cover landing

La Venganza

By AT Press Solo

SEBUAH AWAL

 

LALA membuka-buka fail dengan kesal. Pekerjaannya menumpuk sejak pagi dan tidak ada satu pun yang selesai. Rencana ingin resign membuatnya ogah-ogahan. Laporan keuangan inventori departemen-nya harus segera disetor ke bagian Accounting.

Mumpung sepi, Lala mengambil camilan di pantry. Dia menutup jendela Microsoft Excel lalu berganti ke Firefox. Sebuah judul berita utama di halaman website membuat jantungnya hampir copot: Leo Hadiwinata, Pewaris Megah Steel, Ditemukan Tewas dengan Kondisi Mengenaskan. Diperkirakan Bermotif Dendam.

“Kak Leo? Nggak mungkin!” ujar Lala.

Baru beberapa hari lalu Leo datang ke kantornya untuk mengajak makan siang. Sosok Leo yang keren dan perlente selalu menjadi pusat perhatian. Tapi, kenapa tiba-tiba berita ini muncul? Apakah—?


Ini hari yang berat buat Mikhaila Deswita. Suasana kantor sedang terasa seperti ruang hukuman, tidak ada yang tertawa hari ini. Target wajib terpenuhi, terutama dirinya yang harus mulai bertugas membuat laporan keuangan General Affair Department, tempatnya bekerja. Dia satu-satunya perempuan di departemen itu. Manajernya, Pak Heru, lebih sering ke luar ruangan. Katanya hubungan industrial harus sering diperhatikan, karena itu pekerjaan kantor di GA Department menjadi tugas admin, yaitu Mikha.

Satu-satunya hiburan Mikha adalah membaca cerita Agatha Rey, penulis favoritnya di Fingstory, aplikasi membaca cerita berbasis online. Baterai ponselnya mati total. Sudah tiga jam dia membiarkan ponselnya mengisi daya karena membaca di Fingstory bisa lewat komputer. Cerita La Venganza yang baru diunggah membuat mata Mikha terjaga. Dia seperti mengenal karakter-karakter cerita itu.

Agatha Rey dapat ide cerita tegang gini dari mana, ya? Mikha menebak-nebak sumber inspirasi penulis yang tidak pernah muncul di depan publik itu. Beberapa buku Agatha Rey telah diterbitkan dan semuanya bestseller.

“Harusnya aku minta supaya urusan TKA dikerjakan Andi. Ngapain aja dia? Ngurusin soal transportasi dan juga utility kantor? Oke, kantorku emang gede dan ada enam lantai. Tapi kan dia juga bisa bantuin aku dikit-dikit. Apa tiga orang saja di departemenku itu cukup?” Mikha bergumam sambil mengetuk kepalanya yang berambut awut-awutan.

Pembantu umum, itulah sebutan banyak orang yang bekerja di GA Departmen. Mulai dari mengurus purchase order dari berbagai departemen lalu diteruskan ke bagian Purchasing, mengurus dokumen perusahaan, sampai mengatur hal kecil seperti alat tulis kantor. Pekerjaan yang kelihatannya sepele, tapi bisa membuat tensi naik jika tidak dikerjakan dengan teliti.

Mikha kali ini sedang membuat dokumen untuk persiapan pembuatan visa kerja dua orang asing di kantornya. Mereka adalah advisor yang akan bekerja selama tiga bulan di bagian Accounting dan Marketing. Bosnya ingin dua departemen itu mendapat pendidikan langsung dari para ahli.

Meningkatkan penjualan juga soal uang. Itulah yang menjadi perhatian orang-orang, pikir Mikha sembari mengetik dengan wajah cemberut.

Manajer dan rekannya lebih banyak di luar kantor, sedangkan dia terjebak di balik meja dengan tumpukan dokumen yang tidak selesai-selesai. Tiga rak yang dia labeli Dokumen Masuk, Dokumen Proses, dan Dokumen Selesai, seolah tidak mau membuat Mikha santai sejenak. Apalagi jumlah berkas di rak Dokumen Selesai masih sedikit

Nggak kenapa-kenapa, bulan depan aku pasti bisa resign. Mikha membayangkan skenario resign bukan baru kali ini saja. Sejak setahun lalu rencana berhenti itu terpatri di otaknya. Tapi bagaimana bisa Mikha berhenti kalau tidak ada perusahaan baru yang mau menerimanya? Ijazah Sarjana Accounting sama sekali tidak berguna buat Mikha. Dia pun sudah lupa bagaimana cara membuat jurnal keuangan. Untung-untung dirinya bisa lulus. Coba kalau terlambat satu semester lagi, mungkin Mikha akan membawa ijazah SMU selamanya.

It’s life, life is suck but I can be happy if I stay positive. Pikiran Mikha berusaha mengaktifkan sisi positifnya yang makin redup akhir-akhir ini. Mikha mengira jika hidup di Surabaya akan jauh lebih membahagiakan ketimbang tinggal di tempat asalnya, Kota Lawang. Kota yang selalu sejuk itu membuat Mikha merasa malas beraktivitas apalagi bekerja. Lima tahun kuliah di Surabaya, berteman dengan teman-teman yang menyenangkan juga sekaligus membantunya agar bisa lulus, memberikan Mikha banyak ilusi indah.

Nyatanya, tiap kali melamar pekerjaan di berbagai perusahaan, HRD akan melirik ijazah Accounting-nya. Meskipun Mikha melamar posisi customer office hingga resepsionis, pihak perusahaan selalu mewawancarainya untuk posisi Accounting. Nama besar STIE Permana di Surabaya memang diakui sebagai salah satu sekolah tinggi ekonomi terbaik di Indonesia. Sayangnya Mikha masuk ke sana bukan karena pintar, melainkan rektor kampus mahal itu sahabat baik ayahnya.

Telepon di ruangan berbunyi nyaring, membuyarkan lamunan Mikha.

“Hapemu ke mana? Kenapa WhatsApp saya tidak dijawab? Saya kirim gambar kertas yang mau dipakai Departemen Purchasing. Cepat ambil! Dari tadi masih centang satu!” Pak Heru langsung memborbardir Mikha dengan omelan.

“Ba-baik, Pak. Maaf, hape saya sedang di-charge. Akan segera saya cek,” jawab Mikha lalu menutup telepon perlahan. Stresnya kembali muncul.

Setelah ponsel dinyalakan, pesan dari ibunya masuk: Mikha, ayo segera pulang. Kakakmu meninggal. Kamu segera datang ke rumah Ayah. Ibu menyusul.

Mikha membaca berulang kali pesan dari itu. Tangannya gemetar. Riko Anggara, kakaknya tersayang meninggal? Bukankah baru dua hari lalu Riko datang ke kantor untuk mengantarkan lumpia dari Semarang? Kalau seorang Riko Anggara meninggal, pasti berita itu telah tersebar.

Jempol Mikha bergeser ke laman pencarian Google. Judul-judul berita yang muncul membuat jantungnya berderap makin cepat: Riko Anggara, Seorang Pengusaha Muda Berusia 34 Tahun Ditemukan Tewas dengan Luka Sepuluh Tusukan dan Mata Diikat Kain di Mobilnya.

“Nanti kalau waktunya kurasa udah pas, aku bakalan bilang ke kamu, Dik. Sekarang aku mau nyari tahu dulu. Kamu tunggu, ya.” Itulah perkataan terakhir Riko pada Mikha di pertemuan terakhir mereka.

Siang itu Riko mampir ke kantor Mikha pada jam makan siang. Kehadirannya selalu menyedot perhatian, sebab Riko mewarisi kegagahan dan ketampanan ayah mereka dengan sempurna, tidak meninggalkan firasat aneh pada Mikha. Hanya kalimat aneh itu membuat perubahan wajah ceria Riko menjadi murung.

“Emangnya ada apa, Mas? Ada yang salah? Apa Mas Riko bikin masalah lagi sampai Mbak Vonny marah?”

“Hmm, kamu itu tahu apa soal rumah tangga? Yang jelas ini bukan soal Vonny, tapi hal lain. Aku nggak bisa cerita sekarang. Nanti kalau aku udah tahu semua, kamu bakalan kuceritain.”

Mikha melirik jam dinding ruangannya. Masih lima belas menit lagi sampai jam pulang. Dia langsung mematikan komputer dan merapikan berkas-berkas. Tadi dia hanyut pada cerita La Venganza yang karakternya mirip dengannya, ditambah cerita pembunuhan yang membuat Mikha tegang. Sekarang malah kakaknya yang tewas. Ini sungguh kebetulan yang tidak lucu.

Setengah berlari, Mikha menuju ruangan HRD. Manajernya belum datang, maka izin pulang cepat bisa diminta pada manajer HRD.

“Baik, Mikha. Segeralah pulang. Nanti akan saya sampaikan ke Pak Heru. Jangan cemas, kamu harus tenang ya. Hati-hati di jalan,” kata Bu Nia, simpati pada musibah yang dialami Riko.

Mikha memelesat menuju tempat parkir. Air mata mulai menggenang di matanya. Ini jauh lebih kacau dari sekadar mimpi buruk.

***

Mikha sampai di depan rumah mewah berpagar tinggi. Ini rumah yang beberapa tahun tak dikunjungi olehnya. Mikha menarik napas berat. Ada satu orang yang tidak ingin dia temui. Mario Anggara, pemilik Jaya Steel, ayah kandung Mikha. Rumah dengan gaya Eropa dan air mancur di halaman itu terlihat menyeramkan dengan sekumpulan bodyguard kekar. Mario menggunakan pengamanan berlapis di rumahnya. Bahkan Mikha yang dikenal sebagai putri kandung Mario, masih harus diperiksa sekuriti perempuan sebelum masuk halaman utama.

“Nona Mikhaila, silakan masuk. Bapak sedang menunggu.” Seorang pria bertubuh tidak terlalu tinggi namun memiliki kharisma kuat dari lengan penuh tato dan baret bekas luka bertahun-tahun, mengajak Mikha masuk.

“Apa semua sudah berkumpul, Pak Anton? Ibuku masih dalam perjalanan dari Lawang. Mungkin dua jam lagi baru sampai.”

Pak Anton merupakan kepala keamanan di rumah ayah Mikha. Tak ada senyum ramah yang biasa terulas seperti biasa dulu Mikha lihat. “Ibu Vonny, Nyonya dan Bapak, juga keponakan Nona sudah berkumpul semua. Jenazah Tuan Riko mungkin sebentar lagi sampai dari rumah sakit.”

Kaki Mikha enggan masuk ke ruang tamu. Kursi-kursi dan meja ruang tamu telah dipindah berganti karpet merah. Semua asisten rumah tangga berganti pakaian serbahitam. Dada Mikha sesak.

“Tante Mikha!” Kenzo dan Kinza, anak-anak Riko, menghambur ke pelukan Mikha. Bocah-bocah lima tahun itu tidak menangis.

“Papa meninggal. Kata Mama, Papa dibunuh orang jahat. Nanti Bapak Polisi bakal nangkep yang bikin Papa meninggal, Tante,” kata Kenzo polos.

Mikha tidak menyahut. Kedua keponakannya tidak bisa dibohongi. Mereka cerdas dan bisa membaca tanpa mengeja. Akses informasi pasti bisa mereka telusuri tanpa harus menunggu Vonny menjelaskan.

“Baru sampai, Miki?”

Hanya Mario Anggara yang memanggil Mikha dengan nama kecil itu: Miki. Vonny memanggil si kembar, membiarkan ayah dan anak itu berbicara berdua.

“Iya, Yah. Ayah sehat-sehat saja?” Suara Mikha bergetar. Berdiri di depan ayahnya masih membuat dadanya bergemuruh. Amarah masih belum lenyap.

Lintasan kenangan ketika ibunya menangis keras di saat ayahnya menampar atau memukul, perlahan muncul. Ingatan ketika Riko menutup telinga Mikha dan tidur memeluknya tiap kali orang tua mereka bertengkar, masih belum bisa dilupakan.

“Kamu senang atau sedih melihatku begini?”

“Menurut Ayah? Aku kemari buat Mas Riko, bukan buat Ayah. Melihat makin banyak saja bodyguard di luar, apakah kira-kira Ayah tahu siapa yang menghabisi Mas Riko? Mas Riko bukan mati gara-gara Ayah, kan?”

Mata Mario berkedut, mulutnya memaksa diam. Mikha memang mirip dirinya, sama sekali tidak kenal takut menantang orang lain. Suara sirine ambulans memecah keheningan.

“Itu suara ambulans yang membawa Riko,” kata Mario. Suara yang biasanya tegas, kini terdengar parau di telinga Mikha.

“Kali ini apa, Yah? Pasti Ayah tahu siapa yang berani menyentuh pewaris Jaya Steel sampai nekat membunuhnya,” ujar Mikha tak kalah dingin.

Suara sirine makin mendekat. Orang-orang mulai bergerak menuju teras rumah.

“Aku juga belum tahu siapa. Orang itu pasti tidak akan aku maafkan. Kamu tahu ....”

“Tahu apa? Seandainya Mas Riko tidak pernah tinggal di sini, andai Mas Riko memilih untuk menemani Ibu di Lawang, tidak terlibat dengan bisnis Ayah, pasti dia masih hidup. Ini semua salah Ayah!” Mikha menyela omongan Mario. Da tidak sungkan sama sekali.

Jemari Mario terkepal. Perkataan Mikha menusuk tepat di hatinya. Watak Mikha adalah cerminan dirinya. Di saat marah, kalimat yang dilayangkan Mikha sama keras sepertinya.

“Untuk saat ini saja, tahanlah amarahmu. Setelah semuanya selesai, kamu boleh memakiku sepuasmu,” ujar Mario seraya berlalu bersama Vonny, istri Riko.

Mikha tidak mengira jika melihat tubuh kaku Riko akan membuatnya selemas ini. Vonny histeris sampai harus dibopong ke dalam kamar. Kenzo dan Kinza dipeluk Nurma, istri baru ayahnya. Si kembar memang lebih dekat dengan Nurma ketimbang ibu Mikha yang tinggal di Lawang.

Dua orang petugas kepolisian berbincang di teras rumah dengan Pak Anton. “Kami akan minta waktu untuk bertanya-tanya kepada Pak Mario terkait kasus pembunuhan putranya. Jika memungkinkan besok pagi setelah penguburan korban.”

Pak Anton mengiyakan. Katanya Mario siap bekerja sama untuk mengungkap kasus ini.

Bahkan ketika putra tersayangmu tewas, kamu masih bisa bersikap bijak kan, Ayah? Semua ini pasti terhubung denganmu. Laki-laki paling tega itu kamu, Ayah. Seperti waktu itu. Dulu Mas Riko hampir mati gara-gara Ayah.

Mikha masuk ke ruang tamu, menatap peti mati hitam kakaknya. Tangannya mengusap peti itu dengan banjir air mata.

***





<