cover landing

Hostel for Singles

By sweet-stripes

Mataku mengerjap beberapa kali. Membuat kabut yang menutupi penglihatan mulai sirna secara perlahan. Saat wajahnya kembali terlihat jelas, kepalaku spontan menggeleng cepat. Berusaha keras untuk mengenyahkan dugaan apa saja yang sudah Cavero lakukan di belakangku selama ini.

Sekali lagi kutatap wajah lelaki yang biasanya mampu menenangkan, setiap kali aku merasa gelisah. Iris mata sehitam arang itu enggak berkedip sekalipun. Tetapi, aku yakin dia pasti sedang berbohong. Cavero lagi bercanda. Enggak mungkin dia setega itu sama aku. Enggak mungkin.

“Cav, kamu … bohong, kan?” cicitku pelan.

Cavero menghela napas sambil menggeleng mantap. “I know how bad I am. But, please … just accept it, okay?”

Lengan panjang berbalut sweter pemberianku di hari ulang tahunnya tahun lalu, mendarat di pundak kiri dan kanan. Cavero menatapku sungguh-sungguh. Enggak ada kegetiran sedikit pun di sorot mata itu. Justru aku menangkap yang sebaliknya.

“Aku harus pergi sekarang, Bel. Anggap aja tiket konser ini hadiah terakhir dariku. Jaga dirimu baik-baik. Bye.”

Segera setelah mengatakan kalimat perpisahan, Cavero berniat pergi. Namun, aku mencegah dengan meraih siku lelaki yang sudah menjadi kekasihku selama tiga tahun terakhir. Kulemparkan tatapan memelas ketika pandangan kami bertemu. Meminta dengan amat sangat, agar dia menarik semua ucapan menyakitkannya barusan. Tubuhku kini sudah gemetaran hebat. Serasa seperti ada yang mencabik-cabik dan meremas jantungku dari dalam.

Please …,” aku memohon sekali lagi.

Meski butiran bening sudah mulai mengalir deras dari kedua sudut kelopak mataku, Cavero tetap menepis tanpa belas kasih. Dia berjalan cepat, menembus kerumunan penonton yang mulai bergerak maju tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Meninggalkanku sendirian di tengah lautan manusia yang enggak akan menyadari, kalau aku baru saja patah hati.

***

Riuh para penonton terdengar semakin keras. Sambil mengelap wajah yang basah, aku menoleh ke arah sumber suara. Penyanyi favoritku berdiri di sana. Tampil dengan mengenakan gaun selutut bermotif floral dengan rompi berbahan kulit. Dia menyapa, melambaikan tangan dengan penuh keramahan. Membuat senyuman getir terulas di wajah yang pahit. Padahal aku sudah begitu menantikan malam ini. Namun, kini harapanku sudah hancur berkeping-keping.

Alunan musik dengan lirik romantis mengalun perlahan hingga memenuhi gendang telinga. Lagu favorit yang biasanya kunyanyikan sambil memikirkan Cavero, sekarang seakan berbalik mencemoohku yang telah dipermainkan.

 

My favorite part of me is you.

 

Sebaris lirik itu membuatku terbahak dengan air mata yang masih mengalir. Ya, sampai beberapa menit yang lalu Cavero Danendra memang bagian terbaik dari diriku. Aku menyayanginya, sangat. Memang banyak yang bilang, kalau aku kelewat bucin. Bukan mauku juga jatuh cinta begitu dalamnya pada lelaki berengsek itu.

Sungguh. Aku masih enggak percaya sama semua ucapannya tadi. Selama ini dia begitu baik. Cavero enggak pernah bilang enggak, setiap kali aku meminta tolong. Dia juga rela menemaniku terus ketika Mama dan Papa dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan waktu itu.

Kalau memang ternyata dia enggak ikhlas, kenapa enggak bilang dari dulu, sih? Kenapa baru sekarang? Kenapa juga harus selingkuh kalau memang sudah enggak sayang? Kenapa?

Suara tepuk tangan para manusia penikmat musik pop kembali menggelegar. Mengagetkanku yang tengah mempertanyakan banyak hal sampai pening menerpa perlahan. Fokusku teralihkan. Menatap lurus ke arah gadis muda bersuara emas. Petikan gitar mengawali kekosongan.

Hah .…

Ini juga lagu kesukaanku. Biasanya aku selalu bergoyang mengikuti irama. Kini aku malah menangis mendengar alunan musiknya.

 

I don't feel sorry for myself

Care if your hands touch somebody else

Wouldn't get jealous if you're happy

It's okay if you forget me

 

Aku jadi kepikiran. Is it really okay, if he forget me?

Enggaklah! Enak saja!

Tiga tahun aku kasih Cavero kasih sayang dan perhatian. Sekarang dia tinggalkan aku begitu saja. Mana enggak diantar pulang lagi. Memangnya aku jelangkung, apa? Datang tak dijemput, pulang tak diantar! Sialan!

Napasku memburu seiring emosi yang semakin membara. Ini harus aku luapkan. Enggak bisa dibiarkan mengendap sampai konser selesai. Rasa sesaknya mulai menyiksa.

Saat penonton semakin bersemangat, aku putuskan untuk menghela napas selama mungkin, sebelum akhirnya berteriak sekencang-kencangnya.

“DASAR LAKI-LAKI JAHAT! DASAR LAKI-LAKI BERENGSEK! DASAR CAVERO MESUM! AKU SUMPAHIN KAMU MANDUL TERUS ENGGAK PUNYA ANAK! AKU DOAIN KAMU ENGGAK AKAN KETEMU CEWEK SETIA KAYAK AKU LAGI! DASAR CAVERO SIALAN …!” aku berseru sampai tersengal.

Meskipun berulang kali tubuh ini hampir terjatuh akibat terkena senggolan, tapi ajaibnya kaki kurusku tetap menapak lapisan karpet tipis yang melapisi ubin. Makian yang keluar barusan, sudah membantuku melegakan dada. Memang terasa ringan, tapi kayaknya masih kurang.

Aku menarik napas dalam lagi. Bersiap memuntahkan rasa yang masih mengganjal.

“Ya Allah! Kenapa aku dipertemukan sama laki-laki kayak Cavero? Perasaan aku banyak berbuat baik selama ini. Aku enggak pernah jahat sama orang lain. Aku enggak pernah melawan perintah Mama dan Papa, bahkan bohong sama mereka aja enggak pernah. Tapi, kenapa perbuatanku dibalas begini, ya Allah?” teriakku lagi masih penuh emosi.

Bulir keringat jatuh enggak tertahan dari anak-anak rambutku. Mengalir deras melewati alis alami yang belum pernah dicabut sama sekali, hingga tiba di garis rahang yang tirus. Seruan barusan berhasil bikin aku mulai kehabisan napas. Tanganku menumpu pada lutut yang sudah bergetar hebat.

Aku menengadah. Berjuang menarik napas dalam-dalam, supaya aliran oksigen tetap lancar. Sadar akan tumbang dalam waktu dekat, aku mencoba melangkah keluar dari kerumunan.

Butuh usaha ekstra keras, untuk tiba di pagar pembatas. Tanganku terangkat, berniat menepuk pundak seorang perempuan muda yang berada paling dekat. Berharap dia akan mengerti kalau aku sedang membutuhkan bantuan. Namun, belum sempat berucap, tenagaku lebih dulu habis dan pandanganku pun menghitam. Yang muncul di benak hanya ucapan-ucapan menyakitkan dari mulut lelaki yang selama ini kukira tulus menyayangi.

Kamu itu terlalu manja sampai aku muak, Bel. Apa-apa minta tolong. Apa-apa minta ditemenin. Setahun belakangan ini aku bertahan karena kasihan aja. Tadinya aku berniat pertahanin hubungan kita, kalau kamu setuju buat tidur bareng. Tapi, itu juga kamu tolak. Jadi, ya udah. Aku cari cewek lain. Kamu itu nggak asik dijadiin pacar, Bel. Pemikiranmu terlalu kolot.

***

Bau minyak kayu putih yang pekat, berhasil menarikku dari kegelapan. Pusing, itu yang tengah menyiksa sekarang. Hidungku berkedut beberapa kali, sebelum akhirnya membuka mata. Wajah lelaki samar-samar memenuhi pandangan. Makin lama, semakin jelas.

Aku bisa menangkap ekspresi khawatirnya dari jarak dekat. Alis lebat miliknya hampir bertautan. Hidungnya cenderung mancung, tapi melebar di bagian bawah. Dia turunan Arab kali, ya?

Saat tatapan kami bertemu, kepalanya malah maju mendekat. Mungkin maksudnya ingin memastikan aku sudah sadar betulan atau belum, tetapi tetap saja. Baru juga sadar langsung dibuat gugup. Aku mengerjap sekilas, sebelum memalingkan muka ke arah lain. Bermaksud menghindar dari jangkauan mata yang menyelidik.

“Adik? Udah bangun? Mari saya bantu duduk.”

Tanpa menunggu respons balasan, dia mendudukkanku. Kemudian merapikan selimut bermotif kotak-kotak yang menutupi tubuh bagian bawahku sebelum menyodorkan botol air mineral yang sudah terbuka. Tangan kananku terangkat sedikit, tetapi langsung terjatuh begitu saja. Ternyata, tenagaku benar-benar ludes. Memegang botol minuman saja, aku enggak sanggup. Untungnya lelaki ini cepat tanggap. Dia membantuku minum, tanpa membuat risi sama sekali.

Setelah rasa haus hilang, pandangan kuedarkan ke sekeliling. Ada seorang petugas medis perempuan yang sedang sibuk mengeluarkan botol-botol minuman dari dalam kardus di ujung tenda. Juga seorang petugas medis laki-laki, yang enggak berhenti memperhatikanku dari tadi.

“Ini, makan permen dulu, Dik,” ucapnya sembari menjulurkan tangan. Kepalanku otomatis terbuka, untuk menerima pemberiannya.

“Yan, teh manis hangatnya mana?” tanya mas petugas medis ke mbak petugas medis yang satunya.

“Iya. Sebentar, Kak.”

Mbak tadi berdiri dan bergegas keluar tenda. Sementara aku terus mengunyah dalam diam. Rasa pahit di mulut yang semula agak mengganggu, perlahan berganti menjadi rasa manis dan asam.

“Kamu tadi pingsan, terus digotong ke sini. Adik datang sendirian?”

Aku mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Bukannya sombong, tapi posisiku sekarang lagi makan permen. Kalau kata almarhumah Mama, enggak baik bicara sambil mengunyah makanan.

Omong-omong, membicarakan Mama membuatku jadi rindu. Dulu setiap sedih atau kesal, hanya Mama yang jadi tujuan mencurahkan isi hatiku. Mama tahu semuanya. Buatku, beliau seperti sahabat. Sebenarnya ada Hasna juga, sih, tetapi kadang dia suka kelewat heboh menanggapi permasalahanku. Bukannya bikin tenang, malah bikin makin panik.

Lamunanku buyar saat sebuah tangan besar muncul membawa secangkir teh hangat yang asapnya masih mengebul. Kepalaku terangkat. Senyum simpul kuulas, ketika menerima pemberiannya. Mbak tadi juga ada. Enggak mojok kayak sebelumnya.

“Terima kasih banyak, Mas, Mbak,” ucapku tulus pada mereka berdua.

“Sama-sama. Silakan diminum dulu tehnya. Adik santai aja di sini, sampai badannya enakan. Saya tinggal dulu sebentar, ya,” pamit si mas berambut hitam padaku.

Lalu, kepalanya beralih ke rekan kerjanya yang masih berdiri mematung. Dari gelagatnya aku bisa menebak. Kayaknya posisi si mas lebih tinggi daripada si mbak.

“Yan, aku ngecek ke dalam sebentar. Titip Adik ini, ya.”

“Saya aja, Kak. Sekalian mau ke toilet,” balas si gadis berambut panjang. Gara-gara memperhatikan rambutnya, aku jadi teringat sama rambutku sendiri. Buru-buru aku sisir asal, mumpung lagi enggak ada yang melihat.

“Oh. Ya, udah.”

Setelah mendapat izin, Mbak yang dipanggil Yan pergi meninggalkan aku dan mas petugas berkaus polo hitam, yang entah siapa namanya. Kami duduk dalam keheningan. Aku malas berbicara, sementara si mas kayaknya bingung mau bilang apa. Butuh waktu beberapa menit, sampai salah satu dari kami bersuara.

“Maaf, bukannya lancang atau gimana. Tadi … sebelum pingsan, Adik habis menangis? Soalnya waktu saya gotong, muka sama baju Adik basah kuyub semua,” tanyanya hati-hati. “Kita ada persediaan kaus panitia, kalau misalnya Adik mau ganti baju. Takutnya nanti masuk angin,” lanjut si mas sambil tersenyum hangat.

Aku jadi tertawa getir, ketika cuplikan adegan pemutusan hubungan asmaraku tadi, berputar di kepala tanpa dipinta. Tiba-tiba mata kananku gatal. Kayak ada debu yang hinggap. Tanpa ragu aku mengucek-uceknya dengan sebelah tangan. Cukup lama, karena enggak ada yang mencegah. Biasanya Mama yang suka melarang dengan alasan takut mataku iritasi.

Aku meletakkan cangkir beserta alasnya ke meja, supaya bisa mengucek kedua mata secara bersamaan. Gerakan tanganku cepat. Sengaja, supaya mataku enggak jadi mengeluarkan cairan lagi. Setidaknya, cukup untuk malam ini.

“Hei.”

Suara berat itu, kembali memanggil. Kali ini, ditambah dengan sentuhan hangat di pergelangan tangan kananku yang berkeringat. Dia mengambil alih perhatian, lalu mendaratkan tangannya yang lain di pundak kiriku. Membuat mata sembab ini mengarah pada iris mata gelap yang menghanyutkan.

“Sayang … air matanya.” Kukira aku yang dipanggil sayang. “Itu, HP Adik dari tadi bunyi. Mau saya ambilin tasnya?” tawarnya pelan.

Setelah melihatku mengangguk, dia berdiri dan berjalan ke meja kayu panjang yang berada di sisi seberang. Dengan cepat, kusingkirkan air mata yang terjebak di dalam kelopak mata sebelum lelaki itu kembali. Lalu, saat tote bag merah muda sudah tiba di pangkuan, aku mengangkat kepala.

“Terima kasih banyak, Mas. Maaf, aku udah ngerepotin banget,” kataku dengan suara garau. Aku sampai harus berdeham beberapa kali, hingga suaraku balik seperti semula.

It’s okay. Jangan lupa hubungi orang rumah, supaya bisa jemput ke sini.”

“Iya, Mas.”

Bertepatan dengan berakhirnya jawabanku, tiga orang baru menyeruak ke dalam tenda. Mbak Yan yang tadi, muncul di belakang seorang petugas keamanan yang sedang menggendong seorang gadis muda. Kehebohan kilat ini, bikin Mas bersuara merdu meninggalkanku sendirian.

***

Nada emosi yang berasal dari kakak laki-lakiku berhasil membungkam mulut yang sejak awal berusaha mencari-cari alasan. Aku memang enggak bilang ke kakakku kalau mau menonton konser malam ini. Daripada berbohong dengan bilang pergi sama Hasna padahal sama Cavero, mendingan aku enggak bilang sama sekali, bukan?

[Memangnya kamu nggak bisa pulang sendiri pake ojek online?] tanya A Abi dengan suara gusarnya yang menyepelekan.

Please, deh. Kalau enggak pingsan, aku juga bakal pulang sendiri, kok. Kayaknya, ya. Kemungkinan besar, atau malah kecil. Entahlah. Aku pusing.

“Udah malem, Aa. Abel takut pulang sendirian,” rengekku biar dikasihani.

[Hah… Makanya jangan suka nekat pergi sendirian kalau nggak bisa pulang sendiri. Pake acara pingsan, lagi. Mana nggak izin sebelumnya!] Omelan bertubi-tubi dari A Abi membuat kepalaku semakin berat. Aku menunduk, pasrah.

“Iya, A … aku minta maaf. Nggak akan diulang lagi. Janji.”

[Ya, udah. Tempat konsernya di mana, sih?]

“Di Sabuga. Pintu utamanya itu, ya, A. Nanti kabarin kalau udah deket. Biar aku ke depan.”

[Hm,]

“Maka—” Lah, diputus sambungan teleponnya.

Aku menatap layar ponsel dengan mulut menganga, sebelum memasukkan paksa benda tak bersalah itu ke dalam tas. Kakak laki-lakiku itu memang super menyebalkan. Dulu, aku sampai memohon pada Mama dan Papa untuk mengangkat anak lain yang bisa aku jadikan kakak, saking seringnya kami bertengkar. Kalau bukan karena jadi wali dan berperan sebagai pemegang warisan, mungkin dia sudah kuhempas ke Pluto atau galaksi lain sekalian.

“Gimana? Udah jadi minta jemput?”

Aku sampai lupa kalau ada orang lain di tenda ini. “Udah, Mas,” jawabku pendek.

Lelaki yang sekarang duduk di hadapanku tersenyum sambil mengulum bibirnya. Seperti mau tertawa, tapi sekuat tenaga menahan. Pemandangan yang tengah berlangsung, menggelitik rasa ingin tahuku.

“Kenapa ya, Mas? Ada yang aneh?”

Dia menyengir. “Habis dimarahin sama kakaknya, ya? Mukanya sampai cemberut begitu,” tebak si lelaki yang namanya masih misterius.

Hah .…

Setelah dibuat kesal, aku baru sadar. Pasti besok pagi bakal ada kabar buruk menyapa. Semenjak menjadi waliku, A Abi punya hobi baru. Memotong uang jajan setiap kali aku berulah. Cuma aku belum tahu, tingkahku malam ini termasuk fatal atau enggak. Semoga saja enggak.

“Begitulah, Mas. Ngomong-ngomong, konsernya udah mau selesai, ya?”

Aku memalingkan kepala ke sisi tenda yang sedikit terbuka. Rasanya ingin sekali kembali ke dalam, tapi aku takut sendirian.

“Kayaknya sebentar lagi, sih. Adik mau masuk ke dalam, sambil menunggu kakaknya datang?” tawarnya dengan wajah meyakinkan.

Wah, jadi curiga. Jangan-jangan si mas punya kemampuan membaca pikiran. Tahu saja dia isi kepalaku. Namun, bukannya mengangguk kepalaku malah menggeleng.

“Nggak usah, Mas. Aku … hm, mau nunggu di sini aja,” tolakku halus.

“Kalau mau, saya bisa temani, kok.”

Pundakku langsung menegak, setelah mendengar tawarannya. “Seriusan, Mas?”

Kepalanya pun mengangguk, bersamaan dengan uluran tangan yang terarah padaku. Aku meraihnya tanpa ada keraguan. Setidaknya, aku harus menikmati lagu penutup daripada enggak sama sekali. Walaupun tiketnya gratisan, tetap saja harus dimanfaatkan sebaik mungkin, bukan?





<