cover landing

Gara-Gara Milis

By Tika R Dewi

But every song's like

 Gold teeth, Grey Goose, trippin' in the bathroom

 Bloodstains, ball gowns, trashin' the hotel room

 We don't care; we're driving Cadillacs in our dreams

(Lorde)

 ***

Kumasuki pekarangan rumah mewah pengusaha kaya yang sangat ternama di negeri ini. Siapa sih yang tidak kenal Cokrominoto, pengusaha real estate dan pemilik beberapa mal yang tersebar di seantero Indonesia Raya?

Beruntungnya, hari ini, putrinyalah yang mengundangku untuk datang ke rumah mereka. Cynthia Cokrominoto rencananya empat bulan dari sekarang akan menggelar The Wedding of The Century, alias pernikahan terbaik abad ini.

Keberuntungan bermula ketika dia secara tidak sengaja menemukanku. Yess! You heard it right. Aku ditemukan olehnya melalui akun media sosial, lebih tepatnya melalui foto salah satu gaun rancanganku di posting-an Instagram.

Nama Enya Velove Wibisono mungkin belum sekondang Anne Avantie atau Adjie Notonegoro, tapi aku punya impian untuk bisa setenar mereka, para idolaku. Siapa tahu ini salah satu jalan menuju ke sana.

Rancanganku memang lebih terfokus ke gaun pernikahan, walau tidak jarang ada juga pesanan dari pelanggan berupa gaun pesta atau gaun acara tertentu. Seperti kali ini, pertemuan dengan Cynthia adalah untuk membahas gaun-gaun yang akan dipesan untuk keperluan prewedding-nya.

"Nanti kalau hasilnya cocok, gue pakai lo juga untuk design baju nikahan gue, Say," ujarnya beberapa waktu lalu, saat kami bicara via sambungan telepon. Ya, semoga saja ada rezekiku dan karyawanku yang dititip melalui Cynthia ini.

"Sore, saya sudah janjian dengan Mbak Cynthia," salamku pada seseorang yang membuka pintu, sepertinya asisten rumah tangga rumah itu.

"Mbak Enya, ya? Sudah ditunggu sama Mbak Cynthia. Mari bibi antar, Mbak." Nah benar kan, dia menyebut dirinya Bibi. Kuikuti si Bibi berjalan menyisir rumah yang sangat luas dengan segala perabot yang tentunya pasti tidak ada yang murah.

Rupanya si Bibi mengantarku ke area kolam renang. Ah, di sana dia, baru keluar dari air dan berjalan dengan sangat anggun hanya dalam balutan baju renang sexy-nya.

"Enyaaa," sapa Cynthia riang menyambutku sambil melebarkan kedua tangannya, seolah kami adalah kawan lama yang baru bertemu kembali.

Aku sudah hampir melemparkan diri ke pelukannya. Membalas keakraban yang dia tawarkan, kalau saja tidak ingat dia masih basah kuyup. Aku pun berhenti memberi isyarat, kalau aku tidak mau tertular basah. Dia tidak akan mengira aku menolak keramahannya, kan?

"Oh iya, lupa gue, basah ya?" tanyanya diiringi tawa riangnya. Sepertinya dia adalah pribadi yang sangat ceria, itu sangat terlihat jelas dari caranya berkomunikasi.

Aku pun ikut tertawa lepas. "Iya, sorry. Gue ada acara nge-date sama cowok gue sepulang dari sini, ntar. Dan tentunya gue nggak mau basah, dong." Kubalas dia dengan sok akrab, dan sengaja menyinggung sedikit urusan pribadiku.

"Oh no no no, you can't be wet on your date, girl!" serunya dengan nada yang dibuat-buat dan matanya yang mengerling nakal, sembari mengenakan baju handuk kimononya. Setelahnya, dia baru kembali padaku melanjutkan ritual cipika-cipiki yang sempat tertunda. "Thanks ya, udah mau datang jauh-jauh ke sini ...."

"The pleasure is mine, Cyn," balasku, sambil mengikutinya duduk di kursi santai yang berjajar di pinggiran kolam renang.

"Mau minum apa?"

Setelah pembicaraan basa-basi tentang jalanan yang macet, tentang dia yang sangat menyukai karya-karyaku saat melihat feeds Instragramku. Kemudian aku yang berterima kasih karena pujian-pujiannya. Akhirnya, kami masuk ke menu utama, yakni dia yang akan menggunakan jasaku untuk mendesain beberapa gaun untuk keperluan prewedding-nya.

"Oke, gue ambil yang ini, ini, dan ini ya. Terus dimodif di beberapa bagian sesuai request gue tadi, okay?"

"No worries, consider it done, Cyn. Your wish is my command."

"Duh, lo tuh pinter banget nyenengin orang ya, Enya. Kayanya kita bakalan jadi teman akrab, deh!"

Lalu kami kembali tertawa bersama, aku berpikir dia sama sekali tidak buruk. Dalam artian untuk ukuran orang yang super kaya, dia rendah hati, enggak sok kaya, dan sangat ramah.

"Oh iya, untuk MUA-nya–"

"Oh, jangan kuatir soal itu, gue udah hubungi temen gue. Dia yang nanti akan jadi make up artist selama prewedding."

Lho lho lho, dia bukannya ambil paket, ini jadinya? "Umh ... gue pikir lo ambil paket, Cyn?"

"Paket? Maksudnya?"

"Iya, paket prewedding, jadi udah all in, terus–"

"Oh no no no, Say. Gue cuma pakai gaun lo doang, untuk MUA gue pakai temen gue. Dia udah biasa megang muka gue, jadi gue udah percaya banget sama dia."

Duh, harusnya dia kasih tahu dari awal dong.

"Umh, masalahnya biasanya untuk prewedding, gue udah ada kerja sama dengan rekanan gu–"

"Nggak bisa! MUA-nya temen gue, udah jangan nawar lagi. Lo bisa kan jelasin sama partner lo?"

Hmm, baru saja tadi aku memujinya dalam hati karena sifatnya yang ramah dan rendah hati. Sekarang, baru keluar sifat sok ngatur dan maunya sendiri.

"Ya, bisa aja sih, walau nggak enak, karena biasanya kalaupun dia yang dapat project, untuk wardrobe pasti diserahin ke tim gue. Ya tapi ... ntar coba gue jelasin ke dia deh."

"Iya, kasih tau aja gue nggak bisa kalo urusan muka dipercayain ke orang yang belum terlalu kenal, gitu."

Hmm ya semoga saja Rasti—temenku yang MUA itu—benar-benar bisa mengerti.

"Nih, lihat hasil make up temen gue," lanjutnya lagi sambil membuka foto hasil make up temannya dari feeds Instagram si MUA itu. Kuakui hasilnya memang sangat istimewa, jadi ya sudahlah aku mengalah saja.

"Hmm ya, okay. Terus kalau fotografernya?"

"Nah kalo itu, temennya calon gue ntar yang ambil alih."

Ah, rupanya benar-benar pesan menu ala carte.

"Oh gitu, okay berarti selain ngabarin partner MUA, gue juga harus kasih info ke rekan fotografer gue." Sebenarnya aku berkata seperti ini untuk sekalian menyindir dia.

"Iya, lo kabarin aja temen-temen lo ... eh lo mo lihat portofolio fotografer yang temennya laki gue, nggak?"

Aku terbahak dalam hati karena rupanya gagal pemirsa, dia sama sekali tidak terpengaruh dengan sindiranku tadi.

"Enggak usah deh, gue percaya sama lo," jawabku sambil tersenyum miris dan dia pun batal menyodorkan layar ponselnya ke hadapanku.

"Ya udah tiga hari lagi gue ke butik lo deh ya buat fitting baju?"

Kami memang menyepakati tiga hari sebagai waktu yang cukup untukku melakukan revisi minor pada gaun-gaun yang dibeli Cynthia. Karena rentan waktu ke prewedding juga sangat pendek, jadi mau tidak mau demi klien Sultan ini, sepertinya aku dan timku harus sedikit atraksi sulap, alias lembur.

"Kalo terlalu ngerepotin, gue yang ke sini juga nggak pa-pa sih."

"Gue aja yang ke sana, siapa tahu ada yang gue taksir lagi, kan?"

Aku tersenyum mengiakan.

Setelah semua sudah oke, akhirnya aku pamit pulang karena seperti tadi kubilang aku ada janji dengan Alan, pacarku.

"Oh iya, jangan lupa kosongin jadwal lo minggu depan, nanti time table-nya gue kabarin nyusul ya, untuk jadwal pastinya."

"Pemotretannya minggu depan?"

Cynthia mengangguk lalu menambahkan, "Iya, kita ke Bali."

"Bali?" Nah, ini berita baru. Aku tidak tahu kalau prewedding-nya akan diadakan di Bali. "Prewed-nya di Bali?" tanyaku lagi, karena Cynthia tetap diam sembari menikmati orange juice-nya.

Lalu dia mengangguk. "Iya, dan lo ikut!" jawabnya santai seolah aku tidak ada pekerjaan saja di Jakarta ini.

"Umh ... gue musti liat jadwal–"

"Ish! Makanya tadi gue bilang kosongin jadwal lo minggu depan, kan masih cukup waktu buat lo atur-atur schedule lo," selanya santai, membuatku kehilangan kata-kata.

Sumpah ya nih orang, kalau saja aku tidak mengincar job sebagai designer untuk acara resepsi pernikahannya, malas banget mengikuti maunya dia yang begini.

Sabar Enya, sabar ....

"Hmm, ya emang sih masih minggu depan, tapi harusnya lo kasih tau di awal. Soalnya seingat gue ada beberapa clients yang minta fitting juga dan minggu depan itu cepet banget lho ...."

Aku tidak mencoba berbohong, memang kenyataannya ada, ya walau bukan client kakap seperti dia. Tapi, kan aku tidak boleh pilih kasih. Semua customers itu penting, tanpa mereka Enya bukanlah siapa-siapa.

"Ya, tapi bisa lo usahain, kan?"

Bisa kok diusahakan, tapi nadanya yang seperti ini sih yang menyebalkan dan malesin. Ya, tapi mupeng job-nya.

Tapi akhirnya tetap saja kujawab, "Iya, besok gue kabarin ya." Jual mahal sedikit bolehlah ya.

"Bilang iya aja, nggak pake nunggu besok! Dah sana cowok lo nungguin kan pasti!"

Lalu aku cuma bisa mangap-mingkem dibuatnya. Memang begini ya kalau princess syndrome. Huft. "Ya udahlah Cyn, gue balik ya ...."

"Eits! Tapi iya, kan?!" Ini nanya, apa merintah sih? Nadanya benar-benar susah dibedakan.

"Iya, iya ...."

Sudahlah, berdebat juga percuma, toh dia membeli beberapa gaun rancanganku walau hanya untuk keperluan prewedding, yang padahal bisa sewa saja. Tapi Cynthia tentu tidak mau kalau sampai orang lain menyamai gaunnya, misalnya sampai baju bekas dia prewedding dipakai prewed orang lain. Itu bukan Cynthia banget katanya.

Akhirnya, setelah bercipika-cipiki seperti waktu baru datang, aku pun undur diri dari rumah mewah keluarga Cokrominoto.





<