cover landing

My Gaptek Boyfriend

By Myemimark

Ada dua hal dalam hidup yang tidak bisa di prediksi manusia. Yakni jodoh dan kematian. Riana Marisha Aprilia, sudah putus asa sendiri bahwa dia tidak memiliki jodoh di dunia ini. Mengingat, dirinya terlalu fokus pada suami-suami virtual yang sedang mencari nafkah di Negeri Ginseng sana.

Namun percayakah kalian jika di era ini masih ada manusia yang gagap teknologi?

Kalau Riana tentu akan menjawab 'ya'. Karena dari artikel yang di bacanya, survei mengatakan, ada sekitar 53% orang tua mengaku gagap teknologi di era digital ini. Bagaimana dengan remaja? Seperti sebuah kemustahilan jika fakta itu benar-benar ada. Tapi, fakta itu nyata adanya.

Dari lingkungannya, ada seorang laki-laki bernama Marvin Alkena Prawira. Manusia pencinta kimia yang masih menggunakan HP jadul dengan game Tetris dan ular gila di dalamnya. Untuk ukuran ekonomi, Marvin dikenal mampu karena ayahnya yang terkenal sebagai pejabat kelurahan. Dilihat dari gayanya juga, Marvin tidak seperti orang-orang keterbelakangan teknologi. Buktinya, dia punya laptop. Oke, itu artinya Marvin tidak benar-benar gaptek.

Dia jadi alumni ponsel jadul sejak kelas 12 semester akhir, sebelum kelulusan mereka. Tak tanggung-tanggung, smartphone pertama yang dimilikinya adalah keluaran terbaru merk ternama Korea.

Riana ingat betul, pagi itu teman sekelas heboh karena sesuatu berwarna hitam menyembul dari saku seragam putihnya. Dia yang sudah dua tahun sekelas dengan Marvin melihat dengan jelas wajah kemerahan sang mantan ketua OSIS karena ledekan teman-temannya.

Dia yang notabene tidak terlalu penasaran dengan urusan orang, hanya ikut tersenyum tanpa peduli alasan Marvin ganti HP. Yang dia dengar, Nokia kebanggaannya mati karena jatuh ke sungai saat menemani ayahnya memancing. Juga jawaban-jawaban tidak penting lain yang memenuhi barisan bangku anak lelaki.

Namun, ada satu pertanyaan yang membuat Marvin dinobatkan sebagai Raja Gaptek dari 12 MIPA 2 pagi itu. Pertanyaan sederhana yang membuatnya sukses dikenal akan kegaptekannya di seluruh sekolah.

"Kenapa HP Android gak ada keyboardnya? Saya, kan, gak bisa ngetik jadinya!"

Hei Marvin, apa kamu manusia dari zaman purba?

Oke, daerah tempat tinggal Riana itu ibu kota Provinsi Jawa Barat. Dan Marvin ini tinggal di kawasan yang rata-rata diisi oleh pengusaha. Jadi, entah Marvin yang pura-pura polos atau bagaimana sampai-sampai tidak mengerti ponsel pintar berbasis Android.

Namun dari wajah kebingungan cowok itu, Riana tahu bahwa Marvin serius dengan pertanyaannya.

Pertanyaan-pertanyaan lain pun terus berlanjut sampai lulus sekolah. Dia tak tahu lagi kabar manusia gaptek itu. Namun, takdir mempertemukannya di perguran tinggi, meski tidak satu almamater. Dia di swasta dan Marvin di negeri. Parahnya, bangunan kampus mereka cukup berdekatan.

Pertemuan mereka juga tidak jauh dari kegaptekan si pencinta kimia itu. Kala itu Riana hendak ke toko buku. Tanpa sengaja, dia bertemu Marvin di depan pusat perbelanjaan yang tampak kebingungan dengan ponselnya. Marvin terlihat seperti anak hilang dengan tas punggung besar yang dibawanya. Sesuatu seolah mendorongnya untuk menghampiri cowok itu. Dan satu pertanyaan membuat Riana tertawa keras hingga menjadi pusat perhatian.

"Temen saya nyuruh sherlock, terus pas udah saya tunjukin, dia malah gak jadi jemput saya."

"Emang kamu nunjukin apa?"

"Maksudnya Sherlock Holmes, kan?"

Entah mana yang harus Riana salahkan. Marvin yang gaptek atau teman Marvin yang sok Inggris.

Yang jelas, itulah sosok tampan nan gaptek yang Riana kenal sebagai teman sekelasnya dulu. Mungkin juga di sekeliling kalian ada satu atau lebih orang yang tak jauh berbeda dari Marvin.

Riana pikir, sungguh beruntung perempuan yang menjadi pacar Marvin. Dari segi fisik, dia tampan dengan paras yang mirip bule, kulitnya sawo matang dan perawakanya tinggi, kecil nan berotot. Pokoknya, enak diajak jalan-jalan. Tidak memalukan. Soal kegaptekannya mungkin bisa dibungkam dengan menjauhkan Android dari Marvin.

Namun, agaknya Riana harus menelan bulat-bulat persepsinya itu sejak seorang cowok datang ke rumahnya. Kulitnya sawo matang, rambut hitam berantakan seperti habis diterpa angin kencang dan wajahnya mirip Bunbun—kucing jantannya. Itulah yang ibunya katakan dengan penuh antusias saat menghampiri Riana di kamar mandi.

Sempat tebersit dipikirannya bahwa itu adalah mamang kurir tampan yang langganan mengantar paket ke rumahnya. Namun Riana ingat jika dia belum belanja online apa pun minggu ini. Lagi pula, ini masih pukul 7 pagi dan adik-adiknya masih setia di depan televisi. Manusia mana yang bertamu sepagi ini di hari Minggu? Terlebih, dia seorang laki-laki.

Rasa penasarannya lebih besar dari apa pun, dengan seragam kebanggaannya—celana training hitam bergaris putih, kaus raglan hitam-abu dan rambut yang digulung menyerupai konde—dia menghampiri ayah dan sang tamu di ruang tengah.

Sayup-sayup dia mendengar suara sang ayah, "Riana kalau hari Minggu emang gitu, nyuci dulu baru olahraga."

Riana berjengit, apakah dia baru saja mendengar sang ayah menjunjung nama baiknya? Karena kenyataannya, olahraga di hari Minggu hanyalah khayalan semata.

"Itu tamunya samperin!" Ibunya mendorong punggung Riana untuk keluar dari tempat persembunyiannya di belakang lemari pajangan.

"Siapa si, Bu?" tanyanya penuh rasa penasaran. Dia masih belum berani melihat tamunya.

Sang ibu tersenyum aneh dengan nampan berisi teh manis hangat di tangannya. "Ganteng tamunya Teteh. Gak pernah cerita sama Ibu kalau kamu deket sama cowok, ya?"

Riana tahu betul perawakan cowok-cowok satu fakultasnya. Tak ada yang bisa dikatakan lumayan selain ketua HIMA. Namun dari mereka semua, tak ada yang dekat dengannya, bahkan sampai datang ke rumah seperti ini. Jadi, siapa si cowok ganteng mirip kucing itu?

Baru satu langkah menuju ruang tamu, dia sudah mematung di tempat. Menatap sosok pemuda yang tengah tertawa bersama ayahnya. Riana harap dia sedang bermimpi, karena kehadiran cowok itu ke rumahnya tidak pernah ada dalam bayangannya. Apa yang Tuhan rencanakan dengan mengirim makhluk ini ke rumahnya?

"Marvin?"

Dua orang laki-laki berbeda generasi itu menatap titik di mana Riana membeku dalam dunianya.

Cowok yang ternyata tamunya itu tersenyum tipis. "Pagi, Ri!" sapanya pelan.

Riana masih tidak bisa berpikir alasan logis yang membawa Marvin ke rumahnya pagi ini. Bayangkan saja! Setelah lulus, hubungan mereka hanya sebatas saling lihat status WhatsApp tanpa ada obrolan basa-basi menanyakan kabar selama hampir satu tahun dan hanya bertemu sesekali di warung bakso dekat kampus.

"Kamu lama banget nyucinya. Ini loh, Marvin nungguin dari tadi. Mau ngajak lari pagi katanya!" ucap sang ayah begitu Riana ditarik sang ibu untuk duduk di sebelah ayahnya.

Riana mengernyit menatap Marvin, menuntut klarifikasi. "Lari pagi? Jam segini?"

Senyuman di wajah Marvin seolah permanen, bahkan saat dia mengangguk sembari menggaruk tengkuknya. "Maaf mendadak," katanya pelan.

Sang ibu mengibaskan kedua tangannya dan terkekeh, mengucapkan kalimat yang hendak Riana keluarkan. "Enggak kok enggak, mumpung masih libur kan, ya? Malah kita seneng kalau ada yang ngajak Teteh jalan-jalan. Biar gak di rumah terus selama liburan."

Raut wajah Riana berubah masam. Ibunya tidak tahu betapa nikmatnya liburan jika dihabiskan dengan ritual malas-malasan sambil fangirling atau maraton drama Korea. Apalagi kalau stok makanan penuh. Dijamin dia tak akan keluar rumah sampai liburan usai.

Marvin menggosokkan kedua tangannya, dia seolah ragu untuk mengatakan sesuatu. Keluarga Riana memang menyeramkan kalau dihadapkan dengan cowok tampan. Jadi, harusnya setelah ini Marvin kapok tak datang lagi ke rumah. Tetapi random sekali rasanya, jika cowok itu datang ke rumah hanya untuk lari pagi. Pasti ada maksud lain.

"Eum, Om sebenernya... kedatangan utama saya kesini bukan cuma mau ngajak Riana olahraga." Sesuai dugaannya.

"Loh terus? Riana punya hutang ya sama kamu? Duh, anak ini tuh emang boros ya selama di Karawang? Makannya hutangnya banyak." Nama baiknya tercemar sudah.

Marvin menggeleng cepat. "Eng-enggak gitu, Om!" bantahnya.

Ketiga orang di depannya menatap Marvin penuh rasa penasaran. Riana juga sama penasarannya dengan alasan utama si gaptek ini. Jangan-jangan dia mau tanya bagaimana cara ganti wallpaper ponsel lagi? Atau paling parah, cara ganti baterai ponsel yang lowbat. Oke, tapi dia sudah pernah menanyakan hal itu.

"Sebenernya ..." ucapnya dengan keringat sebesar biji jagung yang menetes di dahinya. Mengapa sesulit ini untuk berkata jujur?

"Iya?" Ketiga orang di sana sudah greget sendiri karena Marvin tak bersuara setelahnya.

Marvin menutup matanya, mungkin untuk mengurangi kegugupannya dan dalam satu tarikan napas dia berucap, "Saya minta izin buat macarin anak Om, boleh kan?"

Virus membeku Riana tertular pada ibu dan ayahnya. Ketiga manusia itu menatap Marvin dengan pandangan yang tidak dapat diartikan. Yang ditatap justru semakin takut dan gugup. Apalagi tatapan ayah Riana dengan mata membola yang seolah siap keluar dari tempatnya.

"Na-nak, kamu serius?" tanya ayah masih kaget.

Tubuh Marvin menegak otomatis. Bak robot, dia mengangguk kaku dan berkata, "Serius. Saya serius sama Riana."

Ibu meremas lengan Riana gemas. "Pacarin aja, Nak! Pacarin! Ibu rela, kok! Kalau udah wisuda, nanti ajak ibu bapakmu ke rumah, ya!" ucapnya antusias.

Riana sendiri masih berusaha memahami hal yang tengah dialaminya kini. Ini Marvin tengah memintanya jadi pacar, kan? Tapi... tapi... kenapa dia minta izin pada ayahnya? Kan, pertahanan Riana untuk menolak baper jadi runtuh.

Ayah melirik Riana sekilas dan tersenyum tipis. "Kalau Ayah sih yes, gak tau Riananya. Kalian ngobrol berdua aja, ya!" ucapnya sembari menarik istrinya pergi.

Sebelum meninggalkan Riana berdua dengan Marvin, ayah sempat membisikan sesuatu ke telinganya, "Laki-laki kayak dia tuh langka zaman sekarang, jangan di lepasin buat pegangan kamu!"

Hanya keheningan yang menyelimuti atmosfer keduanya selepas kedua orangtua Riana meninggalkan ruang tengah. Baik Marvin atau Riana, keduanya belum ada yang berani memecah keheningan.

"Kamu kaget ya saya ngajak pacaran tiba-tiba?"

Ya siapa yang gak kaget, Muklis?

Secara, selama dekat dengan Marvin dia tidak merasakan tanda-tanda cowok itu menyukainya, bahkan menjadikannya target untuk dipacari. Mengingat, si Muklis yang gaptek ini hobinya tebar pesona dan merasa paling ganteng sedunia. Tentu saja Riana tak menduga hal seperti ini akan terjadi padanya.

Baginya, Muklis tetaplah Muklis yang mampu melemparkan bom nuklir cinta pandangan pertama pada semua perempuan yang melihatnya. Oke, kenapa Marvin ganti nama jadi Muklis?

"Kamu lagi gak bercanda, kan?" tanya Riana penuh keraguan.

Marvin menggeleng cepat. "Kalau saya sampai datang ke rumah kamu, nemuin orang tua kamu, masih kamu anggap bercanda, saya bisa ajak keluarga saya ke rumah kamu minggu depan buat nunjukin keseriusan saya sama kamu!"

Riana meleleh, si Muklis ini kalau dalam mode gombal memang tak main-main. Apalagi raut wajahnya yang seserius itu.

Halalin aja adek langsung, Bang!

Dia menarik napasnya untuk meredakan kegugupan yang tak cepat berlalu ini. "Kenapa kamu nembaknya ke Ayah? Gak ke aku langsung?"

Cowok berwajah kucing itu tersenyum lebar. "Karena kamu, masih punya ayahmu. Saya mau nunjukkin ke ayah kamu, kalau bukan cuma beliau yang ngawasin kamu. Ada saya, laki-laki yang siap bagi tugas sama ayahmu!"

Tolong, apa Marvin tidak tahu jika senyuman dan kata-katanya sudah meruntuhkan benteng besar di hatinya?

"Kamu ... dapet ide dari mana sih sampai datang ke rumah segala?"

"Dari kamu!"

"Heh?" Riana menatap Marvin heran.

"Saya liat status WhatsApp kamu. Kamu bilang, kalau beneran serius datang langsung ke rumah dan temuin ayahmu," ucap Marvin malu-malu.

"Kamu gak ngerti apa yang aku maksud serius?"

"Ngerti kok! Maksudnya nikah, kan?" Wajah Riana semakin memerah karenanya. "Tapi, saya apa-apa masih bergantung sama keluarga. Soal nikah, itu terserah kamu. Kalau kamu mau ikut susah dulu bareng saya, sekarang juga saya siap, kok!"

Apakah ada pengaruh antara teh manis yang diminumnya hingga semua kalimat si Muklis yang keluar manis semua? Ah, jangan percaya diri dulu, nanti begitu sepah dibuang baru tahu rasa hambarnya.

"Jujur aja Vin, aku juga belum siap kalau nikah sekarang. Yang itu tuh buat seru-seruan aja." Karena aku jomblo. Dia menambahkan dalam hati.

"Jadi intinya, kamu mau pacaran sama saya?" Agaknya Marvin sudah tidak sabar menanti jawaban. "Kalau enggak juga gak apa-apa, nanti saya datang lagi ke rumah sama keluarga."

"Aku ikut kata Ayah aja," kata Riana dengan wajah memerah. Jantungnya berdegup kencang. Ini lebih memacu adrenalid ketimbang menghadap rektor.

Senyuman miring terpatri di wajah tampan Marvin. "Apanya yang ikut ayah?"

"Y-ya kan kamu izinnya ke Ayah. Jadi aku terserah Ayah."

"AYAH SETUJU KOK!" teriak sang ayah dari belakang lemari pajangan. Mereka menguping rupanya.

Marvin menahan tawanya karena Riana semakin malu akan tingkah sang ayah. Keluarganya ini benar-benar ya, tidak bisa melihatnya jomblo. Padahal dia sudah menikahi hobinya: fangirling.

"Jadi, kita pacaran?"

Ya kan, tadi minta izinnya pacaran, Muklis.

"Saya pasang status di Facebook, ya!"

"Jangan!" sela Riana cepat begitu Marvin mengeluarkan ponselnya.

"Loh, kenapa? Temen saya pada pasang status berpacaran di Facebook."

"Enggak Vin, alay tau gak. Jangan dulu dipublikasiin."

Marvin mengulum bibir bawahnya dan mengangguk paham. Kemudian, Riana mendudukan dirinya di sebelah cowok itu sambil mengeluarkan ponsel miliknya.

"Kita foto aja buat tanda kalau ini hari pertama kita resmi pacaran." Riana tersenyum begitu sadar dia dan Marvin sudah ada dalam satu kata: kita.

Udah gak jomblo lagi dong, aku!

"Wah!" pekik Marvin begitu Riana mengarahkan kamera pada wajah keduanya.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Kok muka saya putih banget? Jadi makin ganteng kan saya." Marvin mengambil ponsel Riana dan mengusai ponsel itu sendirian sembari mengusap dagunya sendiri.

Riana memasang raut datarnya menatap cowok yang beberapa menit lalu resmi jadi pacarnya. "Ini efek kamera, Vin," jelasnya. Mulai lagi gapteknya.

"Kamera HP saya gak kayak gini. Kata temen saya, pure banget sampai jerawat dan komodo-komodo menyebalkan keliatan."

"Komedo, Vin," ralatnya dan dia merebut kembali ponselnya. "Kamu kan pake kamera bawaan, sementara aku pake aplikasi."

"Biar apa?"

Gadis itu menghela napasnya dan tersenyum paksa. "Biar aku gak keliatan buluk karena belum mandi," jawabnya jujur. Menahan kekesalan.

Marvin terdiam untuk beberapa saat dan menatap Riana dengan raut bingungnya. Satu tarikan napas, dan pertanyaan itu keluar dengan mulus dari bibir tipis kekasihnya. "Tapi Ri, aplikasi itu apa?"

Siapa pun, tolong kembalikan Marvin ke zaman batu!

***





<