cover landing

My Innocent Woman

By demimoy

Satrya baru saja tiba di gedung apartemennya, waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, dan dirinya baru saja selesai dengan semua pekerjaan yang melelahkan.

Sampai di lantai di mana ia tinggal, Satrya menekan password apartemen dan menemukan keadaan di dalam gelap, tanda tidak ada siapa pun di sana. Karena ia tinggal bersama sahabatnya, Vano selama ini, seharusnya orang itu sudah berada di sini sekarang.

Lantas di mana Vano sekarang?

Sepengetahuan Satrya, Vano sudah pulang terlebih dahulu, sejak pukul delapan tadi. Tak mau ambil pusing, ia melanjutkan masuk dan menyalakan lampu dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

Satrya merogoh saku celananya ketika ponselnya berdering dan melihat nama seseorang yang cukup ia kenal.

Ia memutar bola matanya, dan mengembuskan napas sebelum mengangkat panggilan itu. Ia sudah punya firasat tentang tujuan dari panggilan masuk itu. Maka ia dengan malas menjawab.

“Halo?” ucapnya tidak minat.

“Bisa kau datang ke kelab?”

Tanpa harus diberi tahu lebih banyak, Satrya mematikan sambungan telepon dan berjalan kembali keluar. Satrya mengumpat dan menyumpah-serapahi seseorang ketika ia selesai menerima telepon. Buru-buru dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya sebelum ia berlari melesat keluar gedung.

"Dasar, bikin repot saja!" gerutunya ketika memakai helm sebelum menaiki motornya.

***

Dengan kecepatan sedang Satrya melajukan motornya di jalanan yang masih ramai. Hingga motor itu sampai di tempat yang ia tuju. Satrya melihat jam di pergelangan tangannya yang masih menunjukan pukul sembilan malam.

"Ini bahkan masih belum terlalu malam. Tapi dia sudah mabuk. Sejak kapan dia minum-minum, ha?" Satrya masih saja menggerutu. Langkahnya yang lebar kini memasuki ruangan yang penuh dengan manusia yang tengah meliuk-liukan badannya. Bau alkohol dan asap rokok langsung tercium oleh indra penciumannya.

Setelah berada di dalam, Satrya mengedarkan dan menajamkan kedua mata mencari sosok seseorang yang dianggapnya merepotkan itu. Kedua matanya akhirnya tertumbuk pada seseorang di sana. Seseorang yang tengah menelungkupkan kepala di atas meja bar.

"Hei, kau berengsek!" seru Satrya seraya menarik lengan pria itu.

Vano mengerang lalu menghempaskan tangan Satrya yang memegang lengannya dengan kasar.

Satrya memutar bola mata. "Selalu saja seperti ini! Kenapa selalu merepotkan, sih!" Satrya kembali menarik tangan Vano yang sudah mabuk berat.

Tidak seperti tadi, kali ini Vano tidak menolak sentuhan Satrya. Pria itu menukar posisinya menarik tangan Satrya hingga Satrya masuk ke dalam pelukan pria itu.

"Shit! What the fuck!" seru Satrya terkejut. Ia mencoba melepaskan diri dari kungkungan Vano dengan mendorong dada pria itu. Tetapi, kekuatannya tidak cukup kuat.

Bartender yang baru saja muncul langsung menertawakan keduanya, lebih tepatnya menertawakan Satrya.

"Berengsek, malah tertawa! Bantu aku, Rexa!" Satrya masih terus berusaha melepaskan diri dari Vano.

Sedang tawa bartender yang bersama Rexa itu semakin meledak melihat Vano yang makin menelusupkan wajahnya di ceruk leher Satrya.

"Aku mencintaimu," gumam Vano tidak sadar dengan apa yang ia lakukan.

"Tapi, aku tidak!" jawab Satrya jengah. "Lepas!" Satrya menarik lengan Vano yang melingkar di leher dan tubuhnya.

Setelah merasa puas menertawakan, barulah Rexa membantu Satrya agar pria itu keluar dari kungkungan Vano. Meski sedikit sulit, tetapi setidaknya sekarang bisa kembali bernapas lega.

"Harusnya kau tidak meneleponku tadi, sialan!"

Rexa kembali meledakkan tawanya. "Sayangannya melihatmu kesulitan adalah salah satu hiburan terbaik bagiku. Lagi pula kalau bukan kau yang kutelepon, aku harus menelepon siapa? Raga?" jawab Rexa mendengus mengingat ia pernah menelepon Raga saat itu dan ia bersumpah tidak akan mengulanginya lagi. Jika Vano akan menjadi gila saat sedang mabuk seperti sekarang, maka Raga akan menjadi lebih gila ketika ia terganggu dari aktivitas yang katanya penting. Bukannya membawa saudaranya yang tengah gila pergi, pria itu malah semakin membuat kekacauan dengan memarahi siapa pun yang menghalanginya. Tak luput ia pun akan kena marah.

"Setidaknya membiarkan dia tidur di sini sampe pagi bukan ide buruk kurasa!"

"Oh, itu ide paling buruk yang pernah ada, sialan. Dia akan semakin merepotkan. Aku malas mengurusi."

"Ck, cepat bantu aku!"

Vano sudah berada di dalam kungkungan lengan Satrya. Rexa keluar dari dalam bar dan membantu Satrya menopang tubuh Vano.

Mereka berdua bersama-sama menyeret tubuh Vano masuk ke mobil yang Vano bawa. Dengan tidak mudah tentunya. Vano terus meracau tidak jelas. Kedua tangannya tidak berhenti bergerak barang sebentar saja, terus menggapai apa yang dapat ia capai. Bibirnya terus menyerbu wajah siapa pun yang berada dekat dengannya.

"Akh, shit!" Satrya mendorong kepala Vano ketika pria itu lagi-lagi mendekat ke arahnya. Ia meraba semua kantong celana dan jas milik Vano untuk mencari kunci mobil pria itu. Ia dan Rexa menghela napas mereka lelah ketika sudah berhasil memasukkan tubuh Vano seluruhnya ke mobil.

Satrya dan Rexa menyeka dengan kasar bibir dan pipinya yang kena cium Vano.

"Berengsek, dia mencium bibirku!" Rexa mengusap-usap bibirnya dengan kesal.

Satrya tertawa puas. Ia juga terkena cium sebenarnya. Namun, ini bukan yang pertama kali. Ia sudah bosan marah-marah karena kelakuan sahabatnya yang biadab itu. Vano bahkan pernah mencium dan hampir memperkosanya. Oh, jangan ingatkan Satrya soal kejadian nahas itu.

"Oke, aku kembali ke dalam. Selamat bersenang-senang, brother!" Rexa menepuk pundak Satrya dengan santai.

Satrya langsung menarik kerah baju Rexa ketika pria itu hendak berbalik. "Mau ke mana, berengsek! Temani aku ke apartemen! Aku tidak ingin tubuhku kembali digerayangi olehnya!"

Rexa menangkis tangan Satrya hingga melepaskan kerah baju belakangnya. "Tidak mau! Enak saja, aku harus kembali bekerja, fuck you!" Dengan itu Rexa masuk kembali ke kelab tempatnya bekerja. Meninggalkan Satrya yang lagi-lagi hanya bisa menghela napasnya pasrah. Apalagi yang bisa ia lakukan sekarang?

Satrya memutari mobil dan masuk. Melirik sekilas ke arah Vano yang tertidur di jok belakang. "Ini sudah dua tahun, dan kau masih seperti ini?" Satrya merasa kasihan pada sahabatnya yang tidak sadarkan diri di jok belakang.

Satrya mulai memajukan mobilnya membelah jalanan.

"Hiks...."

Satrya menoleh ke belakang ketika ia mendengar suara isak tangis seseorang.

Vano sudah bangun, pria itu menangis. Kedua kakinya menekuk di atas jok, kepalanya menelungkup pada lengan yang ia lipat di atas lutut.

"Vano?" Satrya menyentuh kaki Vano.

"Hiks...."

Vano tidak menjawab, semakin lama yang ada tangisannya semakin terdengar lebih keras.

Satrya lagi-lagi menghela napasnya lelah. Ia merasa kasihan pada sahabatnya yang ternyata belum bisa membuka hatinya selama ini kepada wanita mana pun. Tidak ada yang tahu selama ini, kecuali Satrya dan Rexa yang memang sering menangani keadaan Vano yang tengah mabuk. Saat mabuklah Vano biasanya mencurahkan seluruh isi hatinya dengan leluasa. Vano Si Raja Penyembunyi Perasaan. Julukan yang diberikan oleh setiap orang yang mengenalnya dengan baik.

Sesulit apa pun keadaan dan perasaannya, Vano tidak akan membiarkan orang lain tahu apa perasaan sesungguhnya. Terkadang, senyuman tulus yang terukir dari bibirnya tidak setulus yang terlihat.

Orang-orang terdekatnya pasti akan berpikir, siapa pun tidak akan bisa menyelami apa yang tengah dirasakan Vano. Bahkan orang-orang terdekatnya seperti, Satrya, Raga dan Rexa pun terkadang tidak dapat menebak apa yang tengah berada di dalam pikiran Vano.

Vano mencintai kakak iparnya selama ini, Melody. Cinta yang benar-benat tulus dari seorang Vano. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya Vano merasakan perasaan menyenangkan seperti cinta. Awalnya memang menyenangkan karena hanya dengan membayangkan wajah sang pujaan hati, bisa membuat kita tersenyum senang sendiri. Tetapi, setelahnya Vano merasakan kesakitan itu. Rasa sakit setelah merasakan keindahan yang dinamakan cinta tidak dapat terelakkan.

Rasa sakit saat cintanya tak terbalas. Rasa sakit saat melihat wanita itu mencintai pria lain dan rasa sakit karena harus berpura-pura bahagia dengan melihat kemesraan Raga dan Melody.

Cinta tak harus memiliki. Itu adalah omong kosong. Bukankah orang bilang cinta itu buta. Iya, membutakan mata hati kita. Sebagian orang bahkan ada yang rela melakukan hal apa pun demi mendapatkan cintanya.

Cinta akan membuat kita bahagia ketika melihat yang orang yang kita cintai bahagia. Itu juga omong kosong. Rasakan lebih dalam perasaanmu. Tanyakan, apakah hatimu merasa baik-baik saja ketika kalian melihat orang yang kalian cintai tertawa bahagia bersama orang lain?

Karena, sesungguhnya kebahagiaan itu hanya semu. Senyum palsu yang ia harus sunggingkan ketika melihat Melody bermesraan berduaan dengan sang kakak hanya kepura-puraan.

Ia merasakan cinta yang indah, sekaligus merasakan kepahitannya. Dan ia mau tidak mau terus menerimanya. Tidak ada pilihan lain selain berusaha mengubur rasa itu.

"Mel, hiks...." Gumaman Vano kembali menarik perhatian Satrya.

***

Kini mereka sudah sampai di area parkir apartemen. Satrya segera keluar dari dalam mobil lalu dengan susah payah membopong tubuh Vano masuk ke apartemen. Beberapa kali Satrya harus menahan dan menarik tubuh Vano agar pria itu bisa berdiri dan berjalan mengikuti langkahnya.

Sampai di depan pintu, Satrya langsung membawa Vano ke kamar pria itu dan membanting tubuh sang sahabat ke tempat tidur. Lalu membenarkan posisi kedua kaki Vano yang masih menggantung.

Untung saja sekarang Vano tidak sadarkan diri. Dalam kondisi sekarang, Satrya harus memanfaatkannya untuk melarikan diri. Sebelum teman sialannya itu bangun dan melakukan hal-hal aneh seperti saat-saat sebelumnya.

Siapa pun yang mengenalnya, pasti akan mengira pria ini hidup dengan sangat enak tanpa beban. Namun, sesungguhnya tidak seperti itu. Vano juga hanya manusia biasa yang mempunyai hati yang bisa jatuh cinta dan terluka.

Hanya saja, dia selalu punya cara untuk menyembunyikan apa yang tengah ia rasakan. Membuat orang bingung, bahkan tidak menyadari jika yang selama ini ia tampilkan di luar, berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Dari sekian banyak manusia di bumi ini. Lalu akankah ada orang yang bisa mengerti dan mengartikan sesuatu yang selalu tersembunyi itu?

Kita lihat sejauh mana Vano bisa terus-menerus membohongi orang-orang dengan happy face-nya.

***





<