cover landing

Mengejar Mega

By Franciarie

Ini hari kebebasanku!

Pria yang duduk di sampingku menatapku dengan senyum tipis. Dulu, aku bakal menggelinjang tiap melihat senyum itu, tapi sekarang melihatnya muak banget. Aku lega nggak harus melihat senyum itu setiap hari lagi. Kayaknya aku perlu bikin syukuran tujuh hari tujuh malam buat merayakan ini, sekalian buang sial.

Eh, nggak jadi!

Aku lupa kalau nggak punya uang buat foya-foya lagi. Mungkin nanti aku bisa bikin pesta kecil-kecilan dengan potongan brownies yang dijual di warung seharga dua ribuan. Nggak usah lihat harga makanannya, yang penting niatnya, kan?

Kami berdiri saling berhadapan, mengabaikan berisiknya orang-orang di sekitar. Hakim yang menyetujui permohonan perceraianku sudah meninggalkan ruangan. Pengacara kami juga memilih menunggu di luar ruang sidang. Aku yakin mereka sudah lega berhasil menyelesaikan tugas dan sebentar lagi menerima pelunasan pembayaran dari kami. Kesengsaraan hidupku ternyata bisa menjadi sumber penghasilan bagi orang lain.

Dalam sekejap ruangan ini sepi. Kami saling menatap sambil diawasi Presiden dan Wakil Presiden yang menempel di tembok di dekat cicak yang kelaparan. Lidah cicak itu menjulur panjang, berusaha menggapai nyamuk yang berlalu-lalang.

Pria di depanku berdiri tegap. Tubuh tingginya menjulang di depanku. Aroma parfum favoritnya bisa dengan jelas kukenali. Aku masih ingat banget setiap lekuk di balik kemeja batik yang dipakainya. Ada tompel sebesar dua koin lima ratusan di dekat ketiak kirinya. Mata tajamnya mengintimidasiku. "Kamu bebas sekarang." Suaranya terdengar tenang. 

Aku nggak tahu dia bisa setenang ini. Padahal sebelumnya, dia terus merengek memintaku membatalkan gugatan.

Masih menempel banget di ingatanku, dua bulan lalu dia menggedor pintu rumah sambil berteriak kesetanan. Ah, nggak. Harusnya setan malu masuk ke dalam tubuhnya. Kelakuannya lebih parah dibanding setan. Genderuwo yang katanya sering menghamili perempuan aja malas dekat-dekat dia. Paling nggak, Genderuwo belum punya istri. Dia nggak menyakiti hati istrinya dengan one night stand yang dilakukannya setiap malam Jumat kliwon.

Gimana aku nggak minta cerai kalau suamiku menghamili wanita lain? Apalagi cewek itu cantik banget. Dia masih muda, usianya baru delapan belas tahun. Iya, bocah itu baru lulus SMA. Dia cantik dengan mata bulat dan bibir tebal yang menggemaskan. Aku yang sama-sama cewek aja nggak ragu buat mengakui dia cantik, apalagi Mas Gun yang cowok. Sayangnya, bocah itu bodohnya keterlaluan. Cuma cewek bodoh yang dengan suka rela dihamili pria yang bukan suaminya, kan?

Aku tersenyum miring. "Iya. Aku merdeka setelah dijajah lima tahun."

Mas Gun menyisir rambutnya dengan tangan. "Kamu pasti menyesal karena meninggalkan pria tampan, mapan, dan-"

"Dan bajingan." Dengan cepat aku memotong ucapan narsisnya. Lubang hidung Mas Gun mengembang dan mengempis mirip ikan buntal sedang kontraksi. Sebelum dia menyemburkan protes keras, aku langsung menambahkan, "nggak, kok, Mas. Aku sama sekali nggak akan menyesal dengan keputusanku kali ini."

Mas Gun berusaha kembali tenang. Dia meraup oksigen banyak-banyak, lalu mengembuskannya perlahan sampai samar-samar aku bisa mendengar bunyi kentut.

Aku nggak mungkin salah. Lima tahun, dua bulan, sepuluh hari, dan tiga jam lebih tujuh menit aku hidup satu atap dengannya. Nggak mungkin aku keliru mengenali bunyi dan aroma kentut suamiku sendiri.

Sial!

Maksudku mantan suamiku. Aku selalu ingat bunyi melengking yang naik satu oktaf di detik ketiga dan menyemburkan aroma makanan basi ini. Kentut ini juga yang membuat kami sampai menikah.

Kentut Mas Gun berhasil menggagalkan rencana pencopetan yang kualami. Pencopet yang sudah mengambil tasku mendadak muntah-muntah setelah mencium aroma kentut Mas Gun yang baru selesai membeli cilok di depan kampus. Bukannya berhasil mendapatkan uang, pencopet itu harus dirawat di rumah sakit akibat keracunan kentut. Beruntung nyawanya masih selamat setelah sempat kritis selama tiga hari.

Itu awal mula perkenalanku dengan Mas Gun. Cowok yang masih kuliah di jurusan manajemen semester akhir itu membuatku jatuh cinta dalam waktu singkat. Kami menikah setelah tiga tahun pacaran. Dulu, aku menganggap kentut Mas Gun sebagai Cupid yang berhasil menyatukan cinta kami. Tapi, ternyata aku keliru. Kentut tetap saja kentut yang cuma embusan angin berbau busuk dan nggak selayaknya dipuja. Ya, samalah kayak uang. Uang cuma alat pembayaran yang dibutuhkan untuk mendapatkan segalanya. Tapi, mau sampai kapan pun itu cuma alat, nggak layak buat diperebutkan sampai mengakibatkan perang atau malah dipuja layaknya Dewa.

"Kamu tahu? Nggak semua negara jajahan bisa mandiri setelah berhasil merdeka dari penjajahnya. Kamu juga belum tentu bisa mandiri setelah bercerai dari aku, Mega. Aku tahu kamu masih membutuhkanku." Kepercayaan diri Mas Gun memang patut mendapatkan penghargaan. Sebagai anak pertama, Mas Gun tumbuh dengan level percaya diri yang berlebihan. Mungkin waktu hamil Mas Gun, mantan mama mertuaku mendambakan punya anak Suneo yang belagu.

Mas Gun mmemang punya modal buat jadi narsis. Tubuhnya atletis, dengan kumis tipis senyumnya jadi manis, dan hartanya tiga turunan nggak habis. Sayang, aku nggak bisa lagi menikmati kemewahan yang dimilikinya. Aku harus mencari penghasilan sendiri demi kehidupan baruku bersama Sunny.

Mas Gun masih membiarkanku menempati rumah yang selama ini kami tinggali. Harusnya aku sedikit berterima kasih padanya. Dengan begini, aku dan Sunny nggak perlu ribet minggat dari rumah. Nggak bisa kubayangkan kalau aku harus memboyong Sunny, lalu menyewa rumah kecil yang harganya pas dengan dompetku yang sekarang. 

Aku sudah sempat mencari tahu harga rumah kontrakan, cuma antisipasi kalau memang harus meninggalkan rumah yang sekarang. Ternyata harga sewa rumah dua lantai dengan delapan kamar tidur itu setara harga mobil sedan yang kupunya versi bekas untuk waktu satu bulan. Itu ukuran rumah yang sama seperti rumahku yang kutempati sekarang.

"Kamu jangan ragu telepon aku kalau butuh sesuatu." Mas Gun berusaha menyentuhku, tapi aku sigap mundur, memperlebar jarak kami. 

"Maaf, bukan mahram. Mas nggak boleh sembarangan menyentuhku." Aku memperingatkan dengan tegas posisi Mas Gun sekarang.

"Aku masih sayang kamu, Mega. Aku belum ikhlas melepasmu." Mas Gun mulai panik. Matanya menatapku sendu.

Aku tersenyum mengejek. "Kita udah berdebat tentang ini ribuan kali dalam tujuh bulan ini, Mas. Mas tahu banget kalimat apa yang bakal aku semburkan buat membantah pernyataan Mas Gun."

Mas Gun nggak gentar. "Aku tahu selama ini kamu bohong. Kamu juga masih sayang sama aku, Mega."

Dia sudah bukan suamiku. Kalau aku kirim santet buat dia, nggak dosa, kan? Lagi pula kalau dia mati, anakku bisa cepat dapat warisan. Aku nggak harus bingung mencari duit untuk memenuhi kebutuhan hidup Sunny sampai lulus kuliah.

"Sunny udah nunggu. Aku harus segera pulang dan merayakan kebebasanku sama dia," pamitku lalu meninggalkannya. Aku sengaja berjalan tegap dengan dagu terangkat memamerkan keangkuhan. Aku mau Mas Gun tahu kalau inilah yang benar-benar kuinginkan, bercerai darinya.

"Aku akan sering datang buat main sama Sunny."

Teriakan Mas Gun nggak kupedulikan. Aku menjauh dengan langkah ringan. Satu bebanku sudah terangkat. Aku bebas menentukan hidupku sekarang. Fokusku cuma demi kebahagiaan Sunny. Dia masih terlalu kecil untuk memahami perpisahan orang tuanya.

Sampai di rumah, aku langsung menjemput Sunny yang kutitipkan ke tetangga sebelah. Sunny sudah sering bermain di sana. Bu Ustaz juga suka banget sama Sunny. Dia sudah menganggap Sunny cucunya sendiri. Pak Ustaz juga sering membelikan Sunny jajan.

Sunny suka banget permen susu, yang katanya tiga buah permen susu merek itu setara dengan satu gelas susu. Jadi, jelas menurut permen itu kalau susu nggak baik dikonsumsi setiap hari. Satu gelas susu sama dengan tiga peremen. Itu baru takaran untuk satu gelas. Kalau satu hari minum susu sebanyak tiga gelas sama artinya kayak makan sembilan permen susu. Nggak mungkin ada orang tua yang membiarkan anaknya setiap hari makan sembilan permen sekaligus, bisa diabetes di usia dini nanti. Harusnya aturannya yang berlaku sama untuk susu. Nggak mungkin ada orang tua yang membiarkan anaknya minum susu setiap hari.

"Mama." Sunny riang menyambutku. Langkah kecil Sunny cepat menghampiriku. "Uni punya boneka balu." Dia memamerkan kelinci merah muda dalam pelukannya.

Aku menggendongnya, lalu menciumi pipi empuknya berulang kali. Pipi bocah itu lembut dan kenyal. Bapao isi ayam kalah seksi dibanding pipi bocah. Aroma minyak telon masih tercium, walaupun sudah lima jam lalu dia mandi. "Siapa yang beliin?"

"Nene Us."

"Udah bilang makasih sama Nenek Us belum? "

"Macih, Nene Us." Sunny berterima kasih tanpa memandang Bu Ustaz sama sekali.

Bu Ustaz mendekati kami. "Gimana?"

Aku tersenyum memandangnya. "Sudah selesai. Sekarang saya resmi jadi janda." Lidahku sedikit getir waktu mengucap kata janda.

Bu Ustaz mengusap pundakku. "Nggak apa. Jadi janda bukan aib, kok. Tapi, kamu harus jaga sikap. Banyak fitnah yang bisa kamu terima setelah ini."

Aku mengangguk. Mungkin hidupku mmemang nggak akan sebahagia seperti sebelumnya. Yang jelas aku harus jadi lebih kuat bertahan. Sunny butuh mama yang hebat sekarang.

"Apa yang mau kamu lakukan sekarang?" Bu Ustaz mengajakku duduk.

"Main sama Sunny." Aku terus mengusap kepala balitaku. Dia anteng dalam dekapanku.

"Bukan itu. Hidup kamu. Apa rencanamu ke depan?" Bu Ustaz menyentil dahiku pelan.

Aku meringis, pura-pura kesakitan. "Saya mau coba jualan, Bu. Ada sedikit modal, bisa saya belikan beberapa daster dan lingerie. Walaupun di rumah, emak-emak harus bisa berpenampilan cantik biar suami makin sayang, kan?" Aku menjelaskan rencanaku yang sudah kubuat sejak bulan lalu.

"Apa pun yang kamu jual, selama halal, insyaallah berkah." Senyum Bu Ustaz menenangkanku.

Aku yakin setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Aku pasti bisa membesarkan Sunny sendirian. Jadi janda cuma perubahan status. Hidupku tetap harus berjalan meski sekarang janda muda.

***





<