cover landing

My Complicated Lecturer

By ZaiJeeLea

Tina kayak lagi syuting acara uji nyali! Bulu kuduknya berdiri. Jari-jari tangannya mati rasa dan memutih. Kalau saja di ruangan ini ada kamera, dia sudah melambaikan tangan dari tadi.

Di luar memang sedang hujan badai disertai angin kencang, salah satu sebab yang membuatnya hampir mati kedinginan. Sebab kedua adalah: di ruangan tempatnya berada sekarang, AC menyala dengan suhu sangat rendah. Dua buah kipas angin yang letaknya di tengah dan di pojok ruangan juga menyala. Berputar dengan kecepatan maksimal.

Ah, bukan cuma itu saja. Yang lebih ngeri adalah sebab yang ketiga, Andre Mahatma. Dosen muda berwajah superdatar, yang judesnya jauh melenceng dari batas normal ini adalah tiketnya menuju kematian. Mati beku.

A-acc kan, Pak?” Suara Tina tercekat di tenggorokan.

Andre mendesah kecewa. Draf skripsi yang sejak tadi dia periksa dilemparnya ke ujung meja. “Belum. Revisi lagi.”

“Revisi lagi, Pak?!”

Alis tebal Andre terangkat. Dia menunjuk telinga sendiri sambil menatap Tina. “Nggak budek, kan? Atau suara saya nggak kedengaran karena hujan?”

“Eh? Nggak, Pak. Je-jelas a-ja kok suara Ba-bapak. Itu … saya cuma …, tadi …, anu ….”

“Ngomong itu yang jelas! Memangnya kamu balita yang baru bisa bicara?! Saya nggak ngerti, tahu nggak?!”

Gadis itu langsung pucat. Tubuhnya semakin gemetaran karena dibentak. Untung dia sudah kencing sebelum menemui dosen muda ini, jika tidak, dijamin dia terkencing di celana sekarang.

“A-apalagi yang harus saya revisi, P-Pak? Saya sudah empat puluh delapan kali konsultasi. Tiga puluh kali revisi. Semua yang Bapak suruh sudah saya kerjakan, tapi masih ada lagi yang harus saya revisi?” tanya Tina lembut, cenderung berbisik. Nyalinya ciut bekas kena bentak tadi.

“Nggak usah tanya-tanya lagi. Bawa sana skripsi kamu. Temui saya lagi nanti kalau sudah selesai kamu revisi.”

Selalu itu yang Andre katakan sebagai tanda berakhirnya waktu konsultasi. Revisi lagi. Revisi terus. Revisi selalu!

Cewek itu mengepalkan tangan. Seluruh tubuhnya letih, lesu dan lunglai. Dijamin tidak lama lagi dia akan tumbang lalu selang infus tertanam di tangan. Matanya akan dihiasi kacamata minus berlensa tebal karena setiap hari, dari pagi sampai tengah malam, dia hanya berkutat di hadapan laptop. Makan tidak teratur, tidur apa lagi. Semua hanya untuk satu kata, acc!

Tina mencuri kesempatan untuk menyapu keringat dingin di pelipis. Jangan sampai dosen muda itu melihat gerak-geriknya. Bisa gawat kalau dia kepergok berlaku aneh di depan Andre. Sikap tubuh yang harus diperlihatkan di depan Andre adalah berdiri tegap, senyum sepuluh senti, dua tangan saling bertautan di depan dada. Simpelnya, seperti anak SD yang jadi paduan suara.

Bagi Tina, Andre tidak lain tidak bukan adalah malaikat pencabut nyawa. Menemui Andre sama saja dengan menyerahkan nyawa secara cuma-cuma. Hampir setiap kali konsultasi, dosen muda itu selalu membentaknya.

Sebutan lain Andre adalah Ganteng-Ganteng Sadis! Orangnya guanteeeng, tapi sayang, dia sering berkata sadis. Pedas banget! Kalau orang yang berhadapan dengan Andre tidak kuat imannya, jangan heran, mereka akan bengek, nangis kejer, lalu pingsan di tempat.

Untungnya Tina sudah meningkatkan iman. Sabar adalah nama tengahnya. Kalau sedang berhadapan dengan Andre, dia cukup menarik napas lewat hidung dan mengeluarkan lewat mulut. Persis seperti pernapasan ala emak-emak mau melahirkan.

Meskipun bukan sekali ini dia berurusan dengan Andre dan mulut pedasnya, tetap saja hatinya seperti dicabik-cabik singa. Perih sekali. Inilah luka tak berdarah. Obatnya apa? Entahlah. Harapan terbesar Tina adalah Andre kena kanker stadium akhir lalu koit supaya dia bisa ganti dosen pembimbing.

Penderitaannya tidak cukup sampai di situ saja. Tina dibuat nelangsa karena dari lima orang mahasiswi yang Andre bimbing, hanya dia yang skripsinya belum di-acc. Si Lisa besok akan sidang. Ana sudah yudisium. Luna dan Joi malah sudah wisuda. Padahal mereka berlima selalu bersama-sama saat konsultasi ke dosen killer ini, tapi Tina ketinggalan jauuuh sekali.

Dia merasa dianak-tirikan. Saat konsultasi, Andre menyuruhnya jadi yang paling belakangan. Berdiri di pojok ruangan, mirip pajangan. Setelah keempat temannya keluar, menyisakan dia dan Andre berduaan, saat itu tampang Andre langsung jadi bete. Tina semakin tidak nyaman karena atmosfer menjadi semakin dingin dan Andre memasang tampang datar berlapis-lapis. Nada bicaranya juga ketus terkesan membentak. Jujur, kalau bisa menangis, Tina sudah menangis di hadapan Andre.

“Bapak ada dendam apa sama saya? Teman-teman yang satu bimbingan kayaknya mudah banget konsul sama Bapak. Mereka mau yang kayak gini, Bapak kasih. Mereka nggak mengikuti saran Bapak, Bapak biarin saja. Kenapa saya ….” Tina menarik napas panjang lalu menggeleng pelan. Matanya menyiratkan kekecewaan yang dalam.

“Karena skripsi kamu hancur banget,” jawab Andre tanpa berbalik.

Sehancur apa sih, Pak? Sehancur hati saya yang selalu mengharapkan acc-an Bapak kah?

Mata Tina langsung berkaca-kaca. Pernapasan ala emak-emak melahirkan tampak tidak berguna lagi untuknya. Jika hukum tidak ada, Andre sudah dia mutilasi sampai menjadi seribu potong. Dia tidak akan terkejut jika tidak mendapati hati Andre setelah membelah perutnya. Laki-laki itu memang tidak punya hati!

Buru-buru Tina menyipitkan matanya. Kemudian cewek itu mengambil skripsi di ujung meja dan pamit. Sebelum dia meraih gagang pintu, Andre memanggilnya.

“Kamu mau skripsi kamu saya acc?”

Tina menegapkan postur tubuh. Matanya mengerjap dan sebekas senyum manis terlukis di wajahnya yang kusut. Dia berbalik lalu mengangguk sampai vertigo.

“Mau banget, Pak!” sahutnya girang. “Ayah dan ibu saya akhir-akhir ini sering nanya kapan saya sidang. Saya bingung harus mengatakan alasan apa lagi kepada mereka. Tolongin saya lah, Pak …, jangan buat saya jadi tambah berdosa sama ayah dan ibu saya.” Tina memelas.

Andre membetulkan letak duduknya. Satu ujung bibirnya terangkat menampilkan seringaian memikat. “Makanya kerjain yang bener! jangan asal copy-paste skripsi kakak tingkat!”

“Saya nggak copy-paste, Pak.”

Seringaian Andre semakin lebar. Tak lama kemudian, wajahnya kembali datar. “Buktikan! Kalau kamu nggak bisa membuktikannya, dengan senang hati saya meminta kamu buat judul baru.”

“Sumpah, saya nggak copas, Pak,” Tina mulai merengek.

Tina tambah sakit hati dikatai begitu. Detik itu juga Tina berharap bisa mendorong Andre dari puncak Monas! Begadang tiap malam, tidur cuma tiga jam. Bahkan rela tidak menonton drama Korea selama berbulan-bulan agar konsentrasinya hanya fokus kesatu hal saja, skripsi. Sampai muntah-muntah karena membaca buku-buku yang tebalnya lebih dari lima ratus halaman. Semua dilakukan semata-mata untuk mengurangi revisian. Sayangnya, Tina harus menelan pil pahit. Skripsinya kalah bagus dari skripsi Lisa si Ratu Copas!

Kadang dia berpikir begini: Pak Andre punya dendam kesumat sama gue. Andai dia percaya reinkarnasi itu ada, Tina akan menarik kesimpulan kalau di kehidupan sebelumnya dia pasti sudah jahat pada Andre, sehingga di kehidupan sekarang Andre balas menjahatinya.

Andre berdeham, menunjuk pintu lalu berkata, “Bisa keluar? Saya enek melihat wajah kamu tiap hari.”

Tina menghela napas. “Kan situ yang nyuruh saya datang tiap hari,” cicitnya. Dia keluar ruangan Andre tanpa mengucapkan terima kasih seperti yang sering dia lakukan. Maaf, tidak ada terima kasih terima kasih lagi untuk sekarang sampai ke depan!

“Tina.”

Tina melongokkan kepala ketika Andre memanggilnya. “Ada apa lagi, Pak?”

Senyum Andre merekah sebelum dia berkata, “Kenapa kamu mau cepat-cepat lulus?”

“Hm? Ya, saya mau segera balik ke kampung. Ngumpul sama ayah dan ibu saya.”

“Nggak mau sama saya lebih lama?”

Dahi Tina langsung mengerut. Kepalanya terteleng ke kanan. “Maksudnya?”

Andre menjawab dengan kekehan. “Saya masih mau lama-lama sama kamu. Jadi, ngerjain skripsinya santai aja, ya.”

“Jangan begadang. Mata kamu kayak kuntilanak yang maskaranya luntur. Ngeri banget. Sering-sering mandi, juga. Badanmu bau banget soalnya.” Andre menutup hidungnya dan memasang mimik jijik.

“Saya mandi loh, Pak.”

“Masa? Kapan mandinya? Seminggu yang lalu? Mata kamu masih ada beleknya dan pipi kamu juga ada ilernya.”

“Heh?! Pak Andre bercandanya kebangetan, ah!” Tanpa sadar Tina memekik lalu membanting pintu. Langkah kakinya besar-besar menuruni tangga.

***





<