cover landing

Mr. Anonymous

By Pikadita

Aku mengusap pipiku yang mati rasa. Setelah beberapa saat baru terasa pedas yang tidak pada tempatnya. Saat itu juga aku baru menyadari sesuatu terjadi dengan wajahku. Kuangkat kepala yang tadi sempat tertunduk. Setelah itu aku menatap cermin tinggi di belakang Pak Arga, atasanku yang serba benar. Pipiku bersemu merah seperti seorang gadis muda yang baru pertama menerima surat cinta. Tapi dalam kasusku ini agak berbeda. Warna merah muda yang kudapat bukan berasal dari surat cinta, melainkan dari naskah tebal yang digulung menyerupai tongkat dalam genggaman Pak Arga. Dua kali pria itu mendaratkannya di pipi. Kanan dan kiri, hingga kacamataku terpelanting ke dekat tempat sampah. Detik itu juga perasaan ingin merebut takhta Pak Arga bergejolak.

Lihat, ini lah yang kudapat setelah dedikasiku selama ini padanya. Terkadang aku memikirkan alasan kenapa dia tidak mengganti nama jadi Gara saja? Coba bayangkan kalau namanya Gara, emosiku pasti langsung tersalurkan hanya dengan menyebut namanya. Pak Gara. Pak Gara-gara. Tukang cari gara-gara. Tapi ya sudahlah. Akan kusalurkan emosiku ke hal lain. Muterin GBK sepuluh kali sambil cuci mata mungkin.

Bentakan Pak Arga membuatku memalingkan wajah dari cermin. “Sudah cukup keras kepalanya, Catra. Saya sudah muak mendengar gagasanmu. Cepat keluar!” Setelah digunakan sebagai alat penampar, Pak Arga melempar naskah berjudul Marvelove tadi ke atas meja kerjanya. Kedua tangannya dilipat ke dada, kedua matanya mengawasiku yang baru akan meninggalkan ruangannya.

Sepuluh menit yang lalu, kuketuk ruangan Pak Arga dengan penuh percaya diri. Bahkan sebelumnya beberapa rekan juga memberikan semangat sambil menepuk-nepuk bahu. Mungkin lain kali aku minta didoakan saja untuk keselamatan dunia dan akhiratku. Jadi, setelah bertapa selama tiga hari tiga malam, aku yakin naskah yang kugenggam ini bakalan menjadi best seller. Judulnya Marvelove, penulisnya Viona Paramita—aku baru dengar namanya.

Sialnya aku selalu ‘lupa’ kalau kalimat andalan Pak Arga adalah mencari naskah yang punya nilai bagi Bright Media. Naskah yang bisa mengangkat Bright Media menjadi penerbit nomor 1 di Indonesia. Bukan terus menjadi yang kedua sejak kali pertama didirikan.

Meski demikian, aku selalu memotivasi orang-orang baru di kantor ini untuk sependapat denganku. “Gue bakalan ngelupain perkataan Pak Arga yang itu karena enggak sesuai dengan Visi dan Misi Bright Media,” ujarku kepada setiap anak magang di Bright Media. “Kalian harus percaya kalau penerbit yang membesarkan nama penulis, bukan sebaliknya!”

Kata Pak Arga, aku terlalu idealis di umurku yang hampir menyentuh angka 30. Bahkan diam-diam rekan kerjaku sering menambahkan kata ‘sok’ sebelum kata idealis. Sok idealis. Dan sifat idealisku itu membuat Pak Arga kesal tujuh tahun belakangan. Kemampuanku sejak baru menjadi asisten editor hingga kini memang tidak perlu dipertanyakan. Statement itu diungkapkan sendiri oleh Pak Arga di hadapan semua orang. Hanya saja aku memang agak bermasalah pada bagian yang paling Pak Arga garis bawahi. ‘Cari naskah yang bisa menghasilkan uang!’

“Cepat carikan dia pasangan biar enggak kaku kayak sepatu baru yang suka bikin lecet,” celetuk Pak Arga di hadapan seluruh tim editor pada suatu hari yang lalu. Hah?! Tolong beri tahu aku hubungan antara pasangan dengan prinsip dalam bekerja.  

 ‘Mau nunggu sampe kapan itu tulisan yang kamu bilang bagus ditemuin sama pembacanya, CATRA?! Tunggu Bright Media bangkrut dulu?!’ Kalimat ini terlalu sering meluncur dari mulut Pak Arga kepadaku. Seperti doa, aku sampai bisa menyebutkannya dalam tidur.

“Kamu sudah cek media sosial anak ini?” tanya Pak Arga sambil menunjuk naskah yang  kubawa ke ruangannya.

Meskipun aku sudah tahu jumlahnya, aku tetap merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Kemudian kugulir layarnya.

“Berapa pengikutnya?” tanya Pak Arga dengan nada tidak santai.

Pengikutnya cuma lima belas. Habis lah aku dibantai. Sebentar lagi Pak Arga pasti akan menceramahiku dengan tema profit perusahaan lagi. Aku menatapnya tajam. “Menurut saya bukan masalah berapa jumlah pengikutnya, Pak,” kilahku.

“Berapa, Catra?!” Kedua bola mata Pak Arga hampir mencelat ke lantai andai tidak ada kacamata tebal yang menahannya.

“Lima belas, Pak. Sekarang jadi enam belas karena saya baru saja menekan tombol follow di akunnya.”

Lelaki bertubuh gempal itu tertawa terbahak-bahak. Ia baru berhenti tertawa ketika kacamatanya merosot ke ujung hidung lalu ia membetulkannya sambil melanjutkan ceramah dengan tema yang tepat seperti dugaanku, wang ... wang ... wang ... wang ....

Mau tidak mau aku hanya bergeming sambil mendengarkannya ceramah. Sampai detik itu aku masih merasa harus menerbitkan Marvelove. Naskah itu patut diperjuangkan. Setidaknya itu yang  kuyakini. Setelah Pak Arga selesai dengan kalimatnya, aku bangkit dari kursi seperti pahlawan. Bodohnya aku merasa sangat keren karena sudah bertindak seperti itu. “Kalau kita tetap terbitkan buku ini bagaimana, Pak? Saya akan buktikan kalau perusahaan tidak akan bangkrut hanya gara—”

Slap.

Slap.

Kacamataku terjatuh ke lantai.

Begitulah kronologi terjadinya rona merah di pipiku hari ini. Perlu ditekankan, dua kali. Yang kedua rasanya lebih perih ketimbang yang pertama. Beruntung telapak tangan Pak Arga agak banyak lemaknya. Jika tidak, mungkin ujung bibirku juga sudah mengeluarkan darah. Setelah tamparan itu, aku membawa kembali naskah milik Viona dan segera keluar ruangan itu. Namun sebelum aku menutup pintunya rapat-rapat—dan menguncinya dengan gembok sapi—dia sempat berpesan begini, “Kamu nggak boleh masuk ke ruangan saya sebelum bawa naskah yang BENAR.”

Kalimat itu ternginag ribuan kali di kepala padahal baru disebut beberapa detik yang lalu. Aku langsung membuka salah satu market place dan menulis kata kunci ‘gembok sapi’. Namun itu hanya berlangsung di dalam imajinasiku saja. Kuputuskan untuk mengangguk dan segera menutup pintu ruangan Pak Arga. Begitu aku sampai di luar, aku langsung disambut dengan tatapan penuh selidik—dengan kadar keingintahuan yang sangat berlebihan. Tentu suara yang Pak Arga hasilkan itu menggema ke seluruh ruangan. Jangankan bicara keras, bicara pelan saja seolah dinding punya telinga di kantor ini. Udara membawa kabar itu diam-diam dan entah bagaimana caranya hingga seisi gedung tahu.

“Mas, mau gua ambilin air dingin atau hangat?” tanya asisten editorku dengan rasa-persahabatan-tapi-aku-sedang-tidak-ingin-bersahabat-dengan-siapa pun.

Kuhentikan langkah tepat di hadapannya. “Untuk?”

Ia menunjuk pipiku dengan kikuk dan langsung menurunkan telunjuk yang ia gunakan untuk menunjuk wajahku. “Ehm, anu, untuk ngompres, Mas,” jawab pemuda bernama Rio itu penuh keraguan.

Kulirik meja yang memisahkan kami berdua. Aku sempat berpikir untuk menendang meja itu, namun akhirnya urung dan lebih memilih menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. “Naskah Siera si influencer terkenal itu sudah selesai?” tanyaku dengan penuh penekanan di setiap kata yang keluar dari mulut—terutama pada kata influencer yang juga ditekankan oleh Pak Arga. Asistenku itu baru menyadari kalau tawaran air dingin atau hangat tak seharusnya dilontarkan kepada seniornya di saat-saat seperti ini. Terutama aku juga tak yakin mana yang bisa mengobati bekas tamparan, yang hangat atau yang dingin? Bukannya lebih baik dia menawarkan kopi yang ia beli di Starbucks?

“Ehm, sebentar lagi, Mas,” jawab anak itu kelabakan.

“Cepat bawa ke ruangan gue kalau lo gak mau kayak gini juga!” ucapku dengan nada agak tinggi sambil menunjuk pipi. Mendengar perintah dariku, pemuda itu langsung berbalik dan menghilang dari pandanganku. Setelah satu tarikan napas, aku berjalan menuju ruangan diikuti tatapan orang-orang yang kulintasi. Aku membanting pintu. Tanda bahwa pertunjukan sudah usai. Semua kembali bekerja.

***





<