cover landing

Good Bye, Mister

By Aria_monteza

Umpatan pria tua yang baru saja ditabraknya tidak membuat pria berjas hitam itu berhenti. Ia terus melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai paling atas. Di dalam lift ia berpapasan dengan dua suster yang sudah masuk lebih dulu. Dari pantulan dinding lift, pria itu bisa melihat kedua suster itu mencuri-curi pandang ke arahnya sambil tersenyum tersipu. Bagi pria itu, hal itu sudah biasa. Meski ia memasang wajah sedingin mungkin, para wanita rasanya masih kesulitan untuk berpaling dari wajah rupawannya. Jengah dengan suasana tidak menyenangkan itu, ia lebih memilih untuk mengabaikan wanita-wanita yang menatapnya penuh rasa memuja.

Mungkin bagi orang lain, memiliki wajah tampan adalah anugerah, dan kekayaan yang berlimpah akan membuat hidup menjadi bahagia. Namun, tidak bagi pria itu. Wajah tampan dan harta berlimpah menjadikan dirinya bagaikan hidup penuh kutukan. Bagaimana tidak? Sepanjang hidupnya, ia hanya dikelilingi para penjilat yang memujinya dengan harapan bisa mendapatkan secuil kekayaan yang dimilikinya. Belum lagi mulut manis para wanita yang merayu dan menggoda, mengharapkan hubungan sarat kehidupan yang penuh kemewahan darinya. Hidupnya memang dipenuhi dengan hal yang memuakkan, hingga rasanya ia ingin melarikan diri dan berharap menemukan sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih hidup.

Sekeluarnya dari lift, pria itu berjalan menyusuri lorong menuju salah satu ruangan VVIP yang berada di ujung tempat itu. Seorang wanita paruh baya menoleh ketika pria itu membuka pintu, tetapi tidak ada sambutan hangat dari wanita yang sibuk membaca majalah itu. Pria itu mendekat, meletakkan buah-buahan dan bunga yang sengaja ia bawa dari rumah.

“Bagaimana kabar Mama? Apa kata dokter?” tanya pria itu setelah duduk di samping brankar.

“Mama baik-baik saja, hanya butuh istirahat terutama dari memikirkan anak satu-satunya yang sibuk bekerja,” ucap Nyonya Candana pada putra semata wayangnya itu tanpa mengalihkan perhatian dari majalah.

“Kantor sedang sibuk menjelang akhir tahun begini, Ma.”

“Ya, ya, ya …. Mama mengerti, Revand. Mama hanya iri sama Jeng Gayatri. Anaknya juga sibuk bekerja, tapi masih sering menjenguk ibunya dan menikah. Sedangkan anak Mama, jangankan menikah, mengenalkan calon mantu saja tidak pernah.”

Pria bernama Revand itu tersenyum simpul. Sudah menjadi hal yang biasa mendengar rajukan ibunya, apalagi Revand tahu baru-baru ini ibunya menghadiri pesta pernikahan kerabat mereka. Walaupun sebenarnya ia ingin selalu bisa membahagiakan ibunya, saat ini ia tidak berminat untuk menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Ia lelah menjalin hubungan dengan para wanita yang hanya menganggapnya sebagai tambang emas. Baginya hidup sendiri lebih menenangkan, jauh dari rengekan omong kosong para wanita yang menuntutnya terlalu banyak.

Sejenak Revand memandangi ibunya yang membolak-balik halaman majalah sekenanya untuk menyalurkan rasa kesal. Wanita paruh baya yang sudah melahirkan dan merawatnya hingga menjadi dirinya yang sekarang, yang masih terlihat awet muda di usianya yang kini sudah menginjak lima puluhan tahun. Meskipun begitu, Revand bisa melihat guratan lelah di sana. Sejak ayahnya meninggal dunia karena penyakit jantung tiga tahun yang lalu, Revand sibuk menggantikan posisinya di perusahaan. Meninggalkan ibunya yang berkabung dan tenggelam dalam duka sendirian, mencari hiburan bersama teman-teman arisan dan berusaha memahami kesibukan Revand mengelola perusahaan peninggalan ayahnya. Kini yang diharapkan ibunya hanya satu: ia segera menikah. Namun, sampai sekarang ia belum bisa mengabulkan permintaan itu.

“Mama ingin sekali melihat kamu menikah, Revand. Atau paling tidak carilah kekasih,” pinta Nyonya Candana.

“Revand akan segera menikah, setelah mendapatkan yang tepat, Ma,” ujar Revand mencoba mencari alasan.

“Kamu mau menunggu Mama semakin tua dulu atau keduluan mati, baru kamu mau menikah?” ucap Nyonya Candana ketus.

“Mama jangan bicara seperti itu. Revand sayang Mama, tidak mungkin Revand mau mengecewakan Mama seperti itu,” sanggah Revand. Diciumnya punggung tangan Nyonya Candana untuk meluluhkan hati wanita paruh baya itu. “Revand akan mencarikan mantu buat Mama segera.”

“Berapa lama lagi? Satu hari atau dua hari?”

“Ma .…”

“Satu minggu. Mama akan menunggu calon mantu Mama selama satu minggu. Kalau kamu tidak membawanya, Mama sendiri yang akan mencarikan buat kamu,” kata Nyonya Candana tegas.

“Mama tidak mau kan, aku membawakan Mama sembarang wanita?” Revand berkata lembut agar ibunya luluh dan berhenti mendesaknya.

“Makanya carilah wanita yang baik. Usia kamu itu sudah 30 tahun lebih, sudah waktunya nikah.”

“Nanti Revand pasti bawakan calon mantu untuk Mama, kalau waktunya sudah tepat.” Dikecupnya kening Nyonya Candana penuh kasih sayang. Kalau Revand tidak menghentikan pembahasan ini, mungkin perdebatan soal calon mantu ini tidak akan berakhir sampai esok pagi.

“Mama tunggu satu minggu lagi.”

Revand tersenyum simpul. “Revand balik ke kantor dulu ya, Ma. Masih ada pekerjaan.”

Setelah merapikan posisi selimut Nyonya Candana, dengan langkah tenang Revand meninggalkan kamar itu. Lorong rumah sakit yang sepi kembali menyapanya, menemani langkahnya pergi meninggalkan tempat itu. Dalam kepala Revand bergelayut pikiran tentang waktu yang diberikan ibunya untuk mencari pendamping. Sudah berkali-kali ibunya memintanya untuk segera menikah, sejauh ini Revand selalu menolak dan memberi alasan tidak ingin buru-buru. Namun, melihat ibunya yang terlihat sangat lelah hari ini, Revand menjadi tidak tega. Ia tahu ibunya pasti akan tetap memaklumi seandainya seminggu lagi ia tidak membawakan calon menantu. Hanya saja, haruskah ia membuat kecewa ibunya lagi?

***

Saat ini hal yang paling menarik bagi Revand hanyalah memandangi langit yang sudah menggelap di luar jendela. Pemandangan yang bisa memberikan sedikit ketenangan dalam pikirannya yang mengharapkan adanya jalan keluar untuk masalahnya sekarang. Ia masih tidak ingin terburu-buru mencari wanita untuk dinikahi, tetapi waktu seminggu yang diberikan ibunya semakin menipis dan sampai sekarang ia belum mendapat bayangan apa pun untuk menghadapi ibunya akhir pekan ini. Revand yang terlarut dalam dunianya sendiri sampai tidak menyadari ada seseorang yang sudah cukup lama duduk di depannya, dan tengah memandanginya dengan tatapan geli.

“Masih berapa lama lagi kamu akan melamun terus?” tanya orang itu membuyarkan lamunan Revand.

“Sejak kapan kamu di sini?” Revand terkejut melihat sekretarisnya itu sudah duduk menemaninya.

“Cukup lama, sampai bosan menunggu kamu menyadari keberadaanku,” kata Marshall, sekretaris sekaligus sahabat Revand.

“Kenapa tidak mengetuk pintu?”

“Sudah kulakukan, tapi kamu sibuk melamun.”

“Aku sedang berpikir,” kata Revand mengelak. “Tumben seorang Marshall masih berada di kantor jam segini, tidak ada lembur kan?” lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

“Ada undangan kencan dadakan untuk kita, karena itulah aku ke sini lagi.” Marshall mendengus kesal.

“Dari?”

“Pak Subroto. Sebaiknya kita cepat berangkat.”

Tanpa banyak bicara lagi, Revand bangkit dari tempat duduk. Mengikuti Marshall yang berjalan lebih dulu. Ia memang sengaja memilih sekretaris pria yang juga merupakan sahabatnya sendiri daripada sekretaris wanita. Itu agar ia memiliki jarak untuk tidak terlibat dengan wanita terlalu sering. Dengan menggunakan mobil Revand, mereka berdua berangkat menuju ke tempat yang sudah diberitahukan Pak Subroto. Tidak banyak yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan, hanya Marshall yang mengeluh karena pertemuan dadakan ini.

Bukan salah Marshall kalau pria itu nyaris mengomel sepanjang perjalanan. Pria itu biasa pulang pukul tujuh malam di hari biasa, menemani Revand yang terbiasa pulang malam. Namun malam ini ia mendadak ditelepon kolega mereka untuk membicarakan bisnis yang sedang mereka jajaki bersama dan sekarang sudah lebih dari pukul sembilan malam. Beruntung ia masih menemukan Revand di kantor mereka, sendirian, tenggelam dalam lamunan panjang sampai kedatangannya tidak mengusiknya sama sekali.

Satu hal lagi yang membuat Marshall tidak habis pikir: Kenapa pria paruh baya bernama Pak Subroto itu memaksa untuk membicarakan tender malam-malam, di sebuah kelab malam alih-alih restoran yang wajar menjadi tempat untuk membahas keperluan bisnis? Ia berharap ini bukan jebakan yang disiapkan Pak Subroto untuk Revand, mengingat pria paruh baya itu terkenal membangun bisnis dengan cara yang licik.

Seperti yang sudah ditebak Marshall sebelumnya, Revand terlihat mengernyitkan kening tidak senang begitu mereka sampai di tempat tujuan. Papan nama yang mencolok di depan gedung memang mudah dikenali siapa pun yang melintas, semakin membuat Revand ingin meminta Marshall putar balik dan membatalkan pertemuan. Ia tidak segera turun dari mobil, melainkan menoleh ke arah Marshall yang sama tidak semangatnya.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Revand.

“Pak Subroto meminta kita menemuinya di sini,” jawab Marshall.

“Apa kamu tidak mencoba menolaknya?”

“Sudah, tapi katanya mendesak dan Pak Broto ada keperluan lain di sini. Jadi katanya sekalian saja.”

“Keperluan di kelab malam?” Revand menaikkan alis tidak percaya.

“Ya, begitulah .…” Marshall melepas sabuk pengaman malas-malasan. “Ayo kita selesaikan ini dengan cepat, lalu pulang.”

Revand tidak punya pilihan lain selain mengikuti Marshall. Benar kata Marshall, sebaiknya mereka segera menemui Pak Subroto dan menyelesaikan urusan agar bisa secepatnya meninggalkan tempat yang menjijikkan itu.

Dengan langkah enggan, mereka berdua memasuki kelab. Ketenaran tempat itu sebagai kelab malam termewah di Jakarta sama sekali tidak memengaruhi suasana hati keduanya. Mereka cuma bisa berharap, semoga pembicaraan dengan Pak Subroto tidak akan memakan waktu yang lama.





<