cover landing

Miss Lawyer's FAKE Husband

By Benitobonita

Prolog

“Jadi, sangat tidak adil apabila pihak Penuntut Umum malah ingin memenjarakan terdakwa yang sebetulnya merupakan korban ... yang dibutuhkan terdakwa bukanlah hukuman penjara, tetapi rehabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya terhadap ganja ....”

Suara seorang perempuan terdengar jernih melalui mikrofon di ruangan yang dipenuhi dengan banyak orang. Di bagian tengah, terlihat seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun, sedang duduk dengan wajah tertunduk dan kedua tangan mengepal gemetar, takut untuk menatap tiga orang hakim yang duduk berhadapan dengannya, sedangkan di sisi yang berseberangan dengan si pemilik suara, tampak dua orang pria berpakaian toga, dengan papan nama hitam bertuliskan emas PENUNTUT UMUM.

“Oleh karena itu, kami meminta agar Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, sehingga pihak keluarga dapat segera membawa terdakwa ke RS Bhayangkara untuk mendapatkan rehabilitasi,” ucap perempuan itu mengakhiri pembelaannya sebelum mematikan mikrofon dan menyandarkan punggung pada kursi.

Semua mata kini masih memandang ke arah Wita Prabowo, pengacara khusus kasus pidana andalan dari AW Law Firm, satu dari dua puluh satu firma hukum terkenal di Jakarta. Namun, perempuan berusia dua puluh sembilan tahun itu tidak terlihat gugup. Dia sudah terbiasa menangani sidang dan pikirannya saat ini juga dipenuhi oleh hal lain. Dia kembali melirik ke arah layar telepon genggam yang kembali berkedip, menampilkan nama Detektif Andi.

“Bagaimana, Pak Jaksa?” tanya laki-laki berusia lima puluh tiga tahun yang duduk di kursi hakim ke arah kedua pria yang duduk di kursi Penuntut Umum.

“Kami tetap pada tuntutan,” jawab salah satu jaksa dengan tegas. Pria berkumis tipis itu  sepertinya tidak terkesan dengan pleidoi atau pidato pembelaan terhadap terdakwa yang dibacakan oleh advokat (pembela) atau terdakwa sendiri  yang telah diutarakan sang pengacara. Wita mengabaikan jawaban formal tim penuntut. Keputusan akhir ada di ketiga hakim dan dia sangat yakin dua dari tiga hakim tersebut juga merasa kasihan dengan terdakwa yang merupakan korban broken home.

Hakim Ardiansyah mengangguk kecil. Dia melihat ke arah hadirin dan berucap, “Sidang kita tunda minggu depan untuk pembacaan putusan.”

Ketukan palu terdengar tiga kali membuat Wita bernapas lega. Perempuan itu bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada dua rekannya yang terbengong-bengong kala dia langsung melenggang keluar ruang sidang dengan langkah cepat.

Pengacara muda itu menekan tombol quick dial saat hampir sampai ke depan lobi dan memberi perintah. “Jemput sekarang.”

Sebuah sedan biru mewah berlambang BMW keluaran terbaru berhenti tepat di depan pintu gedung pengadilan dan sopir pribadinya, seorang pria keturunan Jawa, berkisar dua puluh empat tahun, langsung keluar dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu belakang.

Ekor mata Wita tanpa sengaja melihat beberapa pengunjung perempuan sempat mengamati sopirnya sebelum mereka saling berbisik dan tertawa genit. Gadis itu pun mendengkus. Dasar centil.

Wita langsung masuk dan duduk di kursi belakang tanpa berbasa-basi kepada pria yang usianya lebih muda enam tahun darinya itu. Dia membuka toga, jubah hitam yang wajib dipakainya saat bersidang dengan tangan kiri, lalu menekan tombol telepon untuk menghubungi balik orang yang sedari tadi mencoba mengontaknya.

Dua dering terdengar sebelum suara berat seorang pria menjawab dari seberang saluran telepon. “Halo, Bu Wita. Saya sudah menemukan anak itu. Saya akan mengirimkan lokasinya saat ini juga.”

Sambungan terputus. Mata Wita terpusat pada share location yang ditunjukkan oleh layar telepon genggamnya. Perempuan itu langsung mencondongkan tubuh ke depan dan menyerahkan gawainya ke pria yang sedang menyetir sambil berkata, “Kita ke sana sekarang.”

“Baik, Mbak,” jawab Yusuf singkat. Pria itu mengambil telepon genggam Wita untuk dipasang pada tempat gawai di dasbor, lalu menyetir dengan kecepatan sedang tanpa banyak berkata-kata.

***

Bab 1

Sepasang gadis kecil berumur sekitar enam tahun dan delapan tahun terlihat sedang bermain bersama di teras halaman rumah. Dari kemiripan wajah keduanya, mereka pasti berhubungan darah, bahkan mungkin kakak adik. Lima buah boneka dan mainan masak-memasak tersebar di sekitar mereka. Langit sore kala itu sangat cerah dan udara bulan Juni terasa hangat.

Bocah yang lebih kecil tertawa ceria. Rambut hitam sebahunya yang dikucir dua dengan karet warna-warni, berayun mengikuti gerakan kepala si empunya. Dia duduk bersila di atas lantai kayu dan menggerakkan boneka barbie yang berada di genggamannya. “Halo, nama aku Wita, nama kamu siapa?”

“Aku Keisha. Apa kamu mau jadi temanku?” jawab anak yang lebih tua. Bocah itu menggerakkan tangan kanan boneka barbienya untuk bersalaman.

“Loh, Kakak, kan, namanya Ayu, kok jadi Keisha?” Wita cilik memprotes ucapan kakaknya dengan bibir monyong, mirip seperti tokoh bebek pemarah yang dia baca dari majalah pagi tadi.

“Ih, kan, kita lagi main, bukan beneran …,” jawab Ayu dengan nada jengkel. Rambut bocah delapan tahun itu dipotong sependek leher dan berponi. Dia mengambil sisir mainan khusus boneka, lalu menyisir rambut kuning bonekanya dengan penuh kasih. “Selain itu, aku suka nama Keisha ... kalau aku punya anak nanti, aku akan kasih nama Keisha ….”

“Hah? Kakak, kan, masih kecil! Kok, udah mau punya anak?” tanya Wita dengan mata membulat penuh. Bocah itu langsung berdiri, meninggalkan mainannya dan berlari ke dalam rumah sambil berteriak, “Nenek! Kakak Ayu mau punya bayi!”

“Mbak, sudah sampai.” Suara Yusuf memutus lamunan Wita. Gadis itu menoleh ke bangunan tingkat dua yang berada di depannya kemudian membaca tulisan besar “Yayasan Kasih Sejahtera” pada plang yang terpaku di dinding terluar.

“Oh, terima kasih. Tunggu sampai saya panggil, ya,” ucap Wita sambil menoleh ke sopirnya yang sudah membuka pintu belakang dan menunggu dirinya keluar mobil.

“Iya, Mbak.”

Yusuf bergeser, menjaga jarak kesopanan ketika majikannya melangkah keluar. Walau tindakannya tidak ketara, tetapi Wita menyadarinya. Gadis itu melirik ke arah jam tangan berantai emas yang melingkar di lengan kanan sambil berkata, “Hampir jam dua belas siang. Kamu makan saja. Saya pasti nanti lama di dalam.”

“Iya, Mbak.” Sama seperti biasa, Yusuf menjawab singkat, tanpa ekspresi, dan bahkan sedikit menunduk.

“Saya tinggal dulu.” Wita tidak menunggu jawaban sopirnya dan langsung berjalan menuju pintu masuk panti asuhan itu. Denting pesan masuk sempat membuat langkah gadis itu terhenti. Dia melihat tulisan Detektif Andi di bagian paling atas dan membuka isinya.

Bu, sepertinya sudah sampai, ya. Saya tinggal sekarang, ya. Sisa bayaran bisa ditransfer ke rekening yang kemarin. Jangan lupa dengan persyaratan yang harus Ibu lengkapi ….

Kening Wita sedikit mengerut kebingungan. Apa ada pesan penting yang terlewat?

Gadis itu langsung menggeser ke atas untuk membaca riwayat percakapan mereka. Ibu jari Wita seketika terhenti ketika mendapati sebuah kiriman gambar yang tidak otomatis terunduh. Dia menekannya dan menunggu hingga dapat membaca isinya dengan jelas. Sebuah poster latar hijau gelap berpadu kuning dengan kop “Yayasan Kasih Sejahtera” muncul sepuluh detik kemudian.

Tatapan mata Wita seketika terfokus pada subjudul Tata Cara Pengapdosian Anak. Gadis itu sedikit banyak sudah tahu bahwa ada dokumen-dokumen penting yang akan diminta oleh pihak panti asuhan. Dia sejak minggu lalu, bahkan sudah mempersiapkan sebundel berkas di dalam tas: fotocopy KTP, akta lahir, surat babtis, bahkan slip gaji, seharusnya tidak akan ada masalah.

Wita membaca poin demi poin secara saksama dan mencentang setiap nomornya dalam hati sebelum napasnya tertahan ketika membaca syarat terakhir. Wajib memiliki akta nikah yang valid dan sudah menikah minimal lima tahun lamanya.

Tangan Wita seketika gemetar. Maksudnya ini gimana? Cara dapatin aktanya dari mana?

Gadis itu segera menekan tombol dial dan langsung mengeluarkan protes ketika sambungannya terhubung pada dering kedua.

“Kenapa harus ada akta nikah? Apa Bapak tidak bisa memakai cara lain? Seperti menculik bayinya saja atau menyogok mereka?”

“Maaf, Bu. Saya ini detektif, bukan penjahat, kalau ingin menyogok, Ibu coba sendiri, mungkin mereka bersedia menerima bayaran ... tetapi kalau mau sah secara hukum, memang syarat itu yang mereka butuhkan. Saya rasa Ibu lebih paham dibandingkan saya. Untuk informasi, ada pasangan lain yang juga tertarik dengan anak itu. Saya hanya bisa menahan mereka sampai minggu depan .... lewat dari jangka waktu, saya lepas tangan dan tetap meminta bayaran pen-”

Wita langsung mematikan saluran telepon tanpa sudi mendengarkan kelanjutan jawaban pria itu.  Detektif bego! Dua puluh juta cuma buat selembar brosur?! Awas saja kalau ternyata bocah yang dimaksud salah identitas, sekalian kulaporin ke polisi dengan pasal 378 KUHP! Dasar detektif bego! Bego! Bego! Artinya aku harus mengajukan diri sebagai wali bukan meminta adopsi.

Wita mengentakkan sepatu hitamnya yang memiliki hak tiga sentimeter menuju meja penerima tamu yang menghalangi para tamu untuk langsung menerobos ke lorong masuk. Dia memberikan senyum terbaiknya kepada seorang pria berkumis berseragam putih hitam khas security yang memandangnya dengan awas, lalu berkata, “Saya ingin bertemu dengan Bu Rini, sudah ada janji sama beliau.”

“Boleh saya lihat KTP-nya, Bu?” balas si Kumis tanpa basa-basi. Pria itu mengambil dan mengamati kartu identitas Wita sebelum menyerahkan sebuah kertas berlaminating bertulisan TAMU yang diikat dengan benang wol pada bagian sisi kanan kirinya. “Tolong dipakai. Nanti Ibu langsung masuk ke pintu pertama di sisi kanan, ya, Bu.”

Wita menurut. Dia mengalungkan benda yang mirip prakarya anak SD itu lalu mengucapkan terima kasih dan kemudian berjalan sesuai arahan yang dia terima.

***

Teriakan, tawa, tangis, riuh khas anak-anak terdengar dari berbagai lokasi. Wajah Wita bahkan sempat sedikit mengernyit akibat gendang telinga gadis itu diserang oleh pekikan nyaring seorang bayi saat dia semakin mendekati tujuan.

Sebuah papan keterangan “Ruang Batita” semakin meyakinkan pengacara muda itu bahwa dia tidak salah tujuan. Wita mengetuk dua kali pintu bercat putih yang dalam kondisi tertutup, lalu mencoba membukanya.

Lengkingan mengerikan itu terdengar semakin jernih dan ternyata berasal dari sebuah buntalan kuning yang sedang diayun-ayun oleh seorang wanita gemuk berseragam pastel.

“Dengan Bu Rini?” tanya Wita sambil menutup pintu di belakangnya secepat yang dia bisa ketika ujung mata gadis itu melihat seorang bayi merangkak dengan kecepatan setara seekor kucing menuju ke arahnya.

“Oh, Bu Wita, ya? Aduh, maaf, rekan saya kebetulan tidak masuk dan ada rumah sakit yang tiba-tiba mengantar bayi ini.”

Untungnya jeritan sang bayi yang awalnya mencapai nada tertinggi dari tuts piano, mulai mereda, meskipun batita laki-laki yang sepertinya kelebihan energi kini berusaha berdiri dengan memakai rok span hitam Wita sebagai alat bantu.

“Tomo! Jangan!” hardik Bu Rini ketika dia melihat Wita secara sungkan berusaha menghalau bayi nakal yang hampir menelanjanginya dengan menepis tangan si batita.

Batita itu langsung terduduk dan kini memutuskan untuk meraung, mengajak serta teman barunya yang sebelumnya hampir tertidur. Wajah Wita lagi-lagi mengernyit, berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang sangat asing baginya. Berisik banget, sih.

“Jadi, dua hari lalu Pak Andi, sepupu Ibu datang berkunjung. Dia menceritakan situasinya,” ucap Bu Rini yang sepertinya sudah menyerah untuk menenangkan bayi dalam pelukannya.

Dia kemudian meletakkan sang bayi yang terlihat masih merah itu ke dalam boks bayi yang berada di pojok, dekat jendela, di mana beberapa calon orang tua angkat dapat mengintip dari luar dan kini menggendong Tomo, agar batita itu berhenti melolong.  “Tiga bulan lalu, ada seorang perempuan yang mengantarnya ke sini.”

Napas Wita sontak tertahan. Kak Ayukah? “Bu, apa wajahnya mirip saya?”

Bu Rini mengamati gadis itu sejenak sebelum berkata dengan nada ragu. “Kayanya iya, sih, Bu … Cuma, dia jauh lebih kurus. Kayanya juga sedang mengalami masalah.”

Jantung Wita berdebar tidak nyaman. Gadis itu teringat dengan sebaris kalimat dalam secarik kertas yang tersimpan pada tasnya.

… titip Keisha seandainya Kakak enggak bisa urus dia lagi ….

“Oh, tolong dilepas sepatunya.”

Suara petugas panti itu membuyarkan lamunan Wita. Dia pun cepat-cepat menurut.

Bu Rini membuka pintu penghubung antar ruangan dan melirik ke arah Wita, kode agar gadis itu mengikutinya setelah tidak lagi beralas kaki. Mereka masuk ke sebuah kamar yang berukuran lebih besar dibandingkan sebelumnya dengan nuansa khas kamar bayi.

Kedua kaki telanjang Wita seketika menginjak karpet plastik bermotif jenis-jenis hewan laut. Sekitar delapan boks bayi bercat biru dan merah muda berderet, menempel di dinding berlapis lukisan binatang model kartun. Di tengah ruangan terlihat seorang perempuan lain berkisar dua puluh tahunan, yang memakai seragam serupa dengan si wanita gemuk, sedang duduk bersimpuh, mengawasi tujuh orang batita yang sedang berpencar.

“Mbak Siti, ini Bu Wita.” Bu Rini langsung memperkenalkan mereka. Petugas panti asuhan itu seketika tersenyum.

Petugas yang bernama Siti itu menoleh ke arah seorang batita perempuan berdaster putih dengan list merah yang sedang sibuk menggigiti ujung sebuah buku sambil duduk membelakangi mereka, lalu memanggilnya dengan ceria. “Keisha, ke sini.”

“Selain itu, aku suka nama Keisha ... kalau aku punya anak nanti, aku akan kasih nama Keisha ….”

Jantung Wita berdetak sangat kencang ketika bayi berumur lima belas bulan itu menoleh ke arah mereka. Wajah yang sangat dikenal dia tercetak persis pada bayi berliur yang balik menatapnya.

Kak Ayu ….

“Keisha, sini, kenalan sama Tante Wita ….”

Bayi mungil itu berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang goyah. Dia berjalan beberapa langkah sebelum terjatuh dan melanjutkan perjalanannya dengan merangkak.

Mata Wita seketika berembun. Gadis itu bersimpuh di dekat Siti dan mengamati sang bayi yang kini masuk ke dalam pelukan perawatnya.

“Perempuan yang mengantarnya bilang akan menjemput anaknya lagi, tetapi sudah tiga bulan lewat, kami belum mendapatkan kabar apa pun dari dia.” Bu Rini meletakkan Tomo ke boks terdekat dan menarik jeruji penghalang dan menghiraukan jeritan protes dari Tomo yang tidak suka dikurung. Sepertinya bayi hiperaktif itu memang sengaja dipisahkan dari bayi-bayi lainnya.

Wita merasakan air matanya hampir menetes turun ketika miniatur kakaknya mengintip malu-malu ke arah gadis itu. Tidak salah lagi, bayi yatim piatu tersebut merupakan keponakannya, satu-satunya penghubung antara dia dengan Kak Ayu yang tidak jelas keberadaannya saat ini.

“Saya ingin membawanya pulang,” ucap Wita dengan suara bergetar.

“Kami sudah mendiskusikannya,” balas Bu Rini yang kini ikut duduk bersimpuh di sisi Wita. “Syarat mengadopsi sebetulnya Ibu harus sudah 30 tahun dan telah menikah lima tahun lamanya, tetapi demi kepentingan Keisha, maka kami menyarankan agar ibu mengajukan ke pengadilan sebagai wali terlebih dahulu.”

Rasa haru Wita mendadak sirna. Gadis itu menoleh ke arah Bu Rini yang tersenyum lembut dan bertanya dengan kening mengerut. “Tetapi, Bu, di Undang Undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002, pasal 33 ayat (1) (2) dan (3) tidak ada syarat kalau wali harus sudah menikah.”

“Betul, Bu, tetapi menteri sosial jarang menyetujui wali yang belum menikah,” balas wanita bertubuh gemuk itu dengan raut menyesal. “Meski ibu sudah memiliki surat wasiat, tetap saja akan dilihat kelayakannya nanti.”

Kok, harus tetap nikah?! protes Wita dalam hati. Gadis itu diam-diam mengamati Bu Rini dengan penuh perhitungan. Kayanya enggak bisa disogok, ya? Terus gimana dong, Wita? Dasar detektif bego! Bego! Bego! Kenapa enggak sekali culik Keisha aja?!

“Sebetulnya ada pasangan yang sudah dekat dengan Keisha dan berniat mengadopsinya, tetapi karena Pak Andi mengatakan bahwa minggu depan Ibu sudah bisa melampirkan akta pernikahan dari catatan sipil dan Ibu katanya juga memegang surat wasiat dari ibu kandung Keisha, maka kami memutuskan untuk memprioritaskan Ibu.”

“A-ah ….,” gumam Wita tergagap, Kak Ayu, gimana ini? Apa biarin aja orang lain yang rawat Keisha?

Tiba-tiba jerit tawa terdengar dari Keisha. Batita itu tanpa diduga mendadak menyelinap keluar dari pelukan pengasuhnya dan naik ke pangkuan Wita hanya untuk menarik kalung tamu yang bergelantung di depan dada gadis itu.

Air mata Wita refleks mengalir turun. Gadis itu langsung memeluk bayi mungil yang di dalam pelukannya dan berkata dengan gemetar. “Keisha tunggu, ya. Tante akan ajak kamu pulang ….”

“Mama …,” koreksi Bu Rini sambil tersenyum lebar. “Meski hanya sebagai wali, demi kepentingan Keisha, Ibu Wita harus bersedia dipanggil Mama.”

Rasa hangat yang meneduhkan menjalar di dalam hati Wita. Dia menunduk untuk mengamati bayi ompong yang sedang berusaha menyeka air mata dari kedua pipinya.

Mama ... bukan panggilan yang buruk.

Seulas senyum pun terbit pada bibir Wita. Gadis itu mengusap sayang pucuk kepala keponakannya sambil berkata dengan suara yang lebih tegas. “Titip Keisha dulu, ya, Bu. Tiga hari lagi saya akan datang dengan berkas-berkas lengkap.”

Wita memeluk Keisha sedikit lebih lama sebelum dia berpamitan. Gadis itu melangkah meninggalkan panti asuhan, menuju mobilnya dengan satu tujuan … mencari seorang suami dan dia akan mendapatkannya sebelum matahari terbenam.

***

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.





<