cover landing

Kau dan Kopi di Senja Hari

By Sofi_Sugito

Mungkin karena terlalu sibuk memeriksa laporan implementasi pedoman prosedur kerja organisasi perangkat-perangkat daerah, aku tak sadar bahwa saat ini sudah pukul 15.30. Beberapa anak buahku di Subbagian Ketatalaksanaan sudah pulang sejak lima belas menit lalu. Tinggal aku dan dua staf, serta tentunya Kepala Bagian Organisasi, Bu Raya.

Kupijat pelan daerah antara kedua mata sambil menghela napas. Sejak diangkat sebagai Kepala Subbagian Ketatalaksanaan setahun lalu, pekerjaan yang hinggap padaku mulai banyak. Alih-alih membawa pekerjaan untuk lembur di rumah, jika memang tidak terlalu banyak jumlah yang harus segera diselesaikan, aku lebih memilih segera menuntaskannya di kantor saja.

Bagiku pulang ke rumah adalah untuk istirahat dan melepas penat. Jadi, selama masih bisa menyelesaikan semua kewajiban di kantor, aku tak akan membawa beban itu dalam perjalanan dan saat aktivitasku di rumah.

Setelah menekan tombol Ctrl dan S, aku segera berdiri untuk meregangkan otot. Kulihat pintu ruangan Bu Raya masih separuh terbuka, menandakan bahwa pimpinanku itu masih berada di dalam sana. Sambil tersenyum tipis kumasukkan ponsel, notes, pulpen, dan netbook ke tas kerja yang sudah hampir tujuh tahun menemaniku ini.

Seperti biasa, ketika keluar ruangan, di lobi pasti akan kutemukan Pak Bambang—OB kantor—dan dia akan menyapaku ramah, "Pulang sore lagi, Bu Fara?" Lalu, aku akan menjawab dengan anggukan, serta senyum ala kadarnya.

Suasana Malang setelah hujan terasa lebih dingin karena awan gelap masih menggantung di langit. Kupercepat langkah menuju mobil jenis city car warna merah di parkiran kantor tempatku bekerja selama hampir sepuluh tahun itu.

Omong-omong masalah mobil tersebut, aku baru membelinya sekitar empat tahun lalu. Mobil pertamaku, hatchback warna putih, hancur setelah dengan sengaja kutabrakkan pada mobil milik mantan suamiku. Yah, sebenarnya kalau diperbaiki masih bisa terlihat mulus lagi. Masalahnya, kenangan kelam yang tersisa pada mobil itu membuatku benar-benar muak dan ingin melenyapkannya begitu saja.

Aku menghela napas. Setelah nyaman mengemudikan mobil dengan kecepatan 60 km/jam, melewati jalanan Sukarno-Hatta yang padat, aku memutar radio. Musik jaz dari lagu berjudul Me and Mr. Jones mengalun indah, menemani rintik gerimis yang mulai turun membasahi Bumi Arema.

Aku ikut berdendang, mengikuti alunan nada di lagu milik mendiang Amy Winehouse itu. Suara Amy yang merdu, musiknya yang easy listening, serta suasana senja yang syahdu ini, tak bisa membuatku menolak untuk terus bernyanyi.

Tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di dasbor berdering. Kulihat ada nama "Mama" di layarnya. Segera kutekan tombol kecil di wireless earphone yang sedang kupakai di telinga kanan dan suara Mama dari seberang sambungan langsung bisa kudengar.

"Kamu sudah pulang, Fara? Mampir di The Jeann's lagi?"

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Salat asar sekalian di sana."

"Kok enggak di kantor aja salatnya?"

"Nyaman di musala The Jeann's, Ma. Mukenanya selalu wangi, bersih lagi. Hehe ...."

"Dasar kamu ini! Ya udah, kalau pulang belikan Mama croissant di sana. Sekalian satu Americano, buat Tante Mela."

"Tante Mela di rumah, Ma?" tanyaku, sambil memutar kemudi mendekati kafe kopi langgananku sejak tiga tahun ini.

"Iya. Katanya mau kenalin seseorang—"

"Ogah, ah! Aku tutup teleponnya. Dah, Mama Sayang!"

Setelah sambungan teleponnya kuputus, suara ibuku tak lagi terdengar. Aku mendengkus. Lagi-lagi Tante Mela—adik bungsu ayahku—datang ke rumah bukan untuk sekadar silaturahmi. Dia membawa lagi satu nama untuk dikenalkan padaku.

Masih kuingat jelas, setahun lalu di acara pertunangan Johan—adik sepupuku sekaligus anak tertua Tante Mela. Dengan tenangnya, wanita yang 18 tahun lebih tua dariku itu berkata, "Enggak baik lama-lama menjanda, Far. Usiamu, kan, udah mau kepala empat."

So what? Aku masih terlihat seperti perempuan berusia 25 tahunan, lho! Karena aku sangat mahir memoles wajah dan merawat tubuh. Fitness tiap akhir pekan, pilates tiap dua kali dalam sebulan, tak lupa perawatan lengkap ke salon dua minggu sekali.

Sambil menggerutu, aku keluar dari mobil setelah sampai di depan The Jeann's. Seperti biasa, kafe kopi itu ramai. Rintik gerimis tipis, tak menghalangi pengunjung untuk datang.

Setelah masuk, aku segera menuju ke meja kasir dan memesan satu cangkir vanilla latte hangat dan sepotong keik anggur. Kasir hari ini adalah Diana, mahasiswi tingkat akhir di Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya. Aku mengenalnya meski tidak terlalu akrab, sejak dia mulai bekerja part time sekitar enam bulan lalu.

"Mbak Fara mau duduk di pojok sana, kan?" tanya Diana sambil menghitung total pembayaranku.

Aku mengangguk. "Tapi, aku mau salat dulu, Din. Taruh aja kopi sama keiknya ntar di sana. Oh, atau kutaruh dulu aja kali, ya, tasku di sana. Kopinya cepat datang, kan?"

"Iya, Mbak." Diana mengangguk dengan ekspresi cerah. Setelah membayar, aku segera menuju kursi paling pojok sebelah utara, dekat kaca yang menghadap taman depan kafe. Mungkin karena tempatnya yang agak tersembunyi, beberapa pengunjung kurang menyukainya.

Aku meletakkan tas, jaket, dan duduk di kursi sofa kecil itu dengan nyaman. Ingin menyeruput sebentar vanilla latte yang kupesan, sebelum menuju musala kafe. Belum ada lima menit, seorang pramusaji datang ke mejaku dengan membawa pesanan yang telah kubayar tadi.

"Pesanan atas nama Defara. Vanilla latte hangat dan satu potong keik anggur. Ada tambahan lagi, Mbak?" tanya pramusaji itu.

Aku mendongak dan mendapati seorang lelaki tinggi, tegap, dan berkulit sawo matang dengan wajah manis. "Ah, aku lupa. Tolong sampaikan Diana, pesan croissant satu kotak dan satu Americano take away. Nanti kubayar setelah pulang saja," sahutku.

"Baik, Mbak. Bisa tanda tangan di sini atas pesanan yang sudah lunas dan diterima." lelaki itu lalu menyodorkan kertas struk dan bolpoin di hadapanku. Aku segera menandatanganinya. Setelah itu, dia mengambil dua benda tersebut dan memasukkan bolpoin hitamnya ke saku apron cokelat tuanya.

"Terima kasih." Lelaki tersebut hendak pergi, ketika aku tiba-tiba tertarik untuk memanggilnya.

"Kamu anak baru, ya?" tanyaku tanpa basa-basi. Dia sedikit bingung, tetapi akhirnya mengangguk.

"Baru seminggu lalu, Mbak," jawabnya, membuatku segera ber-oh panjang.

"Dimas, ya?" tanyaku lagi, sambil menunjuk name tag-nya dengan dagu.

Dia tersenyum sambil mengangguk. "Saya permisi dulu, Mbak." Setelah aku mengizinkan dengan anggukan, dia pergi dari hadapanku.

Dimas ... Dimas, hm ... kok sepertinya aku pernah bertemu dia di mana, ya? Aku berpikir sambil menyesap vanilla latte-ku.

Minuman yang merupakan campuran dari brewed coffee, krim, dan sirup vanilla ini segera menyatu dengan lidahku. Aku bisa merasakan keharuman kopi dan lembutnya sirup vanilla, ketika mendekatkan gelas ke mulutku. Aroma khas itu menguar seakan menjadi pelepas penat di sore hari ini.

"Astaga!" Suara seseorang—setelah bunyi cangkir pecah—tiba-tiba terdengar dari kursi di seberangku. Spontan kuarahkan pandangan ke asal suara. Seorang perempuan tak sengaja menjatuhkan cangkir kopinya ke lantai, dan pecah. Dia langsung berdiri dan meminta maaf pada pramusaji lelaki yang datang sambil membawa pel.

"Aduh, bagaimana ini, Mas? Saya ganti rugi berapa? Saya benar-benar tak sengaja!" Perempuan itu terlihat ketakutan. Si pramusaji, yang ternyata adalah Dimas, segera menggeleng.

"Tidak apa-apa, Bu—"

"Tapi ...."

"Tidak apa-apa, Bu. Nanti bilang saja ke Mbak Diana di kasir kalau ada kejadian ini. Bos kami tak akan mempermasalahkan apa pun." Dimas kemudian tersenyum.

"Aduh! Saya benar-benar tidak enak!" Perempuan itu masih terlihat gugup.

Dimas membersihkan lantai dibantu seorang pramusaji lelaki lain yang membersihkan pecahan cangkir. Dimas tetap sabar, berusaha menenangkan perempuan tersebut.

Aku mengerutkan kening. Sambil berdiri hendak menuju musala, otakku terus bekerja keras mengingat sesuatu. Rasanya benar-benar tak asing. Kulirik sekilas vanilla latte di cangkir yang tinggal separuh. Lalu, mendadak jantungku berdebar kencang saat sebuah kenangan tiba-tiba muncul di benakku.

Ya, sore itu. Senja yang mirip dengan hari ini. Saat aku menyesap secangkir vanilla latte di The Jeann's yang kala itu baru dua bulan berdiri. Dia, lelaki yang mengenakan kemeja sedikit basah karena gerimis, masuk ke kafe, memesan cokelat hangat, lalu duduk di seberang tempatku berada.

Dia terlihat tak memedulikan kondisi tubuh dan rambutnya yang setengah basah, justru segera mengeluarkan laptop dan terlihat terburu-buru mengerjakan sesuatu. Ranselnya di sebelah, terlihat terbuka dengan posisi di pinggir sofa. Hampir jatuh.

Aku yang kala itu telah selesai dan hendak pulang ke rumah, bangkit dari tempat duduk dan berjalan melewati lelaki tersebut, saat tiba-tiba satu bendel kertas jatuh dari dalam ranselnya yang terbuka. Tepat di depan kakiku. Dia terkejut, apalagi saat mengetahui aku telah memungut benda yang ternyata adalah draft skripsinya.

Dimas Fariz Abimanyu. Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Begitu yang kubaca di sampul draft. Dengan senyum ramah kukembalikan benda tersebut ke lelaki itu.

"Terima kasih, terima kasih banyak, Mbak. Maaf ... maaf!"

Kala itu, dia mirip sekali dengan perempuan yang baru saja memecahkan cangkir kopi tadi. Kikuk, gugup dan kebingungan karena merasa baru saja melakukan sebuah kecerobohan.

Aku menghela napas. Sambil berjalan menuju musala, kulirik sekali lagi lelaki bernama Dimas tersebut. Dia tersenyum kepada rekan pramusaji yang membantunya, lalu setelah memastikan lantai dan mejanya bersih, keduanya berjalan bersama kembali ke ruang karyawan.

Aku tersenyum tipis. "Sepertinya kamu lupa bahwa ini aku yang waktu itu, Dimas," gumamku pada diri sendiri.

***





<