cover landing

LOVECONOMICS

By MosaicRile

Prolog

JANGAN sampai aku menemuinya dalam keadaan tak bernyawa. Begitu pikiranku mengulang-ulang kalimat tadi sembari memburu sopir agar terus menekan pedal gas tanpa perlu menginjak rem. Ada banyak hal yang membuatku mengumpat seperti pria kesetanan di kabin: mobil mewah yang semena-mena menyabotase ruas jalan, pengemudi motor berengsek yang menyerobot lajur kanan, bahkan ambulans yang menyetop taksi ini supaya mereka lewat lebih dulu. Tidak tahukah bahwa sedan ini pun sedang mengangkutku yang memiliki urgensi untuk ….

Oh, jangan sampai dia juga ikut meninggal.

Baru detik ini aku terjebak dalam ketakberdayaan karena segala kekonyolan yang kuperbuat tanpa berpikir. Aku terlalu panik sampai tidak tahu di mana letak kunci mobil dan berakhir menahan sabar duduk di kendaraan umum. Saking ribut gemuruh yang melanda pikiran, aku malah meninggalkan ponsel yang seharusnya menjadi benda teramat penting supaya bisa tetap tersambung dengannya.

Saat frasa ‘ingin mati’ itu datang melalui suaranya yang menyayat gendang telinga, aku mendapati nada yang teramat putus asa seolah-olah itu akan menjadi pesan terakhir yang singgah di pendengaranku. Dia memutus sambungan sepihak seperti tidak ingin lagi terhubung padaku, pada dunia, pada apa pun juga. Itulah yang melahirkan kegelisahan dalam rongga dada dan aku sekonyong-konyong menuruni gedung bertingkat tempatku bekerja, berharap dia bisa mengendalikan emosinya, setidaknya hingga aku tiba di sana.

Sungguh rasanya ingin memohon agar dia menyadari kalau ada aku di dunianya. Aku yang datang kepadanya dan yang tidak pernah pergi dari sisinya semenjak hari itu. Aku yang masih bersikukuh memukul-mukul dasbor mobil seolah-olah kendaraan ini bisa bergerak lebih cepat barang satu detik saja.

Satu detik untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku berlari menuju lantai teratas gedung rumah sakit usai bertingkah bak pria gila yang menanyakan di mana wanita yang seharusnya ada di kamar pasien nomor 1709. Aku bahkan mengabaikan jenazah yang pasti masih hangat saat ditutupi kain putih dan berjanji akan menyapanya nanti. Tanganku basah sewaktu menyentuh dinding-dinding yang kusinggahi cepat, sepatu pantofel ini terlalu licin untuk melangkahi tiga anak tangga sekaligus, tetapi aku tetap mengejar satu detik itu supaya tidak terlambat.

Aku berharap pintu yang kudobrak tidak membuat wanita itu terkejut dan melakukan apa pun secara impulsif. Jantungku seperti merosot turun ke perut saat melihatnya berdiri di atas permukaan beton yang mengelilingi area rooftop. Aku merana mencari-cari netranya yang dipenuhi gulungan air mata saat menoleh melihatku.

Tapak tanganku terangkat ke atas, terbuka lebar, menandakan maksud agar dia tidak bergerak maju dan menyudahi kehidupannya. Aku pernah berada dalam situasi serupa dan sungguh, betapa ingin kurebut lengannya dari godaan maut.

Waktu sedetik yang sejak tadi kupanggil seakan kabur entah ke mana. Melihat ujung sepatu datarnya sudah berada di tepi terluar, seluruh tulang-tulangku bagai ikut runtuh dari ketinggian ini.

***

Laporan Dusta Terpublikasi

APA yang akan gue ceritakan malam ini adalah kebohongan.

Namun, gue terus meyakinkan diri kalau dusta itu berskala kecil, seenggaknya cukup porsinya buat melindungi gue dari rasa malu. Lagi pula, ingar-bingar di kelab juga bakal menenggelamkan tipuan ini. Ingatan orang-orang akan tersapu dalam satu malam akibat minum bergelas-gelas sampanye, wiski, ataupun brendi Prancis sekelas L’Or de Jean Martell. Harusnya, satu mililiter hoaks nggak bakal semenyakitkan efeknya dibanding mengeluarkan uang masuk sebesar tiga ratus ribu tanpa dapat minuman gratis di dalam nanti.

Tempat yang gue kunjungi ini termasuk upscale club di Jakarta Selatan. Atas nama urusan kantor, gue pernah kemari bersama kolega dan para ekspatriat kalau lagi ada acara tertentu, semisal dapat proyek besar bernilai miliaran dolar, atau sehabis lembur gila-gilaan akhir tahun, atau karena ditraktir auditor eksternal yang mengurusi pemeriksaan laporan keuangan kantor gue, soalnya mereka punya sisa dana yang sudah dianggarkan dalam Out of Pocket Expenses semasa audit. Cuma kalau pergi sendiri seperti sekarang, kok rasanya berat, ya, narik beberapa lembaran merah buat minum-minum cantik yang nggak seberapa lama juga bakal keluar lagi jadi urine?

 “NOMI!”

Kalau nggak mengenal si Selebgram perempuan bertubuh mungil, pasti gue bakal mempertanyakan kualitas perlengkapan audio yang lagi memutar musik cutting-edge bersuara kencang ini. Soalnya panggilan tadi itu dilafalkan dengan melengking dan sanggup bikin pria-pria yang lagi duduk di meja sebelah menoleh. Gue buru-buru menyapa Sischa yang kayaknya menunggu cipika-cipiki sebelum kembali duduk.

Ada dua table yang sudah dipesan terlebih dahulu, sekitaran enam orang duduk di sofa yang letak mejanya berada di ujung kanan dan gue cuma sekadar lambai-lambai tangan buat menyapa, sementara meja gue sekarang posisinya terapit di tengah. Ujung kiri adalah meja para pria tak dikenal tadi.

Agak penasaran sebenarnya sama satu-satunya lelaki yang matanya mengekori langkah gue sampai pantat ini mendarat di sofa sebelah Sischa. Kami sempat bertatapan sebentar, tapi gue melarikan pandang. Tujuan gue datang ke Nightales buat menghadiri pertemuan yang so-called reunion, bukan kenalan dengan lebih banyak orang asing.

Reuni ini isinya sekelompok orang yang lima tahun lalu tergabung dalam organisasi mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Mereka merupakan deretan orang-orang sukses yang langsung kelihatan dari cara berpakaian, atau seandainya punya kesempatan mengenal lebih dekat, pasti tahu kalau sudah mapan dan masuk ke kriteria idaman. Ya, kecuali gue.

Geez, Nomi. Lo makin cantik aja, ya,” puji Tristan.

Barangkali hanya itu satu-satunya pujian yang paling mudah ditemukan dalam diri ini. Gue mengulas senyum buat Tristan. Di usia 27 tahun, orang-orang di sekeliling gue itu masuk golongan kelas atas. Contohnya cowok yang duduk di depan gue. Tristan, lulusan Teknik Sipil, dan nggak perlu bertanya pun, gue yakin kerjaan sebagai kontraktor insinyur sipil sudah stabil. Jangan-jangan sekarang Tristan sudah punya kantor pribadi. 

“Lo jarang banget ikutan ngumpul, kesambet apa?” timpal Orlan.

Kontras dengan Tristan yang berkulit gelap dan kekar, di sebelahnya duduk pria dengan rambut blonde highlights yang dikuncir satu. Wajahnya putih mulus, tipikal lelaki metroseksual yang tahu benar kalau menato area selangka dengan gambar kalajengking bakal bikin wanita melirik dua kali. Sischa kalau hormonnya lagi liar, suka bertanya-tanya sendiri ada tato lain nggak di badan Orlan.

Melalui cerita Sischa dan hasil intip-intip di media sosial, Orlan punya bisnis salon pria dengan sistem waralaba yang belakangan makin menjamur di mal-mal, tarif biaya pangkasnya saja ratusan ribu serta kalau mau potong di sana mesti booking dulu. Orlan ini straight dan dia nggak perlu terlalu berusaha buat narik perhatian, karena dia sendiri punya magnet yang bikin wanita-wanita seksi di kelab ini mondar-mandir buat ngelihatin dia. Tampangnya yang blasteran adalah daya tarik tersendiri.

“Belakangan sibuk, sori,” jawab gue antara nggak enak hati sama nggak tahu harus beralasan apa.

Selagi melihat menu minuman yang tergeletak di atas meja, kedua pria itu mengomentari keributan Sischa di grup obrolan gara-gara gue nggak menanggapi pesan. Sischa baru berhenti membombardir setelah gue sanggupi rayuannya buat datang ke Nightales pada detik-detik terakhir. Kegiatan ini sebenarnya nggak bisa juga dibilang reuni, karena pencetusnya, Sischa atau Orlan, lumayan sering lempar ajakan buat ngumpul-ngumpul.

Biasanya dari sekitar puluhan orang yang bergabung di grup ex-Committee ini, belasan di antaranya masih suka setor muka kalau kebetulan lokasi pertemuannya memungkinkan untuk didatangi. Sekitar empat sampai lima orang membentuk grup lebih kecil karena nyaman dan terbiasa, seperti Sischa, Tristan, Orlan, Meggy, dan gue yang diseret Sischa. Padahal gue termasuk yang paling enggan ikutan hangout. Karena kalau sudah ditanya kabar, berita gue cuma jalan di tempat.

So, coba jelasin lo sibuk apaan, Mi,” pinta Tristan.

Pria itu menyodorkan segelas Ballantine yang baru datang buat gue. Rasanya rich and sweet. Semanis senyum yang gue coba pertahankan di wajah seakan-akan pertanyaan Tristan itu bukan hal susah untuk dijawab.

Then lie starts here.

“Biasalah kerja kantoran. Gue mungkin bakal terus lembur dan nggak bisa sering-sering nongkrong sampai subuh,” jawab gue defensif duluan.

Tristan mengingat-ingat. “Lo masih kerja di perusahaan konstruksi itu, kan?”

“Rekayasa Konstrindo, yes.”

Gue gelisah. Orang-orang yang duduk di sekitar gue meninggalkan kegiatan buat menyambung percakapan tukar kabar ini, kecuali Sischa, yang sempat izin ke meja sebelah buat ikut berswafoto kelompok.

“Lo awet banget ya, Mi, kerja di kantor itu. Sejak lulus, kan?”

Meggy, perempuan kalem dari Jurusan Akuntansi yang sama dengan gue dulu, punya suara yang halus sampai gue perlu menajamkan pendengaran di sela-sela dentum musik. Riasan wajah Meggy nggak berlebihan seperti Sischa. Gaya penampilannya mirip wanita karier yang tersesat di kelab malam. Maksud gue, kemeja putih lengan panjang dipadu rok sepan di bawah lutut, kayak lagi mau meeting di kantoran begitu. Namun, dalam sekali lirik, gue tahu tas mungil berlogo Dior itu adalah keluaran terbaru yang masih hangat dipromosikan selebriti papan atas, seperti Bae Suzy di Instagram-nya.

Setiap kali berjumpa dengan Meggy dari tahun ke tahun, gue yakin nggak hanya aksesorinya saja yang makin berkilau, jenjang kariernya juga. Meggy pernah bilang kalau mau jadi akuntan itu harus totalitas, contohnya kerja di satu dari empat KAP (Kantor Akuntan Publik) terbesar di dunia, dan Meggy memilih PricewaterhouseCoppers sebagai penyokong sumber dananya. Di tahun kelimanya usai berperang dengan lembur sampai bolak-balik menginap di kantor, Meggy menjabat sebagai Manajer Audit.

Kadang-kadang pengalaman Meggy bikin mikir ulang, mungkin gue sudah salah langkah dari awal bekerja sebagai akuntan di perusahaan EPCC (Engineering, Procurement, Construction and Commisioning) berskala besar. Kapan saja, posisi gue bisa tergantikan dengan calon-calon pelamar yang usianya lebih produktif. Perusahaan gue bukan entitas yang terlalu memperhatikan jenjang karier karyawannya yang berjumlah ribuan orang, beda dengan kantornya Meggy.

“Iya, Meg,” ujar gue agak merasa miris. “Lo sendiri gimana? Udah jadi Business Partner, dong, di sana?”

Harusnya gue nggak nanya saja.

Meggy terkikik pelan sembari mengibaskan tangan. “Nggak mungkinlah, Mi. Gue perlu banting tulang belasan tahun dulu kali buat mencapai posisi itu. At least, udah ada ancang-ancang sih dari atasan gue soal promosi jadi Senior Manager Auditor. Lo gimana? Jangan-jangan udah jadi Head of Finance juga, nih. Kantor lo itu gede banget, kan?”

 “Hah? Apa? Nomi! Lo dipromosi kok nggak bilang-bilang!” sembur Sischa yang tahu-tahu sudah balik duduk di samping gue.

Serius. Seseorang harus menahan cara bicara Sischa yang heboh itu. Tristan memandangi gue penasaran, sedangkan Orlan duduk santai mengunyah vegetable samosa, tetapi juga sambil menunggu jawaban. Sementara, ingatan gue terdesak ke belakang, ke peristiwa yang membuat gue uring-uringan sampai nggak memedulikan pesan Sischa.

Ini gara-gara sebuah surat yang gue terima dari bagian HRD, lalu diikuti dengan panggilan Bos supaya gue duduk di dalam ruangannya, mendengarkan pria buntal itu membicarakan topik loyalitas dan perasaan nggak rela melihat ruang Departemen Keuangan tanpa gue. Tadi siang, gue nggak punya tenaga untuk menanyakan alasan yang jelas selain menerima isu perusahaan hendak berganti kepemilikan.

Memang ada beberapa karyawan yang diterminasi, tetapi mereka itu karyawan kontrak dan berasal dari departemen lain. Divisi Keuangan biasanya akan menjadi tonggak terakhir perusahaan kalau akan bangkrut, atau, ya, seperti yang disampaikan bos gue, ganti manajemen. Masalahnya, gue sudah bekerja lima tahun dan punya posisi permanen. Gue berdedikasi penuh untuk perusahaan itu, nggak terhitung banyaknya pengorbanan waktu yang gue sisihkan.

Sayang saja protes ini berlangsung di dalam hati dan gue hanya bisa mengiakan penghiburan si Bos yang berkata dengan wajah semringah:

Tenang, Nomi. Lo bakal dapat uang pesangon, uang penghargaan dan penggantian hak, bahkan uang pisah. Gaji kotor lo kan sekitar delapan juta lebih, lumayan jugalah perhitungan perkaliannya. Perusahaan lain belum tentu ngasih uang pisah buat karyawan yang diterminasi, lho.

Namun, siapa yang akan dengan bangganya bilang dapat uang pesangon akibat di-PHK, lebih-lebih di umur yang bukan kategori usia pensiunan? Memang nggak apa-apa kalau pensiun dini, tapi dengan catatan harus punya penghasilan pasif. Problem-nya, satu-satunya sumber penghasilan gue hanya dari gaji.

Demi Dewa Ponos, siapa yang tahu alasan sesungguhnya di balik pemberhentian status karyawan gue? Bos memang nggak pernah mengeluh soal cara kerja gue, tapi itu bukan jaminan yang bisa bikin feeling at ease kalau kinerja gue baik-baik saja. Walaupun benar ada pergantian manajemen, para orang penting yang duduk di level lebih tinggi pasti akan mempertimbangkan kemampuan karyawan-karyawan yang mau dipertahankan, or I just too sensitive?

Gue jadi dibayangi keresahan buat mulai mencari pekerjaan baru dengan pesaing yang makin kompeten di bidangnya. Apalagi berbekal resume pengalaman lima tahun dengan jabatan yang sama.

I’m jobless and almost thirty.

“Mi! Kok malah bengong, sih! Takut ya dipajakin sama kita-kita?” Alis Sischa bergerak naik turun, sedangkan Orlan tergelak di seberang sana karena gue melongo.

“Nanti ya, kalau sudah ada kabar pasti.”

Sekalipun gue berencana buat nggak jujur, gue juga nggak pengin meneguhkan opini mereka. Makanya gue cari jawaban yang setengah-setengah. Namun, bukan Sischa namanya kalau diam saja begitu nggak menemukan kepastian.

“Lo naik pangkat jadi apa emangnya, Mi? Posisi lo terakhir Finance apa, sih? Supervisor, ya?” todong Sischa.

Sischa mandang gue terlalu tinggi kayaknya. Gue meringis, “Masih executive gue, Cha. Kabarnya sih bakal dipertimbangin buat jadi Finance Supervisor gitu ….”

Nggak hanya perusahaan gue yang nama depannya ‘Rekayasa’, sekarang gue juga mulai mengada-ada.

Oh, my goodness! Congratulation, Honey!” seru Sischa pakai acara meluk-meluk gue, padahal tadi gue bilangnya cukup jelas, masih pertimbangan.

Cheers to Nomi!” tambah Tristan bersemangat.

Gue mengangkat gelas terpaksa. Nggak enak rasanya merayakan hari pemberhentian kerja dengan imajinasi bakal naik pangkat. Lebih nggak enak lagi kalau Sischa nanti benar-benar minta traktiran dari uang pesangon gue. Sedih, gue meneguk wiski lebih cepat dari biasanya.

“Itu cincin tunangan, Mi?”

Orlan yang sejak tadi hanya jadi pendengar sambil sesekali menggoyangkan kepala mengikuti irama, tiba-tiba matanya berubah jeli. Mungkin cincin di jari manis gue ini terlihat sewaktu mengangkat gelas.

“Gila lo mah! Sekalinya datang ngumpul-ngumpul, kabar lo jadi numpuk gini,” sergah Sischa. Ucapannya melambat, “Akhirnya Aksen ngelamar lo juga, Mi?”

Gue mendesah.

A lie is truly like a snowball, the longer it is rolled, the bigger it becomes.

“Masih sama Aksen?” tanya Tristan tercengang. “Langgeng, ya? Lo ternyata setia juga orangnya, sama kerjaan dan sama hubungan,” kekeh pria itu.

Kalau mau dibilang hidup gue lurus-lurus saja, ya, benar. Gue bukan orang yang suka dengan perubahan atau mungkin ekstremnya, gue perlu berusaha keras menghadapi perubahan seandainya itu terjadi dalam kehidupan gue. Sampai detik ini, gue nggak pernah punya pikiran untuk pindah perusahaan demi bisa melompati jenjang karier. Bahkan gue berusaha berdamai dengan kenaikan gaji di kantor yang mengikuti perhitungan Laporan Aktuaria, sekitar lima sampai delapan persen penambahan dari gaji kotor tiap tahunnya. Sedangkan untuk masalah pasangan hidup, gue memang setia kepada satu orang, yang mereka sebut-sebut dengan nama Aksen.

Senyum terpaksa sama tulus pasti terlihat perbedaannya. Mumpung lampu di sini kelap-kelip, harusnya nggak ada yang tahu jenis senyum gue sekarang. Gue membenarkan ucapan Tristan tentang kesetiaan gue, sekaligus menyungguhkan pertanyaan Sischa.

“Wah, kapan rencana nikahnya?” tanya Meggy antusias dengan mata berbinar-binar, lalu menopang dagu.

“Tahun depan kayaknya,” tutur gue ragu-ragu.

That was another lie.

***

Catatan Penulis

Dear, Love!

Selamat datang di LOVECONOMICS karya @mosaicrile. Senang sekali bisa bertemu dengan teman-teman pembaca di aplikasi/situs Cabaca.id. Sebagai perkenalan, LOVECONOMICS adalah karya yang meraih Juara 1 dalam Kontes Adulting Tales yang diselenggarakan oleh Cabaca. Setelah melalui berbagai proses di balik layar, akhirnya novel ini bisa dipersembahkan kepada kamu yang sengaja maupun tanpa sengaja menemukan LOVECONOMICS di platform ini.

Pastikan kamu sudah mengetuk ikon langganan di sudut kanan atas pada detail buku LOVECONOMICS agar menjadi orang pertama yang mendapatkan informasi bab terbaru. Jangan lupa memberi dukunganmu dengan menekan tombol “suka”, mengetik tanggapanmu di kolom komentar, ataupun merekomendasikan novel ini ke teman-teman lainnya. Banyak bonus kerang yang bisa diklaim jika kamu melakukan hal-hal di atas, lho.

Semoga LOVECONOMICS menjadi sahabat bacaanmu yang selalu dinanti, ya.

Selagi menunggu bab terbaru diunggah, kamu bisa membaca karya lain dari MosaicRile dengan mengunjungi tautan www.mosaicrile.com/writer.

So, bagaimana pendapatmu sesudah membaca Bab 1 dari LOVECONOMICS?





<