cover landing

Me & Cincin Saturnus

By ravistara

Pinggul itu bagai kurva yang dibentuk mahakarya. Pemiliknya pasti seorang peri yang tidak menjejak bumi. Sedangkan dirinya? Hela napas kecewa mengembun dari mulut seorang gadis lantas memburamkan kaca. Tangannya turun menyusuri lingkar pinggang yang bermakna pusat jagat raya baginya. Jagat raya yang didiami oleh sebuah planet bernama Saturnus, lengkap dengan sebuah cincin pembawa malapetaka.

Lingkar itu. Cincin Saturnus.

“Apa, sih, yang kaulihat?!” Zu mendesis gusar pada cermin di hadapannya.

“Dirimu”. Cermin itu menjawab. Ingin Zu cabik-cabik rasanya bayangan yang memantul di dalam sana, tetapi ia seolah terkena gendam, tak kuasa melawan, dan terus mengamati lekat siluet diri. Zu memuja sekaligus membenci. Ia antukkan kepala pelan dan mencoba menepis bayangan yang terus menari pada bola mata. Akan tetapi, cermin itu senantiasa mendengungkan mantra pemanggil jiwa.

“Lihat aku, lihat aku, lihat aku.”

Cincin Saturnus itu. Zu kembali menyusuri area itu dan menggosoknya penuh rasa benci.

Ranjang berdebum ketika ia menghempaskan diri dengan kasar di atasnya. Zu memanjangkan tubuh dan lengan untuk meraih sebuah benda dari nakas dengan malas. Gadis itu kembali berguling dan merebahkan tubuh terlentang sambil mengangkat lengan memegang gawai di atas kepala. Ia lalu membuka kunci alat komunikasi itu dan foto seorang “Barbie” langsung terpampang sebagai wallpaper. Tak perlu Zu sebutkan siapa namanya, tetapi si “Barbie Hidup” ini sangat terkenal di seantero dunia, terutama komunitas cosplay, aktivitas yang sedang ia gandrungi sejak tahun ajaran baru di kelas sepuluh.

Ya, Zu adalah seorang cosplayer dan jam terbang kegiatannya sudah cukup tinggi; hampir setiap minggu ikut festival. Tidak heran kalau pada akhirnya Zu mengenal si Perfect Beauty yang sekarang menjadi standar emasnya. Ia berharap dirinyalah yang menjadi si Perfect Beauty itu sekarang.

Zu memandang cermin rias di hadapannya. Kali ini, ia sedang tidak berada di dalam kamar, tetapi ruang ganti yang terletak di belakang panggung. Sendirian. Sementara, hiruk-pikuk acara di luar terdengar sampai ke dalam. Pemilik sebuah water park mengadakan festival cosplay untuk merayakan anniversary wahana rekreasi mereka dan tentu saja ia tidak mau ketinggalan turut serta. 

Awalnya, Zu menyisih ke belakang panggung hanya untuk membenahi posisi wignya yang agak berantakan. Namun, inilah yang lantas terjadi. Cermin di hadapannya memanggil hingga Zu kembali melamunkan pikirannya malam tadi. Bahkan, ia tidak sadar seseorang tengah mendekat di belakang. Ia berbalik tiba-tiba dan menabrak orang itu dengan keras.

Ups! Nyaris saja Zu mencium lantai andai orang itu tidak sigap menangkap tubuhnya. Juna. Mata mereka membeku bertatapan sesaat, hingga akhirnya Zu menyadari sisi perutnya tengah dicekal erat oleh cowok itu. Gelagapan, Zu berusaha bertopang di bahu cowok itu untuk memulihkan keseimbangan. Namun, Juna belum juga menyingkirkan tangannya dari sana. Juna cuma berkedip sekali lantas tersenyum serbasalah. “Maaf … perutmu ….”

Seketika hati Zu diterpa gelombang hebat. Tanpa ucapan terima kasih, Zu membebaskan diri. Menghambur keluar ruang ganti untuk menghindar secepat mungkin dari cowok itu. Tidak ia hiraukan ketika Juna berusaha memanggil namanya. Tidak! Zu tidak percaya ia telah membuat kecerobohan separah tadi. Juna menyentuh perutnya. Ia serasa tidak punya muka lagi. 

***

“Zu, kamu ke mana aja? Tadi Juna nyari kamu, lo!”

Baru saja ia kembali ke area sekitar kolam renang yang menjadi tempat utama acara, Nayla langsung mencecarnya dengan sebuah pertanyaan mengusik. Ia baru saja bertemu Juna di belakang panggung dan Zu tidak ingin membicarakannya.

“Kok kamu malah murung begitu, sih, ditanya, Zu?” Nayla mengusik lamunan Zu yang berkelana ke awang-awang. Padahal, mereka masih ada dalam acara festival. Gadis itu segera menyembunyikan raut wajah tertekuknya dan memasang ekspresi paling datar yang mampu ia buat. Zu berharap keramaian festival menyamarkan ekspresi bermasalahnya dengan sempurna. Namun, terlambat. Nayla sudah telanjur melihatnya.

“Kamu kenapa?” tanya Nayla heran.

“Enggak apa-apa, aku cuma—“ Growwwl. Tiba-tiba perut Zu berbunyi.

“Haha. Lapar? Pantesan ….” Nayla tergelak geli. Wajah Zu memerah. Kata-kata Nayla memang betul. Saking laparnya, ia tidak sanggup untuk ikut tertawa. Nayla gagal menangkap bagian yang ini.

“Cari makan dulu, yuk!” Mata Nayla menjelajah menyusuri gerai-gerai makanan yang tersebar di spot acara. Zu menggeleng menjawab ajakan Nayla. Nah, sahabatnya mulai merasa heran.

“Perutmu berbunyi sekencang itu, lo, Zu. Kamu gak bawa uang jajan?” selidik Nayla prihatin.

“Aku … lagi puasa, Nay.” Zu berbohong. Oh, pantas saja. Nayla berdecak.

“Gak usah memelas gitu, kali. Wajahmu kayak gak ikhlas aja, Zu.”

Zu menggigit geraham gusar. Kalau punya penampilan sempurna seperti Nayla dalam chara Sinon sekarang, tentu ia tidak perlu khawatir memikirkan soal makan. Sampai kapan pun, ia tidak akan bisa memerankan chara itu karena tubuhnya tidak se-oke Nayla. Sebab gelambir di perut, tentu saja. Huh, nyesek.

“Hei!” Mendadak Juna muncul menyapa mereka. Speak of the devil.

Hai!” Nayla mengangguk sekali, khas Japanese. Sementara, Zu segera terdiam seribu bahasa. Tidak disangka, Juna malah menghampirinya ke sini. Seketika hatinya kebat-kebit tidak keruan mengingat kejadian di ruang ganti.

“Shizu-chandaijoubu desu ka?” tanya Juna pada Zu yang hanya terdiam. Zu gelagapan mendapat pertanyaan apakah dirinya baik-baik saja—sebuah bentuk perhatian, apalagi dipanggil dengan nama itu oleh Juna. Berdebar-debar rasanya. Tubuh dan pikirannya seakan tidak bersinkronisasi dengan wajar. Ia tidak tahu apakah penyebabnya gara-gara keberadaan cowok itu ataukah efek samping dari dietnya yang mulai mengkhawatirkan.

“Cieee, aku jadi obat nyamuk, nih.” Nayla menyindir. “Aku tinggal cari makan dulu, ya, Zu.”

“Nay!”

Zu buru-buru menggamit lengan sahabatnya agar tidak pergi meninggalkannya berdua saja dengan Juna. Nayla pun memutar kedua bola matanya gemas.

“Jangan tinggain aku sendiri, dong!” pinta Zu panik.

“Kan ada Juna.”

Zu melirik sekilas pada Juna. Cowok itu tampaknya mulai sadar kehadiran dirinya terasa mengganggu. Meskipun begitu, Juna juga tidak beranjak pergi.

“Kalian di sini aja? Gak jadi pergi?”

“Ya udahlah, nemenin Zu puasa,” jawab Nayla mengalah sambil berpura-pura mengucek kedua matanya dengan imut dan mencebik lucu. Zu pun merutuk karena cuma dirinya yang tersiksa di tengah situasi ini. Rasanya … Zu ingin membenturkan kepala ke dinding atau menceburkan diri ke kolam renang. Beragam emosi bermain di benaknya, amat melelahkan. Ia capek … lahir batin.

“Zu?” panggil Nayla heran ketika menyadari pertanyaan dari Juna sebelumnya ternyata beralasan. “Kamu betul enggak apa-apa? Wajahmu pucat, lo! Mau dibatalin aja puasanya?”

“Aku enggak apa-apa, kok.” Zu berbohong. Padahal, kakinya terasa lemas dan tubuhnya agak gemetar.

“Kalau kamu kenapa-kenapa, Kirito-kun nanti gak punya adek buat photo session!” celetuk Nayla makin menambah runyam perasaan gadis itu.

“Wah, kayaknya si Leafa ngambek, Senpai!” Nayla meledek sekaligus menggoda. Kontan Zu bersemu merah pipinya.

“Duh!” Juna meringis dan menggaruk bagian belakang kepala. Mungkin berpikir bahwa itulah penyebab gadis itu bersikap aneh hari ini.

Ah, peran Zu kali ini memang cuma sebagai Leafa, adik angkatnya Kirito yang diperankan oleh Juna. Kenapa tidak sekalian saja cowok itu kemarin mengusulkan dia menjadi Asuna, pasangannya? Juna malah memilih Debby, anak dari kelas sebelah. Pasti gara-gara tubuhnya, pikir Zu kecewa. Sama seperti Nayla, Debby bertubuh ramping dan semampai, sangat cocok dengan karakter yang mereka bawakan. Lagi-lagi, perfect beauty yang menang di sini.

Untunglah Juna tidak perlu berlama-lama bersama mereka karena kemudian terdengar sebuah pengumuman dari MC. Juna akan tampil sebentar lagi dan disuruh bersiap di sisi panggung.

“Zu, kamu kenapa, sih? Hari ini, kok, tetiba jadi tsundere? Nayla menyenggol bahu sahabatnya. Ketus sekali karena Zu hanya bersikap dingin dan tidak memberikan dukungan pada Juna sebelum naik panggung.

“Udah kubilang, kan, Nay. Aku puasa!” Zu mengemukakan alasan pamungkas. Nayla hanya bisa berdecak. Puasa-puasa tetapi marah juga. Ia pun malas berdebat, lantas menarik Zu mendekat ke arah panggung agar bisa melihat penampilan Juna lebih jelas. Kemudian, gadis itu kembali berdecak. Gawainya malah sekarat kehabisan baterai. Padahal, ia sudah siap mengabadikan pentas live di atas panggung.

“Pinjam HP, Zu! HP-ku mati, nih.”

“HP-ku juga sekarat!” Buru-buru Zu menimpali. Tidak ia pedulikan raut kekecewaan di wajah Nayla. Ia tidak mungkin meminjamkan gawai sekarang pada sahabatnya, nanti rahasianya ketahuan. Zu langsung menyembunyikan gawai di belakang punggung.

“Yah, padahal aku cuma mau motret Juna.” Nayla menyengir berbisik. Wig baby blue sebahu pada kedua sisi wajahnya turut bergoyang lucu seiring gerakan kepalanya yang penuh semangat mengikuti iringan musik yang mengalun dari dua pengeras suara di sisi panggung.

“Juna sedang perform, tuh! Masa kamu gak mau foto-foto?” Nayla sekali lagi mengerling melontarkan sebuah kalimat penuh godaan. Zu segera menulikan telinga. Meski seribu Juna meminta diabadikan dalam kamera, ia tidak akan pernah meminjamkan Nayla gawai. Berbanding terbalik dengan sikap cueknya, Zu diam-diam mencuri pandang ke arah panggung di antara kerumunan penonton yang membludak, berusaha menikmati momen yang ia tunggu-tunggu dalam acara festival hari ini. Pertunjukan Juna.

Untuk sejenak, Zu bagai terhipnotis oleh penampilan seorang cowok dalam kostum serba hitam yang memukau. Namun, ketakjubannya tidak berlangsung lama. Seorang cewek cosplayer kemudian naik bergabung ke atas panggung. Tubuh ideal semampai dengan penampilan sempurna, nyaris tidak kalah dengan sang “Barbie” yang ia kagumi. Sungguh pantas tampil berdampingan dengan Juna.

Zu merasa terancam. Ia merengkuh Cincin Saturnus di balik kostum yang ia kenakan.

***





<