cover landing

Housemate

By san_hanna

Akhir tahun keempat dan pintu gerbang untuk lulus masih belum terlihat. Menjadi M.A alias Mahasiswi Abadi—bukan Magister Akuntansi, apalagi Mahkamah Agung—adalah cita-cita jangka pendekku. Berapa biaya pendidikan yang sudah keluar bukan urusanku. Kapan lulus pun, belum masuk dalam daftar keinginan. Ini caraku protes. Ini caraku bersuara.

Apa yang kulakukan ini masih nggak seberapa. Bahkan belum ada seujung kuku dari perbuatannya. Aku nggak peduli dengan pendapat orang lain. Mereka selalu memihaknya, membelanya, dan akhirnya menyuruhku untuk mengerti posisinya. Enggak seorang pun yang memintanya untuk melihat dari sudut pandangku. Enggak seorang pun yang berani bilang padanya, agar mau mengerti perasaanku.

Batas antara benar dan salah, rasanya sudah lama lenyap. Jika harus menyebutkan kapan waktunya, mungkin sekitar empat tahun yang lalu. Tepatnya sejak perempuan itu dengan entengnya bilang akan menikahkanku begitu gelar sarjana kudapatkan. Enak saja dia mau memutuskan hidupku. Mungkin dia yang melahirkanku, tapi dia nggak berhak mengatur hidupku.

Sejak saat itu aku mulai merencanakan pemberontakan. Rencana itu semakin sempurna saat aku pindah ke kosan elit yang diberi nama Wisma Harapan atau WH. Harusnya tempat ini ganti nama begitu aku terdaftar jadi penghuni. Wisma Tanpa Harapan, rasanya lebih cocok untuk menamai rumah kos ini. Kehadiranku seolah menegaskan harapan itu memang nggak ada. Miris.

Rumah ini sebenarnya nggak buruk. Paling bagus malahan dari share house atau rumah kontrakan yang ada di sekitar kampus. Katanya, pemilik yayasan−tempat kampusku bernaung−nggak memperbolehkan ada penginapan di sekitar sini, kecuali asrama. Niatnya sih baik, untuk meminimalisir tempat-tempat yang berpotensi disalahgunakan. Namun, semuanya berubah. Terutama sejak asrama jadi terlalu sumpek untuk ditempati. Satu kamar yang berukuran 4x4 meter dihuni empat orang. Belum lagi antrean untuk ke kamar mandi.

Seiring dengan banyaknya mahasiswa yang mendaftar, pelarangan itu diubah. Boleh ada penginapan khusus mahasiswa, tapi dalam bentuk rumah kontrakan. Setiap rumah wajib menyediakan empat sampai sepuluh kamar, dengan sederet peraturan ketat. Termasuk memisahkan kontrakan untuk laki-laki dan perempuan.

WH adalah kontrakan nomor wahid. Selain lokasinya yang strategis, fasilitas yang dimiliki pun terbilang paling lengkap. Jika malas mencuci dan menyetrika baju, tinggal kasih ke penatu. Urusan perut bisa katering. Soal beres-beres apalagi, tinggal suruh, ada Asisten Rumah Tangga (ART) yang siap 24 jam. Dengan mengizinkanku pindah ke sangkar emas ini adalah kesalahan terbesarnya. Dia membangkitkan monster dalam diriku yang selama ini terkekang. Secara nggak langsung tentunya.

Di kampus, aku dan teman-teman di WH sangat terkenal. Enggak ada mahasiswa yang berani bertingkah di depan kami. Meskipun terdiri dari empat gadis, tapi kami terbilang sadis. Bukan kami, tapi tiga temanku. Mereka nggak punya belas kasihan pada orang lain. Melabrak di depan umum adalah senjata ampuh mereka. Aku hanya penonton. Enggak mendukung, tapi juga nggak merelai, karena aku nggak peduli.

Aku suka dengan efek yang mereka ciptakan. Enggak ada seorang pun yang mau berurusan denganku, yang artinya nggak ada orang yang ribet mengatur-atur hidupku. Meskipun masih ada satu orang yang nggak pernah bosan memberi nasihat, tapi lupakan saja! Dia cuma anak kecil yang masih bau kencur.

***

Mood-ku sedang nggak baik hari ini. Selain harus menghadiri mata kuliah yang paling kubenci, aku harus sekelas dengan tiga cewek aneh. Masalahnya, mereka membuatku kesal bahkan tanpa melakukan apa-apa. Sumpah deh! Melihat mereka bertiga saja sudah merusak mood. Mungkin ini hukuman buatku yang menunda-nunda mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia, sampai aku harus bertemu adik tingkat yang menyebalkan.

Siska yang melihat mukaku ditekuk tiga belas, langsung menghibur. Katanya kerutan di wajahku semakin dalam sebelum waktunya dan untuk itu aku butuh mengeluarkan semua energi negatif dari tubuh.

Aku tahu maksudnya. Dia ingin nyanyi sampai gila. Masalahnya, uang kirimanku sudah menipis dan aku nggak mungkin membiarkan Siska yang membayar terus-terusan. Akhirnya aku mendapatkan ide untuk mendapatkan uang segar dengan cepat. Menghubungi perempuan itu. Dengan cepat kuketik pesan singkat dan mengirimkannya.

Aku berhasil membohongi perempuan tua itu untuk ke sekian kali. Enggak ada pertanyaan apa-apa. Entah dia lelah atau aku yang makin lihai berdusta, aku nggak peduli. Yang penting, apa yang kuinginkan sudah di tangan. Senyumku mengembang saat melihat pesan singkat di layar ponsel. Terutama pada angka yang dikreditkan ke rekeningku.

PARTY!” jeritku yang disambut tawa berderai-derai, khas milik Siska.

“Gila lo, Dar! Belum ada satu semester, tapi udah ngibulin nyokap lo tiga kali,” serunya. Cewek itu mengambil tangan kananku dengan kedua tangannya, menunduk, dan mencium dengan takjim. “Panutanqu,” imbuhnya. Tawa kembali meledak. “Gue telepon Boy, ya! Booking tempat.” Siska melipir dengan ponsel menempel di telinga.

Selain Siska, ada Tiwi dan Astri yang menghuni WH. Rumah ini ada enam kamar, tapi penghuninya hanya kami berempat. Dua kamar lainnya dibayar oleh Tiwi. Khusus untuk menyimpan barang-barangnya, atau kamar cadangan untuk ‘teman’ rahasianya yang suka datang seperti jelangkung.

Secara kepribadian dan tetek bengek antara aku dan penghuni lainnya berbeda. Sangat jauh berbeda. Jika aku senang menyendiri, Siska harus dikerumuni. Aku cukup makan dengan satu macam sayur dan satu lauk, Astri wajib empat sehat lima sempurna dalam setiap menunya. Mandi sehari sekali lumrah buatku, apalagi kalau nggak ada kuliah, tapi itu nggak berlaku untuk Tiwi. Dalam sehari dia bisa mandi tiga sampai empat kali. Mungkin dia keturunan dugong, yang harus kena air setiap saat.

Aku masih bingung menentukan baju yang akan dipakai untuk acara nanti sore saat ponselku bunyi. Nama Putri−adikku yang masih bau kencur, bertengger di layar. Kuembuskan napas kasar dari hidung dan mulut. Aku tahu kenapa dia menelepon. Malas rasanya berdebat sama anak sok tua itu.

Akhirnya kugeser juga ikon hijau. “Kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Gue baik, Kak. Mama juga baik,” katanya penuh sindiran. Pedas seperti biasa.

“Terus kenapa telepon?”

“Lo kenapa sih, Kak? Nggak kasihan sama Mama? Mau sampai kapan lo kayak gini, Kak?” intonasi suara Putri naik-turun. Dan yang terakhir terkesan frustasi. Aku nggak mau menjawab. Anak itu pasti sudah bisa menebak jawabannya sendiri. “Liburan nanti lo pulang, kan?”

“Lihat nanti. Takut ada ....”

“Lo nggak akan ambil semester pendek, Kak,” sela Putri, “lo itu cuman ngindarin Mama. Emang lo nggak kangen sama Mama?”

“Udahlah, Put! Gue capek. Itu mulu yang dibahas. Mama nggak bakal kenapa-kenapa kalau gue nggak pulang. Kan ada lo. Anak kesayangannya. Percuma gue pulang juga, kalau perjodohan itu mulu yang dibahas. Kalau Mama emang mau ada pernikahan, kenapa enggak Mama saja yang nikah lagi. Toh Papa juga udah lama nggak ada.”

“KAK!” bentak Putri. Aku cukup kaget mendengarnya. “Lo bener-bener kelewatan. Lo berubah! Gue nggak kenal sama Lo, Kak.”

Aku diam, padahal banyak kata-kata yang berdesakan ingin keluar dari kepala. Aku bungkam, meski ingin menghardiknya balik.

“Jangan sampe lo nyesel belakangan, Kak.”

“Kalau duluan namanya pendaftaran.”

“Terserah.”

Sambungan terputus. Bodohnya, ponsel itu masih kutempelkan di telinga. Aku baru melanjutkan memilih baju, begitu Siska berdiri di ambang pintu.

“Tadi Putri?” tembaknya. Aku mengangguk. “Udah lupain! Bentar lagi kita hepi-hepi. Tiwi sama Astri nanti nyusul.” Lagi-lagi aku mengangguk. “Denger ya, Dar! Masa muda itu cuma sekali. Kita manfaatin sebaik-baiknya. Mending puas-puasin ....”

“Bandelnya sekarang, daripada nanti,” selaku. “Itu, kan, yang mau lo bilang?” kali ini Siska yang mengangguk. “Udah katam gue sama moto hidup lo.”

Siska membusungkan dadanya yang sudah busung dengan bangga. “Anda sudah belajar banyak, Saudari Andara Nur Fatih. Saya nyatakan Anda lulus dengan predikat summa cum laude.”

Kami tertawa. Cewek dengan otak terabsurd itu bisa mengembalikan mood-ku yang nyaris berantakan.





<