cover landing

Istigfar, Mimi!

By Putri A. Darfia

Rasa kantuk erat menyelimuti menjelang detik-detik terakhir jam mata kuliah Pemrograman. Terlihat dari jendela, langit sudah mulai menjingga. Tetapi dosen berkepala plontos itu masih saja enggan beranjak dari ruangan berpendingin ini. Padahal ini adalah salah satu mata kuliah favorit, tetapi menurutku jadi sangat membosankan karena cara penyampaiannya yang aneh.

Bayangkan, selama tiga jam penuh ia hanya duduk di kursi kebesarannya. Bibir tebalnya terus mengoceh dengan suara datar dan nyaris tak terdengar. Tak heran sebagian mahasiswa pernah ada yang mengatakan ia seperti sedang mendongeng.

“Coba, kamu yang di samping jendela!”

Tiba-tiba mata sipit di balik kacamata itu tertuju ke arahku. Membuat rasa kantuk buyar seketika.

“Saya, Pak?” tanyaku sambil mengarahkan jari telunjuk ke dada.

“Iya, kamu, yang dari tadi ngupil terus!”

Ya ampun! Ternyata dari tadi dia memperhatikanku.

“Enggak usah tengak-tengok! Sebelum keluar, saya mau kamu maju ke depan sini, buatkan satu program menggunakan coding yang sudah saya jelaskan tadi.”

Duh, seriusan nih dosen? Kenapa doi mendadak jadi killer gini?

Tiga puluh lima pasang mata di kelas ini sontak mengarah kepadaku. Degup di dada terasa tak beraturan, telinga pun ikut menghangat. Entah harus mengurai alasan apa agar tubuh ini tak sampai duduk di kursi panas itu. Ah, tapi akan lebih memalukan lagi kalau aku menyerah begitu saja. Gengsi, dong!

Akhirnya, kuputuskan untuk bangkit. Dengan dada membusung dan wajah penuh percaya diri, kulangkahkan kaki bersepatu kets ini menuju satu meja yang berada di depan kelas. Padahal tak ada satu pun materi yang menyangkut di kepala.

Keringat dingin menyembul dari pori-pori. Membuat kacamata keceku melorot beberapa sentimeter. Doraemon, tolong aku!

“Maaf, Pak. Mimi dari tadi mengeluh sakit perut gara-gara dari pagi belum makan. Tuh, lihat, pucat dia.”

Sesosok laki-laki berwajah manis tiba-tiba mengacungkan tangan seolah-olah datang sebagai pahlawan kepagian. Laki-laki yang sedari tadi duduk di sebelahku itu memang the best. Selalu mengerti keadaan sahabatnya ini.

“Terus kenapa enggak kamu kasih makan?” tanya dosen yang bernama Pak Bowo itu.

Seisi ruangan terbahak mendengarnya, tak terkecuali diri ini. Sadar bahwa alasan yang diutarakan Angga memang terdengar konyol.

“Nama kamu … siapa tadi? Mimi? Sok imut!” kata Pak Bowo yang tiba-tiba menoleh ke arahku.

“I-iya, Pak, saya Mimi dan saya memang imut,” jawabku diikuti sorak-sorai teman-teman satu kelas.

“Hah! Memangnya kamu cewek?”

“Cewek jadi-jadian, Pak!”

Belum sempat mulut ini menjawab, salah satu mahasiswa jurusan Teknik Komputer bersuara. Membuat yang lainnya ikut terbahak menyaksikan penderitaanku.

“Saya cewek, Pak. Mau bukti?” kataku diiringi riuh tawa teman-teman.

“Hush! Ngaco kamu! Kali ini kamu lolos. Kalau nanti saya lihat kamu santai-santai seperti tadi, nilai kamu saya kasih D.”

Aku mengangguk dan kembali ke tempat setelah dipersilakan dosen bertubuh tambun tersebut. Tepat pukul 17.00 semua mahasiswa yang berada di kelas lantai tiga ini menghambur keluar.

Thanks, ya, Ngga,” ucapku pada laki-laki berkaus oblong merah yang tadi mengacungkan tangan.

“Iye. Lagian bisa enggak, sih, elo kurangin kebiasaan ngupil lo itu?”

“Enggak bisa. Kalau enggak ngupil gue ngantuk. Kan lebih parah kalau gue kepergok tidur di kelas. Enggak keren, Bro.

Angga mendengkus kasar lalu melaju cepat ke arah tangga. Raut wajahnya mendadak berubah. Aku jadi merasa tidak enak karena ini adalah kesekian kalinya ia menasihatiku atas kebiasaan anehku yang tak kunjung berubah.

Kaki ini berusaha melangkah lebih cepat, mencoba menyejajarkan langkah dengan pemuda yang sudah kukenal selama tujuh semester itu. Selama ini hanya dia yang mau menerima diriku, mulai dari penampilan sampai kebiasaan-kebiasaan konyol yang kupunya.

“Gue juga enggak tau kenapa Pak Bowo mendadak killer kayak tadi. Biasanya kan dia cuek,” jelasku.

Angga menghentikan langkahnya. Alis tebalnya bertaut diiringi bola mata yang mengedar ke langit-langit. “Hmm … iya juga, ya. Apa mungkin doi lagi dapet? Atau … lagi kepepet enggak punya duit buat bayar utang?”

Sejenak kemudian kami terbahak bersama. Semudah itu ia mencair kembali. Ah, elo emang the best, Ngga.

“Kak Mimi!”

Suara perempuan terdengar memanggil saat kakiku baru beberapa langkah menuruni anak tangga. Ketika aku menoleh, sesosok wanita berhijab lebar dan berpakaian serbapanjang berwarna merah marun datang menghampiri.

“Kak Mimi, ya? Kenalkan, saya Annisa.”

Wanita berperawakan kurus itu menjabat tanganku dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada saat berkenalan dengan Angga. Aku masih terperangah. Antara bingung dan senang. Bingung karena tidak sama sekali mengenalnya dan senang bila ternyata begini-begini aku famous juga.

“Bisa ngobrol sebentar?”

Tanpa secuil pun pikiran negatif, aku dan Angga mengikutinya ke pojok bawah tangga yang agak sepi. Padahal kami sudah berniat pergi ke kantin belakang kampus untuk menyantap mendoan hangat Bang Udin.

“Selamat, puisi Kakak berhasil meraih juara satu dalam event Hari Ibu yang diadakan Keputrian LDK Tsurayya beberapa pekan lalu.”

Suasana mendadak hening. Aku terkesima sekaligus tak mengerti. Memang benar menulis adalah kegemaranku, tetapi aku merasa tidak pernah mengirim tulisan ke event lomba mana pun.

“Maksud Mbaknya apa, ya? Puisi? Perasaan saya enggak pernah ikutan lomba, deh. Mbak salah kayaknya.”

“Tapi di dalam puisi itu tertera nama dan kelas Kakak, lho! Lengkap sama jurusannya. Makanya tadi saya bela-belain tanya ke teman-teman Kakak, bagaimana wujud Kakak yang sebenarnya.”

Apa? Wujud? Dikira gue dedemit apa, ya?

“Coba saya lihat puisinya. Masih ada?”

“Ada, dong. Sebentar.”

Gadis berkulit putih itu mengeluarkan gawai dari dalam saku kanannya. Ia lekas membuka aplikasi surat elektronik dan jari lentiknya mulai menari di sana.

“Iya, itu memang puisi saya. Tapi …,” ucapku pelan saat Annisa menunjukkan sebuah pesan masuk berisi puisi yang berjudul Bukan Gombalan Biasa.

“Puisi Kakak, tuh, unik banget. Isinya kata-kata gombal buat seorang ibu yang nyesss dibaca. Kakak fans berat Denny Cagur, ya?”

Dih! Anak ini heboh sendiri. Ia tertawa seperti tak ada beban setelah melontarkan dugaan yang salah terhadapku. Namun, seketika tawanya terhenti saat melihat wajah sinis tanda ketidaksukaanku.

“Sebenarnya saya cuma mau ngomong itu sekalian menginformasikan, pengambilan hadiahnya nanti di acara seminar muslimah. Kakak hadir, ya!”

Hah? Seminar muslimah?

Aku dan Angga saling berpandangan. Kebingungan luar biasa masih berkerumun dalam pikiranku. Spontan kugaruk kepala berambut ikal sepundak ini yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

Sesekali kutatap wajah gadis bermata bulat itu. Khawatir jangan-jangan dia mengidap gangguan jiwa atau stres karena terlalu mengagumiku. Namun, sepertinya tidak mungkin. Dilihat dari mimik wajah dan nada bicaranya sepertinya ia memang sungguh-sungguh. Penampilannya juga bersih, tak menunjukkan bahwa dia orang gila. Lalu siapa sebenarnya yang mengirim puisi itu?

“S-sebentar, Mbak. Maksud Mbak, teman saya ini harus hadir di seminar muslimah gitu?” tanya Angga yang dijawab anggukan mantap oleh Annisa.

Tawa laki-laki berhidung runcing itu pecah, entah apa yang ada di pikirannya. Akan tetapi, ia langsung tertunduk saat melihat ekspresi garang dari wajahku.

“Mbak, yang benar aja. Mbak lihat dong pakaian saya gimana. Emang bisa disebut muslimah? Ngelawak aja, nih, si Mbak!”

“Kak, muslimah itu sebutan untuk wanita yang beragama Islam. Kakak Islam, ‘kan?”

Tanpa sadar pertanyaan itu membuat kepalaku mengangguk perlahan. Sebenarnya aku hanya mencari alasan saja agar tidak menghadiri seminar itu. Apa kata dunia jika seorang Mimi yang kayak gini ikut agenda kemuslimahan?

“Pokoknya wajib hadir, ya, Kak! Soalnya nanti penting untuk dokumentasi. Hadiahnya juga lumayan, bisa buat jajan sama beli kuota.” Gadis manis itu terkekeh sambil kembali menatap benda pipih persegi miliknya. Mataku langsung segar mendengar kata ‘hadiah’.

“Oh iya, saya boleh minta nomor Kakak untuk mengirim info selanjutnya?”

Kami akhirnya bertukar nomor, setelah sebelumnya diri ini merasa seperti tengah dihipnotis. Kemudian gadis itu pamit dan berlalu sambil memasang wajah tanpa dosa. Perlahan ia menghilang dan pergi meninggalkan jutaan tanda tanya.





<