cover landing

Mustaka ke-13

By Savariya

Desa Wono, 1968

Welahanane penggalih

Kawula tan isa manah

Ratri wis nendra lan lungse

Nanging ulun manindawa

Merga prana marana

Tan wales wulangun ulun

Sing duwe atmaka mendra

 

Belahan hatiku

Aku tidak bisa berpikir dengan benar

Malam sudah larut

Tapi aku masih terjaga

Karena hatiku sakit

Kau tidak membalas cintaku

Ku pastikan kamu mati

 

Wanita yang berumur sekitar 25 tahunan duduk bersila sambil melantunkan tembang Asmarandana. Sudah setengah jam ia menunggu kedatangan seseorang. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Sesekali ia mengusap keringat yang mengalir dari dahinya. Tiba-tiba sebuah delman dengan kuda berwarna cokelat berhenti di depan rumah peyot tempat wanita itu duduk. Turunlah seorang pemuda yang gagah. Setelah memberikan beberapa lembar uang kepada kusir delman, pemuda itu mendekati wanita yang sedari tadi menunggu kedatangannya.

"Sudah lama menunggu, Sukesih?" tanya si pemuda kepada wanita bernama Sukesih.

"Tidak, Kang Darman," jawab Sukesih.

"Maafkan aku. Kuda delman tadi sempat tidak mau berjalan. Jadi, kami terpaksa membujuknya sejenak," ujar Darman sambil mengibaskan tangannya karena kepanasan.

"Tidak apa-apa, Kang."

"Sudah beberapa hari ini kau selalu mengajakku bertemu di rumahmu. Setiap kutanyakan, kau pasti menjawab tidak ada apa-apa. Apa yang bisa kubantu untukmu?"

"Kakang tidak akan bisa membantu permasalahan saya."

"Kalau kau sendiri tak mau bicara, bagaimana caranya aku bisa mengerti permasalahanmu?"

"Sudahlah, Kang. Tak perlu berpura-pura. Kakang sebenarnya sudah tahu permasalahannya. Masalah dalam hidup saya adalah saya mencintai Kakang dan Kakang tidak pernah mencintai saya."

"Maafkan aku, Sukesih. Tidak seperti itu maksudku. Aku tahu kau begitu mencintai diriku. Tapi sayangnya aku tak pernah bisa menganggapmu lebih selain sahabat pada masa kecil."

"Itulah masalahnya, Kang. Saya tak bisa melupakan Kakang."

"Sudahlah, Sukesih. Kau cantik dan molek, tidak mendapatkan lelaki sepertiku bukanlah masalah yang sulit. Di luar sana banyak lelaki yang masih membutuhkan dirimu."

Sukesih terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan Darman dan melihat beberapa orang berlalu lalang di depan rumahnya. Para tetangga akan membicarakan dirinya esok hari, seperti biasa. Sebagai wanita murahan yang mengincar kekayaan Darman. Padahal Sukesih yakin, dia benar-benar mencintai Darman setulus hati.

"Apakah orang-orang masih membicarakan kita?" tanya Darman membuyarkan semua garis-garis kehidupan Sukesih.

"Iya," jawab Sukesih singkat.

"Kurasa mereka belum bosan mengurusi kehidupan kita."

"Bukan salah mereka. Tetapi salah dirimu sendiri, yang membuat orang-orang berpikir buruk tentangku. Andai saja kau bisa mengalah demi cintaku, orang-orang tidak akan berpikir seperti itu."

“Maafkan aku, Sukesih. Sudah berapa kali aku katakan kepadamu, aku tidak bisa mencintaimu. Lagi pula aku akan menikah dengan Ratri bulan depan.”

Tiba-tiba Sukesih mengeluarkan pisau dari belakang tubuhnya. Matanya melotot berwarna merah. Napasnya memburu sambil menodongkan pisau.

“Apa yang hendak kau lakukan, Sukesih?” tanya Darman bingung. Dia perlahan mundur dari tempat duduknya. Dia ingin meminta pertolongan warga tapi tidak ada seorang pun di sana. Beberapa warga yang lewat tadi sudah pulang ke rumah masing-masing.

“Aku tak bisa mendapatkanmu, maka Ratri pun tidak akan mendapatkanmu. Tak akan kubiarkan seorang pun bisa menyentuhmu. Akan kuantarkan kau kepada Yang Mahakuasa.”

***

“Saya mau dibawa ke mana, Kang?” tanya Sukesih pada Darman.

“Sudahlah, Sih. Ikut denganku saja. Ada seseorang yang menunggumu di sana.” Darman terus menarik tangan Sukesih ke sawah. Melewati parit dan hampir terjerembap ke dalam lumpur. Namun, hal itu tak membuat Darman melepaskan tangan Sukesih. Sukesih terus berjalan sambil berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur yang melekat di bajunya. Tiba-tiba Darman berhenti di depan gubuk pinggir sawah. Di sana terdapat seorang wanita. Darman mendorong pelan Sukesih ke hadapan wanita itu.

“Siapa dia?” tanya Sukesih pada Darman. Di sisi lain wanita itu melemparkan senyumnya kepada Sukesih.

“Dia Ratri, anak kepala desa sebelah utara. Dia tunanganku.”

Sukesih terbelalak kaget. Tak mungkin Darman telah bertunangan dengan orang lain. Darman tidak pernah mengundang dirinya.

“Hai Mbak, saya Ratri,” ujar wanita itu memperkenalkan diri. Sukesih tidak menerima jabatan tangan dari Ratri. Sukesih malah memperhatikan postur tubuh Ratri dari bawah ke atas.

“Mbak, Mbak!” Ratri mengibas-ibaskan tangannya ke muka Sukesih.

“Eh eh, iya? Saya Sukesih.” Akhirnya Sukesih menerima jabatan tangan Ratri setelah melamun sedikit lama. Ratri tersenyum melihat tingkah Sukesih.

Ratri dan Darman asyik berbincang sambil menikmati angin sawah. Sukesih hanya menggeleng atau menganggukkan kepala jika mendengar pertanyaan dari mereka berdua. Mereka tak sadar, Sukesih yang tersakiti di sini. Air mata yang mulai menetes, segera diusap oleh Sukesih.

“Uumm … saya pergi dulu, ya. Saya belum cuci baju di rumah. Saya pamit ya Ratri, Darman,” pamit Sukesih pada pasangan kekasih itu. Mereka hanya mengangguk, setelah itu mereka kembali berbincang. Tak jarang mereka tertawa terbahak-bahak.

Sukesih pergi dengan perasaan kecewa. Hatinya pecah berkeping-keping. Dia tak pernah berharap menemui kejadian ini. Dulu, Sukesih pernah menyatakan perasaannya pada Darman. Tetapi, Darman menolak cintanya karena menganggap Sukesih tidak lebih sebagai sahabat masa kecil. Bahkan banyak wanita yang tidak sungkan menyatakan isi hatinya. Namun, semuanya ditolak mentah-mentah. Karena hal itu, Sukesih tak pernah berpikir bahwa Darman akan bertunangan dengan orang lain. Darman memang sering menceritakan masalahnya dengan Sukesih tetapi tidak untuk kisah cintanya.

Darman benar-benar melupakan Sukesih, bahkan ketika bertunangan pun Darman tak mengundang Sukesih. Sukesih sadar dia bukan orang yang pantas untuk masuk ke rumah kepala desa. Namun, setidaknya dia bisa bercerita sedikit. Jika Sukesih tahu dia akan hancur seperti ini, dia tidak akan pernah menaruh rasa cinta pada Darman.

Kini, dia hanya duduk di bawah pohon mangga. Sejuknya angin siang tak sesejuk hati Sukesih yang terbakar api cemburu. Sukesih benar-benar patah hati. Matanya sembap karena terlalu banyak air mata yang keluar sejak dia pergi dari tempat tadi. Sukesih pun mengerti kalau dia hanya menjadi orang ketiga.

Sukesih pulang ke rumah orangtuanya. Tetapi, dia tidak keluar kamar berhari-hari, hanya menangis setiap malam. Tentu saja keluarganya khawatir tentang keadaan Sukesih.

"Sukesih, ayolah keluar, Nak. Kamu tidak perlu memikirkan Darman terlalu lama. Keluar dan makanlah sesuatu," ujar ibu Sukesih sambil mengetuk pintu kamarnya. Namun, tetap tidak ada jawaban.

"Banyak lelaki di luar sana yang bisa menjadi milikmu. Tak perlu kau pikirkan Darman itu. Kau bisa sakit. Keluarlah dan makanlah." Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sepintas hanya suara sesegukan di dalam kamar Sukesih. Ibunya kecewa karena usaha tidak berhasil.

Sukesih memutuskan untuk menceritakan semua ini pada sebuah kertas. Dia sering menceritakan kebahagiannya di kertas itu. Kali ini berbeda, Sukesih menulis kisahnya yang pahit. Dengan amarah yang meluap dan api cemburu, tak sekali dua kali dia menusuk-nusuk kertas itu. Hingga tak jelas apa yang Sukesih tuliskan di sana. Mata Sukesih memerah dan napasnya tersengal-sengal karena terlalu banyak air mata yang mengalir. Sukesih mengusap cepat air matanya. Dia akan mengisi kertas hari ini dengan tembang Asmarandana.

Tak perlu waktu lama untuk membuatnya, 7 baris lirik tembang sudah berjajar rapi menghiasi kertas Sukesih. Menjadi 14 baris dengan artinya. Sukesih tersenyum bisa menyelesaikan tembangnya. Dia mulai membaca dan menghafalkannya. Dia juga menggeleng-gelengkan kepalanya menikmati tembangnya sendiri. Di hati Sukesih sudah tertanam dendam. Dia akan menanamnya dalam-dalam hingga tumbuh tunas yang akan menuntunnya nanti.

***

Jleb!

Pisau tertancap pada tubuh Darman. Tidak hanya sekali. Sukesih menancapkan pisau itu berkali-kali. Mata Darman melotot merasakan sakit di dadanya. Tidak ada perlawanan dari Darman, hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya.

"Aku tahu ini salah. Namun, cintaku padamu menutup semuanya. Daripada kau menikahi orang lain dan aku tidak mendapatkan cintamu, lebih baik kau mati," ujar Sukesih. Bibirnya sedikit terangkat. Awalnya, dia tersenyum lalu tertawa. Tak Sukesih sangka, dia bisa membunuh orang yang dia cinta. Kini Darman ada di pelukannya, walaupun tak utuh lagi. Sukesih berusaha menyeret tubuh Darman menuju ke dalam rumahnya. Guci besar yang terbuat dari tanah liat sudah bersiap menerima tubuh Darman. Dengan susah payah Sukesih mendorong Darman agar masuk ke guci. Pisau yang menjadi saksi bisu telah Sukesih cuci, dan dia masukkan ke dalam tas kainnya. Dia akan pergi dari sini, dari desa, rumah, bahkan keluarganya. Dia akan pindah ke desa Kantil dan menulis kisah baru di sana.

***





<