cover landing

Hello, Seventeen

By Oepha Im

Ini semua gara-gara telepon dari orang itu tadi malam. Aku jadi kena sial dan terpaksa berdiri di halte sekolah dengan bibir tertekuk saat murid lain melewati gerbang dengan santai. Padahal, orang itu hanya mengatakan delapan kata.

“Apa arti umur tujuh belas tahun bagi kamu?”

Kemudian sambungan terputus, bahkan sebelum aku membuka mulut untuk merespons.

Dalam situasi normal, aku akan menjawab pertanyaan itu dengan lancar. Pertanyaan semacam itu banyak tertulis di dinding kamar, sudut bawah buku catatan, meja belajar, dan majalah dinding sekolah. Aku sudah memikirkan jawabannya sejak lama. Sejak orang itu bertanya ketika kami masih SMP.

“Kedewasaan. Bagi gue, umur tujuh belas tahun adalah waktunya dewasa. Bebas. Bahagia.”

Situasi tadi malam membuat bibirku kelu. Aku hanya bisa diam seperti orang dungu. Berbagai macam pemikiran bercabang di kepala. Ini mungkin efek karena orang itu meneleponku lagi setelah sekian lama. Aku merasa sedikit terkejut. Maksudku, benar-benar terkejut. Kepalaku bertanya-tanya, kenapa dia menghubungiku?

Akibat pikiran kacau dan temaramnya lemari kamar, aku salah membedakan warna biru dan abu. Sekarang hari Rabu. Alih-alih memakai seragam batik berwarna abu, aku malah memakai seragam batik berwarna biru.

Sial sekali.

Namun, yang lebih sial dari yang paling sial adalah, Pak Sunu sedang menjaga gerbang dengan semangat empat lima. Guru Fisika rangkap Kesiswaan ini galaknya bukan main. Dia menghukum siapa saja yang ketahuan melanggar aturan tanpa ampun. Sekecil apa pun itu. Pernah ada anak kelas dua belas yang ketahuan memakai kaus kaki dengan corak garis merah di bagian atas dan langsung kena hukum membersihkan toilet.

Yang benar saja!

Toilet di sekolah ini menjijikkan semua. Apalagi toilet kelas dua belas. Kalau ada survei tentang toilet kelas berapa yang paling menjijikkan, toilet mereka pasti menang.

Sialnya, kenapa gue bisa seceroboh ini sampai harus salah seragam, sih!

Pertanyaan itu menggelayuti otakku diikuti strategi-strategi masuk akal agar tetap bisa masuk ke sekolah. Ada beberapa opsi yang tersedia. Aku sendiri tidak yakin apakah ide ini bisa digunakan atau tidak.

Pertama, masuk lewat gerbang depan tapi kena hukuman.

Tidak. Tolong. Gue nggak mau membersihkan toilet!

Kedua, masuk dengan memakai jalan tikus yang entah ada di mana.

Teberkatilah sekolah ini karena tidak punya jalan rahasia untuk bolos.

Ketiga, pulang ke rumah untuk berganti baju dan datang terlambat ke sekolah.

Hukuman telat bahkan bisa dua kali lipat lebih menyeramkan. Tidak, tidak!

Keempat, menghubungi Bunda atau Papah untuk mengirimkan seragamku ke sekolah.

Tidak. Itu merepotkan. Urusan dengan orang tua selalu merepotkan. Mereka cerewet. Dan omong-omong, Bunda dan Papah sudah masuk kantor. Pasti susah untuk keluar lagi.

Jadi?

Aku menghela napas dan menempelkan pipi ke tiang halte di depan sekolah. Mataku menatap nanar gerbang yang kian tertutup seiring berjalannya waktu.

Kapan Pak Sunu menghilang dari pos jaganya, sih?

Pokoknya hari ini dan hari-hari berikutnya aku tidak boleh bolos. Bisa babak belur kalau di raporku ada keterangan bolos. Bunda menyeramkan kalau sedang marah, dan aku tidak mau mengulangi kesalahan di semester lalu.

Aku menggigit bibir bawah diikuti kedua kaki yang bergerak gelisah. Mataku melirik jam tangan dan gerbang sekolah bergantian. Kuhirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Samar-samar aroma permen karet bercampur dedaunan yang basah di pagi hari tercium indra penciuman. Rasanya sejuk, sedikit menenangkan saraf-saraf kepala yang kaku. Semakin lama, aroma itu semakin jelas. Aku menegakkan tubuh, berniat mencari asal aroma itu saat punggungku juga merasakan kehadiran seseorang. Aku menoleh ke belakang dan mengernyit ketika mendapati seorang cowok berseragam batik hari Rabu berdiri di sana dengan sweter warna cokelat di tangan.

Cowok itu tinggi menjulang dengan dada bidang. Tubuhnya tidak kurus kerempeng seperti kebanyakan siswa SMA, alih-alih terlihat berisi dan kuat. Sebuah tas berwarna hitam yang tampak tidak diisi apa-apa menempel di punggungnya. Rambut hitam legam itu disisir rapi ke bagian samping. Aku mengernyit. Bentuk wajah ini terasa familier. Apa ini jenis wajah pasaran? Mungkin saja. Tapi kenapa dia terus menatapku?

Mataku melirik ke samping dan ke belakang lalu merasa heran saat tidak menemukan orang lain di sekitar sana. Itu artinya cowok ini sedang menatapku terang-terangan, kan?

Aku melirik tubuhku sendiri lalu cemberut ketika tidak mendapati apa pun yang salah kecuali seragamku.

Apa sebegitu belum pernahnya, ya, dia melihat orang yang salah memakai seragam?

Jujur saja. Bukan hanya aku yang pernah salah memakai seragam. Ada ribuan orang seperti aku di luar sana. Jaka—ketua kelasku—juga pernah salah memakai seragam. Dia beruntung karena punya pembantu yang bisa mengantarkan seragam yang sesuai di menit berikutnya.

Aku mendesis pelan lalu berdiri tegak dan menatap cowok itu sambil mengangkat sebelah alis. Menantang sekaligus memberi kode ‘Ngapain lo di sana dan natap gue kayak gitu?’.

Di luar dugaan, cowok itu menyerahkan sweter miliknya dengan gerakan santai. Suaranya terdengar malas saat mengatakan, “Kembalikan sweter gue istirahat kedua nanti. Gama kelas XI IPS 4.”

“Hah?”

Aku mengerjap lantas terbelalak saat mendapati sweter cokelat yang tadi berada di tangannya kini sudah ada di tanganku. “Eh, maksudnya ini apa?”

Belum sempat aku menahannya untuk meminta penjelasan, cowok itu sudah berjalan menjauh dan tidak menoleh sama sekali. Aku melongo sambil menatap bergantian punggung lebarnya dan sweter ini.

Apa cowok barusan membantuku?

Alisku masih bertaut bahkan saat sosok cowok itu sudah menghilang.

Tapi kenapa?

Tet tet tet!

Suara bel tanda pembelajaran akan dimulai lima menit lagi berbunyi. Aku tidak punya pilihan lain selain memakai sweter itu dengan gerakan cepat. Tidak ada waktu untuk diam seperti orang dungu. Bisa-bisa aku dihukum membersihkan toilet. Ketika tanganku bergerak membalutkan sweter itu ke tubuh, aroma permen karet semakin jelas tercium. Ternyata dari sini asalnya. Parfum cowok itu. Aku menghirupnya dalam-dalam dan mencari titik nyaman.

Setelah memastikan penampilan rapi, kedua tungkaiku berjalan mendekati gerbang. Hal yang harus dilakukan sekarang adalah tenang dan beralasan. Aku memutuskan berjalan sambil menunduk dan pura-pura memainkan lengan sweter saat melewati Pak Sunu. Kedua langkahku lebar, mungkin hanya tiga langkah untuk melewati pria paruh baya itu. Aku harus bergerak cepat karena saat ini siswa mulai jarang melewati gerbang. Kebanyakan sudah masuk di ruang kelas masing-masing. Untungnya Pak Sunu tidak mengomentari sweterku. Dua menit kemudian, aku sampai di depan kelas dengan selamat.

Siapa pun cowok barusan—yang namanya tidak sengaja aku lupakan, terima kasih.

Bye, bye, toilet bau!

***

“Siapa namanya?”

Aku mengangkat bahu saat Yusti mengulang pertanyaan yang sama tentang siapa nama cowok yang menolongku tadi pagi. “Gue lupa.”

Well, aku benar-benar lupa. Entah untuk alasan apa. Maksudku, cowok itu baru mengatakan namanya pagi tadi tapi beberapa menit kemudian aku sudah melupakannya. Oke, aku agak ceroboh. Tapi, siapa yang tidak akan ceroboh kalau cowok itu mengatakan namanya dengan cepat dan langsung pergi begitu saja?

“Kok bisa lupa, sih,” omel Yusti. “Terus cara kita kasih sweter ini ke dia gimana?”

Aku memainkan bola mata ke sana kemari dan berkata, “Gue masih ingat wajahnya.”

Yusti berbalik dan menunjuk wajahku. “Awas, ya, kalau kita ke kelas XI IPS 4 dan nggak nemuin cowok itu.”

“Iya, iya.”

Saat ini kami sedang berjalan di koridor sekolah yang ramai. Sayup-sayup terdengar obrolan dan teriakan dari sisi depan dan belakang. Aroma keringat bercampur parfum menguar dari siswa yang berlalu lalang di sampingku. Kawasan kelas IPS tidak jauh dari kelas MIPA. Letaknya ada di lantai dua gedung sekolah, sementara kelas MIPA di lantai satu.

Tadi pagi sesampainya di kelas, aku menghubungi Yusti dan menceritakan semua kesialanku, kecuali panggilan dari orang itu tadi malam. Yusti merespons dengan tatapan sangsi lalu meminjamkan jaket biru kesayangannya. Setelah memakai jaket Yusti dan mengamankan sweter cowok itu, kami pergi ke UKS untuk meminta izin agar aku diperbolehkan memakai jaket selama jam pelajaran. Alasannya: sakit.

Pembelajaran di kelas hari ini biasa saja. Tidak ada pelajaran berat atau guru menyebalkan. Bahkan di jam pertama guru Bahasa Sunda tidak masuk. Kelas kami jelas-jelas dilimpahi berkah. Namun, yang membuatku agak aneh adalah, Yusti mau mengantarku ke kelas XI IPS 4 untuk mengembalikan sweter ini. Padahal biasanya dia malas kalau harus mendatangi kelas lain. Alasannya, “Enggak mau, ah. Banyak orang yang nggak dikenal.”

Kali ini, tanpa paksaan apa pun—bahkan terkesan menawarkan diri, dia berdiri di sampingku.

“Ciri-ciri cowok itu kayak gimana? Siapa tahu gue kenal dia.”

Aku menyipitkan mata. Mungkin Yusti penasaran tingkat akut sama cowok itu. Padahal aku tidak menceritakan hal-hal yang akan membuatnya penasaran soal kesialan tadi pagi.

Aku hanya mengatakan, “Untung gue dibantu cowok itu. Nanti antar gue kembalikan sweternya, ya.”

Itu jawaban normal. Tidak akan ada spekulasi apa pun saat mendengarnya. Aku tidak mengatakan kalimat sejenis,

“Gue dibantu cowok ganteng.”

Atau,

“Gue ditolong cowok baik banget yang bikin gue jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Aku tidak mengatakan kalimat-kalimat yang mengandung rasa penasaran seperti itu. Kalimatku singkat, padat, dan jelas.

“Kenapa lo penasaran banget sama cowok itu?”

Yusti melirikku dan berkata, “Jelas penasaran! Seumur-umur gue baru tahu ada cowok yang pedekate sama lo.”

Aku terbelalak. “Pedekate?!”

Yusti mengangguk dengan seringai lebar. “Masa lo nggak peka. Cowok kalau bantu cewek, itu artinya dia lagi pedekate.”

Aku mencibir sambil mendelik muak. “Lo tuh jangan suka nonton drama Korea, deh. Jadi overthinking gini!”

Yusti merengut. “Ini serius.”

“Gue nggak akan dengar omongan lo. Otak lo itu udah keracunan drama Korea,” dengusku dan memimpin jalan.

“Ya udah kalau nggak percaya,” keluhnya. “Eh, tapi gimana ciri-ciri cowok itu?”

Aku menyipitkan mata sebal. Yusti ini ribet. Hidupnya ngedrama karena dia suka drama Korea. Sekalinya penasaran, dia akan terus bertanya sampai orang yang ditanya muak. Karena aku malas muak hari ini, akhirnya aku membuka mulut.

Aku memutar otak untuk mengingat wajah cowok itu. “Dia tinggi. Pakaiannya rapi. Wajahnya ... tipe wajah pasaran.”

“Hah? Emang ada tipe wajah pasaran?”

Aku berdeham. “Pokoknya gue kayak pernah lihat muka dia.”

“Hm, tinggi. Pakaian rapi. Ganteng nggak?”

“Menurut gue lumayan.”

“Mungkin cowok itu Rifyal?”

Aku mengingat-ingat sambil memiringkan kepala. “Bukan. Kalau nggak salah, akhiran namanya itu huruf a.”

Bola mata Yusti terarah ke atap koridor. Cewek itu meletakkan telunjuk di pipi dan berpikir keras. “Rama?”

Aku mengernyitkan dahi lalu dengan ragu bersuara, “Kayaknya.”

Yusti menatapku skeptis. “Kayaknya bukan, deh. Rama kan nggak pernah pake sweter kayak gini. Semua jaketnya dari bahan jin.”

Aku mengangkat bahu. “Ya udah. Daripada pusing, kita lihat nanti aja.”

“Oke.”

Ketika kami baru selesai naik tangga dan berbelok menuju jajaran kelas IPS, mataku spontan membulat saat melihat cowok yang kami bicarakan sedang berdiri di depan kelas. Memainkan ponsel. Punggungnya bersandar ke dinding dan ekspresinya serius.

“Oh?!” pekikku.

Yusti melirik. “Apa?”

“Itu orangnya,” kataku menunjuk cowok itu.

Yusti menatap ke arah telunjukku menunjuk, dan seketika mata sipitnya membulat sempurna. “Gamala?”

Aku mengerjap dan menatap Yusti dengan raut bingung. Ekspresi itu, Yusti jarang menggunakannya. Ekspresi kaget sekaligus takut. “Hah?”

Yusti menatapku dengan tatapan horor. “Cowok itu Gamala.”

Tenggorokanku seketika tercekat. Mataku melirik Yusti dan Gamala bergantian.

Sial.

Kenapa harus Gamala?!





<