cover landing

I Want to Love You More

By Aditarifa RP

Deby melangkah cepat-cepat sambil tangannya meraup keranjang cucian yang penuh dengan baju kotor. Saat ini pukul setengah enam pagi, dia terlambat bangun. Baginya, dia harus bangun paling telat pukul empat agar bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan baik dan bersiap dengan paripurna ke kantor. 

Deby telah selesai memilah semua baju dan memasukkannya ke dalam mesin cuci saat dia menyadari satu hal.

“Abang! Setelan Abang kemarin mana?” teriaknya pada Abrar, sang suami yang sedang berada di kamar mandi.

“Udah di keranjang cucian!” balas Abrar. Deby memutar bola matanya. Tidak mungkin, karena sekarang keranjang itu sudah kosong dan tidak ada baju kotor Abrar di sana. Sambil menggerutu Deby setengah berlari ke kamar mereka dan menguak pintu.

“Kan, kebiasaan!” omelnya pelan. Di balik pintu yang memang jarang ditutup itu teronggok kemeja, jaket parka dan celana jeans panjang milik Abrar. “Padahal letak keranjang cucian cuma semeter dari sini, kenapa pula pakaiannya disurukkan di belakang pintu gini, sih?” lanjutnya sambil meraup pakaian-pakaian itu.

“Di belakang pintu kamar! Kebiasaan Abang itu harus dihilangkan. Bikin capek tahu nggak?” omelnya saat berpapasan dengan Abrar di depan ruang cuci. Lelaki itu melongo sedetik, lalu nyengir. Badannya yang basah hanya ditutup handuk sebatas pinggang dan mengeluarkan aroma vanilla.

“Abang pakai sabunku, ya?” tanya Deby sambil melirikkan matanya yang sipit. Tangannya sudah selesai menyalakan mesin cuci dan menuang deterjen. Sekarang dia beralih ke ikan yang sudah setengah beku dan siap diolah.

“Punya Abang habis,” jawab Abrar malu-malu. “Belum sempat beli.”

“Ya udah, biar aku beliin sepulang kantor nanti,” ucap Deby tanpa menoleh, sibuk membumbui ikan, mencuci dan menyobek daun kol dan memasukkan semuanya ke dalam kukusan. 

“Nanti Abang beli sambil berangkat ke warung,” ujar Abrar. Deby menggumam singkat sebagai jawaban, sementara tangannya masih sibuk menyiapkan makanan. Dia berusaha menyiapkan sendiri sarapan dan makan siangnya juga Abrar. Menurutnya makanan rumahan lebih sehat dan bersih, apalagi usia Abrar tidak bisa dikatakan muda. Harus pintar-pintar memilih jenis makanan.

“Nanti sore aku dijemput apa nggak?” tanya Deby. 

“Lihat nanti, ya. Kalo warung nggak rame, si Yuda bisa nanganin sendiri, Abang jemput.”

“Ooh. Aku naik motor aja deh kalo gitu.”

Tidak ada jawaban dari Abrar. Lelaki itu sedang memakai baju di kamar. Deby meletakkan nasi merah ke dalam dua buah kotak makan lalu menutupnya dengan tudung saji. Deby lantas bergegas ke kamar mandi. Nanti tinggal meletakkan lauk dan dia siap berangkat.

Deby meringis sebentar melihat piring kotor yang tidak sempat dicuci serta rumah yang belum dipel. Meninggalkan pekerjaan rumah yang belum selesai begini membuat perasaannya tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi. Terlambat bangun tidak ada dalam rencananya. Dia tidak punya plan B untuk hal ini.

Dua puluh menit kemudian semua persiapannya selesai. Deby mengemas bekal makanan Abrar dan miliknya di dua tas berbeda. Menyandang tas kerjanya, lalu menatap cermin untuk memastikan jilbabnya sudah rapi.

“Nanti malam mau dibawakan roti bakar dari warung?” tanya Abrar setelah Deby duduk di atas motornya. Dia sendiri sedang berdiri di depan pagar dan motornya juga telah siap di halaman. Mereka memang sepakat memakai motor saja untuk mobilitas kerja karena lebih simpel. Kalau membutuhkan mobil keduanya memilih memakai taksi daring.

“Boleh, deh. Tapi Abang yang bikin ya, bukan Isti atau Yuda ,” jawab Deby sambil tersenyum. 

“Ok, Baby Deby.” Abrar menyambut uluran tangan Deby yang akan menyalaminya lalu mengecup pipi wanita itu. Membuat wajah Deby memerah seketika.

“Ini di depan pagar, loh. Abang nggak punya malu, ya,” desisnya sambil mengedarkan bola mata ke kanan dan kiri, seakan ada orang yang melihat mereka. Abrar terkekeh senang, lantas meringis saat cubitan Deby mampir di pinggangnya. Dengan sigap disambarnya lagi tangan itu.

Love you, Baby Deby.”

“Iya, sama,” balas Deby. Abrar mencebikkan bibir hingga Deby tertawa kecil.

“Balasnya yang bener kenapa, sih?” ucap lelaki itu dengan nada merajuk.

Deby berdehem kikuk lalu berbisik, “Love you more, Honey Bear.”

Deby tersenyum manis, meremas telapak tangan Abrar singkat lalu memakai helm dan menjalankan motornya. Meninggalkan Abrar yang masih berdiri dengan senyum lebar di wajah. 

I love you the most,” bisik lelaki itu sambil menatap punggung Deby yang mengecil dan menghilang di belokan jalan. Dengan segera dia mendorong kendaraannya keluar, menutup pagar dan menguncinya lalu menyalakan mesin.

Warungnya buka pukul enam pagi dan sekarang sudah pukul tujuh. Tidak masalah sih, selaku owner dia tidak perlu datang tepat waktu karena ada Yuda yang stand by di sana. Tetapi dia harus bergegas, siapa tahu Yuda keteteran menangani pesanan. Abrar menanamkan pikiran positif itu di kepalanya.

 

***

 

“Deby, jadwal audit internal udah masuk ke email, ya,” ujar Sausan dari mejanya. Deby mengangguk sambil mengangkat jempol kanan pada teman yang duduk di sebelahnya itu. Sama sekali tidak mengalihkan pandang dari berkas pembayaran di atas mejanya.

Pagi hari hingga jam sebelas siang adalah saat-saat paling sibuk di departemen akunting. Semua tagihan yang masuk kemarin sore hingga pagi ini harus diselesaikan. Penjurnalan bisa dilakukan siang hari, tetapi pembayaran harus beres sebelum jam makan siang karena para supplier mereka tidak suka menunggu lama.

“San, sini deh. Ada yang missed, nih,” ucap Deby pelan sambil mendorong kursi kerjanya menggunakan kaki ke arah Sausan. “Untuk Mitra Jaya, harusnya ada dua kali panjar, kamu baru motong satu.”

“Hah? Oh iya, salah. Bentar aku revisi.” Sausan menerima berkas dari Deby dan langsung berkutat dengan komputernya. Deby kembali mendorong kursi kerjanya menjauh dan memeriksa berkas lainnya. Posisinya sebagai supervisor mengharuskannya memeriksa semua tagihan sebelum diserahkan ke bagian finance untuk diproses lebih lanjut.

Deby baru saja meregangkan otot-otot lengannya saat sebuah pesan masuk di ponselnya.

Honey Bear 

Hari ini nggak terlalu rame. Abang bawain makanan ke sana mau? Untuk brunch.

Deby tersenyum pada layar ponselnya lalu menghela napas. Beberapa bulan belakangan ini memang dagangan sang suami tidak terlalu ramai. Seringnya beberapa menu bersisa banyak dan Abrar suka membagi-bagikannya ke warga sekitar. Beberapa kali dia ke kantor sang istri dan membawa makanan untuk Deby dan teman-teman kantornya.

Daripada membalas pesan Abrar, Deby lebih memilih meneleponnya langsung. Sementara jemarinya tetap menari di atas keyboard dan matanya memindai pekerjaan.

“Ya, Sayang?” Sapaan Abrar membuat Deby meringis geli tapi senang. Abrar memang mudah mengumbar kata-kata manis. Katanya supaya Deby tahu dengan jelas bagaimana perasaannya. Kontak dengan nama ‘Honey Bear’ itu juga permintaan dari Abrar.

“Ada apa aja di sana?” tanya Deby to the point. Dia bisa merasakan aura Abrar yang agak malu saat menjawab pertanyaannya.

“Bubur ayam sama lontong medan.”

“Bawain masing-masing lima belas ya, Bang. Ada? Aku yang bayar.”

“Eh, jangan lah. Abang memang mau bagiin ke kantor kamu, kok. Abang traktir.”

“Udah, kali ini aku aja. Lain kali baru Abang lagi. Eh, nggak ding. Jangan ada lain kali. Semoga besok-besok dagangannya laris semua, ya.”

“Aamiin,” sahut Abrar sepenuh hati. Untuk beberapa saat hening mengambang di antara mereka sebelum Abrar berdehem. “Deby?”

“Hm?”

“Makasih, ya.”

Deby tersenyum, “Sama-sama.”

I love you.”

“Iya, tahu,” balasnya setengah berbisik. Sementara Sausan yang duduk di sebelahnya melirik penasaran. 

Deby menutup telepon dan menggoreskan paraf di atas berkas kesebelas di mejanya. Kemudian menyerahkan kepada Sausan agar dibawa ke bagian finance. Dua puluh menit kemudian Abrar muncul di pintu ruangan akunting bersama satpam. Tangan mereka menenteng tiga puluh dus berisi bubur ayam dan lontong.

“Siapa yang laper? Makanan nih, gratis!” teriak Deby sambil tertawa semringah. Teman-temannya tentu saja menyambut asupan logistik itu dengan suka cita. 

“Pak, tolong bawain untuk ruangan lain, ya. Sama bagian Bapak ambil juga,” ujar Deby kepada satpam kantornya setelah lima orang staf akunting mengambil bagian mereka. Setelah itu dia menoleh ke arah Abrar. 

“Makasih ya, Bang. Uangnya aku transfer bentar lagi, ya. Masih ada kerjaan,” bisiknya sambil berjinjit dan mendekatkan bibir ke telinga Abrar.

Abrar mengelus kepala istrinya. “Abang yang makasih. Maaf, lagi-lagi ngerepotin kamu.”

“Hm.”

“Maaf mengganggu,” sela Sausan sambil berdiri di antara mereka. “Tapi di sini ada lima orang anak buah Bu Deby. Masih jomblo semua. Tolong jangan bikin baper, Bang Abrar. Kasihanilah kami. Belum ada teman bisik-bisik dan elus-elus.”

Abrar tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala, lantas berpamitan pulang setelah melambai dan mengedipkan sebelah mata pada Deby.

“Udah romantis, cakep, baik lagi. Enak banget sih kamu, Deb. Dapet dimana suami kayak gitu? Kalo masih ada stok aku mau satu.” Sausan menatap kepergian Abrar dengan wajah melamun dan tangan memeluk lengan atas Deby. Sementara Deby memutar mata sambil tersenyum kecil. Sausan tidak tahu saja bagaimana sulitnya belakangan ini menjadi istri Abrar.

***





<