cover landing

Midnight Pleasure

By Belladonna Tossici

[Aster buruan baca E-mail!]

"Ada apaan sih?"

Selama kenal Yuna, Aster menganggap teman satu batch di maskapainya ini adalah ratu drama.

[Buka dulu aja!]

Aster mengeklik tombol pause pada video film yang dia tontonPerhatiannya beralih pada ikon amplop putih merah. Satu notifikasi masuk dari alamat resmi perusahaan. Kop surat itu, logo hijau biru itu, alamat kantor pusat itu, menampar Aster keras-keras, mengempaskan ke dunia nyata. Dia membaca berulang kali surat mahapenting yang dihebohkan Yuna. Matanya berkaca-kaca saat mendapati kabar kontraknya diakhiri. Syok. Aster memastikan perusahaannya tak salah kirim. Grup WhatsApp. Ramai. Obrolan deras mengalir.

 

Yuna:

Gila sih, ngirim pas tengah malam. Sengaja biar apa?

Linda:

Ini konspirasi. Bukannya kemarin rute ke Bali udah jalan, ya?

Anggreni:

Kita bisa protes nggak sih? Uang pisahnya masa cuma segini?

 

Aster terlalu sedih untuk ikut menimbrung. Nyawanya seakan dicabut paksa. Pramugari adalah impiannya sejak masih berusia belia. Terlalu cepat semua pencapaiannya direnggut. Tangisnya pecah. Banyak hal tak akan lagi dia jalani jika PHK ini benar.

French twist dan kebaya, dua hal ini mengakrabi Aster dalam empat tahun terakhir. Tiga tahun pertama, Aster harus puas menjadi anabel alias anak belakang. Kalau berpikir para senior SMA buruk, jangan tanya bagaimana suka menindasnya wanita berparas ayu yang terkenal ramah pada penumpang. Dunia pramugari kejam. Dia pernah menerima sanksi membersihkan muntahan penumpang yang berceceran di lavatory hanya karena lencana dadanya terpasang miring. Pernah juga Aster dipaksa mengelap kotoran manusia di pinggiran closet.

Tiga tahun beradaptasi dengan senior yang tabiatnya melebihi ibu tiri di Best Flying Airlines, tahun keempatnya berjalan sempurna. Seniornya banyak yang hengkang karena menikah, termasuk para penindas. Efeknya, Aster dihormati junior kelas ekonomi dan hidupnya mulai tenang. Turbulensi sehebat apa pun dapat Aster atasi dengan tenang. Dia sangat mencintai pekerjaannya.

Kapan tepatnya Aster terobsesi menjadi pramugari? Ah ya, ketika almarhum ayahnya menunjukkan foto gadis semampai ramping berkebaya batik putih yang senantiasa menyunggingkan senyum ramah di majalah. Kata beliau, pramugari punya gaji besar dan bisa keliling dunia gratis. Aster menetapkan tujuan. Setiap ditanya jawabannya sama, pokoknya harus jadi pramugari Best Flying Airlines. Betapa bahagia ketika cita-citanya terwujud. Aster segera berkunjung ke makam sang ayah untuk memberitahu anak sulungnya berhasil menggapai cita-cita.

Namun, semua yang indah memang harus berakhir. Setahun lebih Aster tak lagi terbang menyusul kebijakan perusahaan pascapandemi. Bersama banyak pramugari dan pilot, Aster dirumahkan dengan gaji penuh. Seminggu pertama, terasa menyenangkan. Dia memanggil tukang pijat ke rumah, check in hampir semua market place kesukaan, tidur, makan, dan memanggil instruktur yoga. Lama-lama dia bosan. Tiga bulan gajinya dibayar penuh. Kebutuhan rumah tangga terpenuhi tanpa hambatan. Aster yakin pandemi akan segera berakhir lalu semuanya kembali seperti dulu. Maka dia tetap menjalankan gaya hidup hedon. Membeli barang mewah, termasuk mencicil mobil untuknya dan adiknya yang masih SMA. Bulan berikutnya, gaji yang mampir ke rekening semakin menipis sampai tinggal seperempatnya saja. Hari ini, Aster dipaksa menghadapi mimpi buruknya.

Aster memandangi foto di dinding kamar. Bersama rekan pramugari tersenyum semringah di depan body gagah burung besi. Airbus A330-990neo baru saja sampai saat foto itu diambil. Dia ingat kopilot Farzan Gananta antusias menceritakan mesin Rolls-Royce Trent 7.000 yang hemat bahan bakar mampu menjelajah angkasa hingga 14,5 jam tanpa henti. Foto tadi diambil dua hari sebelum Farzan dipecat secara tidak hormat. Aster menghela napas, meletakkan kembali foto favoritnya ke tempat semula. Matanya kembali terasa panas. Kenangan masa jayanya berakhir sudah. Pandemi tak kunjung reda, merampas kesehatan serta mata pencaharian.

Laptop di kasur masih terbuka. Berjam-jam lamanya Aster menangis pilu, meratapi nasib buruk yang menimpanya.

"Aster," suara Hana, ibu Aster menggema di balik pintu. "Nak, kamu belum makan lho." Ketukan pelan menyusul.

Untuk apa Aster makan? Bukankah lebih baik dia mati agar tak perlu menghabiskan jatah beras? Adik-adik perempuannya lebih membutuhkan asupan gizi. Mereka dalam masa pertumbuhan. Harus belajar supaya pintar.

"Aster!" Hana mulai khawatir lantaran tidak ada jawaban.

Aster menghapus air mata yang menggenang. "Iya, Ma."

Begitu kunci pintu dibuka, Hana mendapati wajah Aster sembap. Matanya merah serta rambut acak-acakan. Alih-alih mantan pramugari, orang lebih percaya putri sulungnya adalah gelandangan.

"Aster di-PHK, Ma." Aster memeluk ibunya. Sekian lama menunggu panggilan untuk terbang, malah pemututusan hubungan kerja yang dia dapatkan.

"Astagfirullah."

"Gimana ini, Ma?" Pelukan Aster semakin erat.

"Sabar, nanti pasti ada pekerjaan baru. Sabar ya." Hana mengusap punggung putri sulungnya.

"Tapi cari ke mana? Semua maskapai lagi kolaps."

Hana pun tidak tahu harus bilang apa. Berita pemutusan hubungan kerja jadi makanan sehari-hari sejak tahun lalu.

"Sudah, itu kita pikirin nanti. Ayo makan. Lily dan Melati nungguin kamu."

Tanpa semangat, Aster melangkah lesu. Dia membiarkan rambutnya tergerai kusut. Bagaimana ini? Semua maskapai sekarat. Penduduk bumi membatasi bepergian. Pilot yang berpengalaman saja dirumahkan.

"Mbak Aster keluar juga." Lily, adiknya yang duduk di kelas XI menceletuk.

Melati, adik Aster yang masih SD sigap menarikkan kursi untuk sang kakak. Dia kembali duduk ke tempatnya tetapi dengan raut cemberut.

"Mama, kok kita makan telor terus sih? Kata Pak Agus nggak boleh makan telor kebanyakan. Nanti bintitan," ucap Melati menirukan nasihat guru olahraga di sekolah.

"Bintitan itu kalau sering ngeliat oppa six-packs," kata Lily sambil menyendok telor kecap.

"Masa?" Mata Melati mengerjap. "Kok Mbak nonton oppa six packs nggak bintitan?"

"Mbak kan kuat."

"Tapi kan Adek bosan kalau tiap hari makannya telor. Kemarin telor balado, kemarinnya lagi sop telor-jagung, kemarinnya lagi telor mata sapi, kema—mmmppphhhh!" Mulut Melati disumpal sebutir telor.

"Jangan kasar sama adiknya!" Hana mencubit lengan Lily.

"Abis Adek berisik. Tinggal makan doang aja ngedumel mulu."

"Kan emang bosan," rengek Melati.

Lily melotot. "Ngomong lagi, Mbak cabein lho!"

"Ah, cuma mulut paling," Melati mengejek.

"Nggak. Matamu Mbak cabein."

"Mama!" Melati menjerit.

Aster menghela napas. Dia menyendok sedikit sekali nasi, menambahkan kuah kecap ke piringnya dan sesendok sop yang semakin sepi. Biasanya ada potongan wortel, buncis, kol, kentang, dan ayam. Sekarang tinggal wortel, kol, bahkan bawang pun sepertinya cuma satu siung. Hati Aster semakin perih. Dia bahkan tak mampu membawa sendok ke mulutnya.

"Mbak Aster makannya sedikit amat," komentar Lily. Sebenarnya dia tak peduli pada hidangan apa pun. Jika Melati lumayan pemilih soal makanan, Lily adalah pemakan segala. Saat kecil dia hobi memakan tisu, terkadang kertas. Pernah juga tak sengaja memakan semut yang lewat. Ajaibnya, Lily jarang sakit. Mungkin mulai beradaptasi dengan racun dan limbah yang masuk ke tubuhnya.

"Mbak di-PHK. Ada pesangon tapi nggak seberapa. Mbak juga harus hemat karena cari kerjaan nggak mudah. Mbak nggak tahu mau kerja apa." Mata Aster berkaca-kaca lagi.

"Order jahitan juga makin berkurang. Orang lebih suka beli jadi di Shopee. Lebih murah dan pengiriman cepat," sambung Hana sama prihatinnya.

"Jadi artinya kita cuma bisa makan telor?" Melati mencebik.

"Besok Mama bikinin tahu goreng."

"Yah, kok tahu? Ayam, Ma." Melati merengek.

"Heh, tolol, bawel banget. Nggak tahu keluarga lagi susah!" Lily mengangkat tangan, hampir memukul kepala Melati dengan sendok. Untung Aster keburu melerai.

"Sabar ya, Dek. Mbak pasti cari cara supaya kita bisa makan. Kalian kan masih sekolah di rumah. Jadinya belum perlu uang transport. Masih ada bantuan kuota pemerintah, kan?"

"Ada kok, Mbak. Kuota Lily juga nggak habis-habis. Udah buat marathon anime sama drakor di Telegram, masih banyak sisanya. Sampai bingung mau buat ngapain lagi."

Lily meskipun galak, tetapi Aster suka dengan energi positif dan optimisme yang tiada habisnya.

"Adek nggak bisa jajan Pop Ice dulu, ya." Aster memberi tahu adik bungsunya. Dia harus berhemat sebisa mungkin.

"Bulan ini belum bayar PAM. Token PLN sebentar lagi habis," kata Hana. Usaha menjahitnya yang dulu sempat diandalkan menopang ekonomi keluarga, semakin suram saja. Tetangga-tetangganya jarang membuatkan baju. Bahkan saat lebaran pun, hanya ada satu keluarga yang memesan sarimbit.

Beban finansial sekarang tertopang di bahunya. Suka atau tidak, Aster harus mengambil tanggung jawab itu.  "Aster masih ada uang, Ma. Nanti Aster yang beli token."

***

Skill Bahasa Inggris Aster lumayan, tetapi dia bingung harus menggunakannya untuk apa? Rasanya lapangan kerja semakin sempit. Otak Aster benar-benar buntu. Aster berbaring di ranjang. Seharian berselancar di situs penyedia lowongan kerja dan tak menemukan satu pun yang sesuai dengan kualifikasinya.

"Ah! Jaden kan kerja di Hitravela," pekik Aster teringat sahabatnya sejak SMA.

Perusahaan start up perusahaan yang menyediakan layanan pemesanan tiket pesawat dan hotel secara daring itu bekerja sama dengan berbagai maskapai, termasuk Best Flying Airlines. Aster menghubunginya.

[Woy, Ter!]

Aster senang mendengar sapaan Jaden. Mereka pertama berkenalan saat Jaden yang merupakan anak baru pindahan dari Pontianak, ditempatkan sekelas dengan Aster. Jumlah muridnya ganjil. Kebetulan Aster duduk sendirian di belakang. Wali kelasnya menyuruh Jaden duduk bersamanya. Mereka jadi dekat sampai digosipkan pacaran. Aster santai saja menghadapi kabar burung karena dia punya pacar mahasiswa fakultas teknik mesin. Kaya, sering menjemputnya di sekolah.

"Hai, Jaden. Masih WFH ya lo?"

Hitravela berkomitmen tidak akan mem-PHK karyawannya sekalipun pemesanan tiket benar-benar hancur. Sektor transportasi dan pariwisata megap-megap. Hitravela satu dari segelintir yang bertahan.

[Iya nih. Lo sih nggak terbang-terbang.]

"Gue juga maunya terbang, tapi gimana dong?" Aster mencoba ikut tertawa. Seharian sudah lelah menangis.

[Gue kangen kaos Dagadu, pie susu, lempok duren. Oleh-oleh lo selalu terbaik, sih.]

Di masa yang akan datang, tidak akan ada oleh-oleh lagi. Mungkin Aster tidak akan liburan ke mana pun lagi sampai tabungannya aman, sampai ada dana cadangan.

"Kalau misalnya gue nggak bawain lo oleh-oleh lagi, apa lo tetap mau bersahabat sama gue, Den?"

[Ngomong apa sih lo? Dulu juga kita kere, tapi tetap berteman.]

"Iya sih, tapi sekarang beda."

[Nggak lah. Bagi gue lo tetap Aster Wirawan anaknya almarhum Pak Budi Wirawan dan Ibu Hana. Tetap cewek yang mules kalau kena hawa dingin. Tetap Aster yang benci basket dan voli karena sering kena bola nyasar.]

Jaden tertawa dengan leluconnya sendiri. Aster mungkin tertawa kalau kondisi hatinya lebih baik. Sayangnya, sekarang bukan saat tepat untuk bercanda.

"Gue di-PHK. Sekarang pengangguran. Ada lowongan nggak di tempat lo?"

Jaden terdiam beberapa lama. Dia mendengar getar kepiluan dalam suara Aster. Andaikan dia bisa membantu.

[Gue juga maunya ada, Ter. Sayangnya gue juga di-PHK.]

***





<