cover landing

Mistis Rimak

By Keefe R.D

Prolog

Seruling kecapi dan gendang itu terus dimainkan secara berirama, membentuk sebuah alunan lagu mistis yang menyertai ritual mereka di tengah hutan liar.

Embusan angin pelan mulai menerbangkan dedaunan yang berserakan di atas tanah lembap hutan, membawa rasa waswas bagi mereka yang sedang menabuhkan gendang dan memainkan seruling di depan gua batu yang tampak begitu kelam.

Selama tabuh gendang terus dimainkan, nuansa magis mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

Namun hanya ada satu perempuan bergaun putih yang tak berkedip, terus memandang ke arah gua batu di tengah hutan dengan mata tajamnya. Perempuan paruh baya itu telah siap mendatangi gua tersebut. Kakinya terus melangkah di atas dedaunan kering yang berserakan di tanah hutan. Perempuan itu berjalan perlahan di antara para penabuh gendang dan pemain seruling yang kesemuanya berpakaian rompi hitam khas suku Dayak.

Langkahnya berhenti pada jarak sepuluh meter dari pintu gua yang kelam. Perlahan ia menekuk kedua tangannya seperti orang yang hendak berdoa. Bibirnya mulai bergerak membacakan mantra-mantra pemanggilan yang dibutuhkan dalam ritual.

Dengan mata yang terus menatap pemandangan di hadapannya, perempuan itu segera memberi aba-aba kepada para penabuh gendang dan seruling untuk berhenti memainkan alat musik mereka.

Perempuan berambut hitam panjang itu kembali menghadap ke gua lagi. Sejenak ia memejamkan matanya. Sebelah tangannya menyentuh kalung gading gajah putih yang dipakainya di leher. Bibirnya tak berhenti membacakan mantra-mantra magis.

Angin berembus kian pelan. Semua orang yang hadir ikut menatap waspada ke arah gua batu yang tampak begitu sunyi itu.

Suara langkah berat mulai muncul ke permukaan. Mereka semua sama-sama mendengar asal suara itu datang dari dalam gua batu.

Samar-samar, di antara kegelapan pintu gua, semua pasang mata melihat adanya penampakan yang muncul berselimut kabut kelam.

Desiran angin menyertai kehadirannya yang pekat. Di dalam gua batu itulah, sosoknya telah sangat lama bersemayam seorang diri, selalu menantikan hari di mana ia akan dibangkitkan kembali.

Perempuan itu kembali membuka mata. Saat ia melihat dengan jelas sosok hitam itu telah bangkit dari tidur lelapnya, bibirnya pun segera membentuk senyuman penuh kesenangan.

Ia berjongkok dan menunduk di hadapan sosok hitam itu. Semua orang di belakangnya pun segera ikut menyembah dengan takluk.

Lantas perempuan itu berbisik lirih, “Selamat datang kembali, Datuk.”

Sudah empat ratus tahun sosoknya hidup dalam keabadian yang jaya. Seorang Datuk yang dihormati oleh anak-anak keturunannya ini akan siap bertahta lagi. Kini ia dibangunkan untuk menjalani tugasnya yang penting.

Tugas itu harus dilakukannya demi kepentingan seluruh keturunannya. Walau berat, ia harus terus memperjuangkannya.

Tumbal Darah. Itulah istilah fenomena yang sudah tak asing lagi di antara mereka semua.

Setiap sepuluh tahun selalu dilangsungkan demi menjaga kesejahteraan mereka. Kini Datuk harus mempersiapkan dirinya untuk mencari tumbal-tumbal yang akan ditemuinya di luar sana sebagai sesajian.

Ia dibangunkan hanya untuk mencari manusia-manusia malang yang akan dijadikannya tumbal kepada setan.

Dirinya sudah siap menghadapi kegelapan kelam. Walau ia akan berperang sampai kematian hakikinya nanti, ia akan terus memperjuangkannya.

Jauh di pedalaman desa terpencil di hutan Kalimantan Barat, di sana tinggal satu keturunan keluarga besar bernama Mantikei. Mereka selalu memegang teguh filosofi kehidupan yang hakiki. Sesuai dengan arti makna nama Mantikei itu sendiri, yaitu besi yang kuat.

Ikatan pondasi kekeluargaan di antara mereka terasa kokoh dan erat. Pada masa itu, kehidupan terasa begitu tenteram dan damai. Adat dan tradisi lokal sudah menjadi makanan sehari-hari yang selalu hadir di antara orang-orang suku Dayak seperti mereka. Walau tinggal jauh di desa yang berada di pedalaman hutan mereka tetap hidup sebagai satu keluarga yang harmonis dan mencintai alam. Sampai lahirlah seorang anak lelaki yang pada akhirnya menjadi tulang punggung keluarga. Ketika umurnya baru memasuki pertengahan kepala dua, dirinya sudah paling dituakan di antara anggota keluarga yang lain.

Dirinya lalu dikenal sebagai Datuk tercinta di antara keluarganya. Dan kini ia harus hidup di antara dua dunia.

Karena pengaruh dari ilmu sakti itu, kini dirinya hidup abadi selama beratus-ratus tahun lamanya. Ia terjebak dalam kesepian sunyi selamanya.

Ia hidup dalam dua dunia yang berbeda. Alam kematian menahannya, begitu pula dengan alam kehidupan yang menyeret jiwanya untuk tetap hidup selamanya.

Mayatnya bagaikan mumi Mesir. Tak pernah membusuk di dalam peti mati yang dikuburkan di dalam gua batu. Sedangkan ruhnya selalu melayang di alam.

Oleh karena itu, secara turun-temurun, keluarga Mantikei wajib melangsungkan ritual tahunan untuk menjaga kelestarian jasad dan jiwa sang Datuk.

Semenjak itulah, adat istiadat Parang Irang harus terus dilangsungkan selama bertahun-tahun lamanya.

Dengan kemampuan sakti yang dimilikinya dari ilmu Parang Irang, Hasan mampu menjelma menjadi siapa saja yang diinginkannya. Bahkan ia mampu melakukan praktik magis sesuka hatinya. Kekuatan gaib itu benar-benar memberikan segalanya, kecuali rasa kehangatan yang sudah lama tak menyentuh batinnya.

Perjalanan hidupnya kali ini akan membawanya pada babak kehidupan yang berbeda.

Tumbal Darah akan segera dilangsungkan.

 

Bab 1

Tumpukan lembaran koran usang itu tergeletak begitu saja di atas meja kaca. Salah satu artikelnya dibacakan dengan suara lantang oleh Roy, “Mistis Rimak, hutan gua batu yang terkenal angker.”

“Shush! Sembarangan deh kamu,” sahut Anita dengan wajah sebal.

Sontak Roy terkekeh melihat Anita mengusap kedua bahunya sendiri karena begitu mudahnya merasa merinding.

“Eh, kalian tahu enggak, sih?” ucap Roy lagi seraya melirik kedua temannya yang sedang duduk di ruangan teras lantai dua ini bersamanya. “Konon katanya ada mitos makhluk hitam yang bersemayam di dalam gua batu itu. Kalian percaya enggak?”

Tiba-tiba saja Bayu melemparkan bola basket ke kepalanya sampai ia menjerit kesakitan. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Bayu menyahut meledek, “Dasar anak klenik. Siapa juga sih orang jaman sekarang yang bakal percaya sama cerita mistis begitu?”

Roy mencoba memulihkan kesadarannya sejenak akibat terhantam bola basket tadi. Sekarang ia menatap sebal kepada kawan sepermainannya itu. “Eh, asal kau tahu ya, aku ini anak sejarah, sudah jelas hal begini jadi makanan sehari-hari untuk asyik dikulik—”

“Gue pernah baca juga tentang mitos makhluk hitam itu,” sahut Doni dengan wajah cemerlangnya. Teman-temannya langsung mendongak menatapnya yang baru saja datang dari teras luar.

Kekasih cantiknya yang bernama Renata juga baru datang mengantarkan pesanan kopi hangat untuk mereka.

Doni memandang mereka yang duduk bersama di sofa putih itu. Lalu ia lanjut berbicara, “Enggak tahu juga tentang kebenaran ceritanya sih, tapi beberapa sumber menyebutkan kalau di kawasan Kalimantan Barat itu ada gua batu yang konon katanya bersemayam sosok makhluk abadi.”

“Vampir gitu maksudnya, Kang?” ucap Bayu sambil terkekeh menyebalkan.

Doni balas terkekeh, sedangkan Roy melempar bola basket sampai mengenai kacamata yang dipakai Bayu.

“Eh, kurang ajar loe!” sahut Bayu yang sontak merengut kesal. Segera saja ia kembali memakai kacamata bacanya. Lalu bertanya, “Memangnya itu tempat terkenal di antara anak-anak pendaki gunung, ya?”

“Sepertinya sih enggak. Soalnya itu tempat tertutup bagi pengunjung umum,” ucap Roy.

Bayu langsung menyahut dengan suara lantang bagai petir. Sontak mereka semua terkejut. “Wah, bagus kalau begitu! Bisa jadi tantangan selanjutnya untuk kita kunjungi!”

“Ih, gila deh! Males banget pergi ke sana kalau tempatnya aja udah enggak jelas!” sahut Anita mengernyit ngeri sambil mengusap bahunya sendiri.

Roy segera membuka lembaran koran lainnya. Lalu memperlihatkan kepada mereka sebuah foto hitam putih pada artikel yang ditunjuknya.

“Ini nih, kita hanya butuh sedikit informasi lagi untuk bisa mencari titik lokasinya di Kalimantan sana, Kawan,” ucap Roy dengan penuh semangat.

Sejenak Doni mengamati foto hitam putih di koran itu. Foto itu memperlihatkan pemandangan hutan di daerah Kalimantan. Konon katanya penuh dengan kisah magis yang terselubung.

Renata segera memeluk manja sebelah tangannya sambil ikut memandangi foto tersebut.

“Emang kalian pada yakin mau pergi ke sana? Biaya pulang pergi dari Jakarta ke Kalimantan kan enggak murah,” ucap Anita, berusaha membujuk teman-temannya agar tidak melanjutkan rencana ini.

“Ya elah, Anita, orang tuamu kan punya pabrik kopi. Masa sih ngasih duit buat anaknya jalan-jalan ke Kalimantan aja enggak punya?” sindir Bayu dengan mimik wajah menyebalkan.

“Kok loe nyebelin sih, Bayu? Gue cuma mau berpikir realistis aja. Bulan kemarin kita baru aja mendaki ke Gunung Rinjani. Apa enggak sebaiknya istirahat dulu sekarang ini?” ucap Anita.

Kali ini Renata gantian menyahut, “Gue rasa itu ide yang bagus, kok. Kita kan belum pernah main ke daerah Kalimantan.”

“Ih, Rena!” sahut Anita.

Renata terkekeh melihat Anita masih terus merengut ketakutan.

Bayu segera berujar, “Kalau gitu sekarang kita vote aja, deh. Siapa yang setuju bulan ini kita pergi mendaki ke Kalimantan?”

Roy menjadi orang nomor satu di ruangan yang mengangkat tangannya penuh semangat. Diikuti oleh Bayu, lalu Doni yang akhirnya setuju, dan juga Renata.

“Duh, Anita, payah banget sih kau ini. Kita akan pergi bersama-sama ke sana, bukan mau uji nyali, jadi kau jangan khawatir begitulah,” ucap Roy dengan aksen Ambon yang khas. Lalu segera ia mendekati Anita dan memaksanya sampai mau ikut mengangkat tangan juga.

“Yeay, berarti sudah fix, nih. Kita bakal pergi ke Kalimantan Barat, ya,” ucap Renata antusias.

“Mendingan kita beli tiket pesawatnya hari ini saja, Kawan. Soalnya kalau di akhir pekan bakal ramai sekali,” ucap Roy menyarankan.

“Ya sudah, kalau begitu Roy dan Bayu akan mengurus tiket pesawatnya. Sedangkan gue dan Renata akan cari-cari informasi lagi seputar kawasan hutan Mistis Rimak ini, dan—”

Doni berhenti berucap ketika mata cokelatnya melirik Anita lagi. Gadis itu tampak gundah. Sontak Doni terkekeh sambil berkata, “Hei, tenang dulu. Anita khusus mengurus keperluan perlengkapan saja, ya. Biar enggak repot.”

Namun masih saja Anita mengernyit sebal. “Ih, masa gue sendirian sih ngurusinnya?”

“Tenang kok, gua pasti ikut bantuin,” ucap Renata tersenyum manis.

Anita segera beranjak dari sofa untuk menghampiri Renata dan memeluknya sangat erat. Sambil terus menciumi pipinya seperti kakak sendiri, ia menyahut senang, “Makasih, kakakku yang cantik!”

Bayu dan Roy kemudian ikut beranjak dari sofa. Mereka akan siap-siap untuk membeli tiket pesawat pagi ini juga.

Doni kembali menyahut sebelum mereka meninggalkan vila di Puncak Bogor itu, “Oke, kita minggu ini fix mendaki gunung lagi. Semangat, guys!”

***

Lima hari kemudian, pada awal akhir pekan di bulan Juni 2016

Sejak dini hari mereka sudah kompak bersiap membawa perbekalan masing-masing. Bahkan mereka sudah datang satu jam lebih awal sebelum waktu keberangkatan. Dari Bandara Soekarno Hatta, mereka berlima berangkat menuju Kalimantan Barat.

Selama ini mereka sudah beberapa kali pergi mendaki berbagai gunung di luar kota. Rencana liburan ke Kalimantan Barat ini akan menjadi lokasi paling jauh. Dan tentu saja akan menjadi perjalanan paling menantang bagi mereka semua, mengingat kawasan pendakian di Kalimantan masih terbilang misterius.

Perjalanan dengan penerbangan pesawat hari itu menghabiskan sekitar hampir dua jam. Pada pukul sepuluh pagi mereka baru tiba di Bandara Supadio Pontianak. Dari situ, mereka berlima lanjut melakukan perjalanan darat dengan bus umum menuju lokasi berikutnya.

Dari awal memang hanya Doni yang berlagak sebagai pemimpin dalam geng pendakian ini. Dia juga yang paling senior umurnya di antara yang lain, walaupun bulan kelahirannya beda beberapa bulan saja dengan Roy. Lagi pula memang hanya dia yang paling cermat dan serbatahu soal pencarian titik lokasi setiap kali berpergian ke mana pun. Bisa dibilang, Doni itu ibarat kompas berjalan bagi teman-temannya.

Sedangkan kekasihnya, Renata selalu setia berada di sampingnya sambil membantu membacakan rute perjalanan. Perempuan berparas cantik khas putri Solo ini punya perangai yang manis dan lembut. Itulah yang membuat Doni jatuh hati padanya. Walau selalu tampak yang paling diam di antara teman-temannya, sikap cermatnya tak kalah dari kekasihnya.

Ada juga Roy. Dia sosok yang paling banyak tahu mengenai informasi sejarah dalam geng ini, mengingat dia memang lima tahun yang lalu sudah resmi lulus kuliah S1 sebagai sarjana Ilmu Sejarah terbaik di tempatnya.

Sedangkan Bayu, dia sempat kuliah S1 mengambil jurusan Ekonomi dengan nilai IP yang pas-pasan saja, dan lulus di tahun yang sama dengan Renata dan Anita. Walau begitu, dia sudah pasti bakal menjadi tim hore yang siap menghibur kawan-kawannya sepanjang waktu, mengingat sifatnya yang memang selalu suka jahil.

Dan yang terakhir, ada Anita, anak orang kaya raya pemilik pabrik kopi di Pulau Jawa. Dia adalah sahabat baik Renata. Mereka mengambil kuliah Sosiologi bersama tiga tahun yang lalu.

Perjalanan dengan bus memakan waktu hampir dua hari. Pada pagi harinya, mereka baru tiba di perbatasan pintu Desa Rantau Malam. Bayu langsung menceletuk sambil menatap dengan heran ke sekelilingnya, “Eh, Bro, loe yakin ini tempatnya?”

Doni balas menatapnya dan dengan cepat mengangguk. “Lokasi yang mau kita tuju itu ada di ujung pedalaman Gunung Bukit Raya. Berhubung sekarang kita butuh istirahat dulu, jadi sekarang kita akan cari tempat penginapan di sini.”

“Iya nih, badan gua udah bau banget belum mandi,” omel Anita. “Gila sih, perjalanan ke sini aja udah makan dua hari sendiri!”

Renata segera mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya sejenak. “Iya, kita akan istirahat dulu kok, baru besok mulai menjelajah ke tempat pendakian.”

Roy ikut menyahut heran, “Hei, kalian ini apa lupa? Orang suku Dayak selalu punya ritual penyambutan terlebih dahulu. Masa kita mau main nyelonong saja, Kawan?”

Sebelum ada di antara mereka yang hendak membalas ucapan realistis si Roy, seorang warga desa tiba-tiba datang menghampiri mereka di pintu gerbang. Sosoknya tampak begitu rapuh dan sudah berumur. Si kakek-kakek berkemeja putih lusuh dan rambut beruban itu segera menyambut kedatangan mereka semua.

Setelah Doni menjelaskan maksud kedatangan dirinya dan teman-temannya kemari, si kakek tersenyum dan segera mengantar mereka masuk ke dalam Desa Rantau Malam.

Benar seperti apa yang dikatakan oleh Roy sebelumnya, warga desa mulai menyambut hangat kedatangan mereka berlima dengan upacara adat penyambutan khusus. Mereka melakukan upacara tari-tarian khas suku setempat. Baru setelah itu seorang ibu-ibu paruh baya mengantar mereka menuju rumahnya untuk dipergunakan menginap.

Mereka berlima akhirnya tinggal di rumah warga yang sama, hanya saja berbeda kamar. Renata dan Anita akan tidur di kamar yang sama, terpisah dari kamar Doni, Bayu, dan Roy.

Dua hari perjalanan darat menggunakan bus membuat mereka semua sangat kelelahan. Akhirnya kini mereka dapat bernapas lega. Mereka berlima beristirahat sehari semalam di rumah si ibu-ibu yang sangat ramah.

Ketika jam makan malam tiba, mereka semua nongkrong bersama di teras rumah. Mereka mencicipi masakan sambal ikan asin si ibu-ibu itu. Suaminya juga baru pulang usai bekerja seharian di ladang sebelah.

“Bu, apa di Gunung Bukit Raya memang ada daerah yang namanya Mistis Rimak?” tanya Doni yang masih penasaran.

Sejenak ibu-ibu itu menatapnya diam membisu, seakan sorot matanya menyiratkan misteri yang membuat yang lainnya jadi ikut penasaran juga. Si ibu-ibu akhirnya menjawab, “Itu lokasi terbatas untuk pengunjung umum. Bahkan warga desa sekalipun enggak mau main ke situ.”

“Loh, memangnya kenapa, Bu?” tanya Renata sebelum ia melahap sesuap sambal ikan asin.

Ibu-ibu itu mengembuskan napas panjang sebelum menjelaskan, “Hutan itu satu-satunya kawasan yang setiap beberapa waktu selalu diadakan ritual khusus dari masa ke masa. Makanya di sini namanya lebih terkenal sebagai Hutan Sakral.”

Roy balas menimbrung lagi, “Kalau yang kami baca di koran dan internet, katanya disebut sebagai hutan gua batu angker—”

“Itu kan yang ditulis di internet. Sudah pasti informasinya tidak seakurat kalau kalian datang ke sini langsung,” ucap si ibu-ibu sambil terkekeh geli.

Melihat anak-anak kota ini terdiam termenung, si ibu-ibu mengamati ekspresi canggung mereka. Ia bertanya, “Apa maksud kedatangan kalian ke sini, sebenarnya bukan mau mendaki ke Gunung Bukit Raya, ya? Tapi ingin mencari—”

“Iya, Bu, kami memang bermaksud ingin berkunjung ke Hutan Sakral itu,” ucap Doni.

Bayu menyahut, “Katanya ada mitos makhluk vampir di dalam gua hutan. Apa benar itu?”

Roy segera berdeham seraya meralat ucapannya, “Maksud teman kami, seperti adanya mitos makhluk hitam, Bu.”

Seketika itu juga, si ibu-ibu terdiam lagi. Namun kali ini tatapannya tampak mencemaskan suatu hal.

Lalu dari ambang pintu, suaminya datang dan ikut menceletuk kepada para pendatang, “Saran saya, sebaiknya tidak perlulah kalian penasaran akan sesuatu yang dapat membahayakan nyawa sendiri.”

Sontak tiap pasang mata mendongak kepadanya. Bapak-bapak paruh baya itu kini bersandar di ambang pintu teras sambil menyalakan rokok.

“Apa artinya, Bapak dan Ibu ini percaya dengan mitos makhluk hitam yang ada di gua hutan itu?” tanya Renata.

Namun si bapak-bapak itu malah tersenyum misterius seraya berkata, “Kami akan selalu mengatakan kepada para pendatang: selalu berhati-hatilah kalian setiap kali hendak menginjakkan kaki di tanah hutan Kalimantan. Berdoalah dan yakin dengan tujuan kalian yang mulia di tanah ini.”

Mendengar jawaban si bapak-bapak yang malah cenderung ambigu, mereka berlima jadi bingung.

Doni lanjut bertanya, “Apa Bapak dan Ibu ada cerita mengenai Mistis Rimak serta legenda yang ada di sana?”

“Cukuplah kalian tahu, jangan penasaran dengan hal yang dapat membahayakan akal sehat, jiwa, dan nyawa kalian saat hendak berpergian,” ucap si bapak-bapak itu lagi. Istrinya tertawa kecil setelah mendengar nasihat klasik itu.

Akhirnya mereka berlima kembali melamun. Mereka duduk lemas sambil memandangi indahnya bintang-bintang di langit malam biru.

Kini mereka hanya dapat berpegang pada sisa-sisa informasi yang bisa didapatkan sekadarnya dari koran dan internet. Tampaknya warga desa setempat enggan berbagi kisah yang sudah lama terkubur di masa lalu. Mungkin pendakian ini akan menjadi perjalanan paling misterius yang akan mereka tempuh bersama.





<