cover landing

I Feel Better When I'm with You

By Thierogiara

Seorang gadis bernama Kila memantau beberapa barang yang baru saja turun dari  mobil box yang kemudian dipindahkan ke dalam rumahnya. Hari ini keluarganya memutuskan untuk pindah ke rumah lebih besar yang membuat Kila bersyukur sekaligus kesal. Kila tidak mudah bergaul, yang sudah pasti membuatnya tidak mudah akrab dengan orang lain. Kila langsung menyambut Max—kucing peliharaannya—sesaat setelah kandang kucing tersebut diturunkan dari dalam mobil.

“Max-nya ajak main di samping aja, Kil, kamu nggak usah bantuin apa-apa. Banyak debu soalnya,” ujar Nia—bunda Kila.

Kila mengangguk kemudian membawa Max ke halaman samping, dia sangat menyayangi kuncing berbulu oranye tersebut. Max adalah satu-satunya teman Kila saat tak ada yang mau berteman dengannya. Kila adalah anak tunggal, kedua orang tuanya sama-sama bekerja, kalau tidak ada Max mungkin Kila akan merasa sangat kesepian. Meski kadang menyebalkan ketika Max pup tak di tempatnya dan Kila harus membersihkannya. Namun, rasa cinta Kila pada kucing itu masih tetap mendominasi, sekelas apa pun dirinya.

Tangan Kila bergerak mengelus puncak kepala hingga buntut Max. Kila harap Max akan cepat terbiasa, kucing sering kali merasa stres jika pindah rumah. Semoga tidak berlaku untuk Max karena Kila akan mulai masuk sekolah besok. Kalau Max sampai stres sendirian di rumah, Kila tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Di bawah pohon mangga yang rimbun itu Kila terduduk  sambil mengayunkan kakinya. Ayunan yang berada di samping rumah tampaknya akan menjadi spot favorit Kila. Tak lama terdengar suara yang memanggilnya, “Sayang, lihat kamar kamu dulu sini.” Nia tiba-tiba menyembulkan kepalanya ke jendela samping.

Kila mengangguk, lantas bangkit dari duduknya. Kila melepaskan Max dari gendongannya saat kakinya mulai melangkah memasuki sebuah ruangan yang akan menjadi kamar barunya. Kila lumayan terkesima, sebab kamar dengan nuansa pink tersebut memiliki ruangan yang luas. Kepala Kila langsung membayangkan apa yang akan dia lakukan pada kamar tersebut.

“Suka?” tanya Nia.

Kila lantas mengangguk antusias. “Banget, Bun. Luas. Muat banyak nih barang-barang,” ujar Kila.

“Enggak semuanya di kamar. Piano sama komputer tetap di luar, biar kamu nggak ngurung diri terus-terusan,” terang Nia, sebagai ibu dia tentu ingin yang terbaik.

“Iya, Bun, makasih ya, Bun.” Kila memeluk sang bunda, dia sangat menyayangi wanita itu, wanita yang selalu sabar menghadapinya. Kila hanya pernah melihat bundanya marah saat Kila hampir tertabrak mobil, selebihnya dia hanya dilimpahi dengan kasih sayang.

Nia mencium puncak kepala Kila lantas berkata, “Apa sih yang nggak buat kamu.”

“Kamu maunya ditata gimana ini kamarnya?” tanya Nia lagi begitu melihat beberapa kardus berisi barang tegeletak di lantai kamar.

Kila menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan.

“Kasurnya di situ ya.” Kila menunjuk bagian timur kamarnya. “Terus meja belajar di sana, biar deket sama jendela.” Kini Kila menunjuk bagian barat. Nia mengangguk-angguk mendengarkan.

“Rak buku deket sama meja belajar, sisanya terserah Bunda aja. Tatanan Bunda pasti selalu bagus,” ujar Kila, dia memang bukan tipe anak yang banyak menuntut, namun kedua orang tuanyalah yang selalu berusaha untuk menuruti kebutuhannya. Tentu, mereka mau Kila mendapatkan yang terbaik.

“Oke deh, ya udah keluar lagi sana, di sini masih banyak debu,” suruh Nia. Nia memang menyewa beberapa orang untuk membantu dirinya dan suami melakukan penataan di rumah baru mereka ini.

“Max!!” panggil Kila. Beberapa barang yang belum ditata memenuhi setiap ruangan dalam rumah membuat Kila kesulitan mencari Max. Biasanya Max akan langsung muncul ketika namanya dipanggil.

“Max?!!” panggil Kila sekali lagi. Meski sudah memeriksa di seluruh ruangan, Max tak kunjung manampakkan batang hidungnya, membuat Kila sedikit khawatir.

“Cari apa, Kil?” tanya ayah Kila, Hadi.

“Max, Yah. Lihat nggak?” Tempat lain Max untuk bermanja-manja biasanya adalah ayah Kila, karena bundanya alergi dengan bulu Max yang rontok.

“Tadi sih lari-larian ngejar lebah di samping. Tapi coba cek lagi, kalau nggak ada mungkin dia nyasar di sekitar sini, kamu cari aja sekalian ngelihat-lihat lingkungan baru,” ujar Hadi.

Kila mengangguk, apa yang ayahnya katakan cukup masuk akal. Barangkali Max memang sedang tersesat karena Max memang seringkali penasaran dengan sesuatu. Lingkungan ini adalah lingkungan baru untuknya, dia pasti tak tahu jalan pulang kalau sampai mengejar lebah hingga taman.

 

***

Taman yang sunyi serta langit cerah adalah dua komponen yang pas untuk membuat suasana hati Elang semakin baik. Elang selalu menghabiskan harinya sendirian, dia menyukai keheningan dan membiasakan diri bersahabat baik dengan sepi.

Elang memejamkan matanya menikmati alunan lagu yang mengalun indah dari ponsel miliknya, earphone terpasang di kedua telinganya. Tak akan ada yang berani mengusiknya. Bukan karena Elang tukang marah, namun karena memang Elang dianggap tidak asyik, orang-orang hanya akan membiarkan dirinya menghabiskan waktu sendirian. Di taman selalu ada anak-anak seumurannya bermain basket, namun tak satu pun dari mereka yang akan mengajak Elang turut serta bergabung dengan mereka. Elang tak peduli, dia hanya menjalani semua sebagai mana mestinya. Elang sendiri hanya berusaha untuk nyaman dengan keadaannya saat ini.

Tiba-tiba Elang merasakan sesuatu berbulu menaiki pahanya kemudian menetap di pangkuannya. Perlahan Elang membuka matanya. Seekor kucing berwarna oranye putih duduk nyaman di pangkuan Elang dan membuat Elang terheran-heran. Dari mana asalnya kucing tersebut?

Elang mengayunkan tangannya mengelus kucing itu dari mulai kepala hingga ke ekornya. Bulunya sangat lebat, jenisnya pun mungkin Angora atau Persia, Elang sendiri kurang paham dengan jenis-jenis kucing. Satu yang Elang yakini bahwa kucing tersebut pasti bukan kucing liar.

Sementar Kila terus melangkah sambil sesekali berteriak menyebut nama Max.

“Ya ampun kamu di mana sih, Max.” Kila memegang keningnya pusing, Max tak pernah pergi jauh, Kila sangat takut kucingnya itu kenapa-napa.

Tak mau berputus asa secepat ini, Kila kembali melanjutkan langkahnya. Max harus ditemukan sebelum gelap dan kucing itu benar-benar tak tahu arah jalan pulang.

“Max!!” teriak Kila, mungkin orang akan terganggu. Tapi dia butuh menemukan Max secepatnya, syukur-syukur orang yang mendengar suaranya mau membantu mencari Max.

Kila langsung menyipitkan matanya saat mendapati  ekor panjang melambai-lambai di balik sebuah tubuh yang duduk membelakanginya saat ini. Kila  berusaha untuk meyakinkan dirinya dengan lebih menyipitkan matanya sedalam mungkin agar pandangannya jelas. Perlahan Kila berjalan mendekat, ekor tersebut sangat mirip dengan ekor Max. Namun tentu saja kucing berwarna oranye bukan hanya Max di dunia ini, apalagi dipangkuan orang lain, siapa tahu saja itu memang kucing orang tersebut.

Kila mempercepat langkahnya untuk memastikan. Kila langsung menatap ke arah kucing itu setelah dia berhasil berdiri di depan cowok yang memangku kucing tersebut.

“Max!!” pekiknya yang lantas membuat Max melompat kepelukannya.

“Ya ampun, ke mana aja sih, bikin khawatir aja deh, kamu nggak apa-apa kan?” Kila memeriksa seluruh tubuh Max dan semuanya baik-baik saja. Elang hanya diam menatap Kila yang tampak membolak-balik tubuh kucing yang sebelumnya tiba-tiba masuk ke dalam pangkuannya.

Karena Max lumayan berat, Kila memutuskan untuk duduk di sebelah Elang tanpa melihat sosok yang sudah lebih dulu duduk di sana. Gadis itu masih berusaha mencari hal yang mungkin saja terjadi dengan Max, terluka misalnya.

“Alhamdulillah kamu baik-baik aja, jangan buat aku khawatir terus ya.” Kila mendaratkan sebuah kecupan ke puncak kepala Max, sementara Elang tak peduli dengan itu, dia kembali memasang earphone-nya dan fokus mendengarkan musik.

Sadar kalau dirinya tak sendirian Kila menoleh. “Makasih ya, udah jagain Max,” ucap Kila. Namun cowok di sebelahnya tak merespons.

Kila menarik earphone yang tersumpal di telinga kanan cowok, “Makasih, ya, udah mau jagain Max,” ucap Kila sekali lagi saat Elang menoleh ke arahnya.

“Gue nggak jagain dia,” kata Elang.

“Tapi lo tadi ngelus-ngelus badannya.”

“Dia datang sendiri.” Kemudian Elang kembali memasang earphone yang Kila lepaskan tadi ke telinganya. Sangat datar, Kila tak merasa kalau cowok di sebelahnya tengah berbicara dengan seorang mahluk hidup.

Ekspresinya datar, nada bicanya juga datar, membuat Kila tertegun. Ada apa sebenarnya dengan orang di sebelahnya ini? Aneh sekali, wajahnya memang tampan, tapi Kila juga cantik, minimal dia seharusnya merespons baik Kila kan?

Kila menarik lagi earphone Elang.

“Gue orang baru di kompleks ini, salam kenal ya.” Kila mengulurkan tangannya.

Elang menyambut uluran tangan tersebut. “Elang,” katanya.

“Lo nggak suka kucing ya?” tanya Kila, siapa tahu cowok bernama Elang di sebelahnya itu langsung badmood karena didatangi Max.

“Nggak tau,” jawab Elang membuat Kila tambah bingung.

“Ya udah deh, semoga kita bisa jadi temen ya. Kalau lo lihat kucing ini tolong kabarin gue. Nama kucing ini Max, kucing kesayangan gue.  Rumah gue di blok C nomor dua empat,” terang Kila. Dia mengangkat tubuh Max untuk segera pergi dari sana, meski sudah berbicara panjang lebar Elang hanya membalas Kila dengan anggukan.

Baru beberapa langkah Kila meninggalkan Elang, Max tiba-tiba melompat dari gendongannya mengejar seekor tikus yang berlari melintasi mereka. Sampai akhirnya….

Brukkk!!

“MAX!!!!” Kila berteriak lantang sebab tubuh kucingnya itu terpental jauh dengan cucuran darah. Kila berlari kencang mendekat ke tubuh Max yang sudah terkapar karena ditabrak sebuah motor yang kebetulan melintas.  Elang tentu terusik dengan teriakan Kila barusan, dia bangkit dari duduknya berjalan mendekati beberapa orang yang juga mulai berkumpul tersebut.

Tubuh kucing yang sepuluh menit lalu masih di dalam pangkuannya itu sudah bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Elang hanya diam memerhatikan Kila yang sudah histeris memeluk kucingnya.

“Maaaaaax!!” Kila menggeleng-geleng tak percaya, dia sangat yakin Max mati, namun dia juga tak terima dengan hal itu.

Elang berjongkok di hadapan Kila. “Ayo kita kubur,” ajak Elang.

Kila menggeleng kuat-kuat dengan air mata yang terus mengalir deras.

“Dia udah mati, ayo kita kubur,” ajak Elang lagi.

Kila langsung menatapnya nanar. “Lo nggak punya perasaan banget.” Kila memukul bahu Elang hingga darah Max juga ikut menempel di bajunya.

Setelah mengatakan itu Kila kemudian pingsan sebab tak sanggup melihat keadaan Max yang sudah terbujur. Kila bisa merasakan suhu dingin dari tubuh Max.

Dengan santainya Elang mengambil alih Max dari tangan Kila. “Buka baju lo,” ujar Elang pada orang yang menabrak Max. Sosok laki-laki berumur dua puluhan yang sudah pucat tersebut langsung gelagapan. Dia membuka baju putihnya kemudian menyodorkannya pada Elang. Elang membungkus tubuh Max dengan baju pemuda itu kemudian menyerahkan Max ke padanya.

“Gue gendong dia, kita anter mereka pulang,” ujar Elang. Orang yang menabrak Max itu mengangguk, bagaimanapun dia harus bertanggung jawab.

Elang langsung membopong tubuh Kila lantas berjalan menuju rumah yang alamatnya sudah disebutkan Kila sebelumnya. Beruntung rumah gadis itu tak terlalu jauh dari taman, hingga Elang tak perlu berjalan jauh dengan tubuh Kila di gendongannya.

***

Gundukan tanah tersebut sudah di taburi bunga di atasnya. Seekor kucing yang menjadi sahabat baik Kila terkubur di dalamnya. Setelah sadar dari pingsannya Kila kembali menangis, menangisi kepergian sahabat baiknya. Sementara Elang sama seperti sebelumnya hanya menatap, dia sama sekali tak bisa merasakan apa pun, termasuk kedukaan yang Kila rasakan. Bukankah semua mahluk hidup memang akan mati? Menangis adalah sebuah kesia-siaan, karena bahkan jika air mata mengering sekalipun, yang mati tak akan hidup kembali.

“Ya udah gue pulang dulu,” pamit Elang. Kedua orang tua Kila mengangguk.

Kila memandang nanar punggung Elang, bagaimana bisa ada manusia sedatar itu?

***

 





<