cover landing

Holy Day

By ririnayu

Mamá bilang mereka hari ini akan liburan ke rumah Nenek. Meski awalnya Araceli tidak yakin soal liburan ini karena Nenek sudah lama meninggal, akan tetapi saat mobil yang ditumpanginya mulai menjauhi Morelia maka artinya dia harus percaya, kan?

Dia sempat mempertanyakan soal liburan yang sebenarnya mungkin tidak terlalu penting dilakukan mengingat rumah Nenek sudah lama kosong. Namun, jawaban Mamá dan Papá semuanya sama. Di sana ada rumah kuning berbentuk segitiga favoritnya. Tentu saja, dia tidak puas dengan jawaban itu. Memangnya kenapa kalau ada rumah kuning segitiga di sana? Bukankah rumah itu sudah ada sejak dulu?

Jawaban berikutnya yang didapat adalah karena sebentar lagi akan ada perayaan Día de los Muertos, perayaan kematian yang diadakan oleh seluruh warga Meksiko. Katanya mereka akan mengirim doa untuk Nenek dan kakaknya yang sudah meninggal. Jawaban ini bisa diterima meski dia tidak ingat kalau tahun lalu mereka sempat merayakan festival ini atau tidak. Atau festival di tahun sebelumnya. Ya, tahun-tahun saat Alessandro masih hidup, bernapas, dan menyebalkan. Alessandro yang ada untuk merepotkan dan membuatnya sebal karena menyuruhnya melakukan ini dan itu. Akan tetapi, liburan tanpa kakaknya maka dia hanya akan menjalani kehidupan yang membosankan. Padahal, setidaknya di Morelia dia bisa bermain dengan teman-temannya, lalu kalau di rumah dia harus main dengan siapa? 

Ah, dia hanya akan makin kesepian saja. Araceli lalu menunduk, matanya menatap boneka berambut hitam yang kini ada di pelukannya.  Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Dia hanya bisa bermain dengan boneka itu nantinya.

“Mungkin kita hanya bisa main berdua, Dulce,” gumamnya sambil mengusap boneka berambut hitam yang kini ada di pangkuannya.

Mi cielito!”(Langit kecilku/ surga kecilku, panggilan sayang untuk anak. Tapi, kadang digunakan untuk pasangan juga.)

“Ya?” Suara Mamá membuat Araceli langsung mengalihkan pandangan dari wajah Dulce.

“Kalau ngantuk tidur saja!”

“Masih jauh ya, Má?”

“Masih kurang berapa jam lagi sampai Xochimilco?” Mamá malah bertanya sama Papá sekarang. Sungguh tidak banyak hal yang Mamá tahu, jadi kadang Araceli bertanya-tanya bagaimana hidup Mamá kalau tidak ada Papá.

“Ya, lumayan. Kita baru sampai Tarimbaro sekarang, jadi masih butuh empat jam lagi untuk sampai ke sana.”

“Masih lama,” sahut Araceli begitu mendengar kata empat jam.

“Gimana kalau kamu makan kukis saja. Mamá tadi pagi bikin Coyotas(kukis khas Meksiko) buat kamu. Enggak cuma diisi Piloncillo(gula merah), Mamá tambahin toping nanas dan guava juga kok. Kamu pasti suka.”

“Enggak ada toping persik?” tanya Araceli.

Mamá berdeham. “Toping persiknya lain kali ya, Reinita(Ratu kecil/ putri, panggilan sayang untuk anak perempuan.). Gimana kalau kamu makan saja sekarang. Dulce juga pasti mau makan Coyotas-nya.”

Araceli menunduk menatap bonekanya. “Dulce enggak mau makan.”

“Kalau begitu kamu saja ya!”

“Aku enggak lapar, Má, kenapa harus makan?”

“Kalau begitu tidur saja, biar sampai rumah Nenek kamu enggak terlalu capek.”

“Tapi, aku enggak ngantuk.”

Mamá hanya mendesah. Wanita itu tidak menyahut lagi dan sepertinya memilih memerhatikan jalanan di depannya. Jalanan yang mereka lalui lumayan rusak di bagian tepiannya hingga mobil Papá beberapa bergerak tidak beraturan. Pikirannya melayang lagi, biasanya ada Alessandro yang duduk di sampingnya. Meski kakaknya itu bermain game di ponsel, akan tetapi setidaknya Araceli tidak sendirian di kursi belakang seperti sekarang ini.

Gadis itu mendesah sambil melirik wadah berisi Coyotas dengan toping buah buatan Mamá. Tetap saja tidak ada toping buah persik meski Alessandro sudah meninggal. Padahal dia sangat menyukai toping jenis itu. Saat makan di rumah Briella, dia selalu menginginkannya lagi dan lagi. Sayang, Mamá tidak pernah mau membuatnya di rumah. Mamá juga tidak pernah mengizinkannya main ke rumah Briella sejak insiden waktu itu.

Araceli menarik napas lalu melirik ke luar jendela. Hanya deretan pertokoan dan restoran cepat saji yang berderet di pinggir jalan. Tidak ada lagi bangunan tua dan katedral yang menjulang. Pohon-pohon di pinggir jalan juga tidak serimbun di dekat rumahnya hingga membuat udara semakin panas. Baru juga pergi sebentar, Araceli sudah merindukan Gazpachos(Salad buah khas Morelia) dingin yang dibuat Tia(Tante) Maria yang tinggal di samping rumah. Apalagi mobil Papá terus saja berayun hingga membuatnya mulai mengantuk.

Saat membuka mata lagi, mobil Papá sudah berhenti. Araceli mengucek mata dan menoleh ke jendela. Kali ini mereka sampai di jalanan yang lebih besar. Ada rumah sakit hewan yang tertutup di tikungan jalan. Toko-toko kue dengan dekorasi cokelat tengkorak dan peti, serta kue dengan berbagai pernak-pernik kematian. Di sisi lain jalan, bertebaran penjual bunga marigold hingga jalanan terlihat lebih berwarna oranye. Matanya kini beralih pada pedagang kaki lima yang yang berderet di pinggir jalan.

“Apa kita sudah sampai, Papá?” tanyanya.

“Sebentar lagi, Reinita. Mamá lagi keluar beli camilan.”

Araceli belum sempat bertanya lagi karena Mamá sudah masuk kembali ke dalam mobil. Dia menoleh lalu tersenyum.

“Ini Mamá belikan Elotes(Sejenis jagung bakar yang diolesi mayones.),” katanya sambil mendorong satu wadah dari kertas pada Araceli.

Gracias(terima kasih), Mamá,” ucapnya.

“Sama-sama, Reinita.” Wanita itu kembali tersenyum lalu kembali menghadap ke depan saat mobil yang mereka tumpangi kembali berjalan.

Araceli mulai menggigiti Elotes yang dibelikan mamánya. Sausnya mulai belepotan di bibir. Dia berusaha keras untuk menggigiti biji-biji jagung itu meski mobil papánya sering bergerak tidak beraturan. Setidaknya biji-biji jagung itu membuatnya sedikit lupa pada perjalanan melelahkan yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya hari ini.

Sekitar tengah hari, Papá menghentikan mobil di depan sebuah rumah berwarna kuning tua. Cat rumah itu mengelupas di beberapa bagian hingga terlihat menyeramkan. Mamá bergerak turun dengan membawa tas, sementara Papá membuka bagasi mobil. Selama menunggu, Araceli bergerak menuju gazebo yang berada tidak jauh dari area parkir sekarang. Dia duduk di sana bersama Dulce. Memandangi halaman dengan rumput hijau yang membentang di hadapannya.

“Ara, kamu tunggu di sini dulu ya!” perintah Mamá sambil membawa tas masuk dan Papá mengekor di belakangnya dengan kardus besar di tangan.

Araceli mengangguk dan mengiyakan, sementara matanya tertuju pada jalan yang terbuat dari batuan hitam dan hanya bisa dilewati satu orang itu. Jalan itu ada di pinggir halaman berumput dan nyaris menempel pada taman kecil yang ditanami semak dengan bunga kecil-kecil berwarna putih. Pandangan Araceli kini beralih pada bangku yang terbuat dari kayu utuh berbentuk persegi panjang yang ada di tengah halaman. Kayu memanjang itu bisa disangga oleh dua tumpuk batu-bata di kedua sisinya hingga aman diduduki. Di depan bangku itu terdapat alat pemanggang barbeque.

Dia ingat Papá seringkali memanggang daging di sana saat liburan. Mamá sendiri sibuk membantu Papá dengan menata meja makan. Sementara, dia dan Alessandro akan bermain kembang api sambil menunggu makanan siap. Biasanya Mamá dan Papá akan mengajaknya liburan ke sini setiap liburan sekolah. Dari Nenek masih hidup sampai Nenek tidak ada lagi. Liburan dan bermain di halaman itu tidak lagi terhitung karena terlalu sering dilakukan. Hanya saja, Araceli sudah tidak ingat kapan terakhir kali memanggang daging di tengah halaman berumput itu. Semuanya tidak pernah dilakukan lagi sejak Alessandro meninggal dunia. Mereka juga berhenti datang ke tempat ini dan melewatkan Día de los Muertos begitu saja. Araceli menarik napas. Lagi pula, apa gunanya liburan kalau tidak ada teman bermain dan hanya merayakan kematian saja?

Mamá tidak lagi keluar rumah, sementara Papá masih sibuk mondar-mandir. Benar-benar terlihat seperti tidak bisa diganggu. Araceli sendiri tidak tahu harus melakukan apa selain memeluk Dulce dan memandangi halaman. Matanya kali ini tertuju pada rumah kuning berbentuk segitiga yang ada di ujung halaman. Rumah itu memang berbentuk segitiga, bukan karena dia menganggapnya begitu. Atap rumah itu menjuntai hingga nyaris mencapai permukaan tanah, mungkin itu yang membuat rumah itu memiliki bentuk seperti segitiga sama kaki.

Rumah segitiga itu terbagi jadi tiga lantai. Satu ruangan bawah tanah yang hanya terlihat sedikit dari halaman, terlihat kotak dengan tembok batu-bata tanpa dicat. Lantai dua berbentuk trapesium dengan satu buah pintu, tiga buah jendela berbentuk persegi panjang dan dua jendela lain di tepian tembok berbentuk segitiga siku-siku. Lantai dua ini agak tinggi dan baru bisa dimasuki setelah menaiki lima buah anak tangga. Dia ingat juga pernah terguling di anak tangga itu kala Alessandro menarik rambutnya. Kini matanya tertuju pada lantai tiga rumah itu yang berbentuk segitiga dan loteng berbentuk segitiga sama kaki dengan dua buah jendela persegi panjang yang berjajar di tengah dan dua buah jendela siku-siku di tepinya.

Rumah segitiga itu tertutup rapat. Katanya dia bisa bermain di sana nanti kalau bosan. Namun, Araceli ingin bermain sekarang.

“Papá, apa rumah segitiga bisa dibuka pintunya?” tanyanya ketika papánya berjalan lagi di dekatnya dengan kantong plastik di kedua tangan.

“Tunggu Mamá saja ya!” katanya sambil berlalu pergi.

Araceli mendesah. Mamá pasti tidak akan mengizinkan. Dia menatap rumah itu lagi. Matanya kini tertumbuk pada anak perempuan yang berdiri di samping rumah segitiga. Araceli mengerjap. Seingatnya tadi tidak ada siapa pun di sana. Namun, setelah beberapa kali kedipan sosok itu tidak juga menghilang. Bibirnya mengulum senyuman dan dia langsung melambaikan tangan. Rasanya senang saat menemukan teman di tempat membosankan seperti ini. Apalagi saat gadis itu juga balas melambai dan memberikan tanda agar dia mendekat.

Araceli bangkit berdiri. Dia hanya perlu berlari ke sana dan bermain. Dia baru saja sampai di tengah halaman kala pintu rumah di sampingnya terbuka. Mamá keluar dari sana. Araceli menghentikan langkah dan menatap mamánya.

“Kamu mau ke mana, Reinita?”

“Main, Má.”

“Rumah segitiga belum dibersihkan, besok saja ya!”

“Aku bukan mau ke rumah segitiga, Má, tapi mau main sama teman.”

“Teman? Siapa?” Mamá mengerutkan kening.

“Itu di sana!” Araceli menunjuk lokasi anak perempuan itu semula berada. Anak perempuan itu kini tersenyum padanya.

Mamánya mengikuti pandangan Araceli, lalu kerutan di keningnya bertambah lebih dalam. “Siapa?”

“Enggak tahu,” sahut Araceli sambil mengangkat bahu.

“Kamu masuk dulu deh, Ara,” sahut Mamá sambil menatap nanar ke arah rumah segitiga itu.

“Tapi, Má. Ara mau main sama teman,” rengeknya.

“Nanti ya!”

Mamá tidak mau lagi mendengarkan alasan dan rengekannya kala Araceli ditarik ke gendongan. Dia sempat menoleh untuk menatap anak perempuan yang masih berdiri di sana. Matanya berbinar dan senyuman menyulam bibirnya.  Seorang teman yang sepertinya menyenangkan untuk diajak bermain. Araceli masih menatapnya, matanya tidak berkedip kala bibir anak itu bergerak.

Kita main lagi nanti.

***





<