cover landing

Hadiah dari Tuhan

By Nafish Fn

"Hmm, ya mungkin nanti… Akan aku usahakan… Tolong jangan paksa aku melupakannya lagi… Semua tidak semudah yang mama kira, lagipula aku tau yang terbaik kok… Sudah ya ma? Vania capek, dahhh."

Usai menutup telpon, perempuan itu mendesah cukup panjang. Kaki jenjangnya melangkah ke arah jendela, membuang padangan pada pejalan kaki yang berlalu-lalang sambil membawa payung di tangan. Pandangannya hambar, membaur bersama malam yang sedang dikudeta hujan.

Langit menangis manja, mencumbui kaca yang tak bisa menolak. Bersamaan dengan itu air mata Vania ikut menetas, luber berirama mengikuti rintik di luar ruangan. Hatinya kembali merana, menguji sensitiv jiwanya. Hai cinta, apa kabar? Begitu bisiknya. Barang kali arwah juga bisa mendengar desah kerinduan lewat angin malam, Vania sungguh berharap.

Ia melepas celemek yang melekat di tubuhnya, lantas duduk di salah satu kursi yang dulu sering mereka gunakan. Kala lelaki itu bersaksi bahwa mereka adalah takdir yang tidak akan pernah terpisahkan, juga ikrar yang mencatat bahwa tidak akan ada akhir untuk mereka berdua. Terasa indah, sangat membekas di relung jiwa. Aku merindukanmu, cinta, tidakkah kau merasa demikian? Cicitnya dalam bungkam.

Semua orang membenci perpisahan, tak terkeculi Vania. Tapi bagaimana jika perpisahan itu adalah kehendak Tuhan? Oh ayolah... kedai kopi tanpa nama ini adalah saksinya. Perihal kisah cinta mereka, sampai akhir dari semua yang begitu memilukan. Kedai kopi ini banyak tahu, jika saja dunia masih berniat mengelak, mungkin kedai kopi ini dengan suka rela akan bersuara.

Bahwa Vania adalah seorang pecinta yang dicintai oleh makhluk lain selain manusia. Entah, entah makhluk itu masih mengakuinya atau tidak. Yang jelas Vania masih menjadi pecinta pasca belahan jiwanya meninggal dunia. Meski seluruh manusia menentang cintanya, Vania tidak akan melepas begitu saja. Cinta mereka adalah lautan yang tidak berujung pada satu pelabuhan. Luas, tanpa tujuan dan tidak bisa disederhanakan.

Kilatan langit menggugah lamunan Vania. Perempuan itu terperangah, kemudian menatap cincin yang mengikat jari manisnya. Dulu, tidak, dua tahun yang lalu—lebih tepatnya—lelaki itu berjanji kalau mereka akan selalu bersama.

Kalaupun nantinya harus berpisah, mereka pasti akan kembali berjumpa. Lupakah cintaku bahwa kematian tidak akan mempertemukan dua manusia? Keluhnya. Pada akhirnya janji itu hanya berlalu bagai lelucon senja. Yang bisa saja pergi, ketika malam mengakuisisi dunia.

Vania kembali terisak, di dalam kedai kopi yang hening tanpa suara. Hanya ada dia, serta cinta yang bergemuruh di dalam dada. Tanpa pelukan, iringan musik, juga kalimat romansa ataupun rayuan yang menerbangkan jiwa. Tanpa itu semua tentunya, karena sang kekasih sudah pergi untuk selamanya.

Jangan terlalu memercayai takdir, karena yang seharusnya terhubung bisa terbelit. Lantas tidak lagi memiliki tali yang bisa menuntun keduanya untuk kembali. Seperti Vania yang harus kehilangan separuh jiwanya pergi. Sebuah mimpi untuk mendirikan kedai kopi kini menjadi peninggalan satu-satunya yang ia miliki. Selain cinta dan kenangan manis, Reno—pacarnya—hanya meninggalkan gedung sederhana berupa kedai kopi.

Reno, ah... lelaki itu meninggal dengan tragis. Dalam perjalanan menuju rumah Vania saat hari ulang tahunnya tiba, lelaki itu mengalami kecelakaan. Tidak begitu maut, karena ia masih sadar ketika mobil menabrak tubuhnya.

Konon, saksi mata bilang, kalau Reno bisa bangkit sendiri dari motornya. Ia sempat tersenyum, hendak kembali berkendara. Yah, walaupun keningnya sudah berdarah-darah, setidaknya ia ingin menyampaikan ucapan selamat ulang tahun pada Vania. Namun beberapa detik usai berdiri di atas dua kakinya, tubuh Reno tumbang.

Persis seperti pohon yang patah, lelaki itu terkapar. Sisa nafasnya habis digunakan untuk menyebut nama Vania, melarikkan isyarat mesra perihal cinta. Wajar, dia memanglah seorang pujangga. Seluruh antero dunia sudah mengenal Reno si puitis yang mesra. Siapkan hatimu untuk terbang, karena Reno memiliki sayap di sudut bibirnya.

Setelah lima tahun merayakan ulang tahun bersama, dua tahun lalu adalah hadiah yang paling mengerikan.  Vania benci ulang tahunnya. Ia juga tidak akan pernah lagi tertawa saat ulang tahunnya tiba. Tapi suatu ketika, Reno pernah bilang, "Kalau aku tidak bisa datang merayakan ulang tahunmu, tutup mata saja ya? Aku ada di sana soalnya." Begitu jelasnya sambil tertawa.

Praktiknya mana bisa? Yang ada kelopak mata Vania justru dibanjiri air mata. Hari itu bagaikan petaka baginya. Ketika telpon masuk yang berdering ternyata adalah pihak kepolisian. Reno meninggal di tempat, dan jalanan itu kini sudah masuk dalam daftar hitam yang tidak pernah Vania lintasi lagi untuk selamanya.

Perempuan itu memeluk tubuhnya, menepis dingin yang mengigit tulang. Setelah Reno pergi, dua tahun terasa seperti dua abad, waktu yang berlalu berangsur lambat. Dengan itu—demi untuk menyampaikan rindu pada jasad yang sudah terkubur—Vania menuliskan pilu. Melalui tintanya, ia menyampaikan sembilu.

Seolah Reno ada dalam dirinya, kini Vania menjadi mahir berkata melalui tulisan. Belakangan ini ia banyak bicara dalam diam. Saat tidak ada lagi telinga yang sudi mendengar Reno berserta kisahnya, ia akan bersajak. Hingga berlembar-lebar kertas sudah habis dimaknainya, sampai lacinya penuh dengan semburat tinta. Ternyata berpuisi itu menular, seperti Reno yang membius Vania dengan cinta.

Vania berdiri, meninggalkan pedih yang bertakhta. Meletakkan sebagian besar rindunya, kemudian melanjutkan malam yang kosong tanpa cinta. Lagi-lagi ia menepis air mata, mematikan lampu kedai kopi lalu mengunci serapat-rapatnya. Titip rasaku, cinta, jangan pergi ke mana-mana, tandasnya.

Seulas senyum tipis mengembang. Di hadapannya ada Reno yang memasang senyum serupa. Sudah malam, saatnya dunia berisitirahat. Perkara besok, biar Vania tanggung lagi dengan penuh kebanggan. Reno adalah cinta yang membahagiakan, meski terasa menyakitkan.

 

***

 

"Kau selalu memerhatikannya," ujar seorang lelaki pada lelaki lain yang bersindekap dada.

Pandangan mereka jatuh pada satu objek yang sama, seorang gadis yang duduk di dalam kedai kopi sendirian. Tidak peduli hujan mengguyur semakin deras, toh mereka tidak bisa merasakan apa-apa. Keduanya masih diam, sampai lelaki yang muncul tiba-tiba itu kembali membuka suara.

"Bukankah jika kau memerhatikan seseorang itu tandanya akan segera mempertemukannya dengan seseorang?" tebaknya. Ia sudah hafal, di luar kepala.

"Uhm? Ya.." sahut lelaki yang diajak bicara dengan nada mengambang. Tidak ada dengusan nafas, karena mereka tidak lagi membutuhkan udara. “Menurutmu apa aku pernah bertemu dengannya?” sambungnya.

“Ya mana aku tahu!” cibir lelaki yang masih setia membawa buku tebalnya itu sebal. "Memangnya kenapa? Kau terlihat tidak antusias. Biasanya kau akan menceritakan masa lalu mereka, kemudian berceloteh ria tentang rencana pertemuan kedua belah pihak."

“Ada sesuatu yang tak bisa ku lihat dari gadis itu,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan mata sedikitpun sambil mengetuk-ngetuk dagu. “Aku tidak bisa membaca masa lalunya. Ini aneh, dan aku tidak mengerti penyebabnya."

Lelaki di sampingnya terkejut, keningnya berkerut, “Jangan bercanda! Kau kan dewa!” serunya.

“Memangnya sudah berapa lama kau mengamatinya? Kau harus segera bicarakan masalah ini pada Eros, sebelum terlambat. Aku yakin dewa tetinggimu itu pasti tahu sesuatu.”

"Eros hanya dewa, dia tidak mungkin tahu banyak hal."

“Tapi dia bosmu! Mungkin kemampuanmu sedang dicabut atau eror sementara waktu, siapa tahu? Yang jelas aku tidak melihat nama perempuan itu dalam bukuku,” sahutnya santai sembari membolak-balikkan lembar usang yang mulai lapuk.

“Oh!! Sepertinya aku harus pergi,” pekiknya.

Ia mengalihkan pandangan pada wajah gusar di sampingnya. “Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Kau itu dewa, bukan manusia yang harus memusingkan hal remeh-temeh tidak berguna,” celetuknya lagi sambil merapikan jas.

"Entahlah, ketika melihatnya aku merasa seolah ada takdir yang aku janjikan pada cinta," gumamnya datar.

Lawan bicaranya tersenyum tipis, “Jangan terlalu penasaran apalagi ikut campur, kau tahu betul risikonya tuan melankolis. Sudahlah, ada nyawa yang perlu ku cabut, sampai nanti.”

Ia pun kembali merenung, menatap lurus ke arah gadis itu. Perempuan rapuh yang duduk meringkuk dengan air mata bercucur. Sosok yang seharusnya ia tuntun untuk bertemu itu, entah mengapa membuatnya begitu ingin tahu. Tidak bisanya, memang, namun ada sekelumit rasa yang menuntut untuk dibenarkan. Vania, siapakah kau sebenarnya?

 

***





<