus sekalian buat abangmu.”

“Mau jalan, Ya?” Dion tahu-tahu muncul dari arah dapur.

“Iya, Yon. Sarapan. Nanti kubungkus buatmu.”

Dion manggut-manggut. “Jagain adikku.”

“Beres.” Arya mengacungkan ibu jari.

BMW Arya masih yang lama. Putih dan mengilap. Arya merawat betul kendaraannya untuk memberi kesan yang baik pada para klien. Jika dibandingkan penampilan Arya yang rapi dan terkesan dandy, Rani kelewat sederhana. Bukan karena tak mampu membeli kosmetik, tetapi dia tak mau menjadikan dirinya pusat perhatian. Arya tak keberatan. Dia melajukan mobil mengarah ke Sungai Martapura tanpa protes.

Perahu-perahu kayu mengapung dengan tenang di air. Agar tidak hanyut terbawa arus, pemiliknya menambatkan perahu ke tiang pancang di sisi-sisi dermaga menggunakan tali yang tebal.

SOTO BANJAR BANG IMRAN. Demikian spanduk nama kedai menggantung di dinding kayu perahu. Arya menggenggam tangan Rani membantunya naik.

“Sebentar, kita foto dulu!” Arya meminta Rani berdiri di bawah papan nama soto, lalu memotretnya dengan kamera ponsel. “Manis,” puji Arya sembari berjalan masuk ke restoran.

“Lihat, Kak!”

Rani mendesah saat menatap fotonya yang menurutnya jelek. Diserahkannya lagi ponsel pada pemiliknya.

Masih pagi sehingga pengunjung belum ramai. Soto Banjar ini termasuk yang terlezat di antara yang lain. Ciri khasnya adalah dimakan bersama lontong bukannya nasi.

Seorang gadis muda menghampiri untuk menanyakan pesanan. Rani memutuskan mengikuti pesanan Arya. Tak lama kemudian, dua mangkuk soto bertabur suwiran ayam, dilengkapi perkedel dan potongan jeruk nipis dihidangkan. Sembari melahap hidangan, Rani menatap perahu lain yang bersandar.

“Gimana kuliah?” tanya Arya.

“Yah, gitulah. Banyak tugas,” Rani menjawab sambil lalu.

“Sudah ada rencana setelah lulus mau ke mana?”

Rani mengunyah sembari berpikir. Ke mana hidup akan membawanya selepas kuliah? Dia tak pernah berpikir jauh, hanya menjalani apa yang ada di depan mata.

“Entahlah.” Rani mengangkat bahu. “Kakak sendiri sibuk apa sekarang?”

“Ada beberapa perkara tanah dan pidana, tetapi ada hal lain yang lebih menarik dari itu. Aku melamar kerja ke law firm di Jakarta.”

Rani berjengit dan terkesiap. Belum apa-apa saja dia takut Arya meninggalkan kota ini. “Terus?” tanyanya dengan dada berdebar.

“Belum tahu. Lamarannya baru kukirim sehari sebelum tugas ke Kendari. Doakan saja supaya aku diterima. Karirku harus lebih berkembang.”

Sungguh, Rani ingin menahan Arya. Namun, dia bukan siapa-siapa yang berhak melarang keputusan laki-laki ini.

“Kenapa mukamu? Kamu bukan takut kutinggalkan, kan?” goda Arya.

“Ah, nggak kok,” dusta Rani. “Cuma kepikiran tugas aja yang belum selesai, sama ada kegiatan organisasi. Aku mesti buat proposal.”

“Bagus kalau kamu punya kesibukan. Selagi kuliah memang harus ikut berbagai kegiatan.” Arya menyeka bibirnya. “Tapi Minggu pekan depan nggak sibuk, kan?”

“Ada apa memangnya?”

“Mamaku ulang tahun, aku mau undang kamu datang.”

“Aku?” Rani menunjuk hidungnya. “Tapi kan, Rani bukan siapa-siapa.”

Belum, tapi siapa tahu akan jadi.” Arya tersenyum penuh arti.

Rani terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Temani aku ya, Rani. Minggu depan aku jemput pukul lima sore. Dandan yang cantik,” pinta Arya.

Rani memandangi Arya, segan menolak karena biar bagaimana pun Arya sudah menyelamatkan Dion dari jeruji besi. Maka akhirnya dia mengangguk.

***

Hello Sexy Readers,

Saya balik lagi dengan cerita baru. Yang penasaran siapa itu Dion dan Maria, baca ON FIRE BASTARD dulu. Selain itu, silakan baca ceritaku yang lain:

1.    Selingkuhan CEO (Ongoing)

2.    Sexy Lingerie (Tamat)

3.    On Fire Bastard (Tamat)

4.    Devils Inside (Tamat)

5.    Saviora (Tamat)

6.    Tyet of Georgia (Tamat)





<