cover landing

Holding on Broken Promises

By Baity Achmad

#Prolog 

Rayya Adirama merasa pernah berjanji adalah salah satu kesalahan besar dalam hidupnya. Dia pernah berjanji tidak akan pernah menyakiti hati seseorang. Namun, berbagai permasalahan yang hadir dalam hidupnya membuatnya sadar bahwa manusia tidak seharusnya berjanji. Manusia hanya harus berusaha dan berdoa, bukan berjanji. Karena pada akhirnya, dia mengingkari janji itu bahkan untuk kesekian kalinya.

Aira Anjani tidak pernah menyangka bahwa hidupnya menyimpan banyak sejarah yang tidak dia ketahui. Sejarah hidupnya yang membuat hatinya berpetualang. Menjelajahi kebahagiaan dan kesedihan mendalam dalam hidupnya. Pernah ada saat di mana bunga-bunga dalam hatinya bermekaran menguarkan baunya yang harum, kemudian bunga-bunga itu mati terbakar karena takdir, atau mungkin karena kesalahan seseorang.

Aira mengenal Ray sebagai seorang lelaki gila yang mengajaknya menikah pada pertemuan mereka yang ketiga kali. Ray juga laki-laki gila yang rela membahayakan dirinya sendiri untuk menyelamatkannya. Tapi pada kenyatannya, Rayya Adirama adalah seorang lelaki yang penuh teka-teki, yang mungkin akan lebih baik jika mereka tidak pernah bertemu. Aira hanya ingin bahagia, tapi takdir masa depannya tak dapat ia ketahui. Aira harus tetap menerima jika pada akhirnya ia harus mengalah dan membiarkan takdir yang telah digariskan menentukan jalan hidupnya.

Begitu banyak hal tersembunyi tentang kehidupan Aira yang dia sendiri tidak tahu. Bukankah itu lucu? Ini hidupnya, tapi dia sendiri yang seperti terjebak dalam dinding pemisah yang dibuat oleh orang-orang terdekatnya. Dinding pemisah antara dirinya dengan penggalan kisah hidupnya yang tersembunyi.

 

#1

Their Meeting

Aira masih berusaha membenarkan posisi kamera yang saat ini tengah berada di atas meja di depannya. Mencari posisi yang pas untuk mengambil video di dalam kafe tempat ia berada saat ini. Ini masih pagi dan cahaya matahari yang baik untuk pengambilan gambar masih susah didapat, jadilah dia memutar-mutar kameranya demi mendapatkan posisi terbaik untuk merekam kegiatannya saat ini.

“Gimana sih, Ai? Bisa nggak?” Itu Panji yang sebenarnya sudah gatal sejak tadi melihat Aira yang kerepotan dengan kamera Sony-nya.

“Bawel, deh. Kepagian aku ke sininya. Cahayanya belum ada yang bagus.”

“Katanya Youtuber andal, masa nyari cahaya yang bagus aja nggak bisa,” Panji berkata sambil berjalan menuju kursi Aira. Laki-laki itu menggunakan celemek bertuliskan Pan’s Cafe n Resto di bagian tengahnya. Aira duduk di salah satu kursi di dekat jendela kaca besar di mana dia bisa melihat jalanan di depan kafe dengan jelas.

“Ya ntar, Nji. Kan perlu usaha juga.”

Kafe ini sebenarnya milik Panji, sahabat Aira sejak kecil. Ia baru saja lulus kuliah jurusan kuliner dan memutuskan untuk membuat kafe ini. Panji meminta tolong Aira untuk membantu mempromosikan kafenya di channel YouTube-nya. Dan sebagai teman yang baik, Aira membantunya dengan senang hati. Sebenarnya isi channel YouTube Aira lebih kepada proses memasak di dapur. Hobi memasaknya ia manfaatkan dengan sangat baik. Membuat banyak resep baru ataupun menyempurnakan resep yang sudah ada, memvideonya dan mengunggahnya di YouTube. Meskipun begitu, terkadang dia juga memasukkan konten lain seperti review tempat makan seperti yang sedang dilakukannya sekarang ini.

“Udah nemu, nih. Udah, hus sana. Aku mau mulai videonya. Ntar kalau butuh aku panggil.” Aira mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Panji sedangkan wajahnya menunjukkan wajah cemberut yang dibuat-buat. Jadilah Panji mendengus dan segara pergi dari situ, padahal belum sempat dia meletakkan pantatnya barang sejenak.

Aira menghembuskan napas sebelum memulai kalimat pertamanya. Lensa kameranya ia arahkan ke meja pantry tempat Panji biasa meracik minuman untuk pelanggan.

“Oke, Temen-temen. Aku ini udah di dalem kafenya. Jadi nama kafenya itu Pan’s Cafe n Resto.” Aira mengarahkan kameranya menuju tulisan Pan’s cafe n Resto yang berada di depan pintu. Aira tidak pernah menunjukkan wajahnya di depan kamera; dia hanya akan merekam kegiatannya dan menjelaskannya dengan suara. Aneh? Tidak akan aneh jika dibarengi dengan konsep dan pengemasan yang baik.

“Jadi, ya, sesuai namanya, Pan’s cafe n Resto ini menunya ada mulai dari snack sampe makanan berat. Yang bisa dimakan rombongan gitu, loh.” Aira menunjukkan buku menu ke arah kamera. 

“Nih, jadi ada makanan ringan kaya cheese ball dan teman-temannya ini.” Aira menunjuk ke arah menu yang dipegangnya di depan kamera.

“Dan ada makanan berat kayak olahan bebek, gurame, ayam, dan ada steak juga.”

Aira membalik halaman menu tersebut. “Untuk minumannya ada beragam. Kalian bisa lihat sendiri.” Aira menggerakkan telunjuknya membentuk garis ke bawah. “Dan Temen-temen bisa lihat juga, harganya nggak overprice kan?” Aira menunjuk sisi kiri buku menu itu, menunjukkan deretan harga untuk setiap menu.

“Kayaknya aku bakal pesen ayam saus mentega, cheese ball, sama green tea frappe. Ehmm, oke.”

Aira meletakkan buku menu itu di atas meja dan mengangkat tangan, bermaksud memanggil pelayan mendatangi mejanya. Tak berselang lama, pergerakan tangan Aira disadari oleh seorang pelayan. Pelayan itu mencatat pesanannya dan segera berlalu dari Aira.

“Desain interiornya bagus banget, sih, kalo kata aku. Ini tuh cocok buat hang out anak muda maupun buat hang out bareng keluarga.” Aira hendak berdiri sambil menggerakkan kameranya untuk memperlihatkan bagian dalam kafe itu.

Duukk

Pyarr

Siku Aira menyenggol sesuatu. Bukan. Seseorang yang tanpa diketahuinya berada di belakangnya tadi. Aira spontan menengok ke arah belakang dan mendapati seorang laki-laki sedang memandangi nampan dan makanan berceceran di lantai sambil mendengus. Sontak Aira membelalak melihat itu. Dia merasa bersalah telah tanpa sengaja menyenggol tangan laki-laki itu dan membuat makanannya tumpah berantakan.

“Aduh, Pak, maaf, ya? Saya nggak sengaja,” Aira berkata setengah berjongkok. Pelayan di dekat situ segera mendatangi mereka berdua.

“Biar saya aja, Mbak, yang membersihkan,” kata pelayan itu.

“Iya, makasih, ya, Mas.”

“Maaf, ya, Pak. Saya ganti gimana? Tadi Bapak pesen apa, ya? Saya lupa nama menunya,” tanya Aira gelagapan. Laki-laki di depannya masih sibuk memandangi makanan dan minumannya yang sedang dibersihkan pelayan itu. Sedetik kemudian, barulah perhatiannya beralih kepada Aira yang sedang memandangnya dengan tatapan memelas.

Laki-laki itu masih diam. Mungkin masih mencerna apa yang tadi dibicarakan oleh wanita di depannya ini. Atau mungkin masih memikirkan nasib makanan dan minumannya yang malang.

“Nggak pa-pa. Mbak temenin saya makan, ya?”

APA?

Aira terbengong mendengar jawaban, atau mungkin memang pertanyaan laki-laki inilah yang sungguh sangat tidak diperkirakan oleh Aira sebelumnya.

“Ha?”

“Mbak temenin saya makan, ya? Kayaknya Mbak tadi udah pesen, jadi tinggal saya yang belum pesen ulang.”

“Mbak duduk di sini, kan? Nggak pa-pa kan kalau saya ikut duduk di samping Mbak?”

Aira masih berkedip-kedip berusaha mencerna rentetan kalimat itu.

“Ah, iya, Mas. Nggak pa-pa. Maaf, ya,” kata Aira pada akhirnya. Dia hanya tidak mau disebut orang tidak tahu diri. Meskipun sebenarnya dia masih agak kaget melihat respons laki-laki ini. Kaget dan waswas. Well, jangan mudah percaya pada orang yang baru saja bertemu.  Laki-laki itu memanggil pelayan dan memesan makanan dan minuman yang sepertinya sama dengan apa yang ia pesan tadi.

Laki-laki itu mendudukkan dirinya di kursi dan diikuti Aira setelahnya. Aira masih menatap laki-laki itu dalam diam. Mata Aira menelusuri lelaki di depannya ini dan menemukan name tag di saku kiri kemeja yang dikenakannya. “Dr. Rayya Adirama, S.TP., MP” dan tertulis “Fakultas Teknologi Pertanian”. Di pojok kanan atas ada logo salah satu perguruan tinggi di Malang. Waw, Aira sedikit kagum dengan lelaki ini, sepertinya dia belum berusia 30, bahkan terlihat bahwa pria ini seumuran dengannya. Tapi sudah bergelar Doktor. Aira juga cukup tahu bahwa mungkin lelaki ini salah satu dosen di perguruan tinggi itu.

Hening mendominasi di antara keduanya. Apa yang lelaki ini bilang menyuruh Aira menemaninya makan, berarti benar-benar hanya menemani makan tanpa sepatah kata pun yang keluar? Laki-laki bernama Rayya ini sedang memfokuskan matanya ke arah jalanan. Aira masih mengamati laki-laki di sampingnya ini. Dia mengenakan kemeja biru laut dan dimasukkan ke dalam celana hitam formalnya. Menggunakan jam tangan yang, ehm, terlihat cukup mahal meskipun Aira tidak yakin apa mereknya. Membawa tas ransel yang Aira tebak berisi laptop dan beberapa buku.

Pertanyaan-pertanyaan di kepala Aira terhenti saat pesanan mereka berdua datang ke meja. Mereka makan dalam kesunyian. Aira sedikit dongkol sebenarnya. Laki-laki yang baru saja ia temui ini menyuruhnya menemani makan, tapi dia benar-benar merasa tidak lebih dari sebuah vas bunga di atas meja yang memang hanya berfungsi untuk ‘menemai pelanggan makan’. Kalau saja Aira tidak mengingat kekacauan yang dia buat tadi, dapat dipastikan Aira sudah pergi dari kursi itu sejak tadi.

Aira merasakan perasaan aneh sekarang. Ekor matanya seperti melihat Rayya memandang ke arahnya. Jadi Aira memutuskan untuk balas menatapnya. Mungkin laki-laki ini bermaksud memulai percakapan?

Tapi sepertinya Aira salah—tidak sepenuhnya salah. Karena pada kenyataannya laki-laki ini memang tertangkap basah sedang memandang ke arah Aira. Tapi dia langsung membuang pandangannya ke jalanan tepat setelah mata mereka bertemu. Laki-laki itu benar-benar tidak ingin memulai sebuah percakapan.

Acara makan itu berlangsung sekitar 20 menit. Lalu tanpa aba-aba, lelaki yang menurut Aira aneh ini langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kasir. Aira hanya mendengus dibuatnya. Mata Aira mengikuti setiap pergerakan lelaki itu hingga punggungnya benar-benar hilang di balik pintu keluar. Bahkan lelaki itu tidak ada niat untuk melihat ke arah Aira lagi barang sedetik.

Laki-laki aneh, pikirnya.

Dalam hati Aira bersyukur karena setidaknya ia masih bisa membuat video penutup untuk kontennya kali ini. Selesai dengan urusannya membuat video, Aira segera merapikan semua perlengkapannya dan melangkah menuju kasir. Dan betapa terkejutnya dia ketika tahu bahwa semua makanannya sudah dibayarkan oleh laki-laki itu. Pikirnya, dalam rangka apa lelaki aneh itu mentraktirnya? Aira bertanya-tanya dalam hati. Dan jika dipikir-pikir lagi, hal itu justru membuat Aira lebih merasa tidak enak hati.

Ntar kalo ketemu lagi, gantian aku yang traktir dia, dehkata Aira dalam benaknya sebelum berlalu dari Pan’s Cafe n Resto. Bahkan ia lupa untuk berpamitan pada Panji.

***

“Aku udah 5 hari, Nji, nggak upload video baru. Bingung mau masak apa. Kamu ada ide nggak?” Aira mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja. Tangan kanannya dia gunakan sebagai alas untuk kepalanya yang kini berbalut kerudung berwarna pink nude.

“Aku terakhir upload video, ya, review kafe kamu itu. Lagi buntu banget, nih. Bantuin, dong.”

Aira tiba-tiba teringat sesuatu dan refleks menegakkan badannya, menatap Panji yang sedang duduk di depannya saat ini. “Viewers-nya lumayan, loh. Kamu udah liat belom? Komennya juga positif semua,” kata Aira antusias.

“Udah, sih. Tapi kok masih gini-gini aja, ya, Ai, pengunjungnya? Bakal berhasil nggak, ya?” Wajah cemas Panji terlihat jelas. Panji memang berharap banyak dari review Aira di Youtube untuk membuat kafe barunya dikenal banyak orang. Tapi ternyata, banyak likes dan komentar tidak menjamin bahwa orang-orang itu akan benar-benar datang untuk membuktikan omongan Aira di video.

“Ya, sabar kali, Nji. Kan nggak semua subscriber aku rumahnya deket Malang, kali. Tapi kayaknya pengunjungnya nambah, kok. Kayaknya banyakan mahasiswa juga yang dateng.”

“Aku pikir buka kafe di lingkungan mahasiswa kayak gini bakal cepet rame, Ai. Tapi ternyata saingannya emang banyak banget.”

“Masa hampir berapa meter ada kafe. Kan ....” Omongan Panji terjeda, laki-laki itu membawa punggungnya ke sandaran kursi dan memposisikan kedua tangannya bersilang. “Aduh, sumpah, Ai ....” Panji menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendecih. Aira terkekeh melihat kelakuan teman kecilnya itu.

Obrolan mereka terhenti ketika lonceng yang berada di ujung pintu berbunyi nyaring. Ada pengunjung yang datang.

“Selamat datang.” Panji berjalan menuju pintu dan menyambut kedua pengunjung barunya.

Aira menatap salah satu dari dua orang itu agak lama. Dia laki-laki yang ia temui tempo hari, di kafe ini juga. Lelaki yang dia ketahui bernama Rayya Adirama. Penampilan laki-laki itu tak berbeda jauh dari pertama kali Aira bertemu dengannya: kemeja berwarna yang dimasukkan ke dalam celana formal. Mungkin memang begitulah fashion style seorang dosen, pikirnya.

Ada hal yang membedakan pertemuan mereka kali ini dengan beberapa hari yang lalu. Hari ini Rayya bersama seorang gadis. Gadis yang sangat feminin, terlihat lembut dan anggun. Gadis itu mengenakan kemeja putih dan blue jeans yang sangat cocok dengan tubuhnya yang langsing. Rambut panjangnya berwarna cokelat, ditata mirip dengan model rambut Jun Ji Hyun di drama The Legend of The Blue Sea yang ia tonton beberapa bulan lalu. Sangat cantik, santai dan elegan pada waktu yang sama.

Aira mengamati dua manusia itu hingga mereka duduk di salah satu meja. Mereka terlihat mengobrolkan sesuatu. Aira melihat Rayya mengeluarkan laptop dari dalam tasnya dan mulai mengetik sesuatu sembari tetap mendengarkan gadis di depannya berceloteh. Tentu saja Aira tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Aira hanya dapat mendengar beberapa kata seperti ‘data’, ‘penelitian’, dan ‘rumus’. Ah …. Mungkin mereka sedang membicarakan proyek penelitian. Kalangan akademisi memang sangat senang melakukan hal itu, kan? Mengabdikan diri mereka melakukan penelitian di sepanjang hidup demi kemajuan hidup manusia. Atau jika dalam kasus Rayya, mungkin untuk kemajuan pangan Indonesia bahkan dunia.

“Ai, bantuin, dong. Karyawan aku lagi banyak yang nggak ada, nih.” Aira tidak tahu kapan tepatnya Panji berada di sampingnya. Dan Aira juga baru menyadari bahwa sedari tadi Panji tidak dibantu kedua waiter-nya.

“Ya, Nji?”

“Bantuin bawa minuman ke meja itu.” Panji menunjuk meja Ray.

“Oke. Mana?” Aira berjalan mengikuti Panji menuju pantry. Mengambil nampan yang sudah ada dua gelas minuman di atasnya dan berjalan menuju meja Rayya dan gadis yang belum ia ketahui namanya itu.

Aira tidak tahu sejak kapan dirinya menjadi seceroboh ini. Ia juga tidak tahu sejak kapan tali sepatu kanannya tidak tersimpul dengan baik. Hingga membuatnya terjatuh dan menumpahkan minuman Ray untuk kedua kalinya. Sialnya juga, minuman itu berhasil membuat baju Rayya basah kuyup dan juga mengenai laptopnya. Gadis di depan Rayya juga tak luput terkena percikan minuman itu.

“Gimana, sih, Mbak?!” Gadis itu berdiri sambil mengusap-ngusap kemeja putihnya yang sekarang berwarna cokelat di beberapa bagian, lalu pergi dengan segera menuju ke toilet.

Panji yang awalnya berada di balik pantry pun tergopoh-gopoh menghampiri mereka bertiga.

“Maaf, ya, Pak. Saya nggak sengaja lagi.” Aira meminta maaf sambil membungkuk di depan Rayya. Rayya hanya tersenyum miring melihat tindakan wanita di depannya ini.

“Pak Ray, maaf, Pak …. Aduh, gimana ini?” Panji tidak kalah bingung dengan situasi sekarang. Pelanggan tetapnya selama beberapa hari ini ia kecewakan kali ini.

“Akhirnya saya ketemu kamu juga. Saya tuh datang ke sini lima hari berturut-turut supaya ketemu kamu, tapi gagal terus.” Mata Rayya tidak berpaling dari Aira sejak tadi. Aira, sebagai orang yang ditatap dan diajak bicara justru kaget mendengar rentetan kalimat barusan. Bukankah seharusnya laki-laki ini marah?

“Eh .... Apa?”

“Saya mau kenalan sama Mbak. Boleh, kan?”

“Eh ....” Aira terlihat linglung sekarang. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja ia  temui—kedua kalinya ia temui—dengan keadaan yang sama sekali tidak bisa dikatakan baik, justru mengajaknya berkenalan.

“Nama Mbak siapa? Saya pengen kenalan. Boleh, kan?”

“Bapak nggak marah sama saya?” Aira bahkan lupa kapan terakhir kali ia berkedip, dan dia yakin wajahnya sekarang pasti sangat memalukan untuk dilihat.

“Saya nggak marah kalau Mbak mau kenalan sama saya. Gimana?”

Aira terlihat menimbang-nimbang keputusannya. Dia tidak mengenal lelaki ini; bagaimana kalau ternyata dia orang yang bisa saja mencelakainya di kemudian hari? Tapi saat dia menatap Panji, wajah pria itu seakan memintanya untuk menerima ajakan perkenalan itu. Iya, ini, penting, karena kafe Panji masih baru dan ia perlu menjaga imej baik.

“Oke, saya Aira Anjani.” Aira menggerakkan tangan kanannya untuk bersalaman. Lalu sedetik kemudian menurunkan tangannya lagi. “Dan Bapak nggak perlu bilang nama Bapak siapa,” lanjutnya.

“Kenapa?”

Aira menunjuk name tag di kemeja Rayya. “Pak Rayya Adirama,” lanjut Aira tersenyum lebar.

Ray manggut-manggut sambil tersenyum. “Oke, Mbak Aira. Pertama, panggil aja saya Ray tanpa ‘Pak’, karena kayaknya kita seumuran. Yang kedua, besok mau, ya, jalan-jalan sama saya?”

Aira terbengong—lagi—bingung harus menjawab bagaimana.

“Iya, Pak. Aira mau, kok. Iya kan, Ai?”

Aira memelototkan kedua mata kecilnya ke arah Panji. Panji tersenyum jail dan menaikkan kedua alisnya. Ouh, ingatkan Aira untuk menjitak kepala sahabatnya ini kapan-kapan.

“Oke, saya anggap itu sebagai perwakilan jawaban kamu, ya. Besok sore saya tunggu di depan kafe ini.” Perkataan Ray berhenti tepat setelah gadis berkemeja putih itu sampai di mejanya kembali. Mengajak Ray untuk segera meninggalkan kafe itu.

Entah kenapa, Aira merasakan gadis yang bersama Ray itu tidak menyukainya. Buktinya, dia memandang ke arah Aira dengan tatapan sinis yang Aira sendiri tidak mengerti apa maksudnya.





<