cover landing

Milo on Monday

By robinbiewijaya

Prolog

 

Rival melambatkan laju kendaraannya beberapa meter sebelum memasuki gerbang sebuah kompleks perumahan.

Mobil menepi namun ia tidak mematikan mesin kendaraan tersebut. Di balik selubung kacamatanya, ia menatap wajah perempuan itu. Dingin kabin mobil membuat kacamatanya sedikit berembun. Rival mesti menggosoknya dulu, sebelum bisa memandangi wajah itu dengan puas. Lalu, sebelum perempuan itu turun dari mobilnya, ia memajukan wajahnya yang dibalas dengan satu kecupan mesra di bibir oleh si perempuan.

“Langsung pulang ke rumah, kan?” tanya perempuan itu. Rival mengangguk.

“Kamu udah pesan ojek?” Rival balik bertanya. Sekalipun ia masih menggenggam sebelah tangan perempuan itu, tak rela jika kebersamaan mereka mesti dibatasi waktu. Namun, perpisahan adalah sesuatu yang wajar terjadi. Terlebih dalam hubungan yang ia jalani bersama perempuan itu.

Si perempuan menunjukkan layar ponselnya. “On the way,” jawabnya memberi tahu, kalau ojek daring yang ia pesan masih dalam perjalanan menuju ke sini.

“Kalau begitu, aku masih punya waktu bareng kamu,” sahut Rival, dibalas dengan seringai senyum perempuan itu. Ia meletakkan kepalanya di bahu Rival. Rival membalas dengan menyapukan telapak tangannya, mengusap lembut kepala perempuan itu.

Kabin mobil menjadi hening. Mereka membiarkan waktu berlalu begitu saja. Sampai akhirnya perempuan itu melepas sabuk keselamatan dan menyatakan bawha mereka harus berpisah sekarang.

Di ujung pertemuan, sebelum pintu mobil ditutup, Rival mengingatkan sesuatu yang tak pernah luput dari perhatiannya seusai pertemuan mereka.

“Isi chat kita, jangan lupa dihapus.”

“Suamiku nggak pernah periksa,” sahut perempuan itu. “Thanks buat hari ini. See you in two weeks,” salamnya sembari menutup pintu mobil dan berjalan dalam kegelapan, menuju ojek daring yang telah dipesannya, yang akan membawanya pulang kepada suami dan keluarganya.

* * *

Malam ini, ia sengaja berdandan.

Pevita tahu Aidan adalah tipikal pria romantis yang selalu mampu membuat kencan yang mengesankan. Meski tak selalu bertemu di restoran mewah atau menikmati fancy food, suasana yang ia hadirkan selalu berbeda dari mantan-mantan Pevi lainnya.

Malam ini, Aidan sengaja mengajak Pevi ke ARTOZ Bar di SCBD. Hari ini Pevita ulang tahun, dan Aidan sudah memesan satu tempat di sana.

“Perayaan yang spesial?” tanya Pevi di telepon.

Aidan hanya menjawab, “Sesuatu yang layak untuk momen sekali dalam setahun. Perayaan kelahiran sama halnya dengan menyambut kehadiran kita ke dunia dulu.”

Senyum Pevita mengembang. Belum apa-apa, sudah terbayangkan indahnya momen perayaan ulang tahunnya bersama Aidan. Ia belum pernah datang ke tempat yang Aidan sebutkan. Namun, apa yang lebih penting selain keberadaan orang terkasih? Itu jauh lebih istimewa ketimbang suasana yang akan ditemuinya.

“Kamu jemput jam berapa?” tanya Pevita.

In an hour kamu sudah bisa siap?” tanya Aidan di telepon.

I’ll manage.”

“Oke, aku jalan jemput kamu segera, ya.”

“Okay. See you then.”

“See you. Bye.”

Bye.” Pevita meletakkan ponsel di dadanya. Bergegas ia pergi mandi dan berganti pakaian. Tak lupa merias diri agar tampil sebaik-baiknya.

Pevita memilih dress warna peach dengan kalung perak berdesain sederhana. Ia menambahkan anting kecil agar tidak tampak berlebihan. Lalu penampilannya disempurnakan dengan clutch berwarna perak dan heels yang tampak selaras dengan warna kulit kakinya. Semua persiapannya selesai tepat saat bel apartemennya berbunyi.

Sebelum membuka pintu dan menyambut kedatangan Aidan, Pevi menyempatkan diri untuk pamit pada dua ekor kucing kesayangannya yang berbulu tebal.

“Mama tinggal sebentar, ya,” ucapnya, seolah kedua binatang itu bisa mengerti apa yang ia katakan.

Dalam hitungan menit, Pevi dan Aidan sudah berada dalam perjalanan menuju Sudirman. Lampu-lampu jalan dan kendaraan di saat malam memberikan nuansa yang menyenangkan. Aidan mungkin tak banyak bicara ketika berada di kantor. Namun bersama Pevi, ia bisa mengobrolkan banyak hal. Sebab lawan bicaranya itu selalu mampu memberikan umpan balik yang menghidupkan pembicaraan.

“Soal penjualan buku yang kemarin bagaimana?” tanya Aidan, membahas buku seorang aktris yang diedit oleh Pevi dan baru terbit beberapa minggu lalu.

“Sudah tiga kali cetak ulang. Kekuatan nama dalam promosi,” jawab Pevi, disambut dengan anggukan pelan Aidan.

“Wah, kita harusnya nggak ngomongin soal kerjaan, ya.” Aidan tampak menyesali pertanyaannya. “Kita kan bisa bahas itu saat meeting.”

Memangnya apa hal lain yang lebih menarik untuk dibahas?” Pevi balik bertanya.

Aidan menggumam. Ia terlihat berpikir selama beberapa jenak, sebelum kemudian berkata, “Apa pun itu. Sepertinya selalu terdengar menarik.” Semacam gombalan yang mengesankan betapa Pevi memiliki daya tarik tersendiri baginya.

Dan percakapan itu berlanjut dengan serangkaian cerita di meja makan. Sambil menyesap minuman di atas meja dan menunggu makanan yang dipesan datang. Keduanya duduk berhadap-hadapan dengan seringai senyum yang terus terukir.

Pevita meyakini tak ada hari yang lebih baik dibanding hari ini. Sungguh, bukan hanya karena ia merayakan ulang tahunnya dengan serangkaian kejutan selama sehari penuh. Namun puncaknya adalah kebersamaan ia dan Aidan malam ini.

Terkecuali ... dering telepon yang mengganggu itu. Yang berbunyi dua kali tanpa Aidan angkat, dan berbunyi lagi untuk ketiga kalinya.

“Veena?” Pevi menebak. Tanpa Aidan jawab pun, Pevi sudah tahu siapa yang menelepon Aidan terus-terusan sampai pada akhirnya lelaki itu harus menjawab panggilan tersebut.

“Aku angkat dulu, ya,” pamit Aidan. Menepi sejenak ke sisi ruangan ini dan kembali tak lama setelah itu.

Makanan datang bersamaan dengan duduknya Aidan di tempat semula. Ia langsung mengajak Pevi menyantap makan malam mereka. Sambil sesekali ia membuka obrolan sedang raut wajah Pevi sedikit berubah, dan kata-kata yang terlontar dari mulutnya tak sebanyak sebelumnya.

Is everything all lright?” tanya Aidan.

Pertanyaan retoris macam apa itu? jawab Pevi dalam hati. Namun yang terucap dari mulutnya hanyalah,I’m good. Habis makan kita langsung pulang aja. Veena udah nungguin kamu, kan?” Dan Pevi tahu, tebakannya itu tak pernah salah.

Makan malam yang dibayangkan akan berlangsung romantis, berubah jadi kikuk dan dingin. Musik yang mengalun, dekorasi yang memanjakan mata, serta hidangan spesial nan lezat tak lagi berkesan.

Dalam hati Pevi membenci status yang mengikatnya selama ini. Begini rasanya memilih menjadi seorang kekasih gelap.

 


1. Tom and Jerry

 

Ruangan itu menyerupai kamar berukuran besar dengan kubikel setinggi dada yang membatasi ruang kerja mereka. Di dalam kubikel, mereka boleh menempelkan apa pun asal tidak memasang paku payung atau push pin secara langsung tanpa melapisinya lebih dulu dengan softboard. Seringnya, anak-anak redaksi menempelkan sticky notes untuk membantu mereka mengingat deadline, atau poster member EXO dan BTS agar terasa seperti sedang disemangati Sehun atau Jin.

Pevi memunculkan kepalanya dari kubikel. Bau mi instan yang menyengat mengganggu konsentrasinya. Padahal, ia butuh konsentrasi maksimal karena deadline buku yang mau naik cetak tinggal hitungan hari. Ada sederet kerjaan proofreading, pemeriksaan alternatif sampul buku, sampai janji temu penulis yang ingin membicarakan rencana promosi bukunya.

Baru jam sepuluh lewat lima belas. Yang makan mi instan ini antara telat sarapan atau memajukan jam makan siangnya. Ya .... Namanya juga bekerja di dunia kreatif. Perut yang lapar bikin otak jadi kurang bisa sinkron.

“Bau mi instan, nih.” Pevita sengaja tidak menyebutkan merek walaupun ia nyaris hafal segala jenis aroma mi instan termasuk variannya. Merek A beraroma kuat, sementara merek B agak lembut tapi luar biasa menggoda iman. Yang terhidu indra penciumannya ini adalah merek favoritnya. Mi instan kebanggaan rakyat Indonesia yang sudah banyak diekspor ke luar negeri, bahkan gosipnya di negara tertentu dijadikan alat transaksi jasa layanan seks.

“Siapa nih yang makan mi?” tanya Pevi lagi karena tak ada satu pun rekannya yang menyahut.

“Gueee ....” Sebuah gumaman yang dihasilkan mulut yang dipenuhi makanan pun terdengar.

“Oh.” Cuma itu jawaban Pevi. Dia duduk lagi, tak melanjutkan komentarnya tentang menu andalan anak-anak indekos di pertengahan menuju akhir bulan itu.

“Kenapa? Lo mau? Nih, gue masih ada satu. Rasa ayam bawang. Tapi nanti gue minta kuahnya, ya.” Si empunya makanan menyahut lagi. Lelaki yang gemar pakai ikat kepala bercorak batik itu malah sengaja mengeluarkan bunyi menggoda dari caranya menyeruput mi. Membuat Pevita semakin membayangkan betapa lezatnya kudapan hangat dalam mangkuk yang ditaburi irisan cabai rawit dan bawang goreng.

“Tumben lo baik sama gue,” sahut Pevi, dengan nada sok jual mahal.

Expired-nya tinggal lima hari lagi. Daripada mubazir, mending gue tawarin ke lo,” jawab Rival, enteng.

“Dih, apa banget lo. Mi udah mau expired dikasih ke orang. Kalo niat ngasih tuh yang ikhlas dikit kek.”

“Ikhlas gue. Lahir batin.”

“Guenya ogah,” jawab Pevi, sengaja dengan penekanan suara yang menyatakan keengganan.

“Kalo nggak mau ya udah. Nanti sore gue masak lagi. Jam tigaan enak kali, ya .... Pas banget jam ngemil.” Rival semakin memanasi.

“Ngemil sih mi. Ngemil tuh kuaci. Obesitas lo nanti.”

“Tinggal olahragalah .... Naik sepeda, lari-lari, push up, beres.”

Sahut-menyahut pun terjadi antarkubikel. Teman-teman redaksi yang duduk di kanan-kiri mulai mesam-mesem, hafal persis situasi semacam ini.

“Olahraga dua hari doang. Olahraga tuh konsisten.”

“Daripada udah beli sepatu, beli sport bra, daftar member di sport center, tapi absen mulu.”

“Yee .... Gue datang kok tiap Rabu malam.”

Dan masih terus berlangsung ....

“Lah, kemarin lo ngajakin Kenes mampir beli boba.”

“Absen sekali doang.”

“Nggak bakal jadi body goals lo!”

“Olahraga is a must. Langsing itu bonus. Itu tujuan gue nge-gym.”

“Buang-buang duit lo. Mending ngumpulin saham daripada ngumpulin kartu.”

“Gue tuh—”

“Heh!” Sebuah suara yang bukan milik Rival maupun Pevi tiba-tiba saja menggelegar dari tengah ruangan. Belum kelihatan wujud si pemilik suara. Namun bahu rekan-rekan Rival dan Pevi sudah bergoncang karena menahan tawa tanpa suara.

“Lo berdua tuh kalo sehari aja nggak adu bacot, nggak enak, ya?” Mbak Gia, anggota redaksi yang paling galak angkat suara. Sebetulnya bukan galak juga sih, tetapi memang kelakuan Rival dan Pevi ini suka agak kelewatan. Sudah tahu semua orang sedang pusing dikejar deadline, bukannya menjaga agar suasana ruang kerja tetap kondusif malah berdebat untuk sesuatu yang amat sangat sepele.

“Gigit aja, Mbak Gee! Gigiiit ....” Budi yang berkacamata tebal bak pantat botol ikutan menyahut.

“Apa sih lo, Ini Ibu Budi?” Pevita langsung menyerobot tak suka mendengar Budi ikut-ikutan berkomentar.

“Bud, dia bawa-bawa Eyang Siti Rahmani tuh!” Rival malah mengompori.

“Emak gue bukan Siti Rahmani,” kata Budi.

“Rumini!” sahut Rival, berkelakar.

Beti. Beda tipis.” Budi sama sekali tak tersinggung Rival menyebut nama ibunya.

“Hahahaha ....”

Tawa Rival dan Budi meledak bersamaan. Bukannya menyahuti celotehan Pevita, Budi malah tersulut kompor Rival yang membuat Pevi seakan menjadi sentral lelucon ini.

“Dih! Gaje lo berdua!”

Kali ini sebuah pensil melayang dari kubikel Rival, dan jatuh persis di depan wajah Pevita. Pevi langsung mengambil pensil tersebut, dan melemparkannya balik ke arah Rival. Balasan pun diberikan Rival dengan menambahkan penghapus, paper clip, sampai bungkus bumbu dan minyak mi instan yang langsung menceceri kubikel Pevita.

Brak!

Gia tak bisa menoleransi lagi ulah kedua anggota redaksi ini. Dengan geram ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Pevita langsung ciut sementara Rival masih sempat cengengesan. Penghuni ruangan mengira Gia akan melontarkan kemarahan dengan keras. Namun, beruntung Rival dan Pevita masih mendapatkan ekstra kesabaran dari Gia hari ini. Perempuan berkerudung itu hanya berkata tegas, “Val, pindah lo ke backyard. Kerja di pendopo aja sono!”

Rival tahu ini kesempatan yang amat sangat baik yang sudah diberikan Gia. Karena biasanya, sang redaktur pelaksana ini akan langsung menghunjam dengan intonasi yang keras dan pilihan kata yang cenderung nyelekit. Jadi, alih-alih membela diri, Rival membereskan laptop dan keperluan kerja lainnya, lalu membawanya ke luar ruangan.

Sebelum Rival mengeluyur sampai ke pintu, masih sempat-sempatnya ia menjulurkan lidah ke arah Pevi, sementara Pevi cari aman dengan tidak membalas ledekan tersebut. Merasa sudah berhasil menyingkirkan kekacauan, Gia langsung duduk dan meneguk air putih hingga tandas satu gelas.

Kenes yang kubikelnya berada di pojok merasa sedikit curiga dengan sikap Gia barusan. Kenes sama Gia kan sudah berteman sejak masih sama-sama berstatus mahasiswa Sastra Indonesia. Dia tahu persis Gia paling nggak bisa menaham emosi, apalagi yang disebabkan oleh hal-hal remeh seperti barusan. Iseng-iseng Kenes bertanya, “Gi, lo belum datang bulan lagi?”

Gia menggeleng.

“Kenapa, Mbak Gia?” tanya Pevi polos. "Hormon?"

Gia melirik sinis ke arah Pevi. Kenes menopangkan kepalanya pada sebelah lengan.

“Dih, lemot banget sih lo. Gia lagi hamil kayaknya,” seru Kenes. Hal semacam ini bukan sesuatu yang tabu dibicarakan di Jagat Media—nama penerbit tempat mereka bekerja, karena mereka menganggap siapa pun yang masuk ke dalam tim sebagai keluarga. Jadi, mau kabar bahagia, sedih, sukses, gagal, ya ... dibagikan saja, biar semua bisa saling mendukung.

“Betul, Mbak Gia?” tanya Pevita karena Gia tak kunjung mengiakan dugaan Kenes, dan melengos saja ke arah laptopnya untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Makanya dia milih nahan emosi daripada nanti muka anaknya kayak perpaduan lo sama Rival,” tambah Kenes lagi.

“Ken ....” Gia langsung menyambar. “Jangan gantian pancing emosi gue, ya!” serunya mengingatkan. “Udah, pada kerja lo semua. Jangan sampai gue jadiin menu rujak ngidam gue.”

“Yee .... Beneran Mbak Gia hamil lagi!” Pevita bersorak senang.

Sementara Kenes segera bangkit dari duduknya, dan memeluk erat-erat sahabatnya itu. “Congrats ya, Babe,” ujarnya.

“Lo juga. Biar cepet ketemu jodoh,” sahut Gia. “Daripada diajakin jajan boba mulu sama si Pevi.”

“Amin ....” Kenes merangkumkan kedua tangannya pada pipi Gia.

Sementara kegembiraan belum berakhir di dalam ruangan redaksi, sebuah kepala menyembul dari balik pintu. “Heboh kenapa, sih?” tanya Rival, merasa tak dilibatkan.





<